Al-Quran, Natal dan Pluralisme Agama
Oleh M. Guntur Romli
Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Bagi saya, Al-Quran tidak hanya sekadar ikut “merayakan” Natal, tapi juga merayakan “pluralisme agama”—bukan sekadar “pluralitas agama”.
Tulisan ini dimuat di: Koran Tempo, Sabtu, 24 Desember 2005
Sebagai muslim, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bagi umat Kristiani. Al-Quran, kitab suci umat Islam lebih unik dan lengkap memberikan ucapan selamat. Jika Hari Natal, hanya merayakan kelahiran Nabi Isa (Jesus Kristus), Al-Quran, memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Jesus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS Maryam: 33). Itulah, perayaan Natal “plus” versi Al-Quran.
Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Bagi saya, Al-Quran tidak hanya sekadar ikut “merayakan” Natal, tapi juga merayakan “pluralisme agama”—bukan sekadar “pluralitas agama”.
Secara sederhana, saya memaknai pluralitas adalah keragaman, sedangkan sikap dan pandangan yang positif terhadap keragaman tersebut adalah pluralisme. Pemisahan “pluralitas” dan “pluralisme” seperti keragaman tanpa aturan yang akan saling berbenturan dan mencabik-cabik keragaman itu. Keragaman tanpa ritme dan komposisi, akan menjadi nada sumbang dan tidak enak didengar. Oleh karena itu, pluralismelah yang menyusun keragaman itu menjadi mozaik, menjadi alunan nada yang merdu. Bila pluralitas adalah tangga-tangga nada, maka pluralisme adalah komposisinya.
Keragaman juga perlu diletakkan pada prinsip sama rata; duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Sikap dan pandangan superioritas satu ragam terhadap keragaman yang lain, tidak akan bisa membingkai keragaman itu menjadi sususan gambar yang apik. Oleh karena itu, pluralitas memerlukan kesetaraan dan persamaan. Dalam hal ini, toleransi tidaklah cukup merawat keragaman tersebut. Apalagi jika toleransi diartikan secara pasif; tenggang rasa si kuat pada si lemah; kelompok mayoritas pada kelompok minoritas. Untuk itu, kata dialog lebih mumpuni; agar kutub-kutub beragam itu saling mengenal, belajar, dan menghargai perbedaan.
Dalam konteks ini, pluralisme agama jika dimaknai sebagai pengakuan hak kesetaraan semua agama, adalah benar adanya. Enyahkan dulu vonis benar dan salah; kuat dan lemah; mayoritas dan minoritas. Pluralitas agama, perlu ditempatkan secara setara; agar bebas berdialog, tanpa satu pihak merasa disepelekan, dan direndahkan. Tujuannya; seperti istilah yang digunakan oleh Al-Quran: li ta’ârafû (saling mengenal, saling belajar), bukan untuk li takhâshamû (saling bermusuhan), li takâfarû (saling mengkafirkan), atau malah li taqâtalû (saling membunuh)!
Lantas, bagaimana cara Al-Quran mengakui pluralisme? Pertama, Al-Quran memandang keragaman (pluraliats) sebagai given: kehendak Allah (masyî’atullah). Allah mengakui keragaman jenis kelamin, bangsa dan puak (sya’b wa qabîlah) (Al-Hujarat [49]: 13) untuk saling mengenal dan belajar. Allah menyebut keragaman lain seperti keragaman bahasa-bahasa (al-sinah) dan ras (al-alwân) yang disamakan seperti penciptaan langit dan bumi (Al-Rum [30]: 22). Tapi, lebih dari itu, Allah tidak hanya ingin manusia memahami keragaman itu sebagai given, manusia dituntut berperan aktif menyingkap dan merawat keragaman tersebut.
Dalam hal keragaman agama. Al-Quran memberi hak untuk beriman dan hak untuk tidak beriman alias kafir. Iman dan kafir kehendak Allah jua. Iman dan kafir adalah manifestasi dari keragaman itu sendiri. Dan pihak yang berhak menentukan keimanan dan kekafiran seseorang, juga Allah. Jika ada seseorang ataupun kelompok yang merasa terpanggil untuk membagi keimanan, maka tidak boleh melalui jalan paksaan. Jika ada pihak yang menginginkan semua manusia beriman dalam satu agama, dengan cara memaksa telah melampui wewenangnya. Wilayah tersebut merupakan wewenang Allah. Dalam surat Yunus ayat 99 ditegaskan: Jika Tuhanmu berkenan, tentulah mereka semua beriman, mereka yang ada di bumi seluruhnya. Apakah kau hendak memaksa manusia sampai beriman (semua)? Sedangkan iman dan tidaknya seseorang merupakan wewenang Allah, dilanjutkan pada ayat sesudahnya: Tiada seseorang akan beriman, kecuali dengan seizin Allah. Dan (Allah) menimpakan hukuman kepada orang yang tiada menggunakan pikiran.
Dalam konteks ini menurut Abd Aziz Sachedina (2003), pluralisme agama menghantarkan pada dua makna: keimanan merupakan privasi: nonintervensionis. Tidak seorangpun manusia memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut karena bukan wewenangnya. Makna kedua adalah: koeksistensi: kebebasan beragama untuk mempertahankan kedamaian. Pemaksaan terhadap agama akan mencabik-cabik keharmonisan tersebut.
Kedua, Al-Quran mengakui daya penyelamat agama-agama di luar Islam. Dalam surat Al-Baqarah ayat 62 disebutkan terdapat ada empat: Islam, Yahudi, Kristen, dan Sabi’in. Mayoritas ahli tafsir mengartikan Sabi’in sebagai kaum penyembah bintang. Tentu saja bintang sekadar simbol yang merujuk pada Tuhan sebagai puncaibadah. Namun, Ibn Jarir al-Thabarî dalam tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân mengutip sebuah pendapat: Sabi’in adalah orang yang berpindah-pindah agama untuk mencari Kebenaran. Jika penyembah bintang saja diberi jaminan keselamatan, maka, agama-agama lain yang memiliki keimanan terhadap Tuhan lebih berhak mendapat jaminan keselamatan tersebut. Ayat 62 itu berbunyi: Sungguh, mereka yang beriman (muslim), dan mereka penganut agama Yahudi, Orang Nasrani dan orang Sabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan kebaikan, bagi mereka ada pahala pada Tuhannya, tiada mereka perlu dikuatirkan dan tidak mereka berdukacita. Prinsip pluralitas jalan keselalamatan itu (Al-Baqarah 62) dipertegas kembali dengan narasi yang hampir sama dalam surat Al-Ma’idah ayat 69.
Ketiga, bukti keimanan kepada ajaran Nabi Muhammad (Islam) memiliki konsekuensi beriman kepada ajaran nabi-nabi sebelumnya. Nabi Muhammad memberi tamsil yang apik. Islam adalah “sebongkah bata” yang melengkapi kesempurnaan sebuah “bangunan agama”. Penegasan tersebut tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 285. Dalam surat Al-Baqarah ayat 285 disebutkan: Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, (demikian pula) orang yang beriman (muslim), masing-masing mereka beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab dan Rasul-rasulnya. “Kami tiada membedakan Rasul-rasul-Nya, yang satu dari yang lain” (kata mereka). Dan mereka berkata (pula), “Kami mendengar dan kami taat, berilah kami ampun, Tuhan kami, kepadamulah kami kembali.” Ayat di atas menegaskan konsekuensi keimanan dalam Islam adalah keimanan terhadap nabi-nabi, dan kitab-kitab sebelum Al-Quran dan Nabi Muhammad. Oleh karena itu, sikap diskriminatif terhadap rasul-rasul Allah, sekaligus kitab-kitab mereka, dikecam oleh Al-Quran.
Keempat, pengakuan konstitusional dan legislasi kitab-kitab sebelum Al-Quran. Dalam hal ini, Al-Quran bukan “penghapus” dan “pembatal” bagi kitab-kitab sebelumnya. Posisi Al-Quran adalah sebagai “penguat” (mushaddiq) dan “penjaga” (muhaymin) (Al-Ma’idah [5]: 48). Al-Quran menegaskan Taurat sebagai “petunjuk” dan “cahaya” (hudan wa nûr) yang terdapat di dalamnya “hukum Allah” (fîhâ hukm Allâh). Al-Quran juga menegaskan Injil sebagai “petunjuk” dan “cahaya” (hudan wa nûr) dan “penguat” (mushaddiq) terhadap ajaran Taurat. (Al-Ma’idah: 43, 44, 46).
Uniknya Al-Quran tidak saja mengakui hukum-hukum yang terdapat dalam Taurat dan Injil, bahkan diperintahkan untuk mempraktekkannya. Tiga penggalan ayat yang sering digunakan oleh kelompok fundamentalisme Islam: “barang siapa yang tiada memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah”: maka merekalah orang kafir (5: 44); orang yang zalim (5: 45); dan orang yang fasik (5: 47) untuk mendukung hukum yang mereka klaim sebagai “hukum Tuhan” dan mengharamkan “hukum manusia” pada dasarnya tiga ayat tersebut sebagai kecaman keras bagi yang tidak mempraktekkan hukum Taurat dan Injil!
Allah menolak sikap kaum Yahudi ketika mendatangi Nabi Muhammad untuk memutuskan perkara mereka dengan hukum yang berasal dari Al-Quran. Kisah tersebut tertera dalam surat al-Ma’idah ayat 43. Tapi bagaimana mereka (kaum Yahudi) meminta keputusan kepadamu (Muhammad), sedangkan mereka mempunyai Taurat, yang di dalamnya ada hukum Allah? Dan jika kita cermat, dalam surat yang sama ayat 45, hukum qishâsh (balasan setimpal: nyawa dengan nyawa, mata dengan mata dst) yang dikenal sebagai sanksi pidana dalam fikih klasik ternyata berasal dari hukum Taurat!
Sedangkan kaum Kristen juga diperintahkan untuk mempraktekkan hukum Injil tertuang dalam surat yang sama ayat 47. Hendaklah orang yang berpegang kepada Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.
Inilah cara Al-Quran merayakan Natal “plus” dan pluralisme agama. Akhirnya, selamat merayakan Hari Natal, selamat merayakan pluralisme agama!
Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/2005/12/24/Opini/krn,20051224,58.id.html
Komentar
heran................ mau ngucapin selamat pada orang lain aja kok repot.......... dan pake di timbang untung rugi............ susah banget sih!
Saya pernah mendengar ketika ustad di daerah saya berkata agama yg diterima oleh Allah adalah Islam dan selain mencari agama selain Islam maka mereka termasuk orang yg merugi! Dan kita tidak boleh mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen karena kita sama saja mengakui tuhan mereka padahal kan bukan Nabi Isa as yg disalib tetapi mirip samarannya dan kata ustad saya Nabi Isa masih hidup sampai sekarang dan ditempatkan Allah swt di surga dan pada akhir zaman nanti Nabi Isa akan menghancurkan berhala berhala dan salib salib yang ada di gereja dan mengembalikan umatnya ke jalan yg benar yaitu mengislamkan mereka. Dan pesan saya kepada semua umat Islam di Indonesia hati hati progam 3D oleh umat kristen yakni dipacari, dihamili, dan dimurtadkan.
wassalam
-----
Artikel yang bagus… Coba kalau semua orang punya pola pikir seluas Mas Guntur, mungkin semangat pluralisme dapat terwujud dengan baik. Sekedar untuk mengucapkan Selamat Natal bagi saya sih “no problem”. Itu kan sebagai wujud saling menghargai antarumat beragama dan wujud kepedulian kita terhadap sesama. Jadi ga ada salahnya kan? Perlulah disadari bahwa kita hidup di tengah masyarakat yang begitu pluralnya, dan ingatlah kita ini sebagai makhluk sosial yang tidak lepas dari bantuan orang lain. So, sikap saling menghargai dan menghormati terhadap sesama sangatlah penting untuk dilakukan. Apakah hanya dengan mengucapkan Selamat Natal akan mengurangi pahala atau kadar iman kita? Tidah tuh..
Andai semua orang mau sedikit befikir dan membaca, tentu dunia ini akan terasa sejuk, damai, dan sejahtera. Sayang, Sedikit atau banyak adalah relatif dalam hidup ini, sedikit bagi seseorang boleh jadi banyak buat orang lain. Itulah hidup yang penuh dengan relativitas. Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menanggapi Tulisan Saudara M.Guntur Romli, berdasarkan dua konsep sederhana:1.Konsep “Untung Rugi” dan 2.Konsep “Kesederhanaan Berfikir” Ada 2 hal yang ingin saya tanggapi dalam tulisan ini: 1."Sebagai muslim, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bagi umat Kristiani”. Berdasarkan konsep “Untung Rugi”, ucapan ini adalah mempunyai peluang untuk Rugi.MUI pernah berfatwa “Mengucapkan Selamat Natal Kepada Umat Kriten adalah Haram”. Mari kita hitung sama-sama dengan konsep sederhana “Untung Rugi”. Dalam hal ini ada dua pendapat: 1.Memperbolehkan dan 2.Mengharamkan. KEMUNGKINAN PERTAMA:1.Memperbolehkan adalah benar,artinya tidak masalah kita mengucapkan selamat natal.Maka Perhitungannya, yang mengucapkan selamat natal tidak ada rugi dan begitu juga yang tidak mengucapkan selamat natal tidak ada rugi, karena dalam 1.Memperbolehkan tidak ada resiko apa-apa buat yang tidak mengucapkan selamat natal. KEMUNGKINAN KEDUA:2.Mengharamkan adalah benar, artinya bagi yang mengucapkan selamat natal adalah haram hukumnya. Perhitungannya,yang mengucapkan selamat natal mendapat rugi, karena diharamkan, dan buat yang tidak mengucapkan selamat natal tidak ada rugi. Dari perhitungan di atas nampak jelas bahwa pendapat yang memperbolehkan mengucapkan selamat natal mempunyai peluang untuk mendapatkan RUGI.
2."Kedua, Al-Quran mengakui daya penyelamat agama-agama di luar Islam. Dalam surat Al-Baqarah ayat 62 disebutkan terdapat ada empat: Islam, Yahudi, Kristen, dan Sabi’in.... Jika penyembah bintang saja diberi jaminan keselamatan, maka, agama-agama lain yang memiliki keimanan terhadap Tuhan lebih berhak mendapat jaminan keselamatan tersebut. Ayat 62 itu berbunyi: Sungguh, mereka yang beriman (muslim), dan mereka penganut agama Yahudi, Orang Nasrani dan orang Sabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan kebaikan, bagi mereka ada pahala pada Tuhannya, tiada mereka perlu dikuatirkan dan tidak mereka berdukacita.” Untuk Hal ini yang saya ingin tanggapi dan mohon mari kita sama-sama kaji kembali, apakah benar “Sungguh, mereka yang beriman (muslim), dan mereka penganut agama Yahudi, Orang Nasrani dan orang Sabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan kebaikan, bagi mereka ada pahala pada Tuhannya, tiada mereka perlu dikuatirkan dan tidak mereka berdukacita.” Apakah benar Orang selain Muslim sekarang ini beriman kepada Allah yang sama dengan Allah orang Muslim? jika YA maka pendapat ini adalah benar dan jika TIDAK maka pendapat ini harus dipikirkan kembali tentunya.Sesuatu yang sederhana boleh jadi sangat berguna dan sesuatu sesuatu tidak sederhana boleh jadi tidak berguna.
sungguh indah bila dunia tercipta kedamaian yang hakiki...tanpa intrik yang berarti dalam sebuah panggung sandiwara yang bernama dunia maya. tapi sayang, idiom seperti ini hanya pas untuk komunitas rumput dilapangan yang yang selalu dzikir & qonaah kepada-Nya. tetapi untuk kalangan bangsa yang dinamakan manusia kok kurang pas… mas guntur bagus, punya pandangan dan pola pikir tentang kekitaan-kebersamaan-toleransi yang tinggi. tapi saya kok belum bisa totalitas seperti itu, walaupun saya berteman dengan banyak kawan2 dari nasrani, hindu & budda. Jadi kesimpulannya saya tidak setuju dengan apa yang disampaikan mas guntur. thank’s
Komentar Masuk (5)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)