Alquran Sebagai Mitos - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
10/04/2005

Alquran Sebagai Mitos

Oleh Rony Subayu

Dalam konteks Alquran sebagai mitos, saya berpendapat bahwa makna denotatif Alquran (baca: ayat muamalah) adalah bersifat lokal-temporal yang cuma diperuntukkan bagi masyarakat di mana Alquran turun. Sedang unsur yang universal dan relevan untuk semua tempat dan jaman ada pada makna konotatifnya.

Ketika Mohammed Arkoun membangun proyek prestisiusnya, ”kritik akal Islam”, yang terwakili dalam karyanya ”Pour de la raison Islamique” (Menuju Kritik Akal Islam),yang dalam edisi Arabnya berjudul ”Tarikhiyyat al-Fikr al-Araby al-Islamy,” ia mengajukan tiga term yang sangat asing di telinga para sarjana muslim dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam, yaitu “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable), ”yang tak terpikirkan” (l`impinse/unthinkable) dan ”yang belum terpikirkan” (l`impensable/not yet thought).  Apa yang dimaksud dengan ”thinkable” adalah hal-hal yang mungkin sudah dipikirkan umat Islam, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sedang ”unthinkable” adalah hal-hal menyangkut praktik kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Dan ”not yet thought” adalah hal-hal yang belum pernah dipikirkan umat Islam.

Menurut Arkoun, ketika Alquran tampil dalam bentuk oral dan belum terjelma ke dalam sebuah mushaf resmi, segala hal dipandang dan direspon sebagai thinkable. Namun, keadaan berubah drastis manakala Alquran di-vermak menjadi korpus resmi tertutup atau mushaf resmi Usmani di bawah pengawasan Khalifah Usman serta adanya upaya sistematisasi konsep sunah dan pembakuan ushul fiqh oleh Imam Syafi`i kepada standar tertentu. Pada era itu, ranah-ranah yang tadinya thinkable berubah menjadi unthinkable.

Konsekuensi logis dari ”pergeseran” ini ialah terjadinya proses ”penjarakan” antara Alquran dengan realitas. Akibatnya, Alquran menjadi macan ompong yang gagap merespon tantangan modernitas dengan pelbagai persoalan yang ditimbulkannya. Alquran hanya diperas dalam tumpukan literatur tafsir yang cuma bisa menjelaskan dunia, tapi tak mampu mengubahnya. Alquran tidak lebih dari ”warisan antik” dari abad VII M yang sesekali dikenang, dilombakan, dilantunkan dan diperingati dalam seremoni-seremoni. Alquran sudah beranjak jauh dari tujuannya semula sebagai ”kitab pencerahan” (kitab munir).Dan tragisnya –kata Arkoun lagi-, daerah ”yang tak terpikirkan” itu terus saja melebar.

Mushaf Usmani yang menonjolkan bahasa Quraisy dan bercirikan mono-bacaan (Qira`at Hafish an Ashim) pada gilirannya menyimpan cacat tersendiri, yaitu hilangnya kemungkinan menafsir atau membaca Alquran dari pelbagai optik; projek penafsiran Alquran tidak diperkenankan keluar dari koridor mushaf Usmani. Oleh karenanya, kitab-kitab tafsir yang tersebar di dunia Islam secara massif diproduksi dengan merujuk mushaf Usmani sebagai patokan. Situasi ini semakin pelik manakala Syafi`i membuat rumusan sistem hukum Islam kepada Alquran, sunah, ijmak dan qiyas. Untuk menentukan sebuah makna atau hukum dalam Alquran, seseorang harus melewati prosedur ini secara hierarkis. Ketika Alquran tidak memberikan informasi, sunah menjadi rujukan, berikutnya ijmak, qiyas dan seterusnya.

Bersandar pada mushaf Usmani dan kaidah konvensional yang dibuat Syafi`i dalam kegiatan penafsiran merupakan prosedur legal-konvensional yang secara hampir sepakat diyakini umat Islam. Kemungkinan pendekatan atau mekanisme lain di luar prosedur legal dipandang sebagai bid`ah dan harus ditolak.

Di sinilah titik kegelisahan Arkoun, dengan konsepnya tentang ”yang tak terpikirkan”, ia hendak mencairkan kebekuan prosedur legal-konvensional ini. Dengan konsepnya tersebut, Arkoun hendak melegalkan pendekatan lain dalam pembacaan Alquran seperti antropologi, sosiologi, psikologi, hermeneutika, semiotika dan disiplin keilmuan lainnya yang dulu belum pernah ada atau digunakan di era skolastik Islam. Untuk sekedar turut berpartisipasi mempersempit area unthinkable ini, saya mencoba menawarkan sebuah pendekatan baru yang sangat berbau modern, yaitu membaca Alquran sebagai mitos.

Sebelum Alquran dikenai sebuah pendekatan, menentukan kedudukan Alquran secara ontologis merupakan suatu hal yang sangat perlu. Apa itu Alquran? Ini adalah pertanyaan ontologis yang sempat diajukan oleh Arkoun dan Abu Zayd sebelum melangkah lebih jauh pada penerapan sebuah metodologi pembacaan Alquran baru yang hendak diusungnya. Bagi saya, Alquran adalah mitos.  Apa yang saya maksud dengan ”mitos” di sini bukanlah cerita tentang kehidupan dewa-dewi yang abstrak, irasional dan penuh hayal, melainkan mitos dalam arti Barthesian, yakni sebuah tipe wacana atau tuturan. Bagi Barthes, Myth is a social usage of language… (Barthes: 1983). Dalam konsepsi Barthesian, wacana (discourse) adalah tipe penggunaan bahasa yang bisa mengambil bentuk lisan (parole) maupun tulisan (langue). Jadi, Alquran dalam bentuknya yang oral maupun tekstual (mushaf) sama-sama merupakan mitos.

Mitos adalah sebuah wacana khas yang hendak menyampaikan pesan secara tak langsung. Atau dalam bahasa semiotisnya, menyampaikan makna konotatif sebuah tanda melalui unsur denotatifnya. Apa yang diacu atau signifikan dalam mitos adalah segi konotatifnya. Sedang unsur denotatifnya hanyalah tanda perantara sekunder yang berfungsi sebagai jembatan untuk mengantar kepada makna konotatif.  Sebagai mitos, literalisme Alquran (baik dalam bentuk parole atau langue) yang biasa dibaca, dilantunkan dan dijadikan dalil oleh umat Islam pada umumnya, tidak lebih merupakan ”pembungkus” semata dari pesan Tuhan yang sesungguhnya. Dus, pesan universal Alquran tidaklah terletak pada makna literalnya, tapi makna yang bersemayam di balik yang literal itu.

Dalam konteks Alquran sebagai mitos, saya berpendapat bahwa makna denotatif Alquran (baca: ayat muamalah) adalah bersifat lokal-temporal yang cuma diperuntukkan bagi masyarakat di mana Alquran turun. Sedang unsur yang universal dan relevan untuk semua tempat dan jaman ada pada makna konotatifnya. Sebagai misal, perintah jilbab dalam Alquran sebagaimana diisyaratkan oleh makna denotatifnya, tidaklah berarti bahwa seluruh umat Islam wajib memakai jilbab, tapi makna konotatif dari perintah tersebut adalah: Pertama, pemakaian busana untuk menutup aurat ditentukan oleh standar ”kepantasan” budaya masing-masing layaknya jilbab yang menjadi standar kepantasan masyarakat Arab waktu itu. Ini makna konotatif yang mungkin kita temukan pada lapisan pertama. Kedua, keharusan umat Islam ”menghormati tradisinya” masing-masing sebagaimana masyarakat Arab memandang jilbab sebagai tradisi. Dan ini makna yang bersemayam pada lapisan berikutnya. Kedua makna konotatif inilah –untuk sementara waktu- yang merepresentasikan universalitas ayat jilbab. Tentu, masih diandaikan adanya tumpukan makna yang terendap dan harus terus digali dalam ayat jilbab ini.

Bila dicari padananya dalam khazanah keilmuan tafsir, konsep mitos a la Barthesian ini analog saja dengan konsep ta`wil yang modus operandi-nya menggali makna di balik yang tersurat (bathin). Namun ada benang merah yang tetap membedakan antara mitos dengan ta`wil: Pertama, ta`wil umumnya hanya beroperasi pada ayat-ayat yang teridentifikasi sebagai mutasyabihat. Sementara mitos beroperasi pada semua yang disebut ”tanda” (sign), termasuk kategori muhkamat atau mutasyabihat dalam Alquran. Kedua, dalam dunia penafsiran, ta`wil lebih akrab digunakan oleh kaum sufi. Memang, ta`wil di tangan kaum sufi diaplikasikan sepenuhnya pada ayat yang muhkamat maupun mutsyabihat. Hanya saja makna bathin yang diacu kerap kali berhenti pada lapisan pertama. Sedangkan mitos tidak berhenti pada makna di lapisan pertama, tapi mengungkap terus kemungkinan makna terdalam yang mengendap dalam lapisan geologis tanda; dalam hal ini ialah mengungkap makna yang paling dalam dari Alquran.

Semua ayat, baik yang bernuansa hukum, teologis, eskatologis, kosmologis maupun yang berkategori makiyah-madaniyah, muhkam-mutasyabih, muthlaq-muqayyad, nasikh-mansukh dan seterusnya masih diandaikan menyimpan setumpuk makna menurut konsepsi mitos. Di sinilah, saya kira, kelebihan dan efektivitas pendekatan teori mitos pada pembacaan Alquran. Dengan mitos, pintu pluralisme penafsiran akan terus terbuka lebar dan tidak terjadi lagi ”restriksi makna” dalam kalimatullah yang konon tidak akan pernah habis ditulis dengan tujuh lautan tinta sekalipun.[]

Rony Subayu, adalah Direktur The Qoweng Institute Jakarta

10/04/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

BAHASA YG DISAMPAIKAN OLEH MANUSIA TAK AKAN BISA MENANDINGI BAHASA “TUHAN”....????!!!

Posted by SYARIFUDDIN  on  11/20  at  08:12 PM

AL QURAN wujudnya “SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)” sebagai isi kitab suci nabi Muhammad saw. sesuai Al Waqi’ah (56) ayat 77,78,79 dan Al Baqarah (2) ayat 2, yang sama dengan syiar-syiar manasik haji sesuai Al Baqarah (2) ayat 125,158,189,197, Ali Imran (3) ayat 96,97, Al Maidah (5) ayat 97, Al Hajj (22) ayat 26,27 belum mucul kepermukaan dan wajib dijumpai oleh umat manusia pada penggenapan Allah menurunkan HARI TAKWIL KEBENARAN KITAB sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53 atau hari datangnya ROH KEBENARAN sesuai Yohenas 16:12,13,14,15, yang wajib ditunggu-tunggu dan tidak dilupakan.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millanniun ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  11/08  at  06:38 AM

Masih bisa diterima kalau interpretasi dari ulama, sekaliber apapun, dikritisi dan di re-interpretasi. Tapi sangat menyedihkan kalau kita masih mempertanyakan makna denotatif dari al-Qur’an.

Kalau bahkan perintah yang sudah jelas masih direlatifkan, dan ditempatkan pada ruang lokal-waktu, bagaimana kita bisa berpegang pada satu Kebenaran yang Hakiki. Mengurung al-Qur’an dalam lingkup lokal-temporal tidak lebih baik dari menempatkannya dalam satu sistem yang disepakati, bahkan lebih berbahaya karena mereduksi perannya sebagai tuntunan universal-abadi.  Demokratisasi al-Quran jangan menjurus pada reduksinya sebagai produk budaya lokal-temporal. Bila yang denotatif saja tidak sepakat, bagaimana juga dengan yang konotatif ? 

Bisa dibayangkan kalau setiap orang, atau masyarakat lokal-temporal, bisa menafsirkan Qur’an tanpa pegangan. Dimana aplikasi Islam tergantung dari akal pemikiran lokal. Mungkin suatu saat, bahkan halalnya zina dan korupsi pun ‘bisa diinterpretasikan’ dari Qur’an karena merupakan ‘budaya lokal’ yang ‘universal dan relevan’ dengan zaman itu.

Mudah-mudahan Allah mengampuni saya. Wallahu A’lam.
-----

Posted by ivan  on  04/26  at  06:04 AM

Salam,

Sebenarnya ide ini klasik! namun selalu ter-up date ulang oleh orang-orang yang masih dalam kategori “pecarian.” Intinya, memang takkan pernah basi. Terlebih jika kita mau merunut sejarah persilangan yang akut antara kaum “bhatiniah-exTrim” dengan para Fuqaha syariah yang sampai detik ini masih melihat urgensi pemahaman yang seimbang antar yang teks dengan yang konteks.

Lagi pula, lontaran ide penulis ini adalah termasuk pada streotype penukilan yang sempurna. Tak ada sesuatu yang “menyegarkan” di sini. Tapi tak apa, berkoar lebih baik daripada berdiam diri? Apresiasi saya, hanya diperuntukkan pada usahanya untuk terus “membaca.”

Pesan saya, jangan pernah berhenti untuk terus ber"rekreasi." Anyway, rekreasi intelektual itu memang mengasyikkan! Tapi Anda mesti hati-hati, khawatirnya “tersesat.” Sesat intelektual? Apakah mungkin dan meng"ada"? Untuk menjawabnya, anda harus terus membaca!

By the way, Alquran dibaca sebagai hanya the Mythe? “semata-mata, ini hanyalah mitos orang lama.” Saya pakai terjemahan bebas untuk salah satu potongan ayat di dalam al-Quran. Padanan kata the mythe dalam bahasa Al-Qur`an adalah “Asathir.” Bagaimanapun, jika Anda mengubah makna vertikal the mythe menjadi hanya sebatas versi barthesian yang masih “longgar” berarti anda sedang melahirkan sesuatu yang tak termaknai oleh nalar manusia secara aksiomatik. pada lontaran ini, saya bahkan berusaha untuk tetap bersikap kritis terhadap the mythe versi barthesian yang “kacau.” jika demikian, apakah lantas pembicaran anda dan saya mengenai aliran antropologikal sesuatu menjadi hanya sebuah mitos? Tentu saja, saya akan menyebut anda dengan “orang gila” jika beranggapan demikian. Maka hemat saya, apapun yang dibangun pada ranah the mythe, selalu takkan pernah melahirkan sepotong kebenaran yang bisa diyakini secara absolut-minimal.

Laen lagi dengan konsep makna konotatif yang di usung. Lagi-lagi saya merasa kebingungan jika harus menerapkan metode ini pada semua bangunan kata-kata yang kita anggap sebagaih sebuah mitos. Bagaimana saya menafsirkan ungkapan anda bahwa -misalnya- “semua agama itu adalah sama?” karena memakai logika sintetis, boleh jadi makna yang saya tangkap menjadi berantakan. dan tentunya takkan pernah sesuai dengan keyakinan anda sebagai seorang pencari “kebenaran-kebenaran.” Intinya, boleh saja saya memamahi ungakapan itu dengan mengatakan bahwa (jika saya diharuskan untuk memakai logika sintetik) “semua agama itu adalah [tak] sama.” a menjadi b dan b menjadi a. jadi, untuk kepentingan metode ini, bagaimana saya menafsirkan bahwa “Tuhan itu adalah Satu”? apakah masih terdapat sesuatu yang tak-terpikirkan pada ranah ini? jika ya, maka sejauh mana kemungkinan tafsiran yang akan dicapai? Lalu, jika problemnya terletak pada soal mu`amalah yang [mesti saja anak JIL selalu koar-koarkan] harus meng"konteks," maka pertanyaannya adalah apakah konteks itu selalu menuntut perubahan kultural&struktural yang eXtrim? by the way, saya sama sekali tak tertarik dengan standar kepantasan manusia yang subjektif. saya khawatir, saya akan menganggap bahwa menembak anda dengan sebuah pelatuk senapan M16 atas nama “kelayakan” yang dibangun pada subjektifast pribadi adalah juga sebuah “kepantasan” yang lazim terjadi di daerah barat sana. Intinya, memakai standar subjektifitas “kepantasan” manusia hanya akan memeberikan stigma-fitri yang gawat.

Jilba, apakah hanya sebuah budaya yang bernilai lokal-partikular dan karenanya harus dienyahkan? Dan apakah ia juga tak lagi memenuhi standar norma “kelayakan” yang Andapun ikut mengangkatnya? (jangan khawatir! anda bukan sendirian dalam Pengusungan ide ini) apa yang membatasai antara sesuatu yang budaya dengan sesuatu yang syariat Islam? Jika jawabannya adalah nilai, maka nilai yang mana yang akan disematkan kedalam ranah syari`at Islam? (Ini, jika Anda masih memperjuangkan Islam sebagai Agama-plus yang memiliki nilai dus syariat yang khas?) jika anda tak lagi memperjuangkan Islam sebagai Agama-plus yang mempunya nilai-nilai yang OK, berarti memang worldview JiL dengan kita sudah berbeda. ini penting saya kemukakan biar takkan ada lagi rasa kekecewaan yang pernah mengayuh pribadi ini untuk terus “mencari.”

Pertanyaan terakhir, apakah Anda akan menganggap layak (pada problem mu`amalah) jika suatu saat, Anda secara sadar mengawini ibu atau adik perempuan anda? suatu hal yang memang bagi saya atau anda, belum terpikirkan sama sekali [!] sepertinya lama-kelamaan, budaya ini juga akan didobrak juga. Anyway, pada saat itu, saya akan menjadi anda dan duniapun akan menertawakan kita. Oya, jika jawabannya “Takkan pernah terjadi,” maka saya katakan: “anda harus adil dalam memperlakukan semua hukum syari`ah Islam yang termaktub di dalam kitab kita, AlQuran.” jangan sampai, yu`minu bi ba`din wa yakfuru bi ba`din [!] sorry kalo tulisan latin Al-Quran saya, kurang tepat. jika masih belum terpikirkan, maka tolong anda mulai memikirkannya mulai detik ini. jika tak terpikirkan sama sekali, lebih baik kita terus belajar lagi untuk memahami kandungan Al-Qur`an yang takkan pernah basi dan menjadi hanya sebuah the mythe murahan yang tak memiliki spirit nilai.

Aku Hanyalah seorang kacangan Yang Berusaha untuk tau Apa-apa

*Ketua kelompok Kajian Keislaman - ITB

SALAM.

Posted by aby mikasyah  on  04/21  at  12:04 PM

Saya tidak sepakat penggunaan kata2 secara denotatif dan konotatif. Anda mengatakan ketika Al-quran diturunkan di Mekkah dan Madinah maka fungsinya secara denotatif hanya diperuntukkan kepada masyarakat Jazirah Arab saja. Kalau fungsi Al-quran hanya sebagai aturan hidup masyarakat di sana (secara denotatif), maka kita dapat menyamakannya dengan kitab2 terdahulu yang hanya diturunkan untuk satu kaum saja. Jadi tidak ada kelebihan Al-quran dari kitab2 sebelumnya, dan tidak ada pula “Al-quran diturunkan sebagai rahmatan lil’alamin”. Bagaimana? Mengenai pembahasan jilbab, saya juga tidak sepakat ketika jilbab dikatakan hanya sebagai tradisi, pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan tsb hanya diperuntukkan bagi wanita2 Arab dengan alasan keadaan iklim yang menyebabkan mereka harus seperti itu.

Posted by puspita  on  04/21  at  04:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq