Akar-akar Sekularisme Dalam Islam
Oleh Redaksi
Dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie, diskusi berikut mengangkat isu sekularisme dalam Islam yang merupakan salah satu tema terhangat dalam Milis tersebut.
Sejak didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal () telah mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando. Dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie, diskusi berikut mengangkat isu sekularisme dalam Islam yang merupakan salah satu tema terhangat dalam Milis tersebut.
Luthfi Assyaukanie:
Apa yang sedang dilakukan Denny JA dengan program sekularisasinya (khususnya pada level politik), saya kira, merupakan kelanjutan dari program-program serupa yang dilakukan oleh para tokoh dan intelektual Islam. Saya cukup terkejut ketika membaca buku Karen Armstrong, The Battle for God, bahwa Imam Ja’far al-Shadiq, salah seorang Imam Dua Belas, dianggap sebagai penganjur “sekularisasi” sejati. Untuk lebih jelasnya, saya kutipkan pernyataan Armstrong tersebut:
“Imam Syiah keenam, Ja’far al-Shadiq (meninggal tahun 765) secara efektif memisahkan agama dari politik. Ia memprivatisir agama dan membatasinya dalam wilayah pribadi. Hal ini dilakukannya untuk melindungi agama, sehingga agama dapat terus bertahan dalam dunia yang tampak memusuhinya. Kebijakan sekularisasi ini datang dari insting spiritual. Kaum Syiah tahu bahwa mencampuradukkan agama dengan politik bisa berbahaya.” (Karen Armstrong, Battle for God, hal. 46).
Ini tentu saja sebuah pernyataan yang menarik. Karena selama ini, ide tentang sekularisasi datang dari kalangan modernis. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa ada tokoh Islam, apalagi seorang Imam, yang punya gagasan seperti itu.
Taufik Adnan Amal:
Menurut saya, pemisahan antara otoritas spiritual dan temporal, secara aktual, dimulai dengan berkuasanya dinasti Umayyah. Administrasi negara ummat Islam, sejak saat itu, mulai memperoleh karakter temporal. Sebagian besar para administrator Umayyah memang orang-orang beriman (Muslim), tetapi—dengan satu eksepsi tunggal, yakni Umar ibn Abd al-Aziz (Umar ke-2)—concern utama mereka adalah politik, ketimbang agama. Berbeda dengan empat khalifah pertama (al-khulafa’ al-rasyidun), para penulis Muslim ketika itu menyebut para penguasa Umayyah sebagai “pangeran-pangeran” atau “raja-raja”—titel-titel dengan makna pejoratif bagi telinga-telinga yang religius. Sejak berkuasanya dinasti Umayyah, permasalahan-permasalahan agama tidak lagi diselesaikan di bawah naungan para khalifah.
Pemisahan otoritas spiritual dan temporal merupakan akibat wajar dari perkembangan politik, sekalipun tidak terdapat ijma’ yang eksplisit tentangnya. Pusat pemerintahan kaum Muslimin dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, tetapi para ulama tidak mengikuti kepindahan ini. Pemindahan pusat pemerintahan itu, dengan demikian, merupakan upaya sekularisasi yang dijalankan secara sistematis oleh para penguasa Umayyah. Para ulama tetap bertahan di Kota Nabi, dan membentuk mazhab yang belakangan mengakar di seluruh kota Islam, kecuali di Damaskus—pusat kekuasaan dinasti Umayyah—yang hampir-hampir tidak memiliki satu wakil pun.
Independensi otoritas agama, yang diwakili para ulama, membuat mereka mampu mengembangkan pemikiran keagamaan tanpa intervensi yang berarti dari penguasa. Gagasan-gagasan religius mereka, dalam kenyataannya, hanyalah intellectual exercise yang kemudian diawetkan dalam kitab-kitab kuning, karena tidak memiliki otoritas untuk mengaplikasikannya—otoritas ini, tentu saja, dipegang penguasa politik.
Luthfi Assyaukanie:
Terikamasih Taufik, penjelasan seperti yang Anda berikan sering saya dengar dari Cak Nur. Cak Nur pernah mengatakan bahwa pada tingkat negara (politik), sekularisasi telah dimulai tak lama setelah Nabi wafat, dan mencapai puncaknya pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Kasus Ja’far Shadiq, saya kira cukup unik, karena dia mewakili kubu ulama dan bukan penguasa.
Raja-raja Arab (khalifah) memang sangat sekular. Dan bahkan semua mereka --kecuali Shafawiyah di Iran-- mendirikan negara secara sangat tribalistik. Perhatikanlah nama-nama kerajaan itu: “Umawiyyah” yang berarti klan Umayyah ibn Salt, “Abbasiyyah” yang berarti klan Abbas ibn Mutthalib, pamannya Nabi, dan “Utsmaniyyah,” “Fathimiyyah,” “Ayyubiyyah,” dll. Semuanya merujuk pada sistem tribalisme (nama-nama tokoh penting dalam sebuah suku). Ini suatu kemunduran luar biasa jika kita melihat semangat Muhammad yang pernah bilang: “Laysa minna man da’a ila al-ashabiyyah” (bukan dari golonganku siapa saja yang menyeru pada tribalisme). Satu-satunya kerajaan yang dibangun berdasarkan “ideologi” adalah kaum Shafawiyyah yang berasal dari gerakan filsafat-mistik undergorund “Shafawi” yang berhasil mendirikan negara dan menjadi saingan penting Utsmaniyyah-Turki dan Moghul-India.
Gagasan “negara Islam” sebenarnya adalah ide baru. Bahkan lebih baru dari “negara demokrasi.” Yang pertama melontarkannya adalah Iqbal ketika ia mengajak teman-temannya di All Indian-Muslim mendirikan negara Islam yang terpisah dari India. Iqbal mungkin tidak memaksudkan konsep itu sebagai gagasan dengan citranya seperti yang kita rasakan sekarang (radikal dan fundamentalistik). “Negara Islam” adalah konsep baru. Dia tidak pernah dikenal pada masa Nabi, pada masa Khulafaurrasyidin, apalagi pada masa Umayyah dan negara-negara tribalistik lainnya. Karena itu, salah besar kalau para pendukung konsep ini mengacu kepada momen historis tertentu. Karena ia tidak memiliki rujukan sejarah.
Saya kira, Maududi dan Qutb sangat nekat ketika menggunakan istilah “dawlah islamiyyah” dengan seolah-olah menganggapnya sebagai sebuah konsep baku yang ada dalam doktrin Islam. Istilah “dawlah” sendiri dalam bahasa Arab tidak ada kaitannya dengan negara. Ia simply berarti “giliran” (kata Alquran: wa tilkal ayyamu nudawiluha baynannas). Ketika kita mengatakan “Dawlah Umawiyyah” itu artinya “Giliran Umawiyyah,” begitu juga “Giliran Abbasiyyah,” “Giliran Utsmaniyyah,” dll. Di sini, relasi kekuasaan tampak lebih berperan ketimbang konsep “negara” seperti dibilang Maududi atau Qutb.
Kalau merujuk sejarah Islam sepanjang masa, negara sekular --dan bukan negara agama-- sebetulnya memiliki justifikasi yang sangat kuat. Tinggal persoalannya, bentuk negara sekular mana yang akan kita inginkan. Dan ini tugasnya Saiful, Denny, Rizal, dan santri Ohio lainnya untuk merumuskan negara sekular macam apakah yang kita akan bangun?
Hamid Basyaib:
Info Luthfi tentang pendirian Imam Ja’far al-Shadiq itu bagus sekali. Cukup mengherankan bahwa anak cucunya di Iran sekarang menyeleweng jauh dari petuah sang imam—padahal nenek-moyang mereka sendiri begitu lama menjadi korban pencampur-adukan agama dan politik. Adakah penjelasan yang memuaskan untuk penyelewengan ini? Rasanya bukan karena Ja’far al-Shadiq adalah imam ke-6, sehingga belum tiba gilirannya untuk ditaati.
Di Iran, kita tahu, terutama 10 tahun pertama setelah Revolusi Islam, penyimpangan itu luar biasa dahsyat. Vonis-vonis hukuman mati dijatuhkan secara kilat, oleh hakim yang berpretensi sebagai wakil Tuhan; termasuk memangsa Sadeq Gotbzadeh, salah satu dari Triumvirat (bersama Bani Sadr dan Ibrahim Yazdi) yang sangat berjasa pada Revolusi lewat advis-advis politik luar negerinya untuk Khomeini. Dosa Gotbzadeh barangkali karena dia berasal dari kamp sekular.
Bani Sadr juga harus lari ke luar negeri, meski dia menang mutlak dalam pemilu dengan menangguk 11 juta suara. Yang diangkat akhirnya Ali Raja’i, seorang guru matematika, yang hanya mendapat 500.000 suara. Bani Sadr harus menanggung bonus rasa malu: Dicerca dan diejek karena melarikan diri sambil menyamar dengan mencukur kumisnya. “Lelaki apaan, tuh”, kata Ayatullah Behesti cs, “nggak berkumis; kayak perempuan aja..” Celakalah Bani Sadr karena dia bukan mullah – dan terlalu pintar untuk dibonekakan oleh para mullah.
Nasib Yazdi, bekas Mendagri (atau Ekonomi?), tak kurang mengenaskannya; saya tak tahu, apakah dia masih tinggal di Iran atau lari bersama sekitar dua juta orang lainnya. Tapi sampai beberapa tahun lalu ia masih menggencarkan oposisi, dan terus diteror fisik dan mental. Mehdi Bazargan, PM pertama Revolusi Islam, terlindung selama Imam Khomeini hidup. Segera setelah sang imam wafat, fisikawan berusia 76 itu jadi bulan-bulanan intel Islam pengganti Savak. Suatu kali ia mendapati dirinya berada di tengah gurun, dengan mata tertutup dan tubuh babak-belur. Bahkan pertimbangan kemanusiaan elementer pun lenyap di balik lipatan sorban para mullah itu.
Kini kita saksikan sayap “civilised” di bawah Khatami sedang terus berjuang mengembalikan bangsanya ke kebudayaan. Semoga makin banyak orang Iran yang yakin bahwa dengan manipulasi agama, dengan pencampur-adukan agama dan politik, peradaban mustahil dilanjutkan. Sepanjang menyangkut pencampuradukan itu, Syiah, Sunni, Mu’tazilah, Druze, sama belaka. Kaum Sunni Taliban sangat garang terhadap Syiah Iran; tapi dalam soal kecerdikan mamanipulasi agama, dalam kepiawaian meminjam wibawa Tuhan untuk menindas, mereka bagai saudara kembar dan seolah belajar dari mentor yang sama.
Saya juga terkesan dengan ungkapan lain Ja’far Shadiq. “Jangan lihat perilaku orang di masjid,” katanya, “sebab itu memang tempat ibadah (tentu semua orang yang sedang berada di sana baik belaka). Lihat perilakunya di pasar (barulah kelihatan aslinya).” (Dalam versi pepatah Minang: “Lain di surau,lain di pasar”).
Ungkapan itu mengimplikasikan bahwa Al-Shadiq memang memilah masjid (agama) dan pasar (termasuk istana presiden, parlemen, lembaga-lembaga negara lainnya seperti kejaksaan, kehakiman dan departemen-departemen).
Repotnya, orang Iran, Afghan, dan banyak aktivis politik identitas di tempat-tempat lain bukan hanya mencampur-adukkan masjid dan pasar; tapi juga mereka ingin orang menganggap bahwa mereka selalu berada di masjid, meski faktanya mereka jauh lebih sering berada di pasar, dan dari sana membuat aneka keputusan --termasuk keputusan-keputusan yang merusak masjid.
Hadimulyo:
Saya ingin mengomentari Hamid. Saya heran, apa salahnya politik? Kotor? Dengan begitu, Islam jangan dikotori? Ingat, kawan. Deklarasi kemerdekaan RI itu keputusan politik, departemen ini, itu, dihapus atau digabungkan juga keputusan politik. Konstitusi, undang-undang, APBN/APBD diputuskan dalam lembaga politik, lembaga publik. Menjadikan IAIN sebagai universitas, atau dibubarkan, itu keputusan politik. Saya mohon dibedakan politik dengan politicking tanpa prinsip.
Berbeda dengan kondisi sekarang, partai-partai politik zaman pergerakan dulu apa pun aliran politik atau ideologinya, dipimpin oleh orang-orang yang terbaik dari golongannya (dilihat dari segi kapasitas intelektualnya). Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Natsir, Tan Malaka, adalah beberapa contoh. Selama akhir periode Orde Lama (Masyumi dan PSI dibubarkan) dan Orde Baru, ada disengagement kaum intelektual dengan dunia politik, mungkin ini pengaruh H.J.Benda, ‘pengkhianatan kaum intelektual’ (tolong koreksi kalau saya salah). Akibatnya, malahan kita serahkan urusan politik kepada serdadu, yang memiliki otoritas pegang kekuasaan dengan bedil yang dibeli dengan uang rakyat, dibantu oleh kaum teknokrat pendidikan Barat tanpa akar yang jelas, sementara yang tersisa di partai politik adalah kalangan mediocre, pas-pasan, karena kaum intelektual menjauhi. Akibatnya? Lebih dari 40 tahun kita menderita dan sengsara, kan?
Secara ekonomi kita menikmati kesenjangan yang luar biasa, secara politik kita seperti di negara komunis. Tidak ada kontestasi. Ini juga dosa politik kaum intelektual yang tidak mau tahu atau peduli politik, Bung! Belajar dari sini, saya ingin mengajak : ‘Jangan alergi politik, kawan.’ Saya kira masih ada cara berpolitik yang beradab, santun, tidak mau menang sendiri, dalam bahasa kolom Cak Nur di Tekad (almarhum) ‘fatsoen’ lah. Saya jadi teringat pernah menulis “sufisme politik “ di Republika beberapa tahun yang lalu.
Adapun soal Bani Sadr, saya pernah terlibat diskusi Pasca Revolusi Iran waktu itu, kenapa ia hanya mampu menjadi pemimpin Iran seumur jagung? Ada analisis yang menarik. Penjelasannya, meskipun seorang yang hebat, Bani Sadr tidak mampu memahami rakyat dan mullahnya, rakyat dan mullah Iran. Ingat Mas Bintang? Dia salah satu darling of the press, kan? Apa yang terjadi? Untuk meraih dukungan rakyat guna mendudukkan seorang wakil pun di DPR dalam pemilu 1999 yang lalu, ia tidak mampu. Begitu juga Budiman Sudjatmiko dengan PRD-nya, kalah dengan Partai Keadilan yang sama-sama dipimpin orang-orang muda. Di Temanggung, Jawa Tengah, AE Priyono aau Zaim Saidi (?) yang orang Jawa (PAN) , kalah dengan dengan Jakob Tobing orang Batak (meloncat ke gerbong PDI-P, dulu jagoan Golkar). Hadimulyo di Pati (anak daerah yang terlalu romantis menyongsong pemilu sistem distrik, padahal belum) , kalah dengan politisi gaek Imam Churmen (PKB, veteran PPP) yang tidak kenal dan dikenal orang Pati, tapi berlindung di balik kharisma Mbah Dullah Salam.
Kata Mas Husni Thamrin, menghibur: Orang bodoh dikalahkan orang pintar, orang pintar kalah sama orang begja (beruntung), orang beruntung kalah sana orang nekad, orang nekad, kalah sama orang gila…
Saiful Mujani:
Mas Hadi, Bukan soal bersih atau kotor politik itu. Dalam konteks diskusi kita di sini saya kira bagaimana caranya membuat politik itu suatu hal yang santai, biasa-biasa saja, dan kalau menang ya syukur, dan kalau kalah ya ora opo-opo. Tapi kalau agama masuk ke situ seringkali politik menjadi sangat serius. Retorikanya kadang-kadang soal surga dan neraka. Ini simplifikasi. Saya tahu orang PPP seperti anda tidak akan begitu, tapi massa pengikut Anda bisa begitu ... karena bantuan agama tadi.
Luthfi Assyaukanie:
Apa yang diungkapkan oleh Mas Hadimulyo tentang politik menang-kalah itu, saya kira, nggak ada hubungannya dengan agama. It’s just real politics. Kalau ada unsur-unsur agama di dalamnya (pendirian depag, IAIN, dll), itu harus dipahami juga dalam koridor politik (yang saat itu masih memainkan isu agama yang kini kita tolak). Dengan kata lain, nggak ada yang salah dengan politik. Yang dipersoalkan Hamid dan juga Ja’far Shadiq adalah keterlibatan agama dalam politik. Keterlibatan sesuatu yang privat ke dalam ruang publik. Sesuatu yang suci ke wilayah yang profan. Contoh yang diberikan Trisno tentang perseteruan Gus Dur dan Habib al-Habsyi sangat tepat, dan kita bisa memperpanjang daftarnya dengan isu-isu lain yang selalu mengatasnamakan agama (PDI Kristen, Mega perempuan, Golkar sekular, dll). Dengan membuka pintu untuk agama ke dalam wilayah politik kita telah membuka kembali potensi-potensi pelecehan terhadap agama. Bukankah memainkan isu-isu jihad, bughat, dll adalah bagian dari pelecehan agama? Saya kira kita harus konsisten, kalau kita mau serius membersihkan agama dari noda politik, ya kita harus mengeluarkannya dari wilayah itu.
Jadi, seperti kata Saiful, take it easy. Saya yakin, nggak dosa kok menolak agama dari wilayah politik. Malah saya kira kita akan mendapatkan pahala karena telah berupaya menyelamatkan agama dari tangan-tangan kotor oportunis politik.
Hamid Basyaib:
Mas Hadimulyo, saya agak heran dan bingung pada konsekuensi “anti-politik” yang Anda tarik berdasar posting saya tentang Iran itu. Tapi untuk penjelasan akan hal ini saya rasa Luthfi dan Saiful sudah melakukannya dengan baik.
Saya cuma mau menanggapi sedikit tentang Bani Sadr. Saya sekadar bicara berdasar fakta: Bani Sadr memenangi pemilu dengan mendapat 11.000.000 suara (dan lawannya yang kemudian dikukuhkan hanya meraih 500.000 suara alias seperduapuluh dua perolehan Sadr). Bagaimana kesimpulan bisa ditarik bahwa dia “tidak memahami rakyat” dan mullah Iran? Saya kira lebih tepat dikatakan: Bani Sadr tidak memahami, dan memang tidak mau menoleransi, keinginan para mullah untuk mengembalikan bangsanya ke abad pertengahan.
Yang terakhir ini kemudian merekayasa begitu rupa sehingga seolah-olah Sadr tidak diinginkan rakyat (padahal meraih 11 juta suara). Dan mereka berhasil memanipulasi fakta, termasuk dengan bantuan teror dan kekerasan, sehingga intelektual waras seperti Sadr tak tahan, karena memang dia—berbeda dari orang-orang yang menzaliminya—tidak gila kuasa. Dari segi kepatutan (fatsoen), apakah pantas seorang yang begitu berjasa mendampingi dan memberi advis bertahun-tahun kepada pemimpin revolusi di masa-masa sulit di pengasingan—juga keahliannya sangat dibutuhkan oleh negara yang sedang goyah itu—dihinakan seperti itu? Inilah aspek yang paling saya sesalkan: Para mullah itu berbuat demikian atas nama Tuhan dan agama. Dalam hal ini Khomeini sendiri lebih arif dan matang; setelah Sadr pergi, kabarnya dua kali ia mengutus orang untuk meminta Sadr kembali.
Yang terjadi pada Gotbzadeh lebih mengenaskan. Dalam posisi sebagai menteri luar negeri dia dituduh jadi agen CIA segala macam; lalu sejumlah dokumen palsu dibuat dan dinyatakan ditemukan di kediamannya. Lalu, persis seperti di negara2 komunis, dia disuruh melakukan otokritik, mengakui semua dosanya di depan publik via TV. Kalau tidak mau, Gotbzadeh bakal digantung. Dia memilih yang kedua, karena integritas dan kehormatan dirinya tidak memungkinkannya untuk mengakui macam2 kesalahan yang tak pernah dia lakukan. Lalu salah satu dari triumvirat penasihat Khomeini di pengasingan itu betul2 digantung! Lagi2, itu dilakukan atas nama agama dan Tuhan. Saya tidak pernah mampu untuk memaklumi kegilaan yang keterlaluan ini.
Begitulah fakta-fakta dari peristiwa lama yang sudah diketahui luas itu, yang saya paparkan sekadar untuk mengingatkan. Detailnya saya peroleh antara lain dari tulisan Ali Muhammadi dan Sreberny-Muhammadi di The Third World Quarterly-nya Altaf Gauhar, sekitar tahun 1985.
Message saya tetap: Betapa berbahayanya membiarkan para aktor politik menganggap diri mereka sebagai penubuhan wahyu Tuhan, lalu atas klaim itu merasuki kancah kekuasaan dengan segenap kompleksitas dan logikanya sendiri—sesuatu yang membuka peluang lebar bagi manipulasi. Soalnya adalah: jika manipulasi itu dilakukan bukan atas nama Tuhan, sebagaimana selalu terjadi di semua negara non-agama, masalahnya lebih sederhana dan “penertiban” lewat aturan main yang sepenuhnya sekular jadi lebih gampang; dan Tuhan sebagai sumber nilai2 terluhur tak jadi kotor dan terkena radiasi kekuasaan itu. Kita perlu “membela” dan “melindungi” Tuhan karena kita begini lemah dan memerlukan Dia dalam kehidupan yang makin pelik ini, bukan karena Dia memerlukan pembelaan dan perlindungan kita.
Hadimulyo:
Hamid, sebenarnya, posting saya yang menurut Anda menyimpulkan ‘terlalu dini’ untuk menganggap dalam milis ini ada beberapa pandangan yang memiliki nuansa anti politik, itu tidak hanya berdasarkan posting Anda. Bahkan (mudah mudahan saya salah) Luthfi Assyaukanie dalam kesimpulannya yang terburu-buru bahwa soal perdebatan negara sekuler sudah final, saya kira agak arbitrer.
Kesan kuat saya, siapapun yang mengikuti milis ini membaca ada kecenderungan pemikiran perlunya privatisasi agama, jangan mencampur adukkan agama dengan politik, ketakutan terhadap “fundamentalis,” dst. Jadi, ini yang mendorong saya memberikan perspektif dari sudut pandang yang lain.
Kalau kita berkampanye untuk pluralisme agama, sebagai muslim, saya pikir kita perlu lebih dulu kampanye menanamkan pluralisme internal Islam, apa pun mazhab fiqh-politiknya. Inilah point posting-posting saya selama ini. Demokrasi tidak bisa dibangun atas dasar ketakutan, tetapi atas dasar mutual-trust, saling percaya, dialog, bukan monolog. Tentang Bani Sadr, terima kasih atas penjelasan Anda. Ternyata kita punya sumber informasi yang berbeda.
Adnin Armas:
Saya melihat akar-akar yg di maksud Taufik dan Luthfi lebih kepada “akar buatan” yg urat-uratnya tak kokoh dan rapuh karena mulai tumbuh dari zaman bani umayyah. Saya melihat akar itu akan kokoh kalau akarnya mulai tumbuh dan berkembang dari Nabi dan Khulafa al-Rashidin.Tapi mereka adalah pemimpin negara yg nilai-nilai agama sangat mewarnai pola kepemimpinan mereka. Apa bukan begitu? Taufik-pun mengimplikasikan Umar bin Abdul Azis tidak memisahkan agama dan politik. Bahkan mungkin karena tidak ada pemisahan ini, kepemimpinan Umar bin Abdul Azis sangat dihormati.Jadi, masalahnya tidak terfokus kepada kuantitas fakta saja karena adanya beragam fakta tapi juga “kualitas fakta”. Maksud saya kalau Umar bin Abdul Azis cukup berhasil karena gabungan agama dan politik, jauh lebih baik bagi kita untuk merumuskan dan mengembangkan pola-pola kepemimpinannya. Dan kalau dia sangat concern kepada agama (saya fikir sebagian raja-raja yg lain juga tidak sampai dalam tahap sekuler)ini tidak berati sekularisasi dapat dijadikan akar yg akan kita akan gigih pelihara. Saya juga heran, kenapa ketika Usman r.a. “dipertanyakan secara kritis” ttg. Standarisasi al-Qur’an, tapi kenapa suasana zaman dinasti umayyah tidak juga “dipertanyakan secara kritis”? (dan bahkan tafsiran terhadap gagasan sekularisasi yg dijadikan panutan ?)Padahal, bagi saya, otoritas Usman r.a. lebih baik dari pengikutnya.
Jadi, apa tidak lebih baik juga mengkaji suasana historis zaman dinasti umayyah secara kritis? Saya fikir, dalam pandangan seorang sekularpun atau juga seorang demokrat, kepemimpinan bani umayyahpun belum sekular dan belum demokratis karena bentuk pemerintahan monarkis (yg sangat otoritatif) dan minimnya toleransi kepada kaum Shiah seperti perang di Karbala.
Selain itu, saya ingin bertanya: apa benar-benar suasana zaman umayyah itu dapat ditafsirkan dengan berkembangnya sekularisasi(dgn 3 komponennya)? Setahu saya, justru dasar prinsip-prinsip hukum Islam, konsep Ijma dan ahl-hadist di samping ahl- hadist terbentuk. Dalam suasana saat itu, muncul kelompok-kelompok Islam yg pertama: Umayyah (sunni), syiah dan khawarij. Justru kemunculan kelompok-kelompok politik ini sangat erat juga dengan konsep agama. Khawarij, misalnya, pernyatannya: la hukma illa Allah. Mereka atas dasar pemahaman yg ngawur ini kemudian membuat kelompok politik. Misalnya juga perdebatan ttg. mukmin dan kafir yg terjadi saat itu. Jadi bagi semua fihak saat itu, agama dan politik masih tidak bubar(desekularisasi). Kemudian pada zaman Abbasiah, banyak sekali muncul mazhab-mazhab seperti Hanafiah, Malikiah, Shafiiah, Hanbaliah, bahkan doktrin-doktrin Mukatazilah pun pernah dijadikan doktrin negara! Jadi kalau ditafsirkanpun gagasan sekularisasi muncul di zaman umayyah, maka itupun mengalami kontra yg sangat ketat. Saat itu, perlawanan shiah kepada umayyah di pimpin oleh imam-imam yg juga menghubung-kaitkan agama dan politik. Begitu juga sebagian raja-raja umayyah tidak juga memisahkan agama dalam politik. (pemisahan yg menjadi inti gagasan sekularisasi). Artinya kalau dikatakanpun di zaman umayyah sekularisasi berkembang, itu juga mengalami penolakan yg ketat, sebagaimana terjadi kemudian pada zaman abbasiah.
Untuk Luthfi, saya sangat meragukan bukti yg Armstrong kemukakan dan kalau dia cukup otoritatif terhadap permasalahan keimaman. Setahu saya konsep “imam” dalam pengertian Shiah memiliki makna yg sangat khusus. Ada nilai lebih didalamnya. Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, Imam Zainal Abidin, Imam Muhammad Baqir dan Imam Jafar jelas di anggap sebagai pemimpin yg sekaligus pemahaman ttg. keagamaan tidak diragukan. Bahkan Imam Mahdi-pun diharapkan akan datang untuk membanteras kezaliman. Sebaiknya Luthfi juga menggunakan primary sources untuk mengembangkannya menjadi akar. (Saya sedang mencari juga primary sources tsb). Kemudian dalam konteks sejarahpun, Shiah-pun sangat menitikberatkan hubungan antara agama dan politik bahkan sampai sekarang. Gelaran keulamaan ada pada pemimpin mereka. Mengenai fakta - fakta sosial yg dijadikan alasan utk memisahkan agama dan politik sebenarnya sudah diperdebatkan oleh mam Imam Prasodjo dan Ade Armando. Jadi, kalau ada mullah yg menganulir kemenangan kelompok sekuler, yg sebaliknya juga terjadi seperti kasus FIS di Aljazair. Jadinya kalau cuma fakta yg dijadikan yard-stick maka fakta yg berlawanan juga bisa digunakan.Di sini perlunya kita melihat lebih dalam akarnya dalam dataran filosofis atau teologis.
Najib:
Luthfi, tampaknya anda terjebak dalam penafsiran yang apriori.Ketika berbicara tentang akar sekularisasi dalam Islam berdasarkan fakta sejarah anda yakin betul bahwa sekularisasi telah ada sejak masa Umawiyah. Dan ketika berbicara Negara Islam anda langsung yakin bahwa negara Islam tidak pernah dikenal pada masa Nabi. Padahal baik negara sekular maupun agama tidak pernah disebut sebut pada masa itu. Yang ada hanyalah fakta sejarah (kalau rujukan sejarh jelas selalu ada) bahwa pada masa nabi bla bla bla yang lalu ditafsirkan al-Maududi dkk. sebagai seruan untuk mendirikan negara Islam, dan fakta sejarah bla bla bla yang lalu ditafsirkan Luthfi sebagai akar sekularisasi. Dan tidak lebih pintar ketika Luthfi meyakini sekularisasi sebagai hal yang telah ada pada masa itu. Bahkan istilah Arabnya “ilmaniyah” pun baru muncul belakangan.
Disamping itu kalau argumentasi Luthfi dimaksudkan sebagai justifikasi negara sekular tentu tidak tepat. Sebab perlunya negara sekular tidak mungkin didasarkan pada akar sejarah agama tertentu. Kan kontradiktif kalau gitu.
Menurut saya negara agama memiliki tempat yang ideal ketika suatu komunitas dalam suatu wilayah sepakat untuk mengatur kehidupan mereka sesuai dengan nilai nilai dan ajaran agama tertentu, dan itu yang menurut saya terjadi dalam sejarah Nabi di “kota” Madinah. Di luar kondisi itu, kekaisaran paganis Romawi sebelum berkolaborasi dengan Kristen bisa menjadi rujukan tepat bagi sebuah negara yang multi agama.
Jadi persoalan yang tersisa bukan “bentuk negara sekuler bagaimana yang ingin kita bangun” tapi “Bagaimana membentuk negara yang memberikan kebebasan mengekspreikan agama (dalam kasus ini) tanpa mengganggu kebebasan pihak lain”. Bisa negara sekular atau yang lain. Dengan kata lain tidak selayaknya konsep negara sekuler atau konsep negara apapun kita anggap sebagai kemapanan yang tak terbantahkan. Ia harus diposisikan sebagai upaya kreatif manusia yang sejajar dengan upaya kreatif lain. Sebab begitu suatu konsep dibakukan ia akan menghambat siklus upaya kreatif berikutnya.
Ulil Abshar-Abdalla:
Usaha untuk menunjukkan bahwa pemisahan antara otoritas sekuler dan agama telah berlangsung dalam sejarah klasik Islam, menimbulkan penafsiran yang mendua. Kalau dengan itu anda ingin mengatakan bahwa “negara sekuler” sudah ada dalam zaman klasik Islam, maka anda seolah ingin mengatakan bahwa ekperimen politik dinasti Umayyah “wa akhawatuha” itu adalah benar dan anda seperti meng-endorsenya. Padahal dalam posting anda juga ada nada bahwa eksperimen semacam dinasti Umayyah itu telah jauh meninggalkan semangat Islam zaman ´Nabi yang otoriter. Saya kira kalau preseden historis untuk negara sekuler itu kita sandarkan pada pengalaman dinasti-dinasti Islam, maka kita telah mengambil contoh yang keliru. Sebab yang diimpikan umat Islam bukan periode itu, tetapi periode Nabi yang konon katanya mencerminkan suatu terjemahan yang sempurna dari ideal Islam.
Saiful Mujani:
Saya lanjutkan ke arah lain. Kalau baca Muqadimah Ibn Khaldun atau karya-karya Gellner, egalitarianisme itu ciri yang menonjol di kalangan masyarakat Badui, lingkungan sosial Rasulullah waktu itu, dibanding masyarakat lain di sekitarnya yang sezaman (Persia, Romawi, Mesir, dll.).
Ini juga merupakan sumber dari kurang berkembangnya “negara” dalam peradaban baduy ini sebab negara bagaimanapun membutuhkan struktur yang hierarkis sifatnya dan wilayah yang relatif tetap, tidak nomaden. Kesan saya selama ini egalitarianisme itu dilekatkan dengan Islam, bukan dengan masyarakat baduy. Makah dan Madina waktu itu, menurut Ira Lapidus, ya cukup hirarkis sehingga memungkinkan suatu “negara” muncul ... tapi dibanding masyarakat di sekitarnya masih kurang hirarkis ... karena itu negara-negara, daulah, dinasti atau apa namanya dalam bentuk yang besar dibangun di luar wilayah Arabia (Usmaniayyah di bekas Romawi; Abbasiah di bekas Persia; Fatimiyah di Mesir).
Sekarang kita pemuja egalitarianisme mungkin karena konteks kita sekarang yang ingin demokrasi, kesetaraan, ...dst, yang merupakan lawan terhadap monarki atau rezim otoritarian. Padahal, pada zaman rasulullah dan sahabat ketika itu, egalitarianisme Baduy itu dekat dengan konotasi yang kurang beradab, sebab yang beradab itu ya masyarakat kota yang relatif tetap wilayahnya serta berstruktur sosial hirarkis seperti di Persia dan Romawi itu. Dalam hubungannya dengan teologi, yang paling egalitarian itu barangkali teologinya kelompok Khawarij, di mana banyak tokohnya berlatar belakang Baduy ini. Tapi egaliterianisme versi khawarij ini kan beda dengan egalitarianisme kita sekarang. Egaliterainsmenya terbatas pada satu komunitas Islam yang homogen.
Poin saya adalah, kita mungkin jangan bias zaman dalam memilih peristiwa-peristiwa atau masyarakat yang dikisahkan dalam sejarah, karena barangkali setiap babakan sejarah punya idealnya masing-masing. Atau malah egaliarianisme Baduy, Islam, dan modern itu beda-beda. Apa lagi ngutak-ngatik masyarakat 1500 tahun lalu, ngutak-ngatik Gus Dur yang di depan mata aja kerepotan.
Ulil Abshar-Abdalla:
Saya kira, pendapat Saiful ini adalah suatu penafsiran yang betul-betul lain mengenai ideal “egalitarianisme” yang sering dihubungkan dengan periode awal Islam. Saya kira, pendapat Saiful benar: egalitarianisme awal Islam itu lebih berkaitan dengan karakter masyarakat Arab yang anti hirarki, ketimbang sesuatu yang benar-benar khas Islam.
Tapi, saya punya catatan lain. Nabi sebagai perintis suatu “polity” pertama dalam Islam di Madinah bukanlah seorang baduy, bukan pula dari lapisan sosial yang nomaden. Dia berasal dari satu bagian masyarakat Arab yang menikmati sejumlah privelese, yaitu dari suku Quraisy. Dengan kata lain, Nabi adalah bagian dari struktur sosial yang --to some degree—bersifat feudal. Qur´an sendiri mengecam orang-orang baduy, salah satunya karena sifat mereka yang sukar tunduk pada “kebenaran” yang ditegakka melalui suatu struktur tertentu yang hirarkis. Dengan kata lain, Qur’an lebih pro orang-orang di “kota” (hadlar) ketimbang orang-orang pedusunan (badwy).
Ketegangan dalam sejarah awal Islam bukanlah antara orang-orang yang mengehendaki egalitarianisme absolut seperti kaum khawarij vis-a-vis golongan lain yang --let say-- “feudalistis”. Tetapi antara orang-orang yang menghendaki semacam privelese khusus buat keluarga Nabi dan golongan lain yang menentangnya. Impuls “egalitarianisme” dalam sejarah Islam tak pernah benar-benar merupakan kekuatan moral yang cukup kuat. Kaum baduy hanyalah lapisan kecil dalam masyarakat Islam. Menurut saya, beban terberat dalam sejarah Islam, salah satunya, berkaitan dengan soal feudalisme ini, entah atas nama keluarga Nabi (kiai?), atau yang lain.
Luthfi Assyaukanie:
Sejarah Islam memang tidak memberikan kita basis konseptual yang jelas, baik untuk “negara sekular” maupun “negara Islam.” Tapi, dari praktik-praktik penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh para penguasa Muslim, khususnya sejak masa Muawiyah, model “negara sekular” agaknya lebih menjadi pilihan ketimbang “negara Islam.” Dalam konteks itulah saya mengatakan bahwa “negara sekular” dalam sejarah Islam lebih memiliki akar ketimbang “negara Islam.”
Tentu saja, “negara sekular” yang dipraktikkan oleh para penguasa Muslim dulu merupakan bentuk negara sekular yang masih primitif dan otoriter, karena sistem politik yang berlaku pada masa itu memang demikian (kerajaan/khilafah). Paling tidak, pengalaman penyelenggaraan negara dalam bentuknya yang seperti ini (sekular) bisa diteruskan sambil terus diperbaiki. Ketimbang mencari-cari sesuatu yang utopis dan tidak memiliki rujukan sejarah yang jelas.
Saya selalu meyakini bahwa Islam adalah agama moral sebelum ia menjadi agama politik, budaya, atau lainnya. Bukankah Nabi pernah bilang “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (moral).” Dan bukankah Nabi juga pernah bilang “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” Saya kira, dua pesan Nabi ini sudah sangat jelas untuk kita melangkah dalam mengurusi persoalan keduniaan kita.
Ketika saya menggunakan istilah “sekular” saya memaksudkan itu simply sebagai sesuatu yang “urusan dunia” (umur dunyakum). Politik adalah urusan keduniaan, tidak ada kaitannya dengan masalah agama, lain halnya kalau kita memasukkan agama yang akibatnya hanya menjadikan politisasi agama (bukankah ini yang selalu kita hindari?). Saya kira, “masyarakat sekular” tidak berarti masyarakat yang tidak beragama dan tidak bermoral. Tapi justru agama dan moralitas menjadi landasan kehidupannya sehari-hari. Dalam masyarakat sekular, moralitas dan agama menjadi penting untuk kehidupan individu --bukan publik-- (yang merupakan elemen terpenting masyarakat).
Saya tidak sedang berpretensi bahwa negara sekular adalah bentuk negara yang paling baik (madinat al-fadhilah). Tapi, kalau disuruh pilih antara “negara sekular” dengan “negara Islam” saya lebih memilih yang sekular. Khususnya jika melihat kegagalan negara-negara Muslim yang menerapkan bentuk negara Islam (Arab Saudi, Sudan, Afghanistan, dll). Ketika sebuah negara sekular gagal, kita masih bisa memperbaikinya, tapi ketika negara Islam gagal, kita akan membenci kedua-duanya: negara dan Islam sekaligus.
Ketika saya menyimpulkan diskusi kita beberapa minggu lalu bahwa “negara sekular” menjadi pilihan akhir dari masyarakat beragama, itu karena saya melihat bahwa teman-teman yang selama ini mengkritisi, agak malu-malu, atau kurang sreg dengan istilah “sekular” sesungguhnya --dalam katagori saya-- mendukung gagasan sekularisasi negara (saya selalu bilang “dengan maknanya yang gradatif”). Apa yang Mas Imam, Pak Hadimulyo, atau Ade sebut sebagai negara multikultural atau multiagama, sesungguhnya adalah negara sekular. Hanya negara sekular (demokrasi) --dan bukan negara agama-- yang bisa menjamin semua agama, semua aliran, dan semua keyakinan bisa hidup dan berkembang. Karena itu, kesimpulan saya, beberapa minggu silam, saya kira tidak terlalu meleset.
Hamid Basyaib:
Saya setuju, pendapat Saiful tentang egalitarianisme dalam Islam itu “lain sendiri”—dan dia kan memang paling suka nekat-nekatan begitu-:); yang penting: bongkar dulu, kalau ternyata ngawur, ya kan bisa kita rundingkan lagi?
Tapi saya kira poin dia, sebagaimana juga Anda setujui, serius: egalitarianisme awal Islam itu lebih berkaitan dengan karakter masyarakat Arab yang anti hirarki, “ketimbang sesuatu yang benar-benar khas Islam.”
Agaknya memang banyak sekali aspek ajaran Islam yang diwarnai oleh kearaban, dan hal ini seratus persen logis; justeru kalau tidak demikian jadi tidak logis, karena mengandaikan agama ini hadir di historical vacuum. Setelah membaca Armstrong (Muhammad: A Western Attempt to Understand Islam; dalam versi lain: A Portrait of A Prophet), saya sukar untuk tak menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad dengan piawai memanfaatkan budaya Arab untuk menyukseskan program2 kenabiannya; misalnya dengan lincah dia memainkan adat perlindungan, dengan berlindung di bawah payung wibawa kakeknya (dan orang Mekkah tak akan mengganggunya selama Abdul Muthallib menyatakan melindungi Muhammad); dan ketika sang kakek meninggal, pelindung penggantinya, Abbas, wibawanya tak sebesar sang kakek, ancaman serius pun makin gencar, maka hijrahlah dia dan pengikutnya ke Madinah.
Bahkan, bagian Nabi sebesar seperlima dari rampasan perang pun menunjukkan bahwa dia belum sejajar persis dengan para pemimpin Arab lainnya di kawasan itu (yang mendapat jatah seperempat dari harta serupa); tapi dari segi cepatnya dia mencapai status “Berhak Seperlima” ini luar biasa—seorang pemimpin dengan bentuk dan sumber legitimasi yang sama sekali baru. Perlu diingat bahwa yang belum “rela” (legolilo) Nabi mendapat jatah seperempat itu adalah kaum Muslim sendiri. (Dan saya kira mayoritas mereka bukan badwy). Saya menduga, dari sinilah Syiah menetapkan seperlima (khumus) sebagai zakat (khusus?)—kalau ini betul, cukup ironis, karena ia bertolak justeru dari kebelumsempurnaan status kepemimpinan. (Tapi soalnya:
ketentuan ini kemudian dikukuhkan oleh Quran). Saya kira amat banyak contoh yang bisa disebut (nama Allah untuk Tuhan, pranata musyawarah, Ka’bah, haji, misalnya).
Walhasil, barangkali memang tak banyak ajaran yang “benar-benar khas Islam”. Tapi soalnya: kalau suatu adat—baik dalam bentuk orisinalnya maupun versi modifikasinya dengan pembalikan makna atau landasan filosofisnya—ternyata di-endorse dan disahkan oleh sebuah otoritas, apalagi otoritas yang dianggap tertinggi (Tuhan, Nabi), bukankah asal-usulnya tak penting lagi dari segi “daya ikat moral”nya? Dari sini kita bisa melangkah lebih lanjut: bisakah diidentifikasi dengan persis mana aspek-aspek ajaran yang bisa diubah agar sesuai dengan kekhasan kondisi lokal, dan mana yang “harga mati” (kata para ahli: mana yang qath’i dan yang zanni; mana yang muhkam dan mana yang mutasyabih—sorry, Ade dan Trisno; saya harus bergaya sedikit, supaya kelihatan “ilmiah” dan convincing).
Prinsip para fukaha tentang al ‘adatu muhakamah (adat dapat menjadi sumber hukum) rupanya lebih banyak digemborkan ketimbang dipraktekkan dengan cerdas, kreatif dan berani. Saya jadi teringat “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur, yang diteriakkan amat lantang dan diamalkan tanpa “bunyi”. Dalam versi lain, saya teringat Soedjatmoko, yang gemas ingin “memanipulasi” bentuk-bentuk budaya Indonesia dengan memberinya kandungan baru demi keperluan program pembangunan (modernisasi). Ulil juga merisaukan apa yang disebutnya “salah satu beban terberat dalam sejarah Islam”, yaitu
“feudalisme, entah atas nama keluarga Nabi (kiai?), atau yang lain”. I can’t agree more. Sejak kecil saya, yang hidup di lingkungan warga NU-Banten di sebuah kampung di Lampung, tak habis heran mengapa orang2 itu begitu tunduk (malah takluk) pada para kiai. Sampai dewasa, sampai hari ini, saya tetap tak mengerti mengapa para kiai dan ulama itu tak juga mendemistifikasi, mendemitologisasi diri di hadapan pengikutnya – malah kecenderungannya sebaliknya. Kita jadi susah sekali untuk tak berhipotesis bahwa wibawa religius itu perlu terus dipupuk dengan berbagai cara guna meraih keuntungan-keuntungan non-religius (posisi sosial, pengaruh politik, dan tentu saja manfaat-manfaat material).
Ulil, Imam Syafi’i harus dimasukkan dalam peringkat atas dalam proyek dekonstruksi itu. Saya hampir tak percaya bahwa dia memegang premis-premis yang sangat tak masuk akal. Kata dia, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua golongan: Arab dan Ajam (non-Arab). Yang Arab terbagi dua pula: Quraisy dan non-Quraisy. Yang Quraisy terbagi dua lagi: Bani Hasyim dan non. Implikasinya terang benderang: orang Arab paling hebat, di antara mereka suku Quraisy paling hebat, dan di internal Quraisy, Bani Hasyim paling yahud. Menurut Luthfi, premis ini mewarnai seluruh ide fikih Syafi’i. Celaka duabelas: dengan basis rasistis itu Syafi’i meraih pengikut terbesar di dunia Islam.
Saya jadi teringat klaim kaum Yahudi sebagai The Chosen People (meski makna asalnya adalah: terpilih untuk mengabdi lebih banyak dibanding orang lain); dan Hitler yang, seperti Syafi’i, memilah bangsa-bangsa berdasarkan “aturan alam semesta” menjadi Aria (superior) dan non-Aria. Kalau ada bangsa lain mengaku-ngaku superior, misalnya Yahudi, itu artinya mereka mau merusak tatanan alam, dan karena itu kenapa tidak dibantai saja? Bahkan kalaupun jumlahnya 5-6 juta.
Najib:
Manusia tidak diciptakan dengan kualitas yang sama. Kualitas IQ Kang Suto mungkin lebih tinggi dibanding Noyo. Kualitas fisik bangsa Afrika, Eropa lebih besar dibanding bangsa Asia Timur. Kualitas kulit bangsa kita lebih kebal sengatan matahari dibanding kulit bangsa Eropa. Dalam konteks inilah saya rasa Syafi’i, Hitler dan Yahudi berbicara tentang kualitas genetis. Kalau tiga pertama bisa dibuktikan secara empiris, tidak demikian dengan kualitas genetis.
Persoalannya apakah setiap kalim kualitas genetis selalu berarti memberikan privelese atau bisa ya dan bisa tidak. Para penulis sejarah Islam biasanya menyebutkan klaim kualitas genetis untuk membuktikan bahwa Nabi lahir dari bibit terunggul yang ada di dunia saat itu (kebenrannya debateble). Pada sisi lain Nabi mengajarkan bahwa “Bangsa Arab tidak lebih utama dari bangsa non-Arab. Dan keutamaan diukur berdasarkan kesalehan”. Saya sangat yakin, Syafi’i sebagai ahli hadis tidak melewatkan ajaran ini. Kalau gitu apa yang mendorong Syafi’i “lebih berpegang pada klaim kualitas genetis, bahkan mewarnai seluruh ide fikihnya, ketimbang ajaran Nabi yang ‘egaliter.’“
Atau Hamid berdasarkan Luthfi salah memahami Syafi’i, karena sebenarnya Hamid berdasarkan Luthfi sedang berdialog dengan “halusinasi” dan “pikirannya”sendiri, bukan dengan teks fiqh Syafi’i. Bukan membela, sekedar pengen tau kenyataan yang sebenarnya. “Hum rijâl nahnu rijâl”. Generasi Syafi’i tidak lebih hebat dari generasi kita koq.
Untuk Luthfi: Bentuk negara apapun yang menjadi pilihan tidak masalah. Biar lebih baik aspek sejarah tidak perlu dilibatkan jika untuk mencari basis legitimasi dalam agama tertentu. Toh, Kristen yang memiliki ajaran “Berikan hak Tuhan kepada Tuhan dan berikan hak Kaisar kepada Kaisar” justru menampilkan sejarah negara agama yang menindas.Sebab realitas sejarah umat agama tertentu memang tidak selalu merefleksikan idealitas ajaran agamanya. Jika penggalian sejarah dimaksudkan untuk memperkaya diri dengan eksperimen eksperimen masa lalu saya rasa itulah yang kita perlukan. Dengan demikian “apa yang terjadi” dalam sejarah tidak dibaca sebagai “apa yang seharusnya”. Dan setiap tahapan sejarah bisa dikritisi dan tidak diadopsi begitu saja hanya lantaran ia pernah ada dalam sejarah. Hal baru yang lebih baik patut diterima meskipun tidak memiliki akar atau rujukan sejarah.
Negara Islam yang diterapkan di beberapa negara boleh jadi gagal. Demikian pula negara sekular Turki dibawah Kemal Ataturk tidak kalah diskriminatif dan menindas. Tetapi keduanya sama sama bisa diperbaiki selama tidak diabsolutkan. Di Turki koreksi atas penindasan agama telah dilakukan. Bahkan partai Refah yang membawa bendera agama pernah memenangi pemilu dan tidak digagalkan seperti nasib FIS di Aljazair. Iran di bawah Khatami juga telah mengalami perbaikan. Jadi persoalnnya bukan istilah negara agama, sekular, multi agama, atau multi kultur, tetapi prinsip prinsip negara seperti apa yang ingin diterapkan ( secara realistis tentunya).
Pemisahan agama dan negara bisa dibaca sebagai reaksi atas pengalaman pahit sejarah kekaisaran Romawi Kristen. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa otoritas agama tidak selayaknya mengangkangi otoritas politik dan ilmu pengetahuan (sorry kalau ternyata mengulang dan set back. soalnya posting sekularisasi sangat banyak). Dalam hal ini saya berpendapat bahwa wilayah poliyik dan ilmu pengetahuan dapat memperoleh sumber inpirasinya dari pengalaman empiris, penalaran rasio atau teks wahyu. Tetapi ketika ia terinspirasi oleh teks wahyu bukan berarti sah diklaim sebagai doktrin agama, dan karenanya bersifat absolut. Ijtihad manusia tetaplah ijtihad yang debatable meskipun berpijak pada teks wahyu. Sebab ijtihad pada dasarnya adalah pemahaman seseorang terhadap teks, bukan pengertian teks itu sendiri. Dengan demikian mempengaruhi keputusan politik berpijak pada dalil agama adalah hal yang sah. Sama sahnya dengan dalil dalil Rousseau, Montesqiueu, Locke dll. Jika ini yang menjadi prisnsip, maka sebutan negara apa saja bukan persoalan.[]
Komentar
Sebagai orang awam, saya rasa ada dua hal yang perlu disisipkan untuk “membuahi” diskusi tuan-tuan yang sangat mendalam ini. Pertama, perlunya untuk diperjelas gradasi dan kedudukan setiap rujukan yang mengarah kepada wacana tentang sekularisasi dan kemungkinannya untuk diaplikasikan dalam bentuknya yang paling nyata; strukutur kemasyarakatan seperti negara atau setidaknya semacam komunitas percontohan yang bersumber dari ruh agama, atau setidak-tidaknya lagi memenuhi keinginan kita seperti yang tercermin dalam perbincangan ini. Yang saya maksudkan adalah pastinya kemungkinan bahwa kita mendudukan setiap teks dan segala macam sumber pengetahuan mengenai masalah ini yang “saling beragam” satu sama lain. Akan halnya teks yang kita pakai pun sebagai rujukan entah berbahasa Arab atau tidak sesungguhnya tidak pernah terjamin “kebenaran” dan “kemungkinannya” sesuai dengan ruh (katakanlah) Islam yang sesungguhnya. Mungkin agak berlebihan memang, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian diantara kita pun seringkali menyisakan pertanyaan atas setiap teks (kitab ataupun fatwa-fatwa) yang kita terima dan kita baca. Bukankah suatu kenyataan yang tak bisa dihindari bahwa sebagian diantara kita berbeda dalam memandang suatu teks? Mereka yang terbiasa dengan alam pesantren akan sangat khas mendudukkan teks-teks tersebut sebagai sesuatu yang layak untuk sangat dihormati berdasarkan “kapasitas” sang pengarang yang dimulyakan, dan akan berbeda dengan kalangan lain yang tidak memakai cara pandang yang sama. Belum lagi soal akurasi dan penggambaran (terutama teks Arab) yang konon seringkali berlebihan dalam menampilkan suatu fakta. Pada konteks ini saja sangat mungkin akan timbul suatu perspektif yang perlu untuk terus didialogkan satu sama lain. Kepentingannya adalah harapan agar saling berdiskusi satu sama lain dan tidak ada kesan monopoli. Yang paling konservatif pun perlu diajak untuk menjajagi kemungkinan adanya sisi lain dari suatu teks yang tercapai oleh “cara pandang biasa.” Jarang misalnya orang berbicara lebih mendalam antar sesama muslim yang mengaku teguh beragama mengenai rujukan politik seprti tulisannya Imam al-Mawardi atau kitab Al-Mughni fi abwabi al-tauhid wa al-adli yang membahas tentang al-imamah. Bukan soal cara pandang kita yang perlu disampaikan, tetapi pada proses penumbuhan kesadaran bahwa kita semua memang perlu untuk terus berinteraksi dan saling membuka diri untuk suatu cita-cita kehidupan yang paling ideal. Kedua sehubungan dengan perlunya untuk memberikan gambaran bentuk struktur dan model khusus yang dimaksudkan dalam perbincangan kita, atau setidak-tidaknya keberanian untuk mengungkapkan imaji kita masing-masing mengenai suatu negara misalnya berikut perangkat-perangkat yang dibutuhkannya. Ini sangat perlu untuk terus memperkokoh keberlanjutan perbincangan ini, sekaligus menepis anggapan bahwa yang kita omongkan ini adalah sesuatu yang “khas kaum pemimpi”. Kegagalan (mungkin bukan itu maksudnya) yang sering dikeluhkan oleh masyarakat awam seperti saya adalah karena ternyata tidak ditemukannya suatu rumusan yang aplikatif dan betul-betul bisa dilaksanakan bersama diantara kita semua. Selanjutnya tentu perlu untuk diuji secara bersama-sama apakah memang ia menjadi alternatif yang punya nuansa baru. Selanjutnya lagi tentu menjadikannya lebih bisa berdamai dengan eksternal yang nyata-nyata ada dan bersama kita di dunia ini. Melihat ciri fakta masa lalu menurut saya tetap diperlukan, meski yang sebenarnya diharapkan adalah kesadaran bahwa segala sesuatu tak ada yang (perlu untuk betul-betul) diulang, termasuk dalam memprogandakan kebaikan di masa tersebut (atas nama kegagalan kita hari ini). Setahu saya, hampir semua tokoh-tokoh Islam di masa lalu berani “melanggar” suatu ketentuan yang dianggap baku demi menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada waktu itu disertai dengan kesungguhan dan pertaruhan dirinya demi untuk perjuangan tersebut. Katakanlah, peristiwa Tsaqifah Bani Sa’adah dan atau tampilnya kaum khawarij dalam memperjuangkan “jihad dan ijtihadnya” tentang suatu kebenaran. Kejujuran untuk mengungkapkan fakta-fakta historis tersebut sesungguhnya sangatlah perlu untuk mendamaikan setiap prasangka pemikiran yang “cenderung saling” mempertahankan dir, meskipun secara implisit. Dan kita perlu itu........... Wallahu a’lam
-----
Menurut gue, ideologi negara kita cukup akomodatif terhadap pandangan- pandangan orang yang punya agama, dan cukup ideal untuk suatu konsep yang bersandarkan syariah islam. Yang bikin gue bingung hanya yang ngotot menggolkannya dalam bentuk ideologi. Yang dalam otak para narasumber adalah rasa frustasi terhadap kondisi real dalam negeri kita yang kita kenal tinggi rasa relijiusnya tapi full dengan KKN, dan hukum menjadi nihil. Sehingga kita terjebak dalam feudalisme kapitalistik. sehingga membuat yang lain mencari alternativ alternativ yang lain.tapi itu sah sah saja dalam berwacana.ketimbang harus turun kejalanan nentengin molotov kan bisa berabe bawaannya.sebenarnya turunnya rasulullah untuk memperbaiki ahlak.dan ahlak rasulullah itulah hukum bagi kita,termasuk tata cara beliau mengurus negara.karena ahlak beliau adalah suri tauladan untuk ummat islam yang ada dinegeri ini.tapi lantaran semua kita sudah jadi bajingan maka inilah hasil dari semua ulah kita yang rada kapiran,waljahiliyah.dan itu tanggung jawab kita semua .nasib suatu bangsa nggak akan berobah kecuali kaum itu mau merobah nya sendiri.dan memang prubahan itu pedis dan sakit serta penuh dengan pengorbanan.karena perubahan itu tidak serta merta turun dari langit.
Islam bukan negara, atau daulah dan juga bukan kampung! Tapi di kampung Islam itu ada. Daulah Islam itu juga ada, serta negara Islam itu adalah cita-cita kita, bukan?
Sekuler bukan negara, atau daulah dan juga bukan kampung! Tapi kampung sekuler itu banyak; sekarang daulah sekuler itu makin mantap (dengan KKN sebagai gincunya). Negara sekuler itu harus kita “perangi”, bukan?
“… kamu lebih mengetahui duniamu!”. Bukankah begitu?
Yahudi-Amerika lebih pintar dari kalian mengenai sekularisasi dan manfaaatnya. Kalian sudah pintar atau belum?
Assalamu’alaikum
Pendapat yang terdapat didalam kolom artikel dapat saya katakan sebagai suatu yang kosong dan tidak bernilai sama sekali sebab didalamnya hanya terdapat bualan-bualan kosong belaka.
Kalau kita mau sebentar saja berkata jujur, berfikir dan merenungkan kembali akan apa-apa saja yang telah kita lakukan cobalah kita katakan bahwa saat ini umat Islam tidak membutuhkan dialog panjang lebar adu debat yang menyebabkan terjadinya perpecahan antara kaum muslimin, umat Islam kini butuh makanan!!!!!! semua orang yang berdebat panjang lebarpun pada akhirnya akan butuh makan.
Umat Islam perlu gizi agar mereka tumbuh kuat dan sehat yakni “makanan ruhani dan jasmani”, bukan lagi slogan-slogan kosong dapatlah kita katakan saat ini, bahwa yang dinamakan cendikiawan muslim tidak lebih dari sekadar orang-orang yang hanya ahli adu debat, bahkan adu domba!!!!!,,, dapatkah mereka mengembalikan kejayaan Islam kembali, bila hanya dengan adu debat ???? apa sih sebenarnya kekurangan para cendikiawan Islam saat ini?????
Jawabannya adalah kesatuan dalam Islam, hingga tiada lagi yang namanya Islam liberal, Islam kiri, Islam kanan dan fundamental akan tetapi Islam adalah Islam bukan suatu ucapan saja tapi juga pelaksanaan. oleh karenanya bersatulah kita sebagai ummatan wahidan dalam satu wadah Islam.
Alluhumma allif bainana wabaina qaumina amin
Wassalamu’alaikum
Komentar Masuk (4)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)