Di Muhamadiyah Juga Ada “Munu” dan “Marmud” - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
10/03/2002

Bahtiar Effendy: Di Muhamadiyah Juga Ada “Munu” dan “Marmud”

Oleh Redaksi

Baru-baru ini, Muhammadiyah melaksanakan Sidang Tanwir di Bali. Salah satu rekomendasi menarik yang ditelurkan dalam acara tersebut adalah akomodasi Muhammadiyah terhadap budaya lokal.  Hal ini menjadi menarik bila dikaitkan dengan adanya kesan bahwa selama ini Muhammadiyah tidak ramah terhadap budaya lokal. Berikut ini petikan wawancara Burhanuddin dari Kajian Utan Kayu dengan Dr. Bahtiar Effendy, seorang pengamat politik Islam kondang dan pengurus lembaga al-Hikmah PP Muhammadiyah pada hari Kamis, 7 Maret 2002, yang disiarkan Radio 68 H dan jaringannya di seluruh Indonesia.

BURHANUDDIN: Apa yang menarik dari Sidang Tanwir Muhammadiyah yang baru-baru ini dilaksanakan di Bali?

BAHTIAR EFFENDY: Saya kira, gagasan dakwah kultural yang ditelurkan Muhammadiyah tak terbilang revolusioner. Karena soal dakwah kultural ini sebetulnya bukan persoalan baru dan pernah juga dilontarkan beberapa waktu yang lalu. Kalau kita perhatikan dulu, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah—red) juga cukup memperhatikan budaya-budaya setempat di dalam mengembangkan Islam. Tapi mungkin dalam perkembangan sejarah Muhammadiyah, justru yang menonjol adalah puritanisme dan sejenisnya. Ini yang kemudian membuat orang mempersepsi Muhammadiyah sebagai tidak ramah, atau tidak bersedia menggunakan resources atau sumber daya budaya yang tersedia untuk mendakwahkan Islam.

Yang terjadi di Bali kemarin sebenarnya adalah ingin mengundang kembali perhatian segenap warga Muhammadiyah, atau mengajak mereka kembali untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang ada dalam upaya mendakwahkan Islam. Dengan demikian, kesan bahwa Muhammadiyah terlalu kering di dalam menggunakan sumberdaya ini bisa dihilangkan.

BURHANUDDIN: Apa bentuk konkrit dakwah kultural yang digagas Muhammadiyah itu?

BAHTIAR: Sebenarnya, Islam yang hadir di sini itu tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Saya sering mengatakan bahwa antara Islam dan budaya Arab adalah sesuatu yang berbeda. Maksudnya, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang agak susah membedakannya. Saya mempunyai asumsi bahwa Nabi Muhammad, tentu saja dengan bimbingan Tuhan, dengan cukup cerdik mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Saya kira, dia dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam.

Satu hal misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah. Masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya. Bahwa kemudian sekarang ini Saudi Arabia dipengaruhi secara kuat oleh paham-paham Wahabisme, sehingga ada kesan Saudi Arabia saat ini tidak mempunyai kesadaran budaya. Bagimana kita melihat, misalnya di depan Masjidil Haram Mekkah, terdapat Hotel Hilton, ada juga Restoran Si Doel. Nah, preservasi budaya itu kan tidak mungkin terjadi di negara seperti Indonesia atau Turki atau Malaysia.

BURHANUDDIN: Ada kesan Muhamadiyah kurang ramah terhadap budaya. Bagaimana menurut Anda?

BAHTIAR: Ya memang, warna dominan Muhammadiyah seperti itu. Tapi kalau kita masuk ke dalam dunia Muhammadiyah, setidak-tidaknya ada empat kelompok; Pertama, disebut sebagai kelompok KH Ahmad Dahlan. Mereka menghargai budaya lokal. Mungkin tidak mempraktikkan agama-agama dengan menggunakan sumber budaya, tapi tidak mengecam. Kedua, kelompok al-ikhlas. Kelompok ini sangat puritan. Prinsip mereka bila tak ada dalam Alquran dan Sunnah, maka tak usah dilakukan. Ketiga, ada kelompok yang disebut oleh Abdul Munir Mulkhan sebagai kelompok Munu, Muhammadiyah-NU. Kelompok ini berasal dari tradisi NU, tapi karena lingkungan, pergaulan, dan macam-macam, kemudian bergabung dengan Muhammadiyah. Kemudian yang terakhir, kelompok yang disebut Marmud, kelompok yang mempunyai latar belakang PNI, abangan, PDI dan sebagainya yang kemudian bergabung dengan Muhammadiyah.

Empat kelompok di atas riil ada dalam keluarga besar Muhammadiyah. Mereka mempraktikkan budaya-budaya di dalam mengembangkan Islam. Jadi sangat variatif di dalam Muhammadiyah, tetapi cap yang dipersepsi oleh masyarakat adalah bahwa Muhammadiyah itu puritan dan satu warna. Sebetulnya tidak begitu.

BURHANUDDIN: Kalau Muhammadiyah seperti yang digambarkan Anda cukup variatif dan kemudian warna akomodasi terhadap budaya lokalnya berkembang, lantas kita tidak bisa membedakan lagi antara NU dengan Muhammadiyah dong?

BAHTIAR: Ya, masih bisa. Misalnya dari segi sosial Muhammadiyah dicap sebagai organisasi yang berbasis massa kota dan profesional. Muhammadiyah tidak mendirikan pesantren tapi mendirikan sekolah-sekolah. Sementara NU mendirikan pesantren tapi tidak mendirikan sekolah. Dulu mungkin seperti itu, namun sekarang agak berubah. Dari segi sosial keagamaan juga sudah berubah, karena ada proses transformasi. Saya tidak tahu betul variasi-variasi yang ada di NU, kecuali dalam segi politik. Itu yang membuat kita sulit membuat kategori-kategori keagamaan di dalam NU. Saya kira warna NU juga tidak tunggal.

BURHANUDDIN: Apa sikap kalangan puritan di dalam Muhammadiyah terhadap kesadaran untuk mengakomodasi budaya lokal?

BAHTIAR: Saya kemarin memberikan pengajian di Muhammadiyah. Saya ceritakan lebih lanjut pandangan saya tentang dakwah kultural itu sambil menyanyi. Memang ada yang menerima, ada yang menghargai, tetapi juga ada yang menolak mentah-mentah. Saya belajar agama di Pesantren Pabelan. Pabelan itu hampir mirip-mirip Gontor. Saya mencontohkan ketika adzan selesai dikumandangkan, kan ada yang salat sunnah, ada yang duduk-duduk. Nah, saya mengusulkan bahwa yang duduk-duduk itu melakukan puji-pujian, misalnya. Sebab kalau kita pergi ke Gontor atau Pabelan, ada orang yang melakukan puji-pujian dengan menyanyikan syair Abu Nawas. Waktu saya kecil, biasanya kita melakukan puji-pujian di surau atau langgar. Itu menurut saya membuat hati lebih sejuk, lebih dingin.

BURHANUDDIN: Menurut Anda, adakah corak budaya yang katakanlah tidak sesuai dengan Islam?

BAHTIAR: Memang ada budaya-budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi juga banyak yang bersesuaian. Saya ingin membuat perbandingan; banyak sekali kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga memanfaatkan sumber daya budaya, katakanlah NU.

Akhir-akhir ini kita melihat, misalnya, teman-teman yang mempunyai orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Saya tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau saya lihat lagu-lagunya sungguh luar biasa. Jadi, menurut saya, itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai instrumen budaya dan sangat efektif. Mungkin anak-anak kecil yang tak tahu bahasa Arab mungkin tidak paham apa isinya. Tetapi ini menjadi awal dari sebuah apresiasi dan penghargaan.

Anda lihat, misalnya, pada waktu lebaran kemarin, Haddad Alwi mampu mengumpulkan ribuan anak-anak kecil untuk ikut bernyanyi. Kemarin dia juga muncul lagi di TV. Nah, sekarang kalau kita lihat minat anak-anak Islam untuk mendengarkan lagu-lagu yang dibuat oleh Haddad Alwi, sangat besar sekali antusiasismenya. Saya kira, lagu-lagu Haddad Alwi biasa saja. Edisi terbaru lagu Haddad Alwi dengan dipadu orchestra kemarin, ternyata menyisipkan nilai-nilai Syiah. Misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha. Itu kan jelas. Saya juga membuka compact disc lama, misalnya, lagu salawat kepada Nabi Muhammad juga diikuti dengan salawat kepada keluarganya: Ali, Hasan, Husein. Ini adalah sebuah medium budaya yang digunakan.

Kalau kita lihat Muhammadiyah, pemakaian budaya sebagai instrumen hampir-hampir tidak ada. Itu yang membuat orang melihat bahwa apresiasi kebudayaan di dalam Muhammadiyah sangat tipis sekali. Apalagi di masa krisis sekarang ini, saya kira apresiasi budaya bisa mendinginkan hati orang. Bayangkan kalau kita ke radio; yang kita dengar adalah berita-berita tentang kebakaran, penangkapan, pengadilan, banjir, jelas bisa membikin orang stres. Mendingan mendengar lagu Haddad Alwi dan Sulis (tertawa).

BURHANUDDIN: Soal kesesuaian budaya dengan doktrin Islam menjadi persoalan klasik karena ada beberapa kelompok keagamaan di Indonesia yang relatif enggan untuk memakai budaya sebagai instrumen dengan alasan ia dianggap bertentangan dengan Islam?

BAHTIAR: Memang ada faktor penafsiran agama yang berbeda, misalnya salawat, tahlil, talqin, dan sebagainya. Bagi tradisi NU, hal itu biasa saja. Tapi kita tidak bisa melihat semua hal dalam konteks agama. Misalnya Maulid Nabi, apakah kita mau melihatnya sebagai faktor budaya atau tidak? Maulid Nabi kan tidak ada dalam Alquran dan Hadis. Dalam tradisi Nabi tidak ada Maulid. Nabi tidak merayakan ulang tahunnya sendiri. Ritus tersebut digagas Thariq bin Ziyad untuk membangun solidaritas umat Islam. Itu kan hal yang biasa saja. Nah, sekarang Maulid Nabi menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan agama.

BURHANUDDIN: Saya ingin menukikkan pada persoalan dakwah kultural sebagai instrumen. Kira-kira kalau kita memakai kultur atau budaya sebagai medium, bukankah akan membuat dakwah lebih efektif?

BAHTIAR: Saya sendiri berpandangan seperti itu. Menurut saya, kita sulit memformulasi bentuk Islam murni karena ajaran-ajaran Islam ketika dibumikan, ia akan berinteraksi atau dipengaruhi atau dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Masyarakat Indonesia mempunyai banyak perbedaan dalam memahami ajaran Islam dibanding Iran, Saudi Arabia, atau bahkan Malaysia. Islam yang masuk di Iran, Indonesia dan Pakistan harus terkontekstualisasikan dengan sistem budaya setempat. Memang ada budaya-budaya yang secara kategoris bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tapi bagi saya tak mungkin membangun sebuah Islam yang seratus proses bermusuhan dengan budaya setempat. Jadi kita juga tidak bisa mengatakan bahwa seluruh budaya Indonesia berlawanan dengan Islam.

BURHANUDDIN: Bahkan Alquran tidak langsung melarang, tetapi secara bertahap, tradisi yang bertentangan dengan Islam. Misalnya kasus larangan minum khamr. Itu kan menunjukkan akomodasi Alquran terhadap tradisi yang meskipun bertentangan tetapi pelarangannya dilakukan secara bertahap.

BAHTIAR: Ya, dalam konteks Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan melakukan strategi seperti itu. Tapi dalam perjalanannya kemudian, tokoh-tokoh muda Muhammadiyah: ada Mas Mansyur, Hamka, Buya Sutan Ahmad, dan lainnya mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam sejarah Muhammadiyah yang sudah 90 tahun ini, yang menonjol adalah aliran-aliran yang puritan.

Nah, saya ingin mengatakan bagaimana Muhammadiyah membangun tenda besar yang mengayomi seluruh umat Islam. Jadi jangan bermimpi untuk memuhammadiyahkan umat Islam Indonesia, tapi bagaimana orang Islam Indonesia dengan berbagai macam kecenderungannya itu merasa diayomi oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah menjadi tenda besar, salah satu caranya dengan menggunakan budaya sebagai sumber daya dan instrumen untuk mengembangkan tenda besar Muhammadiyah itu tadi.[]

10/03/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq