Asyiknya Belajar Islam di Barat.. - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
08/03/2004

Luthfi Assyaukanie MA: Asyiknya Belajar Islam di Barat..

Oleh Redaksi

Dengan berbagai sarana dan fasilitas yang mencukupi, studi Islam di Barat jelas menggiurkan dan menjadi pilihan yang masuk akal bagi para generasi Islam dari kalangan akademis, termasuk dari Indonesia. Itu yang dirasakan Luthfi Assyaukanie MA, pengajar filsafat di Universitas Paramadina Mulya Jakarta, ketika belajar di sana. Berikut secuil kisahnya.

Maraknya studi Islam yang diselenggarakan oleh dunia Barat, pada satu sisi merupakan bagian dari pragmatisme dunia akademis Barat sendiri. Kebutuhan objektifnya adalah untuk mengenal dunia Islam secara lebih dekat. Karena itu, pelbagai perguruan tinggi dunia Barat membuka bidang studi Islam yang biasanya termasuk dalam lingkup area studies (studi kawasan). Berbagai sarana dan fasilitas yang mencukupi, studi Islam di Barat jelas menggiurkan dan menjadi pilihan yang masuk akal bagi para generasi Islam dari kalangan akademis, termasuk dari Indonesia. Banyak nama yang bisa kita munculkan di sini misalnya Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Syafii Maarif, Dr. Amien Rais, Dr. Dien Syamsuddin dan banyak lagi. Kekhawatiran studi Islam di Barat akan menggerogoti nilai-nilai Islam, pada akhirnya terbantahkan oleh kenyataan-kenyataan objektif itu.

Hal tersebut juga dialami oleh Luthfi Assyaukanie MA, pengajar filsafat di Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Untuk berbagi pengalamannya, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai kandidat doktor di Melbourne University, Australia, yang saat ini sedang jeda kuliah di Jakarta, sembari melakukan riset untuk melengkapi disertasi doktornya tentang pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, Kamis (4/3/ 2004). Berikut petikannya:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bung Luthfi, Anda pernah kuliah di Timur Tengah. Bisa Anda ceritakan iklim intelektual di sana?

LUTHFI ASSYAUKANIE: Saya belajar di Timur Tengah, tepatnya di Yordania pada akhir tahun 80-an. Tepatnya, dari tahun 1987-1988, saya mulai kuliah mengambil jurusan agama, bukan filsafat. Tepatnya saya kuliah di jurusan Syari’ah, walau kemudian saya mengikuti manner, far’iy atau cabangnya. Saya mengambil filsafat di Fakultas Sastra.

Saya kira, pilihan kuliah ke Yordania ketika itu, selain karena faktor kebetulan, juga karena lingkungan politik dan keagamaan di Yordania saat itu termasuk cukup liberal dibandingkan Negara-negara Teluk, atau bahkan pada tingkat tertentu, Mesir sendiri. Di Mesir pada saat itu, kelompok Ikhwanul Muslimin --misalnya-- dilarang pemerintah untuk melakukan aktivitas politik. Sementara di Yordania, Ikhwanul Muslimin diberi kebebasan yang cukup, dan sempat memenangkan pemilu yang diadakan pertama kali, tahun 1989. Makanya, secara umum saya kira politik keagamaan di Yordania saat itu bisa dikatakan lebih bebas dari negara-negara tetangganya.

ULIL: Bagaimana perkembangan studi filsafat di dunia Islam, dalam pandangan Anda, sekurang-kurangnya dilihat dari jurusan Anda di Timur-Tengah?

LUTHFI: Sebagaimana dikatakan banyak orang, di dunia Sunni, filsafat atau dunia pemikiran secara umum, memang mengalami kemunduran atau kemandegan luar biasa. Orang selalu membandingkan antara dunia Sunni dan dunia Syi’ah dalam perbincangan soal ini. Di dalam tradisi pemikiran Sunni, puncak pemikiran filsafat berhenti pada sosok Ibnu Rusyd. Tapi dalam dunia Syi’ah masih terus berlanjut. Meski demikian, saya juga mengritik dunia pemikiran Syi’ah, karena cenderung pada pemikiran yang bersifat eksoteris. Maksudnya, pemikiran-pemikiran yang bersifat enlightment atau mencerahkan termasuk hilang juga.

ULIL: Sekarang Anda belajar Islam di Australia. Bisakah Anda membandingkan antara lingkungan intelektual di Yordania dengan Australia?

LUTHFI: Secara umum, kehidupan intelektual antara keduanya tidak terlalu banyak berbeda. Mungkin yang berbeda justru pada fasilitas, seperti perpustakaan dan exposure dari orang-orang di dalam dunia akademik. Maksud saya, di lingkungan akademis yang standar di Dunia Barat, saya kira ada iklim yang cukup bebas, dan hampir tidak ada tekanan dalam aktivitas pemikiran karena ideologi atau keyakinan tertentu.

ULIL: Sebagai seorang muslim, dimana kemusliman Anda lebih bisa terekspresikan secara leluasa, di Australia atau di Yordania?

LUTHFI: Itu perbandingan dari ruang dan nuansa yang betul-betul berbeda; yang satu negara yang mayoritas berpenduduk muslim, yang lain mayoritas nonmuslim. Dibilang perbandingan antara negara sekuler dengan negara bukan sekular juga tidak bisa, karena Yordania dalam tingkat tertentu sebetulnya bisa disebut negara sekular, dalam pengertian bahwa agama bukan perkara publik yang terlalu dipentingkan untuk diurus negara. Dalam konteks ini, saya kira, Yordania bukan negara agama, tapi memang penduduknya kebanyakan muslim.

ULIL: Menurut Anda, dari sudut penilaian Islam, apakah Australia bisa dikatakan sebagai negeri yang memenuhi harapan Islam?

LUTHFI: Saya jadi teringat kata-kata Muhammad Abduh, seorang tokoh reformis Mesir yang kemudian pernah berkeliling Eropa. Sebuah statemen yang sangat terkenal darinya adalah ungkapan bahwa dia melihat Islam di Eropa, Inggris dan Perancis khususnya, tapi tidak melihat kaum muslim di sana. Sebaliknya, dia melihat kaum muslim di Mesir (negerinya) tapi tidak melihat Islam di sana.

ULIL: Hal serupa Anda saksikan di Australia?

LUTHFI: Ya, pengalaman serupa saya temukan. Artinya, begitu banyak ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang selama ini saya dapatkan dalam Islam, justru saya temukan aplikasinya di Australia. Misalnya dalam hal kebersihan, ketertiban, keamanan, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut kan semuanya merupakan ajaran yang sejak kecil selalu dicekoki kepada kita. Tapi sayangnya, justru itu tidak kita temukan di banyak negara yang mengklaim sebagai negara muslim mayoritas.

ULIL: Bung Luthfi, orang selalu mencibir bahkan sinis kalau kita belajar Islam di negeri non-Islam. Nah, apa sih alasan Anda belajar Islam di sana?

LUTHFI: Saya kira yang paling utama, yang orang jarang sadari adalah kenyataan bahwa di negara-negara Barat, termasuk Australia, fasilitas pendidikannya luar biasa, sehingga buku-buku keislaman yang kita perolah mungkin jauh lebih banyak ketimbang yang kita temukan di Mekkah dan Madinah sekalipun. Di sana, buku-buku berbahasa Arab luar biasa banyaknya. Koleksi buku-buku klasik Islam cukup banyak. Koleksi buku-buku hadis, misalnya, dari Bukhari-Muslim, Kutubus Sittah, Mustadrak, dan lain-lain, semua bisa didapat dengan mudah, dan dengan fasilitas yang luar biasa memudahkan.

ULIL: Dan banyak juga orang bertanya: kenapa sih orang Barat menyelenggarakan studi Islam di pelbagai perguruan tinggi mereka?

LUTHFI: Saya kira itu bagian dari pragmatisme mereka, yakni tuntutan pasar secara umum. Pada tahun 80-an, di Amerika banyak sekali muncul studi tentang Midlle Eastern (Timur Tengah) atau Near Eastern Studies (Studi Timur Dekat), yang sebetulnya merupakan upaya untuk studi dunia Arab secara keseluruhan. Studi tentang Islam masuk ke dalam departemen ini. Dan mereka mendirikan departemen semacam ini karena ada tuntutan yang mendesak pada saat itu, misalnya karena pesatnya industri, dan booming minyak di Tanah Arab. Oleh kenyataan itu, tentu mereka harus punya penguasaan terhadap kondisi sosial-politik-budaya wilayah tersebut. Dan munculnya departemen ini sama seperti munculnya departemen lain di dalam area studies.

ULIL: Banyak orang mengatakan, semua itu dilakukan Barat untuk menghancurkan Islam sendiri. Menurut Anda, apakah lingkungan akademis di negeri Barat memang memusuhi Islam atau bagaimana?

LUTHFI: Saya kira orang-orang Barat itu pragmatis saja. Dan dunia akademis Barat, secara umum adalah dunia pragmatis. Artinya, mereka membuka bidang studi Islam yang biasa disebut area studies, oleh kebutuhan yang objektif secara akademis. Makanya, kalau kita menemukan teori baru dalam studi Islam, mereka tidak akan pernah campur tangan, sepanjang argumen kita kuat.

Saya kira, di dunia Islam, penemuan-penemuan akademis seperti itu, justru terkadang bermasalah. Misalnya kalau saya bandingkan dengan di Yordania sendiri. Yordania itu kan negara yang relatif lebih bebas dibandingkan Arab Saudi, misalnya. Tapi jika kita mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan mainstream keyakinan di sana, tetap saja ada tekanan dan tidak akan dibolehkan. Ketika masih di Yordania, saya punya teman yang sangat concern akan pemikiran Hizbut Tahrir yang radikal. Tapi kemudian yang menekan dia bukan datang dari kelompok sekular di sana, tapi justru kelompok Islam yang tidak suka akan Hizbut Tahrir. Nah logikanya, kalau pemikiran Islam saja tidak disukai, apalagi pemikiran yang lain.

ULIL: Jadi, motif studi Islam di Barat itu, sebetulnya akademis, politis, atau apa?

LUTHFI: Sejauh yang saya amati, tidak ada apa yang perlu dikhawatirkan kaum muslim selama ini. Misalnya kekhawatiran itu dilakukan sebagai bentuk konspirasi Barat terhadap Islam.

ULIL: Tapi sejumlah sarjana Barat yang sinis terhadap Islam itu kan betul-betul fakta!

LUTHFI: Ya, sama saja dengan fakta sarjana Islam yang sinis terhadap Barat. Dan itu banyak sekali, melebihi banyaknya sarjana Barat yang sinis terhadap Islam. Kalau berbicara pada tataran individu, tentu fenomena itu bisa dikatakan fenomena yang alamiah belaka. Tapi kalau kita berbicara pada tataran umum dan pada level institusi, hal itu sesungguhnya tidak ada. Saya tidak percaya akan hal itu.

ULIL: Sebagai mahasiswa muslim yang belajar Islam di Australia, apakah Anda tidak merasa tertekan?

LUTHFI: Jelas tidak. Sekarang saja yang memegang Departemen Islamic Studies di sana (Melbourne University) adalah seorang muslim. Lulusan Madinah, bahkan. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari studi Islam di Barat. Buat mereka, kalau seseorang itu qualified dan bisa memenuhi syarat-syarat akademis, mereka akan dengan mudah meraih posisi strategis.

ULIL: Terakhir, apa saran Anda untuk para pelajar Islam di Tanah Air, berkaitan dengan dunia Barat?

LUTHFI: Saya ingin menegaskan, banyak sekali yang bisa dipelajari dari dunia Barat. Dan interaksi kita di Dunia Islam dengan Dunia Barat bukanlah hal yang baru. Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, banyak sekali intelektual muslim yang berkaca kepada Barat. Mereka mengambil sisi baik Barat, kemudian melakukan reproduksi intelektual yang luar biasa menakjubkan. Mereka menulis buku, bahkan menciptakan teknologi, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya. Itu sebagiannya mereka ambil dari Barat. Nah kalau kita punya pengalaman yang baik dengan Barat, kenapa kita tidak tiru itu lagi? []

08/03/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (12)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

1. Asiknya Belajar Islam di Indonesia dengan Allah menggenapi menurunkan Hari Takwil Kebenaran Kitab yang wajib ditunggu-tunggu dan tidak dilupakan sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53.

2. Asiknya Belajar Islam di Indonesia dengan Allah menjadikan Al Quran dalam bahasa asing ‘Indonesia’ selain dalam bahasa Arab dan diprotes oleh orang Arab sesuai Al Fushshilat (41) ayat 44.

3. Asyiknya Belajar Islam di Indonesia dengan Allah menyempurnakan pewahyuan Al Quran berkat do’a ilmu pengetahuan agama oleh bangsa Indonesia.

4. Asiknya Belajar Islam di Indonesia dengan Allah membangkitkan semuanya dengan ilmu pengetahuan agama di Indonesia sesuai Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22.

5. Untuk penjelasannya bacalah buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:

“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Berisi XX+527 halaman disertai 4 macam gambar skema acuan lampiran terpisah berukuran 63x60 cm.:
“SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agama-agama selama 25 tahun oleh:
“SOEGANA GANDAKOESOEMA”
dengan penerbit:
“GOD-A CENTRE”
dan mendapat sambutan hangat tertulis dari:
“DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” SekDitJen Bimas Buddha, umat Kristiani dan tokoh Islam Pakistan.

Buku “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Penerbit: GOD-A CENTRE

I. Telah diserahkan pada hari Senin tanggal 24 September 2007 kepada Prof. DR. ibu Siti Musdah Mulia, MA., Islam, Ahli Peneliti Utama (APU) Balitbang Diklat Departemen Agama Republik Indonesia, untuk diteliti sampai menyimpulkan menerima atau menolak dengan hujjah, sebagaimana hujjah yang terkandung didalam buku itu sendiri.

II. Telah dibedah oleh:

A. DR. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Islam, Presiden Republik Indonesia tahun 1999-2001.

B. Prof DR. Budya Pradiptanagoro, Penghayat Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dosen FIPB Universitas Indonesia.

C. Prof. DR. Usman Arif, Konghucu, dosen Ilmu Filsafat Universitas Gajah Mada.

D. Prof. DR. Robert Paul Walean Sr., Pendeta Nasrani, sebagai Moderator, peneliti Al Quran, sebagaimana Soegana Gandakoesoema meneliti Al Kitab perjanjian lama dan perjanjian baru, setingkat dan sejajar dengan Waraqah bin Naufal, bin Assab bin Abdul Uzza 94 tahun, anak paman Siti Khadijah 40 tahun, isteri Muhammad 25 tahun sebelum menerima wahyu 15 tahun kemudian pada usia 40 tahun melalui Jibril (IQ), sedang Musa penerima wahyu langsung Allah sesuai Al A’raaf (7) atyat 144,145.
Pertanyaanya yang sulit untuk dijawab akan tetapi sangat logis dan wajar untuk dipertanyakan adalah Siti Khadijah dan Muhammad sebelum menerima wahyu adalah seorang yang baik, patonah, sidik, amin dll. melaksanakan pernikahan dengan cara ritual agama apa dan mereka beragama apa masing-masing.
Sedangkan agama yang terkini zaman itu adalah Nasrani.

E. Disaksikan oleh 500 perserta seminar dan bedah buku dengan diakhiri oleh dialog tanya-jawab. Apabila waktu tidak dibatasi akan mengulur panjang sekali disebabkan banyaknya gairah pertanyaan yang diajukan oleh para hadirin dari berbagai penganut agama kepercayaan/keyakinan.

F. Pada hari Kamis tanggal 29 Mei 2008, jam 09.00-14.30, tempat Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, jl. Salemba Raya 28A, Jakarta 10002, dalam rangka peringatan 100 tahun (1908-2008) kebangkitan nasional “dan kebangkitan agama-agama (1301-1401 hijrah) (1901-2001 masehi)” diacara Seminar & Bedah Buku hari tanggal: Selasa 27 Mei - Kamis 29 Mei 2008, dengan tema merunut benang merah sejarah bangsa untuk menemukan kembali jati diri roh Bhinneka Tunggal Ika Pancasila Indonesia.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Buku Panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:

“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Penerbit: GOD-A CENTRE

Tersedia ditoko buku K A L A M
Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarta 13120
Telp. 62-21-8573388.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  09/02  at  08:10 PM

Aku nggak mau banyak nulis tapi yang pasti orang islam sok, selalu merasa paling baik; khorul ummah nggak bangak yang menghargai buku, lebih suka berperang mulut dari pada adu pemikiran; kata max webwer islam adalah agama para ksatria;dilain pihak indonesia yang katanya muslim terbesar malah jadi negara terkorup"agama menjadi candu” bangga dengan yang tak bisa dibanggakan
-----

Posted by wahyu agung  on  07/22  at  11:07 PM

Membaca dialog ini, saya jadi teringat dua guru Bahasa saya.  Satunya lulusan S3 dari Perancis jadi beliau ngajar Bahasa Perancis dan satunya lagi lulusan S2 dari Jepang jadi beliau ini ngajar Bahasa Jepang.  Selain belajar Bahasa, saya juga belajar banyak tentang budaya mereka dan sikap terbuka mereka terhadap budaya dan pemikiran yang berbeda dari mereka.

Dari Guru Bahasa Perancis, saya belajar tentang orang Perancis yang mau menghormati umat agama lain dengan sepenuh hati dan ikhlas.  Nggak kayak di Indonesia, katanya saling menghormati tapi dari kecil di doktrin suruh memerangi mereka yang berbeda...^_^ bener gak sih?  Kata Guru saya, disana beliau mendapatkan banyak buku-buku dan literatur tentang Islam yang gak bisa didapatkan di Indonesia, malah seringkali lebih detail dan komplit.

Sedangkan dari Guru Bahasa Jepang, saya belejar bahwa orang Jepang kehidupannya lebih “Islami” daripada kita.  Dari soal disiplin, kebersihan dan lainnya yang meurut saya malah lebih mempraktekan ajaran-ajaran Islam dari seorang muslim.

Saya setuju dengan Bapak Luthfie, bahwa belajar Islam tidak harus ke Timur Tengah, tapi belajar di manapun selama itu memang bagus kenapa nggak.  Dan biasanya mereka menghormati kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat seseorang, tidak seperti di negara Timur Tengah. 

Jangan pernah berburuk sangka, karena toh dalam Islam kita diajarkan untuk tidak berburuk sangka dengan orang lain.  Dan jangan lupa nggak semua dari barat tuh jelek dan gak semua dari Timur itu bagus, sama juga gak semua Muslim tuh baik dan gak selamanya non muslim itu jahat.

Posted by Noni B. Nandini  on  04/02  at  03:04 PM

Menanggapi mengenai pengalaman mas lutfi tentang ilmu yang didapat dari barat bagi saya itu hal biasa saja.

Kalau kita membuka buku sejarah, para pejuang kemerdekaan Indonesia seperti muhammad hatta, sukarno, muh. roem, mereka semua sudah kenyang untuk keilmuan berasal dari barat, tapi merekapun ahli juga mengenai keilmuan islam. 

Mengenai keberadaan di barat ataupun di Indonesia itu hanya lokasinya saja yang berbeda. tapi untuk masalah keilmuan, orang Islam yang ada di Indonesia mulai dari TK sampai perguruan tinggi sudah menggunakan / mengenyam materi keilmuan dari barat

Tapi uniknya saat ini justru yg mengaku seorang muslim, mereka kebanyakan mengetahui tentang keilmuan dari para pemikir barat mengenai ekonomi, politik, sosial, dan ilmu lainnya. dan tidak mengetahui pemikiran dari para ilmuan islam.

Posted by muhammad sofyan  on  03/24  at  07:03 PM

Assalamulaikum Wr Wb,

Yth; Bung Ulil, Bung Luthfie, Bung Bob S Ghozali serta seluruh pengamat artikel ini, semoga diberikan kesehatan oleh-Nya sehingga dapat saling ingat mengikatkan dan berusaha menghormati perbedaan tanggapan pada komentar tsb diatas.

Saya sangat berterima kasih atas “warning” dari Bung Bob, namun alangkah indahnya juga menghormati baginda nabi yang menganjurkan “kalau perlu carilah ilmu sampai ke Cina” jadi tidak cukup hanya di tanah Arab atau di Tanah Air saja.

Seperti Bung Ulil yang ingin meniru Al Tahtawi patut kita hormati keinginan tsb namun lebih elok kiranya dalam meniru tidak keluar dari koridor “Qur’an dan hadist”.

O.k Bung Bob, ada tawaran mencari ilmu ke India “why not” walaupun baginda nabi tidak menganjurkan cari ilmu ke India??(mungkin karena India terkenal tricky) he...he..he..he...ambil saja hikmahnya…

Wasalam,

M.Nasir

Posted by muhammad Nasir  on  03/19  at  07:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq