Aksi Terorisme Melawan Agama dan Kemanusiaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
23/10/2005

Zuhairi Misrawi: Aksi Terorisme Melawan Agama dan Kemanusiaan

Oleh Redaksi

Belakangan ini, di dunia muslim, seringkali terjadi aksi bom bunuh diri. Indonesia bukan pengecualian. Pelaku atau otak di balik aksi-aksi destruktif tersebut selalu mencari pembenaran agama atas tindak amanusiawi mereka. Pertanyannya: benarkah agama, terutama Islam, menyediakan landasan teologis untuk menjustifikasi aksi-aksi teroristik itu? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Zuhairi Misrawi, Koordinator Program P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Kamis (13/10) lalu.

Belakangan ini, di dunia muslim, seringkali terjadi aksi bom bunuh diri. Indonesia bukan pengecualian. Pelaku atau otak di balik aksi-aksi destruktif tersebut selalu mencari pembenaran agama atas tindak amanusiawi mereka. Pertanyannya: benarkah agama, terutama Islam, menyediakan landasan teologis untuk menjustifikasi aksi-aksi teroristik itu? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Zuhairi Misrawi, Koordinator Program P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Kamis (13/10) lalu.

JIL: Bung Zuhairi, belakangan ini kita seringkali menyaksikan aksi bom bunuh diri di berbagai dunia Islam, padahal Islam sangat mengharamkannya. Anda melihat ini sebagai gejala apa?

ZUHAIRI MISRAWI: Kalau melihat dari sejarahnya, fenomena bom bunuh diri di dunia Islam ini adalah fenomena modern. Disebut modern, karena fenomena ini sangat erat kelahirannya dengan runtuhnya sistem khilafah Islam di Turki Utsmani. Setelah petaka itu, muncul model baru negara yang disebut konsep negara-bangsa atau nation state. Negara-negara yang tadinya bersistem khilafah, lalu menjadi negara-bangsa-negara-bangsa baru.

Dengan demikian, gerakan politik dan faksi-faksinya juga semakin meluas. Kelompok-kelompok yang ingin memperjuangkan paradigma politik tertentu seperti paradigma politik Islam, menggunakan agama atau syariat sebagai landasan perjuangan politiknya. Dengan begitu, syariat lalu dipersempit pemahamannya menjadi sekadar jihad,perang atau kekerasan.

Di Aljazair misalnya. Gerakan Islam politik di sana seringkali menggunakan sejumlah aksi kekerasan, di antaranya bom bunuh diri demi memenangkan pemilu. Di Palestina, kelompok-kelompok seperti Hamas juga menggunakan kekerasan bahkan aksi kemartiran sebagai bagian dari strategi perjuangannya. Jadi sesungguhnya ini fenomena politik.

JIL: Kalau mau dikategorikan, apa saja jenis aksi bunuh diri yang saat ini berkembang?

Setidaknya ada dua kategori. Yang pertama kita kenal dengan sebutan oppressive violence, yang secara luas bermakna kekerasan yang bertujuan untuk penindasan dan merugikan orang lain. Dari sejumlah aksi bom bunuh diri yang kita lihat, korbannya tidak hanya apa yang mereka anggap musuh sehingga perlu dijadikan obyek yang harus diserang, tapi juga umat Islam sendiri. Di beberapa negara muslim, kekerasan seperti ini terjadi tidak hanya antara umat Islam dengan Barat yang dianggap musuh, tapi lebih banyak terjadi antar sesama mereka. Akibatnya, yang jadi korban kekerasan tak lain adalah umat Islam sendiri. Apa yang terjadi di Irak saat ini bisa dikategorikan sebagai oppressive violence.

Kategori yang kedua kita kenal dengan sebutan liberative violence atau kekerasan yang membebaskan. Kekerasan yang bertujuan membebaskan ini terjadi ketika sebuah negara dalam kondisi terjajah dan ditaklukan oleh kelompok atau negara lain. Contoh yang paling relevan sampai saat ini adalah Palistina. Orang agak susah menyebut kekerasan yang dilakukan orang-orang Palestina terhadap Israel sebagai bentuk kekerasan yang menindas. Kekerasan itu dianggap sebagai bentuk yang membebaskan. Karena itu, dualisme bentuk kekerasan seperti ini kadangkala agak mengaburkan pemahaman kita tentang apa itu aksi bom bunuh diri. Lalu muncul pertanyaan: bunuh diri seperti apa yang sesungguhnya dianjurkan, dibolehkan atau diperkenankan?

JIL: Saya ingat perbedaan sikap ulama Saudi yang tegas mengatakan bahwa aksi bom bunuh diri itu haram pada level dan bentuk apapun. Tapi beberapa ulama al-Azhar Mesir, atau ulama seperti Yusuf al-Qardlawi membenarkan bom bunuh diri demi kepentingan bangsa seperti yang dilakukan orang-orang Palestina. Tanggapan Anda atas polemik ini?

Kita bisa melihat soal ini dari kacamata Alqur’an itu sendiri. Dalam surah al-Baqarah misalnya disebutkan, “Waqâtilu alladzîna yuqâtilûnakum walâ ta`tadû, innalLâh lâ yuhibbul mu`tadîn.” Artinya, perangilah mereka-mereka yang memerangi kamu saja, tapi janganlah berlebih-lebihan dalam melakukan aksi itu, karena Allah tidak menyukai orang yang semena-mena atau melampaui batas.

Kalau mengacu pada Alqur’an di atas, kita tahu bahwa yang dibolehkan agama untuk diperangi atau dibom adalah musuh-musuh yang mengagresi atau memerangi kita. Dalam kitab-kitab fikih bahkan dijelaskan, perang atau bahkan bom bunuh diri itu tidak boleh menciderai anak-anak, perempuan, tua-renta, dan bahkan pastor-pastor. Itulah beberapa acuan etik dalam berperang, berjihad, atau bahkan melakukan aksi bom bunuh diri itu sendiri. Jadi yang bisa disebut liberative violence itu adalah perang yang betul-betul meminimalkan korban, dan ada tujuan mulia yang hendak dicapai.

JIL: Soal ini saya kira agak rumit, dan bisa saja dimanipulasi, Bung Zuhairi. Sebab seringkali mereka yang pro-kekerasan merekayasa situasi seolah-olah mereka sedang berjuang untuk hal-hal yang mulia. Ayat “perangilah mereka yang memerang kalian” bisa saja mereka gunakan untuk justifikasi tindak kekerasan akibat persoalan yang remeh saja. Tanggapan Anda?

Karena itu, harus ada pemahaman yang lebih baik dan lebih benar tentang identifikasi musuh. Misalnya, sesungguhnya musuh kita itu siapa? Untuk kasus Palestina, identifikasi siapa musuhnya memang gampang dan nyata, yaitu Israel yang memerangi mereka. Tapi untuk kasus Indonesia, beda lagi. Kita hidup dalam negara yang aman dan damai, antara satu kelompok dengan lainnya saling menghargai, dan itu dijamin oleh konstitusi. Karena itu, identifikasi apa yang disebut musuh bagi kita menjadi tidak gampang.

Mengebom turis, pusat-pusat keramaian, dan tempat berkumpulnya orang asing, saya kira tindakan yang tidak benar. Itu masuk kategori oppressive violence saja; kekerasan yang sia-sia, menindas, dan lebih banyak merugikan. Karena itu, perlu ada pemahaman yang lebih luas tentang siapa itu musuh.

Menurut saya, kita punya dua musuh. Pertama musuh dari dalam dan kedua, musuh dari luar. Musuh dari luar kita sebetulnya tidak terlalu jelas. Tapi musuh yang paling berat adalah musuh dari dalam, seperti keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan lain-lain. Itulah yang harus kita tanggulangi.

JIL: Bung Zuhairi, apa landasan teologis para teroris untuk membenarkan tindakannya?

Kalau kita ingin melihat teologinya, kita tidak bisa mengabaikan apa yang dilakukan oleh kaum Khawarij di masa awal Islam, yaitu teologi yang menggunakan kekerasan untuk menegakkan kalimat Tuhan. Dalam sejarahnya, mereka menghalalkan pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib karena dianggap begitu saja menerima proses tahkim dalam sengketanya dengan Muawiyah dan menolak kalimat Tuhan.

Dalam sejarah Islam, merekalah kelompok yang memulai pembunuhan dengan mengatasnamakan agama. Lalu setelah itu, ketika dalam kondisi tertekan, sejumlah ayat tentang qitâl atau jihadselalu menginspirasi. Tapi perlu diingat, sesungguhnya ayat-ayat perang itu pun tidak bertujuan untuk melukai atau mencederai musuh, tapi untuk menegakkan kebenaran atau agama itu sendiri.

JIL: Bisa Anda sebutkan akar-akar pemikiran teroristik secara lebih detail, baik dalam sejarah Islam klasik atau pun modern?!

Akar-akar pemikiran teroristik dalam fase sejarah Islam, pertama-tama berakar dari keinginan untuk menegakkan agama Tuhan. Kalau dulu kelompok Khawarij, belakangan muncul sejumlah gerakan yang ingin menegakkan syariah Islam secara paksa. Itulah yang mereka sebut bagian dari keinginan untuk menegakkan negara Tuhan. Dan untuk menegakkan itu, mereka menggariskan rumusan teologi yang disebut al-farîdlah al-zâ’idah atau kewajiban tambahan. Kalau kewajiban atau rukun Islam kita hanya lima, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa dan haji, maka bagi beberapa kelompok yang ingin menegakkan negara Tuhan, perlu ada tambahan soal jihad. Itu akar teologis pertama.

Yang kedua, menganggap bahwa merekalah yang sedang memperjuangkan agama Allah. Mereka menganggap bahwa agama yang benar adalah agama mereka dan Tuhan yang benar hanya Tuhan mereka saja. Mereka yang di luar Islam, bahkan di luar alirannya, dianggap sebagai musuh Tuhan. Inilah fenomena yang muncul pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, utamanya ketika terjadi perseteruan dengan kelompok-kelompok non-muslim seperti Yahudi dan Kristen.

Untuk membangun gairah politik, mereka membangkitkan sentimen teologis untuk memerangi musuh Tuhan. Untuk keperluan itu, ayat Alqur’an seperti “wa a`iddû lahum mâstatha`tum min quwwatin wa min rhibâtil khail, turghibûna bihi `aduwwalLâh” bisa digunakan. Jadi, siapkah apa saja yang mungkin untuk menakut-nakuti atau meneror musuh Tuhan. Para teororis yang memakai label agama selalu bernaung di bawah klaim bahwa mereka sedang memerangi musuh Tuhan.

Landasan teologis ketiga adalah harapan akan kemartiran, lewat aksi bom bunuh diri demi meraih surga. Jadi, aksi-aksi terorisme itu dijadikan semacam jalan pintas menuju surga. Kalau kita baca buku Aku Melawan Teroris yang ditulis salah seorang pelaku bom Bali I, Imam Samudera, kita akan tahu bagaimana ia membenarkan kemartiran atau apa yang dia sebut al-istisyhâd dalam rangka meraih surga.

JIL: Tapi, kan dia tidak melakukan bom bunuh diri?!

Ya, tapi dia tetap merasa akan mati syahid karena dihukum mati oleh pengadilan. Jadi dia menganggap kematiannya nantinya adalah kehidupan. Artinya, kematiannya akan berbuah surga. Jadi, ada saja orang yang menganggap bahwa aksi terorisme dalam bentuk bom bunuh diri itu sebagai tiket yang nantinya akan menjamin pelakunya masuk surga. Nah, ketika teologi ini, yaitu menegakkan negara Tuhan, memerangi musuh Tuhan, dan memburu surga, terus dikembangkan di dunia Islam saat ini, terutama oleh kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis. Itulah yang menjadi akar-akar teologisnya dalam dunia Islam.

JIL: Anda tadi sedikit menyinggung buku Imam Samudera, Aku Melawan Teroris. Bisakah Anda menangkap cara berpikir Imam Samudera sebagai teroris melalui buku itu?

Ya, buku itu menarik untuk dijadikan acuan tentang pemahaman keagamaan seperti apa yang dugunakan Imam Samudera untuk aksi terorismenya. Saya melihat, di situ Imam Samudera menganggap bahwa mereka yang dia jadikan sasaran bomnya adalah musuh Tuhan, orang-orang kafir, atau orang-orang yang dia anggap non-muslim. Itu yang pertama. Yang kedua, dia menganggap bahwa ada negara-negara adidaya yang sangat kuat dan dalam waktu yang lama telah melakukan kolonialisasi atau imperialisme atas negara-negara berkembang atau kurang maju.

Tapi di sini, saya hanya ingin menarik poin pertama saja atau soal identifikasi kafir atau musuh Tuhan itu. Sebab ada dampak serius dari pemahaman seperti itu, karena ia tidak punya limit atau batasan yang jelas. Misalnya, apakah orang-orang kafir Mekkah yang disinggung dalam banyak ayat Alqur’an itu sama dengan orang-orang Indonesia yang dianggap kafir? Hemat saya, bedanya jauh sekali, karena perintah memerangi orang-orang kafir Mekkah kala itu (abad VII), tidak hanya mengacu pada soal keimanan, tapi lebih banyak mengacu pada soal tindakan mereka. Jadi yang diperangi itu bukan iman mereka, tapi tindak agresinya, penindasannya, dan kezalimannya terhadap umat Islam.

JIL: Apa faktor-faktor non-ayat suci yang juga ikut mengubah pribadi Imam Samudera dari seorang pemuda yang normal menuju sosok yang sangat militan…

Di banyak negara, bom bunuh diri sering dilakukan oleh para “muallaf”atau mereka yang baru mengenal Islam atau tidak mengenal Islam secara mendalam atau mendetail. Secara sosiologis, memang ada keterkaitan antara militansi keagamaan dan pemahaman keagamaan yang sempit. Artinya, tidak mungkin orang yang punya pemahaman keagamaan yang luas, mendalam dan sesuai dengan tradisi keagamaan akan melakukan tindak terorisme.

Menurut Fahmi Huwaidi, seorang intelektual Mesir, fenomena Timur Tengah menunjukkan bahwa mereka yang melakukan aksi terorisme justru yang kehidupan sebelumnya sangat sekuler. Mungkin istilah yang tepat bukan sekuler, tapi mereka yang tidak punya pemahaman keagamaan mendalam. Kebanyakan mereka yang jadi pelaku bom bunuh diri adalah anak muda yang punya gairah keagamaan tinggi, lalu mendapat seruan atau ajakan dari kelompok tertentu melalui proses indoktrinasi.

Nah, tiba-tiba, mereka-mereka ini shock oleh indoktrinasi itu, lalu merasa bahwa orang lain sudah tidak lagi menegakkan hukum-hukum Tuhan. Mereka-mereka ini lalu dijanjikan surga dan lain-lain, sekiranya bisa menumpas mereka yang dianggap inkar itu. Jadi harus diakui, ada hubungan kuat antara militansi beragama dengan pemahaman keagamaan yang rendah.

Terlepas dari semua itu, saya ingin mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para teroris itu adalah tindakan yang tidak islami, karena Islam sangat jauh dari doktrin-doktrin seperti itu. Kalau disebut jihad, maka dalam jihad sekalipun, Islam masih memperhatikan etika, seperti larangan membunuh mereka yang tidak memerangi kita, anak-anak, dan lain-lain. Nah, korban yang jatuh di sejumlah aksi terorisme di Indonesia, Maroko, Arab Saudi, Irak, dan lain-lain, tampaknya tak pandang bulu, termasuk kalangan perempuan dan anak-anak.

Jadi, sasarannya random atau acak. Padahal, dalam Alqur’an disebutkan bahwa orang yang membunuh orang mukmin dengan sengaja, mereka akan masuk neraka, kekal di dalamnya, dan Tuhan akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat pedih. Artinya, tindakan terorisme ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan sekaligus. []

23/10/2005 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq