Belajar dari Kasus Pengaturan Rokok - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
22/05/2006

Regulasi Pornografi: Belajar dari Kasus Pengaturan Rokok

Oleh Usep Hasan Sadikin

Membicarakan pornografi menurut saya sama halnya ketika kita membicarakan rokok. Ada pandangan yang menilai bahwa rokok merupakan produk yang terlarang karena bersifat merusak kesehatan baik bagi si pengguna (penghisap) maupun yang tidak menghisap atau perokok pasif. Tetapi ada saja pandangan yang menilai bahwa rokok merupakan keperluan dan kebutuhan hidup karena dapat menghilangkan stres dan meningkatkan kinerja otak. Kedua pandangan ini (terus) saling “bertarung” memperjuangkan haknya.

22/05/2006 02:00 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Pemikiran dari Usep HS ini langka dan cerdas sekali. Baru kali ini saya baca seorang mahasiswa yang mempunyai pikiran yang logis dan praktis bukan teoritis. Saat ini banyak orang membabibuta memaksakan kehendak kepada orang lain. Dulu Suharto suka memaksa rakyat, eh sekarang sudah bebas malah sekelompok masyarakat suka memaksa kehendak kepada golongan lainnya dengan cara kekerasan. Bravo ASEP terus tuliskan ide-ide baikmu ini, dan kepada JIL agar terus memuat tulisan cerdas dari para generasi muda lainnya.

#1. Dikirim oleh Ruddy Nurcahya S  pada  22/05   06:05 PM

Harus diakui, pemikiran Usep HS memang brilian. Ia mencoba melihat permasalahan pornografi secara obyektif dan menawarkan solusi yang jitu untuk satu permasalahan yang cukup pelik ini. Meski demikian, saya mencoba ikut “memperkaya” wacana tentang isu regulasi pornografi ini.

Menurut hemat saya, regulasi pornografi yang ditawarkan Usep HS dengan mengacu pada regulasi rokok memiliki kekuatan analogi sekaligus “sedikit” kelemahan analisa. Mengenai kekuatan analoginya, bisa kita amati dari tiap detil uraian dalam tulisan itu. Sedang “kelemahan” analisa yang ada dalam tulisan itu setidaknya dalam beberapa hal diantaranya:

1. Fakta bahwa kampanye yang dilakukan untuk mengcounter dampak negatif rokok “dengan cara-cara yang cerdas” ternyata tidak cukup efektif. Terbukti dengan semakin menjamurnya pabrik-pabrik rokok dan tingkat konsumsi rokok yang kian meningkat. Konsumennya pun semakin beragam. Di jalan-jalan, di pasar, di kota, bahkan pedesaan sangat mudah kita saksikan anak-anak yang dibawah umur merokok. Kenyataan ini mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa “aksi defense” yang dilakukan untuk membendung dampak negatif rokok itu “dengan cara-cara yang sehat” masih jauh kalah kuat dibanding “serbuan” rangsangan untuk merokok melalui berbagai media massa maupun perilaku para perokok sehari-hari. Untuk itu, sebagai upaya untuk memperkuat aksi defense diperlukan regulasi yang lebih ketat terhadap rokok, yang salah satunya dengan undang-undang. Maka jika ada pihak-pihak yang mengusulkan pelarangan konsumsi rokok (dengan pertimbangan di atas) melalui jalur “demonstrasi” janganlah ditafsirkan sebagai upaya untuk memaksakan kehendak. Bukankah “demonstrasi” yang tidak anarkis juga merupakan perwujudan dari hidup berdemokrasi? Hal yang sama terjadi dalam hal pornografi. Bagaimanapun perlu ada upaya yang lebih kuat untuk mencegah dampak negatif pornografi. 2. Dengan tidak mengecilkan dampak negatif rokok, bahaya negatif pornografi jauh lebih dahsyat dari rokok. Jadi kurang bijak jika memperlakukan keduanya dengan sama. Meski mungkin ada, tapi dampak rokok terhadap kerusakan moral itu amat sangat kecil. Sementara dampak pornografi terhadap kebejatan moral sangat tinggi. Orang yang sudah rusak moralnya dapat membahayakan orang lain bukan dalam hal moralnya saja (misalnya mengajak orang lain untuk sama-sama mengkonsumsi pornografi) tapi juga dalam hal fisik (misalnya pemerkosaan). 3. Saya lebih cenderung menyamakan mental porno dengan mental korupsi. Keduanya merupakan penyakit kronis yang tidak cukup disembuhkan dengan obat-obat dosis rendah. Harus ada obat dosis tinggi untuk mencegahnya. Undang-undang dan Hukum yang tegas merupakan solusi. Sebagai tambahan, saya ingin menyampaikan bahwa untuk merasakan dan menyalurkan nafsu (makan, syahwat, dll) itu sangat mudah. Dengan melihat makanan yang yang beraneka ragam dan tontonan yang menggiurkan, kedua nafsu itu akan dengan mudah bangkit. Tapi untuk mengendalikannya, jauh lebih sulit. Sebagai contoh kecil adalah puasa (mohon maaf kalau saya merujuk ke Islam). Tuhan tahu bahwa manusia (atau sebagian besar) akan cenderung menurutkan nafsu makannya sampai ke luar batas. Maka Dia mengkonstitusikan “pewajiban” puasa untuk mengendalikannya. Apakah dengan demikian kita akan mengatakan bahwa Tuhan tidak demokratis? Kenapa Dia tidak biarkan saja kedewasaan dan kematangan manusia untuk menilai perlu atau tidaknya puasa?

Semoga bermanfaat. Wallahu A’lamu Bisshowab

#2. Dikirim oleh Misbahul Huda  pada  28/05   08:06 PM

Hanya orang yang tidak punya panduan hidup yang jelas yang sulit memutuskan apakah pornografi perlu diatur atau dibebaskan saja tanpa aturan. Apalagi kalau yang mempertanyakan hal tersebut seorang muslim, sangat aneh, apakah tidak pernah membaca dan memahami isi alQuran lagi? Sudahkah tertutup hati kita dari kebenaran yang diterangkan dalam alquran, sehingga tidak bisa lagi membedakan yang baik dan yang tidak baik, yang harus dan yang tidak harus??? Mari kita bertanya dulu kenapa kita sampai sulit membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk…

#3. Dikirim oleh razan  pada  29/05   03:05 AM

Pemikiran yang sangat baik dan pandangan nya sangat luas “obyektif” tapi perlu pemahaman yang sangat cerdas, kalau seperti saya kurang cerdas jadi kurang begitu paham, kalau menurut saya rokok jauh beda dengan forno tapi kalau mau di cari2 adalah satu dua persamaan, ya sama2 merusak cuman kalau rokok udah ada upaya membatasi nya (jakarta dengan perda nya) kalau porno belum dan kayanya tidak akan bisa sebab mayoritas yang mengingin kan nya hanya orang muslim dan orang2 muslim itu sangat lemah bukan dalam argumentasi tapi lemah dalam politik dan ekonomi.

Kalau non muslim tidak menginginkan porno itu di atur tidak usah cape2 demo atau adu argumentasi mereka nyantai aja, cukup di wakili / ditentang oleh kalangan muslim sendiri mereka sudah cukup terwakili dan pasti berhasil. Saya suka kasian kadang2 dengan kata mayoritas.

#4. Dikirim oleh Ahmad  pada  31/05   08:06 PM

kayak apa sih sebenarnya draft RUU APP ? belum pernah di publikasikan sih, jadinya nayak klaim-kalim yang meng-atasnamakan umat atau golongan.  yang saya bayangkan dengan ada RUU APP (saya bayangkan juga RUU APP = RUU Syariah) :  1. Kalo perempuan mau belanja harus ditemeni jangan sampai bikin “mata laki-laki bergairah”, kapan saya harus bekerja? 2. Tugas perempuan, masak, macak, dan manak tok. kasian juga yang jadi perempuan, jadi kuper, padahal potensinya besar untuk masyarakat. saya adalah yang sangat setuju dengan persamaan hak laki-laki dan perempuan, dalam perannya di keluarga, masyarakat dan bernegara. 3. kalao nanti tetap boleh bekerja, harus pulang sebelum maghrib, kalau gak bakal di gasak, digesek, ditoel oleh yang namanya tramtib (laki-laki semua lagi tramtibnya). kesempatan deh. itu hanya sebagian kecil saja bayangan saya kalo RUU APP di sahkan jadi UU.

USUL : kenapa gak di buatkan RUU AMS (Anti Muka Serem) : sekarang sudah bosan kita melihat aksi anarkis yang dilakukan oleh sekelompok berjubah yang mukanya sangar-sangat,malah jadi mirip osamah bin laden. maka perlu UU sebagai berikut : 1. pakaian nasional kita kan batik, maka dilarang memakai jubah yang sebenarnya produk padang pasir, sekalian juga di larang semua produk/model dari western (model U can See). 2. Topi nasional kita kan Peci. maka gak boleh tuh pake sejenis sorban gitu (apa sih makna pake sorban? udah gede, pasti gerah deh pakenya,apa mungkin Tuhan hanya berkenan pada yang pake sorban?). kan lucu kalau bapak presiden kita Pak SBY pake nya sorban. 3. Negara kita kan ramah tamah, wajah menarik, murah senyum, sangat bersahabat. Kan wajah-wajah sangar mirip osamah (baik yang janggutnya udah panjang atau baru se senti) gak umum dengan mayoritas masyarakat kita. Apa perlu UU seperti ini ?

Buat donk UU yang tidak diskrimatif (ras, suku, kepercayaan, budaya, nama, bentuk wajah, bentuk rambut, bentuk baju, dll)

salam

#5. Dikirim oleh suyana  pada  01/06   10:06 PM

Kenapa banyak orang yang meragukan APP? Saya pikir karena mereka tidak memahaminya alias membabi buta atau memang benar-benar buta! APP hanyalah masalah kecil itu isinya hanyalah parsial (setengah-setengah) yang partial aja ribut apalagi yang global (Alquran). Hati-hati yang nolak APP itu, bisa mengindikasikan dia telah kufur (kafir) walaupun tidak mau dikatakan kafir! Allah lebih tau. Mari kembali kepada Islam yang kafah yuk...! Islam yang betul-betul mengikuti Alquran dan Sunah, tidak mengikuti ide-idenya kaum barat (kafir barat)

Sukron Katziron…

#6. Dikirim oleh didik cahyono  pada  03/06   11:06 PM

Saya melihat spanduk-spanduk pendukung RUU APP yang bertuliskan “80 persen rakyat Indonesia anti pornografi” di jalan-jalan. Saya bertanya-tanya, kalo itu memang benar berarti, wow, luar biasa sekali rakyat kita ini. Hanya 20 persen yang pernah atau menyentuh barang-barang porno. Sebagian besar tidak pernah dan tidak akan menyentuhnya, walaupun sudah ada di depan mata mereka. Jadi untuk apa dibikin UU APP?

#7. Dikirim oleh Serpi Anand  pada  04/06   03:06 AM

Pemikiran-pemikiran yang digembor-gemborkan oleh JIL terlalu berdasar pada rasio, sedangkan agama tak bisa hanya diukur dengan itu. Contoh ketika Rasul mi’raj ke sidratul muntaha, pasti orang yang berpikir rasional seperti JIL tidak akan mempercayainya. Karena mana mungkin seorang Muhammad bisa terbang tanpa menggunakan alat apapun ke langit ketujuh, apalagi pada jaman itu belum tersentuh oleh teknologi canggih.

Jadi, saran saya kembalilah ke jalan yang benar. Jangan obrak-obrik Islam dengan pemikiran yang bodoh seperi yang sudah JIL lakukan. Lebih baik menjadi Islam yang kaffah yang sesuai dengan apa yang dibawa Rasul, yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Kalau kata Nabi “shalatlah seperti engkau melihatku shalat”, berarti kita harus shalat seperti yang dilakukan Nabi. Nabi shalat dengan ruku’, sujud, dan tentu saja dengan bahasa Al-Qur’an atau dalam bahasa Arab. Berarti kita juga harus shalat dengan menggunakan bahasa Arab, jangan mentang-mentang orang Indonesia terus kita shalat pake Bahasa Indonesia.

#8. Dikirim oleh Ihsan Fauzi  pada  04/06   04:07 AM

Pornografi dan pornoaksi termasuk dalam ruang lingkup kehidupan yang sangat sensitif sehingga sangat lebar ruang subjektifitas. jadi koq kayak ga ada kerjaan meributkan hal yang tidak perlu diributkan. cukup tanya saja nurani masing masing mana pornoaksi/pornografi mana seni. dua duanya khan menyenangkan, nikmati saja!
-----

#9. Dikirim oleh Yusuf shobirin  pada  09/06   11:07 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq