Membedah Wacana Islam Liberal: Antara Fundamentalisme dan Rasionalisme
Oleh Redaksi
Membedah Wacana Islam Liberal: Antara Fundamentalisme dan Rasionalisme
Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, 10 September 2002
Penyelenggara:
Suara Mahasiswa UI
Sessi I
Ulil Abshar-Abdalla (Kordinator JIL), Fauzan Al-Anshari (Majelis Mujahidin Indonesia), Ade Armando (Marka).
Sessi II
Habib Husein al-Habsyi (Presiden Ikhwanul Muslimin), Adian Husaini (Sekjen KISDI), Philip Jusario Vermonte (peneliti hubungan internasional CSIS).
Laporan Pandangan Mata
Selasa pagi, pukul 07.30 WIB, 10 September 2002, dua orang panitia yang akan melakukan cek terakhir persiapan acara di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (UI) Depok tampak termangu tak percaya. Ratusan pamflet dalam ukuran jumbo yang menyiarkan undangan acara seminar sehari tentang “Membedah Wacana Islam Liberal: Antara Fundamentalisme dan Rasionalisme” lenyap tanpa bekas. Padahal hingga sehari sebelum acara dimulai, pamflet-pamflet tersebut masih menempel di papan-papan pengumuman dan tempat-tempat strategis yang biasa ditongkrongi mahasiswa.
Hansvitra, salah satu panitia acara dari majalah Suara Mahasiswa UI, sebelumnya telah menduga bahwa acara yang diselenggarakan panitia pasti akan memperoleh respon beragam, dari yang sangat postif sampai pada titik yang berseberangan. Ia membayangkan seminar itu akan didatangi banyak mahasiswa yang punya pretensi negatif terhadap Jaringan Islam Liberal (JIL). Tapi, Hansvitra tak pernah terpikir justru pamflet-pamflet yang tak berdosa yang menjadi sasarannya.
Meskipun demikian, acara yang telah dipersiapkan sejak lama tetap berjalan sesuai rencana. Pada session pertama yang dimulai jam 09.00, ruangan PSJ UI telah penuh dengan para peserta, baik dari kalangan mahasiswa S1 maupun pascasarjana, dosen, penggiat lembaga-lembaga UI dan lain-lain. Bagi peserta yang agak terlambat, terpaksa berdiri karena kapasitas ruangan tak mampu memuat lebih dari 250-orang. Acara dibuka oleh Indra J. Piliang, staf peneliti CSIS Jakarta yang juga mantan aktivis HMI cabang Depok itu. Dengan gayanya yang agak kocak, Indra mengatur jalannya lalu-lintas diskusi secara serius, tapi tetap santai.
Ulil Abshar-Abdalla memulai presentasinya dengan memaparkan urgensi pokok-pokok Islam liberal dalam konteks kekinian. Ia memaparkan pentingnya ijtihad berpikir dan berpendapat untuk terus dibuka. Secara argumentatif, Ulil menjelaskan bahwa wahyu verbal yang diturunkan Allah Swt dalam bentuk Al-Qur’an telah selesai pada masa Nabi Saw. Oleh karena itu, kata Ulil, ada kewajiban bagi kita untuk terus menghidupkan wahyu verbal tersebut dengan jalan mengaktifkan wahyu akal yang diturunkan Allah kepada setiap manusia.
Kebetulan Indra mendesain acara seminar dengan bentuk talkshow. Akibatnya acara tidak berlangsung dalam bentuk komunikasi satu arah, tapi berjalan komunikatif dan saling memberi umpan balik. Ketika Ulil membincangkan tentang perlunya umat Islam memakai akal pemberian Tuhan, sontak para peserta menanggapi. Ada mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menyatakan bahwa pemahaman akal sangat terbatas, apalagi bila dipakai untuk memikirkan hal-hal yang telah diatur agama. Ulil menjawab bahwa akal memang ada perbatasannya, tapi jangan lantas akal dibatasi. “Yang kita tolak adalah pembatasan akal, bukan perbatasan akal.” Dalam bahasa Inggris, ada istilah frontier dan barrier. Barrier menunjuk pada pagar batas yang jelas sementara frontier menunjuk pada “batas” yang tak jelas. Sambil memberi analogi, Ulil mencontohkan keterbatasan akal sebagai frontier yang mirip cakrawala; siapapun tak bakal tahu sejauhmana cakrawala itu berujung.
Sementara pembicara kedua adalah Ade Armando, dosen komunikasi Fisip UI yang mengklaim dirinya sebagai “sayap revivalis” dalam JIL. Ade menegaskan pentingnya proses dialogis antara JIL dengan kelompok-kelompok Islam lainnya. Ia menyayangkan munculnya kecenderungan untuk menolak apapun yang diproduksi oleh aktivis-aktivis JIL. “Mereka selalu melihat hasil akhirnya, tak pernah melihat bagaimana proses argumentasi itu dibangun, “kata Ade. Sebaliknya, ia juga mengritik adanya kecenderungan pada sebagian aktivis JIL yang melihat kalangan fundamentalisme Islam sebagai musuh.
Seminar makin menghangat setelah Fauzan al-Anshari, Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), buka suara. Ia tak banyak menjawab tantangan diskursif yang diajukan Ulil. Fauzan lebih banyak menyorot konspirasi Amerika dan Israel di balik kampanye gencar JIL. Pelbagai argumen rasional dan naqliyyah, baik yang berdasar pada kajian kontemporer maupun khazanah klasik, yang disampaikan Ulil luput dari tanggapannya. “Bagi saya, “kata Fauzan,” musuh Islam yang nomor satu Amerika. JIL itu musuh Islam nomor seratus.” Sontak hadirin tertawa. “Kalau Asia Foundation dihancurkan, JIL pasti ikutan hancur.” Geer! Untunglah Ulil tak terprovokasi Fauzan.
Setelah istirahat dan sholat dhuhur, session kedua dimulai dengan menampilkan pembicara Habib Husein al-Habsyi (Presiden Ikhwanul Muslimin), Adian Husaini (Sekjen KISDI) dan Philip Jusario Vermonte (peneliti hubungan internasional CSIS). Pembicaraan pada sesi ini lebih difokuskan pada masalah terorisme global. Sebagaimana diketahui, acara ini bertepatan dengan satu tahun tragedi 11 September yang merubuhkan World Trade Center (WTC). Habib Husein menyebut Amerika Serikat lebih teroris ketimbang Osama bin Laden ketika mendukung Israel dalam menindas rakyat Palestina. Ia juga sempat mengritik JIL sebagai bentuk rasa minder dan rendah diri umat Islam terhadap Barat. Adian juga mengritik state terorism Amerika yang hingga kini belum menyerahkan bukti kuat bahwa Osama dan Jaringan al-Qaeda-lah yang mengebom WTC [Burhan]
Komentar
Aslm......... kang ulil dan temen2 JIL, saya sekedar memberi tanggapan yang semoga bisa ditanggapi kembali oleh teman2 JIL, saya menghargai kebebasan berfikir dan memberdayakan akal yang diusung oleh JIL, dan semoga orang --orang yang memeragi JIL dibukakan pikiran mereka seluas-luasnya..
Pertama akal bagi saya yang awam ini (umur saya 18 tahun) adalah wahyu paling orisinil dan al-furqon terbaik yang diberikan allah jadi bila kita menutup akal kita dengan dogma2 yang dibangun pada masa khalifah( terutama dinasti umayah) itulah kekufuran terbesar dan kekafiran di hadapan Hyang Widhi. Karena agama adalah untuk orang berakal dan mau memberdayakan akalnya!! melalui akal kita dapat mendekat dengan Hyang manon yang maha perkasa tetapi realitas yang berkembang sekarang ini ulama2 bagaikan penipu yang menyebarkan cerita2 surga dan neraka demi mendapat pengikut, memfitnah orang-orang diluar mereka dengan sebutan “sesat dan menyesatkan”, padahal kalau mereka ditanya hal yang sepele jangnkan surga dan nerak, coba tanyakan kepada mereka “apa rahasia kita ingin menetek (maaf) sewaktu kita baru lahir??” mereka akan bingung menjawabnya.
Yang saya kecewakan banyak pemuda2 yang lebih mementingkan umsur jasmani mereka dengan memperpanjang jenggot, memakai celana menggantung, hingga memakai cadar, tanpa meninjau latar belakang secara sosio historis bagaimana perintah tersebut turun, tentunya itu karena akal mereka sudah ditutup oleh mereka sendiri, dengan semboyan “gila surga dan MAbuk Allah”
Jadi kemana kita menyembah selama shalat?? Itu dia yang kontradiktif kita ditipu mentah-mentah oleh akal budi(walaupun sebenarnya akal dan budi berbeda) kita dengan seolah-olah kita menyembah Allah, padahal tanpa kita sadari yang kita agung2kan adalah akal budi kita jadi khusyuk dalam shalat adalah sedikit banyak omong kosong!!! jadi buata apa anda tunggang-tungging tidak karuan??? tanya pada akal anda. =>. Shalat menurut pemahaman saya adalah latihan untuk bisa memberdayakan akal dan panca indra kita menuju apa yang namanya shiroto mustaqim!! JAdi bukan penyembahan yang selama ini diceritakan oleh ustadz-ustadz.
saya tidak memungkiri bahwa akal memiliki keterbatasan, tapi saya menolak keras pembatasan akal, sekali lagi saya sepaham dengan Teman2 JIL. Karena itu untuk mendekat kepada Allah melalui shirotol mustaqim yang kita lakukan adalah memposisikan akal pada tempat yang semestinya
Jadi Tuhan sebagian dapat kita tangkap dengan akal, satu lagi hanya dapat kita tangkap denagn pendalaman secara spiritual, dalam jawa mistik, sperti yang diusung Syekh Siti Jenar.
Sekali lagi jangan malu dan jangan takut dengan dogma “sesat” untuk memberdayakan akal anda, jangan terbawa oleh akal-akaln kiai-kiai amplop yang menipu pengikutnya dengan surga dan neraka yang mereka sendiri tidak tahu.
Selamat memberdayakn akal, dan selamat mengenal diri Anda..
Untuk temen temen JIL mohon di tanggapi sekali2 saya ingin berkunjung ke markas teman2. Salam buat Bapak Muhammad Sobary Bapak Prof. Abdul Munir mulkhan Bapak Ulil Abshar Abdalla Bapak Acmad chodjim.dan para pemikir di JIl
Waslm........
-----
Nggak salah juga kalo untuk syiar keluar tapi kalo untuk kalangan internal you going to kafir remember that!
Kalo senang main logika oke, sekarang coba logikakan di mana batas dunia materi ini?? Di mana batas dunia nyata ini. Artinya setiap materi punya ruang dan batas, jadi logikanya kalo kita nggak dapat menemukan batas alam nyata ini, berarti dunia ini nggak menempati ruang dan batas dan berarti dunia nyata ini tidak ada, ya nggak ha..ha..ha.. ya nggak berarti kita semua dan dunia ini nggak ada. Kalo mau pake logikanya.
Saya kutip kembali wacana yang dimajukan dalam situs ini: ...Ketika Ulil membincangkan tentang perlunya umat Islam memakai akal pemberian Tuhan, sontak para peserta menanggapi. Ada mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menyatakan bahwa pemahaman akal sangat terbatas, apalagi bila dipakai untuk memikirkan hal-hal yang telah diatur agama. Ulil menjawab bahwa akal memang ada perbatasannya, tapi jangan lantas akal dibatasi. “Yang kita tolak adalah pembatasan akal, bukan perbatasan akal.”
Meskipun saya hanya mengutip sepotong, mudah-mudahan saya tidak terjebak terlalu ke dalam pandangan parsial tatkala menanggapi pandangan ulil berikut. Anggap saja, kutipan tadi semata-mata trigger. Saya pun akan berusaha merumuskan pandangan yang lebih proaktif instead of reactive stance.
“Yang kita tolak adalah pembatasan akal, bukan perbatasan akal.” Saya sangat sepakat dengan proposisi Ulil ini. Terus terang saya pun telah menulis bertahun-tahun (1994-2003) untuk menyelesaikan konsep semacam itu. (Sekarang masih dalam perbaikan. Saya berdoa buku tebal itu suatu saat dapat diterbitkan, dan saya dapat berdialog langsung dengan Kang Ulil). Pada umumnya, setelah kita memikirkan dunia luar, barulah kita memikirkan pemikiran kita sendiri. Kita sebut saja, yang pertama sebagai “kesadaran luar”, sedang yang kedua “kesadaran dalam” atau “kesadaran diri” (self-awareness). Ilmu tentang bagaimana manusia berpikir yang dikenal luas biasanya disebut ilmu logika atau ‘ilm al-manthiq (tentunya terdapat perbedaan konseptual di dalam dua buah istilah ini).
Secara logika, kita selalu membangun konsep baru di atas konsep yang dianggap lebih kokoh. Kita selalu berangkat dari hal-hal yang lebih sederhana atau lebih dekat dengan jangkauan pikiran kita. Itulah yang biasanya disebut aksioma atau self-evident truth.
Dulu, bidang hampir selalu diasumsikan berbentuk datar. Karena tidak sadar dengan asumsi yang kita berikan, maka asumsi itu pun dianggap sebagai “kebenaran yang terbukti dengan sendirinya” (aksioma). Inilah yang kemudian dikenal dengan geometri Euclidan. Dari “aksioma” (?) itulah kemuadian dibuat definisi yang lebih minor atau konsep derivatif: (1) Jumlah sudut dalam setiap segitiga selalu sama dengan 180. (2) Jarak terdekat antara dua titik selalu berupa garis lurus. dll. Konsep-konsep lain dikembangkan untuk memecahkan persoalan dunia riil yang lebih kompleks, atau mengikuti kompleksitas pada tataran aplikasi, (tentunya selain sebagai intellectual exercise), namun perlu dicatat didasarkan pada aksioma tersebut.
Saat ini, kita mulai sadar bahwa bidang tidak selalu berbentuk datar. Bidang dapat pula berupa bidang lengkung. Inilah yang biasanya disebut geometri non-Euclidan, yang antara lain berguna dalam perumusan teori relativitas umum (Einstein). Namun, asumsi ini tidak pernah berubah: penalaran yang jernih harus dimulai dari hal yang paling sederhana atau telah diterima lebih dulu ke konsep-konsep yang lebih kompleks atau lebih aplikatif.
Kerancuan logika Kang Ulil, tolong segera diinterupsi apabila Anda melihat bahwa logika saya yang rancu, terletak pada bagaimana Kang Ulil meletakkan proposisi: mana proposisi major, mana proposisi minor; mana aksioma, mana corollary.
Sebagai contoh, apabila kita menempatkan F=m.a (dan hukum-hukum Newton pada umumnya) sebagai pegangan atau proposisi major, tentunya ketika kita menghadapi persoalan mekanika, yang terpikir kali pertama adalah bagaimana “menafsirkan” hukum Newton pada konteks itu. Bila jawaban yang kita berikan tidak sesuai dengan Newton, sangat bodoh apabila lalu kita meragukan kesahihan Newton dan lalu mengubah hukum Newton tanpa dasar.
Jika kita yakin kalimat yang tertulis dalam al-Qur’an merupakan kebenaran puncak, “la rayba fih”, atau definisi aksiomatik, maka kita tidak dapat (sehingga tidak perlu) membuktikannya. Yang dapat kita lakukan sehingga harus kita lakukan adalah bagaimana membuat aksioma tersebut lebih bermakna. Yang lebih patut kita curigai adalah keabsahan asumsi dari konsep dan struktur sosial yang ada dan terus mencari yang terbaik, bukannya dengan mengubah makna literal al-Qur’an. There is no the best way, but there are always many better ways. Al-mukhafazhatu bil qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al ashlah
Komentar Masuk (4)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)