Diskusi Membedah Kontekstualitas Islam Akal, Dicaci dan Dipuji
Oleh Umdah El-Baroroh
Pertentangan antara kedua paham yang bersebrangan ini bukan hanya berhenti pada wacana. Tetapi juga telah menorehkan sejarah hitam agama. Keduanya saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Ratusan ulama dan cendekiawan, baik dari aliran rasional maupun konservatif, telah menjadi korban dalam pertarungan tersebut.
Judul di atas nampaknya pas untuk melukiskan diskusi mahasiswa Malang yang tergabung dalam Studi Lingkar Madani (PSLM) tanggal 22 Oktober 2005 yang lalu. Paling tidak pernyataan berani Drs. H. Fauzi Hasyim, salah satu pembicara pada acara tersebut, secara gamblang menjelaskan judul di atas. “Saya Menentang liberalisme dan rasionalisme, tetapi Islam tidak akan berkembang tanpa adanya liberalisasi dan rasionalisasi”.
Sontak pernyataan tersebut pun menimbulkan beragam reaksi peserta yang memenuhi Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang (UNM). Peserta yang sebagian besar dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu, tampak keberatan dengan pernyataan pembicara. Mereka menilai liberalisme hanya membawa pengaruh negatif dari Barat, seperti pergaulan bebas dan free sex yang dapat merusak akidah Islam. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut makna liberalisme dan rasionalisme yang ia tolak, pengasuh pondok pesantren Al Ihsan, Malang ini banyak menyinggung perjalanan sejarah dalam Islam.
Menurutnya, pertentangan antara liberalisme dan konservatisme dalam Islam telah berlangsung semenjak jaman permulaan Islam. “Di satu sisi agama sangat menghargai ilmu pengetahuan”, papar Fauzi. “Hal itu terekspresi pada masa kekuasaan Bani Abasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun yang berkuasa sejak 813-833 M. Kita tahu penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan sangat bagus yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kaum Nasrani dan Yahudi, bahkan penyembah bintang, digaji dengan harga yang sangat tinggi.”
Ada pula paham mu’tazilah yang sangat menghargai posisi akal dalam memahami agama. Teologi mu’tazilah yang rasional itu diwarisi oleh mazhab Syiah minoritas, yang mengedepankan watak proggresif akal untuk aksentuasi kehidupan manusia bahkan memformulasi ‘takdir manusia’. Teologi Mu`tazilah berpandangan bahwa manusia telah diberikan potensi kehendak bebas (free will) untuk menentukan takdir hidupnya
“Tetapi di sisi lain kita juga menyaksikan munculnya aliran jabariah yang berusaha menolak akal dan rasionalisme dalam agama. Atau paham asy’ariah yang cenderung normatif, tekstual, dan berusaha meminimalkan peran akal”, tandas Fauzi lebih lanjut. Pertentangan antara kedua paham yang bersebrangan ini bukan hanya berhenti pada wacana. Tetapi juga telah menorehkan sejarah hitam agama. Keduanya saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Ratusan ulama dan cendekiawan, baik dari aliran rasional maupun konservatif, telah menjadi korban dalam pertarungan tersebut. Peristiwa mihnah (inkuisisi) yang mengorbankan nyawa Ibnu Hambal menjadi saksi pertarungan itu.
Terlepas adanya tarik menarik dan pertentangan antara keduanya, persoalan pembaharuan dalam Islam, dinilai oleh Novriantoni Kahar, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak terjadi. “Pembaharuan bagi Islam seolah sudah menjadi determinasi sejarah”, tandas alumnus Universitas Al Azhar, Kairo ini. “Ia terus dan akan selalu terjadi.” “Kalaupun tidak, nampaknya memang mesti diadakan. Apalagi bila kata pembaharuan Islam disandingkan dengan kemodernan—yang notabene anak kandung peradaban Barat.”
“Namun, nampaknya pembaharuan dalam Dunia Islam bukan soal diadakan atau tidak”, tandas Novri lebih lanjut. “Kalau persoalannya sekadar ada pembaharuan atau tidak, agaknya membincang pembaharuan boleh dianggap selesai, dan tidak menarik.” “Persoalan menjadi lain, manakala diajukan sebuah pertanyaan: bagaimana cara melakukan pembaharuan Islam?”, tanyanya.
Pertanyaan di atas dinilai oleh aktivis JIL ini amat krusial, bahkan membuahkan perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini. Banyak suara dengan nama pembaharuan Islam didengungkan. Tetapi perkembangan umat Islam tetap lambat dan masih berkutat pada masalah religusitas yang konservatif. Sementara umat Islam seharusnya sudah melangkah ke tahap lanjutan, ketimbang hanya bergulat pada soal religiusitas. Kontestasi antara sikap kembali kepada tradisi, sebagai wujud sikap atas nama kebaruan Islam dengan sikap menerima kemodernan sebagai ‘jalan lurus’ sikap hidup, atau mengakomodasi keduanya, menjadi tema yang berkepanjangan. “Karenanya pembaharuan dalam Islam, hingga kini, boleh dibilang baru pada tahap wacana”, tegasnya. “Kalaupun memunculkan gerakan, hal itu belum secara masif dilakukan.”
“Karena itulah gejala umum yang terjadi dalam Umat Islam, ketika mereka menghadapi situasi modern, masalahnya nyaris sama, yakni berputar dalam masalah cara yang mesti dilakukan dalam melakukan pembaharuan” ucap Novri. Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau berupaya melakukan pembaharuan Islam secara sungguh-sungguh.
Persoalan pembaharuan yang dinilai determinan oleh aktivis JIL, bagi pengasuh PP Al Ihsan ini tetap harus dilakukan secara selektif. “Apakah pembahauan harus selamanya mengaca Barat?”, tanya kyai paruh baya ini kritis. Menurutnya, dalam melakukan pembaharuan, terutama dalam Islam, harus dilakukan secara cermat. “Kita tidak bisa dengan mudah mengaca Barat, apalagi kalau itu tidak efektif”, tandasnya mewanti-wanti. “Jangan-jangan upaya untuk itu hanya akan menjadi cemooh dan tuduhan upaya mendeskreditkan Islam.”
Baginya seorang pembaharu harus bersedia memeras tenaga dan pikiran bagi pemecahan soal-soal bagaimana al-Qur’an hendak ditafsirkan, sejauh mana relevansi Hadits menjadi pedoman, dan dalam batas-batas mana nilai-nilai Islam maupun sistemnya terwujud di tengah-tengah umat. “Dalam konteks Indonesia, hal ini masih ditambah satu lagi, yaitu perlunya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan”, tambahnya.
Oleh karenanya, dibutuhkan perspektif yang holistik untuk membangun pranata sosial yang humanis, proggresif, dan egaliter dalam bingkai transendental. Tampaknya pesan Iqbal maupun Syari’ati menjadi relevan dalam konteks ini, yakni hendaknya para intelektual muslim, sebagai arsitek perubahan sosial, harus mampu mengenali dan menyelami problema subtansial yang dialami oleh masyarakat muslim, sebelum menawarkan atau menggagas solusi atas marginalisasi umat Islam”, tegas Fauzi.
Diskusi yang mengambil tema “Membedah Kontekstualitas Islam Perspektif Budaya: Usaha Membawa Universalitas Islam dalam Local Wisdom” ini sengaja diadakan oleh mahasiswa UNM (Universitas Negeri Malang) untuk menggali perspektif pembaharuan Islam yang selalu menjadi kontroversi. Terutama dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang oleh kelompok berseberangan dianggap merusak akidah. Tak ayal bila forum ini pun dibanjiri oleh anggota HTI dan mahasiswa rohis.[]
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)