Bush Bukan Presiden Terdidik - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
25/03/2003

Prof. Dr. Daniel S. Lev Bush Bukan Presiden Terdidik

Oleh Redaksi

Retorika George W. Bush untuk menginvasi Irak adalah memberi kebebasan sekaligus melepaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Husein. Agresi Amerika ke negeri seribu satu malam itu pun dilabeli dengan nama “Operation Iraqi Freedom.” Tapi mengapa Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab dan sekutunya di Timur Tengah yang nota bene otoriter, tiran dan despotik tak disentuh Amerika? Apa pokok soal Bush ngotot menyerang Irak?

Apa pokok soal Bush ngotot menyerang Irak? Berikut ini “kesaksian” Prof. Dr. Daniel S. Lev, Indonesianis terkemuka dari Washington University, Seattle, Amerika dan Ifdhal Kasim, SH, direktur eksekutif ELSAM (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat). Keduanya diwawancarai Ulil Abshar-Abdalla di Jakarta pada 20/3/2003. Berikut petikannya:

Pak Dan, bagaimana reaksi Anda atas perintah Presiden George W. Bush untuk menyerang Irak baru-baru ini?

Daniel S. Lev (DL): Reaksi saya campur-aduk menjadi satu. Saya sangat sedih sebagai warganegara Amerika Serikat, tapi lebih sedih lagi sebagai umat manusia. Ini perang yang sama sekali tak perlu. Ini perang di mana imajinasi di belakangnya sebenarnya sangat membahayakan seluruh dunia. Ini adalah perang yang luar biasa buruk. Tapi di lain sudut, ini perang yang semoga —saya mencari optimisme dalam hal ini— menyadarkan orang di seluruh dunia bahwa struktur dunia ini perlu dirombak dari sekarang.

Struktur dunia yang hanya mengenal satu negara super-power harus diubah?

DL: Ya, satu super-power itu selalu berbahaya, apalagi kalau super-power itu tak begitu canggih dalam pandangan-pandangannya terhadap persoalan dunia. Masalah ini sekarang terlihat sekali dalam diri George W. Bush (Presiden Amerika saat ini). Bush itu bukan seorang yang sangat canggih, malah bukan orang yang terdidik dengan baik. Seperti semua orang tahu, orang ini sama sekali belum bisa menguasai bahasa Inggris. Ini menunjukkan sesuatu.

Amerika adalah satu negara yang sangat besar, tapi kebanyakan orangnya tak tahu akan dunia, dan wawasan tentang dunia di luar Amerika tak banyak diajarkan di sekolah. Lantas ada semacam kenaifan pada rakyat Amerika. Semestinya, pemerintah Amerika memperhatikan persoalan ini. Kalau tidak, sebaiknya seluruh dunia pada umumnya, memperhatikan hal ini. (mengutip istilah Goenawan Mohamad, “Cupet, Pandangan Amerika ke Dunia Luar,” Jawa Pos, 3/2/2002).

Mas Ifdhal, bagaimana pandangan Anda atas serangan Amerika atas Irak?

Ifdhal Kasim (IK): Saya sangat terkejut karena ternyata Bush punya imajinasi tentang struktur dunia yang sangat berbahaya. Karena itu dia berani melakukan penyerangan tanpa mendapat dukungan sama sekali dari PBB. Itu artinya Bush menganggap enteng PBB. Ini juga menunjukkan bahwa PBB sebagai institusi yang dibangun untuk menjaga perdamaian dunia tak lagi punya gigi yang kuat untuk bisa mengerem atau menghentikan tindakan main hakim sendiri, seperti yang ditunjukkan Bush dan sekutunya Tony Blair (Perdana Menteri Inggris). Karena itu, penyerangan ini dari sudut hukum internasional tak mendapat pembenaran.

Apa yang dilakukan Bush bisa dikatakan sebagai suatu agresi. Karena itu, anggota-anggota PBB yang mempunyai hak veto dan kekuatan politik yang signifikan dalam struktur dunia saat ini harus meminta Dewan Keamanan PBB untuk bersidang dan membuat resolusi khusus untuk menyikapi perang ini. PBB juga harus menyatakan sikapnya atas apa yang dilakukan Bush ini.

Pak Dan, aksi unilateralianisme Amerika ini sebetulnya sudah berlangsung lama. Itu terlihat dari penolakannya atas Protokol Kyoto, penolakan atas ICC (International Criminal Court) dan lain-lain. Kenapa ini terjadi?

DL: Yang perlu diingat, dalam hal ini (yang bersalah) bukan hanya Partai Republik. Yang perlu diingat juga, Perang Vietnam juga unilateral dan tak masuk akal. Dan intervensi ke negara lain yang gencar pada Ronald Reagan, ironisnya dia dari Partai Republik juga. Sama partainya dengan Bush Soalnya begini, landasan unilateral seperti ini makin luar biasa, sejak runtuhnya Uni Soviet tahun1990. Itu artinya, Amerika sudah menang dalam perang dingin, dan dia bisa main hakim sendiri.

Sejak runtuhnya Uni Soviet, kami mengenal presiden seperti George Bush Senior, Bill Clinton, dan Bush Junior. Clinton memang lebih memperhatikan Amerika sendiri, dan lebih terbuka pada negara-negara lain. Tapi perlu diingat, Amerika ketika itu masih juga mendesakkan kebijakan-kebijakan yang tak selalu menguntungkan negara-negara lain. Yang dipikirkan mereka selalu bagaimana Amerika menjadi nomor satu. Ini sebetulnya seperti permainan football.

Maksud Anda?

DL: Artinya, kalau kuat, kita bisa berbuat semaunya. Itulah yang persis terjadi. Kalau orang Amerika memilih presiden dengan minoritas pilihan, seorang yang tak begitu canggih, maka presiden yang terpilih akhirnya akan menekankan pada kekuatan Amerika saja. Itu bisa dipakai di mana saja; untuk ekonomi, politik dan lain sebagainya.

PBB sebagai lembaga mulitilateral sudah terancam keberadaannya. Bagaimana prospek penegakan hukum internasional dengan kondisi PBB seperti ini?

IK: Memang sangat memprihatinkan. Struktur politik global ini menjadikan Amerika tak punya lawan tanding lagi. Ini menjadikan prospek penegakan hukum internasional sangat melemah. Sebab negara seperti Amerika bisa semena-mena melangkahi kebijakan PBB. Oleh karena itu, di tubuh PBB perlu ada perombakan struktur kekuasaan yang lebih mencerminkan perimbangan kekuatan yang ada dalam struktur internasional. Sementara ini, negara yang punya hak veto hanya lima, dan berada di Barat. Satu berada di Asia, yaitu Cina.

Dari yang lima itu, hanya Inggris yang mendukung. Perancis, Cina dan Rusia menolak. Ini artinya ada penolakan mayoritas, sekalipun tidak membuat Amerika bergeming. Kekuatan dunia memang nampaknya unipolar. Tanggapan Pak Dan?

DL: Sebetulnya persolan ini bukan Barat-Timur. Malah itu memperlihatkan sesuatu yang cukup sehat. Di antara negara-negara Barat juga ada perbedaan. Misalnya, Perancis dengan Amerika ‘kan jauh berbeda dalam masalah Irak ini. Yang sulit di antara negara-negara di luar Amerika adalah belum ada pendekatan yang masuk akal untuk membatasi kekuatan Amerika. Sebetulnya PBB-lah yang bertanggung jawab atas penyelesaian soal ini. Tapi kalau Amerika tak mau bagaimana?

Tadi Anda sebut Bush bukan orang terdidik. Bagaimana mungkin rakyat Amerika yang terdidik memilih presiden seperti itu? Mungkin ini sebentuk paradoks demokrasi: belum tentu yang terbaik yang dpilih rakyat.

DL: Ini persoalan yang cukup kompleks. Di Amerika, seperti kebanyakan negara modern, tak ada demokrasi. Sebaiknya kita jangan terlalu naïf tentang itu. Di dalam sistem Amerika, ada hal yang menurut saya agak berbahaya; sistem presidensil berdasarkan atas dua partai. Kalau kedua partai tak bertanggung jawab, mau tak mau kita akan mendapatkan seorang presiden yang tak bertanggung jawab. Politisi-politisi itu bisa dipilih sebagian karena mereka banyak duit. Misalnya, politisi dari Partai Republik. Ini harus diakui.

Jadi ini hasil dari proses yang kurang ideal dalam demokrasi, ya?

Ini proses yang sangat jelek. Karena selalu saja, kalau hanya ada dua partai, akan muncul tendensi untuk bergerak ke tengah. Nah dalam Partai Demokrat, ada segolongan orang yang disebut democratic leadership. Mereka ini agak menganggap bahwa untuk menang dalam pemilihan nasional, mereka harus memperlihatkan diri dekat dengan orang-orang Partai Republik. Ini agak aneh memang. Contohnya orang seperti Al Gore, Clinton, Lieberman dan lain-lain. Akibatnya, lama kelamaan mereka mulai berpikir seperti orang Republik. Lantas apa bedanya orang dari partai Republik dengan Demokrat?

Maka, di Amerika perlu ada satu, dua atau tiga lagi partai baru. Ironisnya, ada satu hal yang selalu disepakati oleh Partai Republik maupun Partai Demokrat, yakni jangan ada partai baru.

Perlunya reformasi PBB sudah lama dikumandangkan. Tapi Amerika begitu kuat untuk bisa diimbangi.

IK: Kita berharap ada perubahan konstelasi politik global, misalnya pada perkembangan dan pertumbuhan Uni-Eropa. Kita tahu, Uni-Eropa mengalami perkembangan dan terus menambah keanggotaannya. Saya kira, pertumbungan kekuataan politik Uni-Eropa akan bisa mengimbangi kekuatan Amerika. Itu dimungkinkan kalau Eropa sungguh-sungguh bangkit sebagai suatu kekuatan politik yang bisa menggantikan peran Uni Soviet masa lalu. Dengan begitu struktur politik dunia akan lebih berimbang.

Kemungkinan Cina sebagai kekuatan pengimbang juga jadi alternatif yang lain. Tapi dalam waktu dekat, kita belum bisa berharap banyak. Sebab pertumbuhan Cina masih membutuhkan waktu yang panjang. Masih ada harapan untuk lahirnya kekuatan baru sebagai penyeimbang.

Pak Dan, tadi Anda mengatakan kalau protes di Amerika banyak sekali. Tapi, mengapa protes itu tidak didengarkan Bush?

DL: Oh, banyak sekali protes. Ini soal demokrasi. Bush sejak semula sudah memutuskan rencana serangan itu. Dia sudah memutuskan tentang PBB, tentang oposisi di Amerika atau dalam Kongres. Hampir setiap hari di Amerika terjadi demonstrasi yang cukup besar. Saya yakin, sekarang di Amerika akan banyak sekali demonstrasi, sejak dari timur sampai ke barat. Fenomena Bush ini juga menjadi satu persoalan lagi dalam sistem presidensil. Dia tak perlu memikirkan ini-itu; dia presiden, dan merasa bisa memutuskan banyak perkara. Dia tak dapat dijatuhkan, terkecuali berbuat sesuatu yang tak senonoh dalam bentuk skandal. Dia tak dapat dijatuhkan, terkecuali dalam pemilihan umum nantinya. Jadi, meski banyak protes, dia merasa tak perlu kuatir.

Jadi posisi Bush yang sangat kuat juga ditunjang sistem presidensil. Itu sangat bahaya dalam sistem presidensil. Kalau dalam sistem parlementer seperti di Inggris, Tony Blair sekarang sulit, dan kemungkinan akan dibuang begitu saja oleh Partai Buruh (Labour Party) sendiri. Ini tak bisa terjadi di Amerika.

Banyak orang yang menyebut motif minyak di balik perang ini. Apa betul soal minyak?

DL: Menurut saya bukan semata soal minyak. Bukan itu saja yang dipikirkan Bush dan pemerintahannya. Untuk menganalisis apa yang mendorong kebijakan Bush, nampaknya belum terang betul. Tapi jelas ada macam-macam motif. Antara lain perang bisa menimbulkan perasaan patriotik dan memenangkan Bush dalam pemilu tahun depan. Ini terlihat dalam argumentasi Bush bahwa Irak terkait dengan soal terorisme. Argumen ini sama sekali tak masuk akal. Tak ada sejarahnya Saddam Husein dekat dengan Al-Qaeda. Mungkin, Bush sendiri tak mengerti soal itu, tapi penasehatnya mengerti betul tentang hal ini.

Nah, mengapa mereka mendesakkan itu? Ini cukup sulit dimengerti; seorang presiden yang otaknya cukup aneh. Saya sendiri tak tahu. Kalau saya membaca komentar para wartawan yang dekat sekali dengan Bush, mereka juga mengaku tak begitu tahu apa yang dipikirkan Bush. Bush sendiri tak begitu artikulatif dalam menerangkan sesuatu. Kalau dia menerangkan sesuatu, orang jadi lebih bingung lagi. Nah, ada macam-macam kemungkinan; saya kira bukan soal minyak saja, juga bukan soal Islam meski ada juga unsur itu. Ada unsur agama. Bush adalah seorang presiden yang sangat simpel pandangannya terhadap dunia, Tuhan dan lain-lain.

Retorika Bush seperti sebutan poros kejahatan (axil of evils) seakan menyebut Saddam dan Khomeini sebagai Iblis. Kelihatan, ada sedikit unsur bahasa agama dalam retorika Bush. Menurut Anda?

DL: Bukan hanya sedikit unsur agama itu. Menurut saya, Bush itu ikut dalam pandangan agama yang cukup populer di Amerika. Pandangan begitu dapat dinamakan sebagai fundamentalis-Protestan, meski saya kurang senang dengan istilah fundamentalis. Mereka membagi dunia sangat simpel, dalam dua bagian: yang baik dan yang buruk atau jahat; yang masuk surga dan yang mendekam di neraka. Dan, untuk membunuh orang lain atas nama Tuhan, bagi mereka, Tuhan boleh membolehkan; Tuhan setuju. Nah, dengan pandangan yang simplistik seperti itu, bagi seorang presiden seperti negara Amerika, akan sangat berbahaya sekali.

Menurut Mas Ifdhal, apa motif di balik serangan ini?

IK: Dari retorika Bush, motifnya untuk menjaga kepentingan nasional Amerika sendiri. Itu terutama kepentingan mengantisipasi gangguan para teroris dan senjata pemusnah masal Irak. Yang sering ditampilkan di muka publik kan ada dua alasan ini. Alasan yang disebut Pak Dan tadi memunculkan motif lain yang tak mencuat ke publik.

Bush berimajinasi akan mendesakkan reformasi di kawasan Timur Tengah umumnya. Apakah cukup realistik, Pak Dan?

DL: Dari satu sudut, salah satu dasar kebijakan perang ini sebetulnya sudah ada sepuluh tahun lalu. Pada waktu itu, Bush Senior dikelilingi oleh orang-orang seperti Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan lain-lain. Mereka dinamakan kelompok neo-konservatif. Mereka merancang banyak hal agar Amerika lebih agresif, terutama di Timur Tengah, untuk mendesak reformasi di kawasan tersebut. Tapi yang dimaksudkan reformasi adalah mengikat mereka dengan kepentingan Amerika. Ini masalah cukup kompleks.

Menurut pikiran mereka, Amerika bukan hanya negara terkuat, tapi juga yang terbaik; jadi bisa mengajarkan dunia. Ini adalah pandangan yang sangat berbahaya. Mereka sendiri cukup berbahaya, karena mereka cukup intelek. Ini golongan intelektual yang sempit sekali pandangannya, dan tak terlalu takut untuk berbuat kesalahan seperti membunuh banyak orang.

Di Timur Tengah, secara objektif, memang banyak dipimpin para despot yang tak bisa diturunkan melalui pemilu. Amerika menganggap mereka perlu paksaan dari luar. Nah, apakah pandangan itu bisa diterima?

IK: Argumen seperti itu tak bisa diterima. Proses penggulingan suatu rezim dari luar, dengan alasan untuk memulai suatu proses demokrasi, tak bisa dibenarkan dalam hukum internasional. Sebab hukum internasional tak mengenal intervensi yang jelas termaktub dalam piagam PBB. Alasan intervensi hanya bisa digunakan kalau memang terjadi krisis kemanusiaan yang nyata di suatu negara tertentu. Misalnya, bilamana terjadi pembantaian massal seperti di Rwanda dan Serbia. Dalam kondisi begini, baru ada alasan pembenar untuk intervensi. Tapi untuk alasan penegakan demokrasi, menjatuhkan suatu rezim dengan kekerasan tak bisa dibenarkan []

25/03/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq