Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
30/12/2002

Artikel 2 dari 5 Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman

Oleh Redaksi

Berikut adalah lanjutan dialog Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman.

UAA:
Sent: Monday, December 16, 2002 9:02 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh 
tak akan mendukung kesimpulan awal


Wahai Bapak Nur,

Anda bisa lanjutkan “batu-batu bata argumen” ini hingga
berjenjang naik, ke level manapun anda kehendaki, ke
langit-langit setinggi apapun yang anda maui. Tetapi begitu
sampai kepada kesimpulan anda yang pernah anda sampaikan
dulu, bahwa manakalah wahyu dipengaruhi oleh kultur, bahwa
Qur’an sebetulnya dikondisikian oleh situasi, maka itu
adalah penghinaan atas Allah; di titik itu, dengan argumen
apapun, saya akan tolak. Apalagi, sekali lagi dan sekali
lagi (mohon maaf lo ya), kalau terlalu jauh mengatakan, “itu
menghina Allah, mendustakan Nabi, melebihi Ghulam Ahmad, so
and so.” Came on, Sir!

Saya akan ikuti dengan sabar jenjang-jenjang argumen yang
anda pakai, dan saya tak punya keberatan prinsipil atas
jenjang-jenjang yang anda tempuh itu. Meskipun ratusan
definisi atas budaya itu berseliweran dalam tradisi
kesarjanaan Barat dan Timur, okelah secara ‘hipotetis’ saya
terima saja definisi anda (sebetulnya definisi yang anda
pakai itu definisi berdasarkan “common sense” saja; siapapun
bisa mengemukakan hal seperti itu; di Jerman bahkan istilah
“kultuur” itu pernah mempunyai konotasi buruk, karena itu
adalah “ulah manusia” untuk mengubah alam, dan bahkan
menghancurkannya; pada zaman romantik, orang sebel pada
“kultuur” dan lebih menggandrungi “natuur” [Ini sih
katanya Norbert Elias dalam “The Civilizing
Process"]).

Keberatan prinsipil saya adalah pada satu hal: bahwa
wahyu adalah sepenuhnya ‘non-historis’. (Betul begitu?)

Batu bata terakhir yang telah anda taruh itu mau
mengatakan: budaya itu kesepakatan komunitas, dan karena itu
relatif. Saya sudah menduga, nantinya anda akan mengatakan,
wahyu itu bukan hasil pemikiran dan kesepakatan manusia, ia
datang dari “luar” sejarah, dan karena itu absolut. Budaya
relatif, wahyu absolut. (Nantinya: saya akan katakan bahwa
wahyu itu tidak seluruhnya absolut, karena ada faktor-faktor
historis, kontekstual, partikular, dalam dirinya, seperti
jilbab dan qishash itu [anda nanti akan mengatakan lagi,
“jangan bermain-main dengan segi-segi semantik"]).

Oke. Terusssss...........

Looking forward to going through your next steps, and
many apologies for any unproper words.

salam,

ulil

p.s. Mohon diperkenankan untuk bertanya mengenai hal yang
sampingan (boleh, ya?): Bapak anggota KPPSI? Atau (pasti)
pendukungnya?

HMNA:

Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai
dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat
mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu
mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil olah
akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang
didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta,
ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak.
Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan
qalbu sebagai mekanisme.

Output olah akal anak tammatan SD lebih rendah
kualitasnya ketimbang buah oleh akal anak tammatan SMA, oleh
karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu
dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan
pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan olah akal manusia
itu relatif sifatnya, baik dalam hal berolah pikir maupun
berolah rasa. Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah
memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang kemudian disebar
luaskan kepada manusia. Alhasil akal harus ditempatkan di
bawah wahyu.

Apakah anda sepakat? Kalau ya, kita berlanjut.

Wassalam,

Makassar, 16 Desember 2002

Saya adalah Wakil Ketua Majelis Syura KPPSI => KPPSI
memperjuangkan “rumah politik”, yaitu terbentuknya
undang-undang otonomi khusus memberlakukan Syari’at Islam di
Provinsi Sulawesi Selatan, melalui koridor konstitusi dalam
bingkai NKRI.

UAA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 12:14 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan awal

Bapak Nur,

Kenapa anda menyimpang? Kita sedang diskusi soal kultur
sebagai sesuatu yang relatif, dan wahyu sebagai yang
absolut. Kok anda tiba-tiba bicara soal akal.

Oke, kalau anda mau menyimpang, tak apa-apa. Saya akan
menuruti “kemauan” anda.

Setelah wafatnya Rasul, saya menempatkan akal dan wahyu
dalam kedudukan sejajar. Bahkan aspek-aspek yang partikular
dan historis dalam wahyu bisa “diamandemen” oleh
pertimbangan akal. Sebab, setelah meninggalnya beliau, kita
tidak bisa bertanya langsung kepada Nabi setiap ada
peristiwa baru yang butuh solusi, seperti pada zaman
sahabat. Yang ada pada kita adalah teks Qur’an dan sunna.
“Taraktu fikum amrain ma in tamassaktum bihima lan tadhillu
abadan.” Tetap teks itu sifatnya adalah “polyfonik”,
mempunyai tafsiran dan “suara” yang banyak, sesuai dengan
penafsirnya.

Kata Sayyidina ‘Ali tentang Qur’an, “Innama yunthiquhur
rijal.” Qur’an itu adalah teks mati; yang membuatnya “hidup”
dan berbunyi adalah manusia. Sementara manusia itu
berbeda-beda pendapatnya.

Ini kata Imam Ali, lo. Jangan dibilang menghina Allah dan
Islam.

Jadi, pada poin kali ini, mohon maaf, saya tak sepakat.
Wahyu dan akal bekerja bersama-sama, dan saling melengkapi.
Bahkan saya berpendapat: yang terbatas bukan saja akal;
bahkan wahyu yang telah menjadi “verbal” dalam bentuk
susunan kata-kata yang turun pada Nabi pun adalah
terbatas.

Tapi, sekali lagi, jangan dibilang menghina Islam ya.

salam,

ulil

HMNA:

Saya heran, mengapa anda katakan saya menyimpang, pada
hal anda sudah mengatakan mengerti diagram dan sepakat
dengan diagram tersebut. Saya ulang kembali sajikan diagram
tersebut:

input -----> wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW] -----> output Al Quran

Bedanya dengan kultur

input-----> alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran 
                 dalam kumpulan masyarakat Arab] ----> output kultur Arab

Proses adaptasi dan pembelajaran itu adalah olah akal,
baik itu olah pikir maupun olah rasa. Jadi olah akal dalam
kumpulan masyarakat Arab membuahkan output kultur Arab. Jadi
akal tak terpisahkan dari lahirnya suatu kultur. Kita
teruskan. Kalau terjadi pertentangan antara akal dengan ayat
Al Quran, alternatif mana yang anda ambil:

  1. menolak pengertian literal terhadap ayat


  2. mentakwilkan ayat


  3. menolak akal, memilih ayat dengan memahamkannya
    secara literal


  4. memilih akal dan juga sekaligus memilih ayat dengan
    pengertian literal

Contoh: Alladziy ja’ala lakum mina sysyajari l.akhdhari
naaran faidzaa antum minhu tuwqiduwn (36:80). Akal
mengatakan yang dibakar itu menurut pengalaman adalah kayu
yang kering yang coklat warnanya, bukan kayu yang masih
basah yang hijau warnanya. Tentu saja di sini tidak kena
mengena dengan kebakaran hutan, karena ayat itu menyatakan
antum minhu tuwqiduwn. Silakan memilih alternatif
terbut.

Wassalam,

Makassar, 17 Desember 2002

HMNA

UAA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 8:30 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan awal

Pak Nur,

Bagaimana mungkin anda memakai contoh ayat dalam surah
Yasin itu sebagai ilustrasi pertentangan akal dengan wahyu.
Dari segi mana pertentangannya? Kalau kita baca
tafsir-tafsir klasik, ayat itu adalah petunjuk mengenai
kekuasaan Tuhan: ada pohon (disebut sebagai “marakh” dan
“‘ifar” yang jika dahannya dipotong mejadi dua dan
digesekkan satu dengan yang lainnya maka akan melentikkan
api). Tapi, pertanyaan saya adalah: apakah kekuasaan Tuhan
harus ditunjukkan dengan cara yang melawan akal. Dalam kasus
“pohon hijau” itu (tentu in bukan pohon milik PPP, lo,
apalagi PKB), apanya yang berlawanan dengan akal. Kalau
betul (saya tak pernah melihat pohon “marakh” dan “‘ifar")
pohon itu bisa melentikkan api, tentu akal bisa meneliti
susunan kimiawi apa yang terdapat dalam pohon itu sehingga
bisa mengeluarkan api. Artinya: akal pun bisa menjelaskan
fenomena “fisik” ini dengan masuk akal.

Maaf, anda salah kutip ayat. Mestinya, kalau anda mau
menunjukkan ayat di mana ada pertentangan antara akal dengan
wahyu, maka kutiplah beberapa ayat sebelum ayat yang anda
kutip itu: “wa dlaraba lana matsalan wa nasiya khalqahu, qa
la man yuhyil ‘idlama wa hiya ramim, qul yuhyihal Ladzi an
sya’aha awwala marrah wahuwa bikulli khalqin ‘adzim”.
Terhadap masalah kebangkitan fisik di hari kiamat ini pun
(Catatan: sebetulnya ayat ini tidak secara eksplisit
berbicara tentang kebangkitan fisik di hari kiamat, tetapi
tentang kekuasaan Tuhan memberi “hidup” pada tulang-tulang
yang telah hancur), terdapat perbedaan antara pandangan
“jumhur” (mayoritas kaum ortodoks) dan kaum falasifah
(itulah sebabnya kaum falasifah sering dikafirkan di zaman
klasik dulu; persis lah kayak sekarang; fenomena de ja vu?).
Sebagian kaum falasifah tidak mempercaya kebangkitan fisik
karena pertimbangan akal, dan lebih mempercayai kebangkitan
spirit atau jiwa. Seorang penyair Arab klasik, Abul ‘Ala Al
Ma’arri, adalah salah seorang yang dengan terus terang
mengingkari kebangitan fisik.

Tapi saya tak tertarik dengan perdebatan soal metafisik.
Saya lebih suka dengan dunia fisik yang kongkrit ini. Dalam
hal metafisik, saya mengikut saja hadis Nabi, “Tafakkaru fi
khalqil Lah, wa la tafakkaru fil Lah.” Meskipun
kadang-kadang soal metafisik juga menarik minat saya. Saya
kira hadis Nabi itu bisa disebut sebagai pertanda bahwa
debat dalam soal yang tak bisa diverifikasi secara empiris,
akan menyeret kepada “debat kusir” yang tak ada ujungnya.
(Apakah ini sebentuk “positivisme religius”? [Ini bukan
permainan semantik, lo]).

Jadi sebelum saya menjawab pertanyaan anda soal
pendekatan apa yang saya pakai manakala terjadi konflik
antara akal dan wahyu, jawab pertanyaan saya dulu: ayat yang
anda kutip itu di mana letak konfliknya? Kalau sudah anda
jawab, boleh kita teruskan diskusi.

Ok?

salam,

ulil.

HMNA:

Sayid Qutb dalam fiy Zhilali lQuran menafsirkannya, bahwa
memang dalam kayu ada api, sebab kalau digosok-gosok akan
keluar api. Tetapi tafsir Sayid Kutub itu tidak memuaskan
akal, karena itu baru mungkin terjadi apabila kayu itu sudah
kering betul, sudah berwarna kecoklat-coklatan, tidak hijau
lagi. Dalam pengalaman empiris dari kayu hijau tidak dapat
diperoleh api dengan cara menggosoknya. Mahmud Yunus
menafsirkan bahwa ada sejenis kayu di Aceh yang walaupun
masih hijau sudah dapat dibakar dijadikan suluh. Tetapi itu
tidak memuaskan akal, karena dalam ayat (36:80) asysyaru
l’akhdhar itu adalah mudzakkar yang mengandung arti seluruh
spesi pohon. Kalau hanya sejenis yang seperti di Aceh itu
harus memakai bentuk muannats. Jadi ke manapun ditafsirkan
tidak memuaskan akal. Sayid Qutb tidak menjinggung soal
hijau, sedang Mahmud Yunus hanya pohon secara parsial. Di
situ pertentangannya, yaitu bendanya mudzakkar dan warnanya
akhdhar.

Wassalam,

Makassar 17 Desember 2002

HMNA

btw saya juga boleh bertanya? Mengapa nama anda Abdalla,
bukan ‘Abdullah?

(tulisan sebelumnya | bersambung ke tulisan berikutnya)

30/12/2002 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya KOk tidak setuju ya kalo wahyu itu disejajarkan dengan akal.memangnya kita ini siapa? partner alloh?seakan akan kita ini punya akal yang tinggi yang bisa mengakali sesuai sesuai dengan akal kita, apa kira kira kita ini tidak hidup dalam tempurung yang mencoba berfikir dengan akal kita mengenai hal yang diluar tempurung?hehehehhe… padahal akal manusia tebatas, kalo anda menganggap akal bisa menjawab dan sejajar dengan wahyu, coba anda cari jawaban dimana jin itu berada? kegaiban yang lain? banyak kalo anda ingin jawaban yang sepertinya itu memang tidak bisa di akalkan,

Posted by jin iprit  on  05/06  at  10:14 PM

Assalamu’ alaikum
Bapak Kyai Ulil, antum memang orang yang cerdas dan kaya akan llmu, Oh ya pa kyai jangan menyerah untuk dawah tranformatif, karena islam adalah rahmatallil alamin, Selamat dan Sukses untuk bang Ulil

Posted by M. Anisulfata  on  12/15  at  02:02 PM

assalmkkm.sahabat ulil yag sy hormati.jujur saya katakn anda sudah pantas jadi ketua PBNU,krn anda sangat mumupuni dalam keilmuan agama.pesoalan pemikiran anda yang cendrung ‘’liberal’’itu hanya sebagian menurut orang awam saja,bagi saya pemeikiran yang ada kembangkan itu sudah biasa tak ada hal yang aneh,kebetulan sy dari pesantren’’apa yang anda ungkapkan itu sudah ada ratusan tahun yang lalu cuma namanya saja liberal.sebenarnya sederhana,bahwa khasanah keilmuan khususnya para ulama di indonesia itu sangat terbatas dlm kitab kuning,kita ini kekurangan referensi atau kitab kuning,yang pling banyak di indonesia ini hanya yang bermdzhab syafi’i saja,dan yang paling parah lagi para ulama kita masih tabu kalau menggunakan selain syaf’ii.
kedepan ketika anda menjedi ketua PBNU,marilah kembangkan kajian-kajian dari seluruh madzhab dan tdk hanya madzhab yang empat saja.
sahabat ulil sya ingin ikut kajian yang diselenggarakan jil.bgm cranya ya tolong di balas lewat email saja ok .wassa

Posted by ardani  on  11/06  at  10:34 AM

Bang Ulil, kami sebagai generasi musa NU yang tau makna Liberal, maka anda sepantasnya untuk menjadi KETUA PBNU. Semoga Nu tidak ditinggalkan oleh organisasi yang lain.Kami sebagai warga NU banyuwangi, apabila anda jadi PBNU tolong hidupkan NU jangan cari hidup di NU.

Posted by saipul muallim  on  10/04  at  04:04 PM

asslamualaikum bang ulil.  pertama saya mau ucapkan semoga anda selalu diberi pengampunan oleh sang Malikiyau middin.saya tertarik dengan pemikiran anda yang boleh dianggap baru dan cenderung liberalis,tapi kebebasan berpendapat dan punya penafsiran sendiri atas sesuatu ya itu rahmatal lilalamien saja,saya sebenarnya hanya mahasiswa biasa yang sedang mencari jati diri lewat dien(sistem,aturan) yang kata allah dalam surat almaidah ayat 3 telah sempurna yaitu agama islam.agama yang sangat torelan dalam segala hal tapi dalam batasan berkomunitas bukan bertauhid(karena salah satu isu yang anda kemukan adalah islam prulalisme yaitu islam yang mengutamakan torelansi,bahkan saya dengar anda bersumpah untuk tidak sholat jumat demi torelansi beragama)begini bang ulil saya kira anda tentu tau dalam setiap natal kita cenderung mengucap selamat natal atau ghong sivacai,saya rasa,disini ada polarisai penafsiran,pertama kita mengucapkan selamt bertujuan torelansi beragama tapi yang kedua kita telah mengakui secara tidak langsung yesus adalah tuhan,saya mohon penjelasan anda mengenai hal ini.Hal lain adalah dalam suatu diskusi di dkm unpad fasa,saya mendengar ayat yang saya kira bagus sebagai bahan diskusi begini artinya(saya lupa surahnya)janganlah kamu mengambil aturan(syariat allah)sebagian dan memakai aturan yang kafir sebagian dari itu karena itu adalah kafir sekafirnya.dari penafsiran ini saya berpendapat kita ini sedang menggunakan sebagian dari aturan allah oke kita menjalankan islam hanya sebatas mahdoh (berarti sebagian) tapi saya melihat ada bagian yang lain yang yaitu ghoiru mahdoh yang berrti muamala segala aspek kehidupan seperti politik ekonomi dan lain2 kita tidak melaksanakannya.bagaimana tanggpan bang ulil nih mengenai ini,karena saya lihat anda dan jil(menurt teman saya jaringan islam liuer-bahasa sunda yang berrarti pusing-)menyatakan bahwa syariat islam sudh tidak relevan lagi dijaman modern sekarang bahkan alquran sudah ketinggallan jaman lantas kenapa setiap anda berdiskusi anda mengunakan alquran sebagai rujukan argumen anda? maf terlau melebar,saya membaca buku seri jil.sampai disini dahulu.saya harap pertanyaan ini dijawab sama bang ulil absor.dan jangan anggap tanggapan saya ini sebagai suatu yang dapat membuat orang lain tidak selera,mari kita mencari kebenaran jangan saling menggugat atau berdebat karena berdebat hanya membuat kita saling menghina jadikan perbedaan sebagai rahmatal lilalamien.saya mohon balasan kealamta email saya.BY Cahya staf kementrian media informasi bem kema unpad,media dakwah dkam sastra unpad) satu lagi saya mau mengundang bang ulil untuk berbicara atau sebagai nara sumber atau menerima undangan kami di fasa unpad karena saya melihat begitu besar minat mengenai perbincangan jil ini di unpad jatinagor,saya mohon dengan sangat ada balasan dari bang ulil megenai masalah ini,saya minta alamta email bang ulil untuk membicarakan mengenai nara sumber)cahyo_zack@yahoo.com
-----

Posted by nurcahya abdullah(abdallah)  on  05/10  at  04:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq