Diskursus Hadis di Jerman - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
13/03/2005

Diskursus Hadis di Jerman

Oleh Kamaruddin Amin

Studi hadis di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas.

Orang Arab sedang menikmati kelezatan intelektual pada saat orang Kristen di Barat sedang bergelimang dalam kehidupan barbarisme. Demikian kata Carra De Vaue yang dikutip oleh Arnold Alfred dalam Legacy Of Islam, Oxford 1931. Dapat dipahami dari remark diatas bahwa orang Arab yang notebene adalah orang Islam pernah menikmati kejayaan intelektual dan keagungan peradaban yang terlukis indah dalam sejarah dunia. Mereka mendirikan universitas dan tempat-tempat penelitian ilmiah yang menarik perhatian para sarjana dari berbagai pelosok dunia.

Akan tetapi setelah keruntuhan Bagdad pada tahun 1258, mereka mulai kehilangan roh dan independensi intelektualnya. Mereka larut dalam keagungan warisan intelektual pendahulunya tanpa upaya kritik, apalagi improvisasi. Buku-buku dan manuskrip berharga peninggalan generasi sebelumnya dibiarkan tak terbaca dan dimakan oleh cacing dan ulat, sampai pemerhati ilmiah dari Barat datang untuk mengamankannya.

Para orientalis ini datang dan mengumpulkan manuscrip dari berbagai tempat di dunia Islam, kemudian menyimpannya dengan sangat rapi di perpustakaan-perpustakaan mereka. Mereka juga mempelajari dan bahkan menerbitkannya di negara mereka. Sebagai hasilnya, berdirilah jurusan Arab dan studi Islam di Heidelberg (Universitas tertua di Jerman) pada tahun 1585, dengan tujuan utama mempromosikan manuskrip-manuskrip yang telah dikumpulkan dari berbagai dunia Islam. Sampai sekarang, hampir semua perguruan tinggi di Jerman memiliki jurusan Islamswissenschaft (studi Islam). Dari jurusan-jurusan tersebut lahirlah sejumlah sarjana sekaliber Gustav Weil (1808-1889), Alois Sprenger (1813-1893), JulliusWellhausen (1844-1918), Teodor N?oeldeke (1836-1930), August Fisher (1865-1949), Brockelmann (w. 1956) dll. Mereka telah memberikan kontribusi luar biasa dalam studi Islam, meskipun tidak semua pengkaji Islam sempat menikmati karya mereka.

Perpustakaannya yang lengkap dan kualifikasi para akademisinya yang tidak diragukan turut mengundang perhatian para pemerhati studi Islam di Nusantara. Hingga sekarang, terdapat sekitar delapan dosen IAIN (empat diantaranya telah menjadi alumni) dari seluruh Indonesia sedang melakukan semedi intelektual di berbagai perguruan tinggi di Jerman. Bukan hanya Alquran, studi hadispun dilakukan di negara ini.

Studi hadis di Barat dimulai oleh sarjana Jerman Alois Sprenger (w. 1893) yang mengekspresikan skeptisismenya terhadap otentisitas hadis. Kemudian diamini oleh William Muir yang juga memiliki sikap skeptis yang sama. Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menulis bukunya Muhammedanische Studien, yang merupakan buku kritik hadis terpenting pada abad kesembilan belas. Ia menolak hadis sebagai sumber informasi pada masa nabi Muhammad, melainkan hanya sumber berharga untuk mengetahui peta konflik dan informasi generasi yang datang kemudian. Goldziher diikuti oleh L. Caetani, Henri Lammens, John Wonsbrough, Patricia Crone dan Michael Cook. Dalam kesarjanaan Islam di Barat buku dan tesis Goldziher, yang terbit pada tahun 1890, tidak mengalami revisi signifikan sampai Joseph Schacht menerbitkan bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950. Ia membahas secara khusus hadis hukum dan perkembangannya. Tesisnya adalah bahwa isnad cenderung membesar, jumlah perawi semakin membengkak pada generasi belakangan (proliferation of isnad) dan mundur kebelakang, perawi cendrung menyandarkan riwayatnya kepada generasi sebelumnya (projection back). Teori common link nya mempengaruhi sarjana yang datang sesudahnya. Seperti Goldziher, ia berpendapat bahwa sangat sedikit, kalaupun ada, hadis yang berasal dari nabi. Namun demikian, ia percaya bahwa dengan studi mendalam dan kritis kita bisa sampai pada kesimpulan tentang kapan sebuah hadis tertentu diedarkan. Metode Schacht diadopsi oleh Joseph van Ess dan dikembangkan dalam skala besar oleh G. H. A. Juynboll.

Meskipun buku Goldziher dan Schacht dianggap karya monumental yang menginspirasi studi hadis di Barat, hal itu tidak membuatnya luput dari kritik. Sarjana Islam seperti Fuat Sezgin, Mustafa Azami dan Mustafa al-Sibai telah melakukan kritik tajam terhadap semua tesis dan premis-premisnya. Sezgin dan Azami berpendapat bahwa para sahabat nabi telah menulis hadis nabi dan kegiatan transmisi hadis dilakukan secara tertulis sampai hadis-hadis tersebut dikodifikasi pada abad ketiga hijriah.

Kritik sejarah adalah tugas yang tidak pernah berhenti. Para sarjana Islam seperti Sezgin dan Azmi, pengkritik Goldziher dan Schacht, kini kembali diserang secara metodologis yang tentu berpengaruh pada kesimpulan tentang otentisitas dan otoritas hadis sebagai sumber hukum dan norma Islam. Serangan metodologis tersebut datang dari G. H. A. Juynboll, sarjana asal Belanda yang telah menghabiskan separoh dari umurnya untuk meneliti hadis. Ia menganggap Sezgin dan Azami telah menggunakan sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan historisitasnya, sehingga semua premis dan kesimpulannya tertolak. Dari hasil semedi hadis yang dilakukannya, ia kemudian membuat sejumlah teori sebagai bagian dari metode penelitian hadis yang ia lakukan selama kurang lebih 30 tahun. Muncullah istilah spider, single strand, diving, partial common link, common link dan argumentum e silentio, yang dua terakhir ia kembangkan dari Schacht. Kesimpulan saya, ia tidak percaya akan adanya satu hadispun yang bisa dipertanggungjawabkan historisitasnya. Ia menganggap metode verifikasi hadis yang diterapkan selama ini oleh sarjana Islam tidak reliable (thiqa) untuk menentukan otentisitas hadis.

Haruskah studi serius tersebut ditolak secara a-priori karena kesimpulan-kesimpulannya secara fundamental merugikan Islam? Bagi saya, yang menarik bukan kesimpulannya, tapi mengapa ia sampai pada kesimpulan itu, alias metodologinya. Menggunakan metode yang sama tidak harus sampai pada kesimpulan yang sama. Di sinilah menariknya belajar hadis di sarang orientalis. Sepanjang pengamatan penulis, belum ada seorangpun sarjana Islam yang memberikan tanggapan serius terhadap metode dan sejumlah premis Juynboll, baik dari Timur Tengah maupun dari dunia Islam yang lain.

Walhasil, studi hadis di Barat berbeda secara fundamental dari studi hadis di tempat lain seperti di Timur Tengah dan Indonesia. Kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadis menekankan pada bagaimana melakukan takhri-j hadis untuk menentukan otentisitasnya, maka studi hadis di Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal Islam. Mempelajari metodologi kedua kecenderungan tersebut akan semakin memperkaya metodologi kita, yag pada gilirannya akan semakin memungkinkan kita untuk mengungkap kenyataan sejarah kehidupan Nabi. Namun demikian kritik Orientalis terhadap metodologi penelitian hadis yang, oleh sebagian besar sarjana Islam, dianggap sudah mapan menunggu respon dari sarjana Islam. Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan buat kita semua.[]

Kamaruddin Amin, Kandidat Doktor Bonn University, Germany

13/03/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (12)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

sangat janggal kalau dibilang kajian hadits di timur itu fokus pada takhrij dan di barat fokus pada dating. ini menunjukkan orang yang mengatakannya tidak tahu apa-apa tentang takhrij. tujuan utama dari takhrij itu ya “dating” itu sendiri; menentukan apakah hadits itu memang bermula dari rasulullah, bermula dari shahabat, bermula dari tabi’in, ataukah bermula dari orang setelah mereka, ataukah bermula dari tangan seorang pemalsu hadits.

Posted by joko  on  05/30  at  03:24 PM

Assalamualaikum..

Tempat berdiri dalam memandang fenomena berkembangnya ilmu-ilmu studi hadits “ilmiyah” dewasa ini amat menentukan komentar yang akan terbentuk didalam benak kita masing-masing..

Menimbang sumbangan para orientalis dalam campur tangan mereka dalam studi hadits sekiranya dapat dipahami seperti pedang bermata dua. Memang ada manfaat yang luas, seperti menatap kedalam dari luar kotak. Sehingga dapat kita tangkap gambaran para sarjana barat mengenai sisi dinding yang tidak terlihat dari dalam kotak (mushthalah al hadits para ulama tradisional). Lubang lubang kecil yang terlewat oleh para ulama hadits abad lalu, mereka ekspose dengan tujuan-tujuan yang sejatinya bukanlah dalam rangka memantapkan aqidah dan iman umat islam.

Mereka menawarkan konstruk berfikir yang ilmiyah, namun sekali lagi hal ini beresiko mengacak-acak kekokohan fondasi iman pada para pelajar maupun sarjana muslim yang selama ini hanya melanjutkan ilmu kritik hadits warisan ulama terdahulu.

Namun apakah umat harus merubah paradigma dalam memahami ushul al hadits? Tentu tidak..

Justru hal ini merupakan sebuah tantangan bagi para ulama peneliti hadits masa kini, untuk menjawab tuduhan-tuduhan para orientalis yang bertujuan mendesakralisasikan hadits nabawi dengan ushul ushul baru (baca yang dikembangkan) dalam mengkaji otentitas sebuah hadits.

Keteguhan, keikhlasan dan kesabaran untuk membelah sunnah Rasulullah saw adalah sebuah bentuk jihad mulia.

Wallahu ‘alam.

Posted by Abiesuman  on  09/28  at  05:07 PM

Terkadang saya pun berpikir, mengapa ulama2 pada saat ini lebih banyak berpedoman kepada hadist? Mohon maaf kepada umat muslim semuanya, saya pun sampai saat ini muslim. Tetapi saya meragukan hadist2 yang ada saat ini....sebab hadist ditulis 250 th setelah nabi wafat, bukan hal yg mustahil di masa kurun waktu tersebut ada miss, dan saya tidak yakin hadist yg ada sekarang pernah dikatakan oleh nabi kita Muhammad SAW.

Pertanyaan sederhana, Siapakah yg menetapkan bahwa sebuah hadist itu sahih? Ulama? atau nabi kita? Nabi Muhammad pun tidak pernah berkata mengenai hadist itu sahih atau tidak.
Kalau pun hadist saat ini dikatakan sahih, adalah ulama2 yg menetapkan hadist tersebut.

Menurut saya kembali saja ke Al-Qur’an Seutuhnya. Sebab di dalam Al-Qur’an tersimpan kedasyatan2 yang tiada tara.

Posted by andy  on  04/06  at  11:54 AM

Memang asyik baca komentar, analisis dari orang-orang barat, karena kajiannya beda dengan umumnya islamisis. dari kajian mereka tentang hadist saya yakin kesimpulan kita, hadist itu ‘meragukan’, dan mau tidak mau kita ‘harus’ skeptis. Baca juga komentar mereka tentang Al-Quran, saya yakin kita akan skeptis juga terhadap al-qur’an, saya punya cacatan lengkap tentang ini. Tahrif al-Qur’an mau tidak mau kita ‘Afirmasi’.Tetapi problemnya adalah unsur ‘sakralitas’ dihilangkan sama sekali dalam kajian mereka, bahkan terkadang banyak alur berfikir yang seenaknya diambil oleh mereka. lihat konsep mereka tentang paralelisme suatu ajaran Islam, kalau ada kemiripan dengan Yeduo-kristiani, mereka katakan itu berasal dari sana. kalau ada konsep kebaikan-kebaikan dalam Islam mereka katakan itu sudah ada pra-islam (orang-orang arab), bila ada kejelekan...mereka cenderung bilang islam kurang memberi porsi tertentu pada...dst. Konsep ini tidak ada zaman nabi...dst. Saya sepakat anda lihat kajian Islam dimanapun.. tetapi pertanyaannya adalah...Imbangkah anda...silaukah anda? skeptiskah anda dengan mereka? Jangan sampai kita terbelalak oleh mereka karena ‘kehebatan mereka’ padahal itu sudah dibahas lengkap dalam literatur2 islam...problemnya bahasa arab kita lemah...sehingga lebih senang baca buku teks barat daripada teks arab. lihat saja...maaf buku Taufik Adnan Amal...Rekontruksi sejarah Al-Qur’an...Insya saya tdk salah...bahasa arab dalam literaturnya minim-minim sekali...seakan penulisnya mampu baca teks arab. seakan dia hanya merekontruksi tulisan beberapa sarjana barat...mohon maaf. Sekali lagi… Imbanglah...dan mudah-mudahan anda pernah baca buku Orientalisme Edward Said. kalau dengar, semua kita dengar..pertanyaannya sudahkah anda baca habis dengan serius buku itu...sekali lagi baca habis...jujur tidak banyak dari kita yang baca habis...apalagi ditelaah konsep...penciutan dan perluasan idea (ala Karl Raimound Popper dan Foucoult) yang diadopsi oleh Said juda Souroush (Iran). kita perlu sering minum pil (skeptisisme kajian barat), sehingga tidak rentan penyakit (silau, dengan rekontruksi pamer lliteratus dan keapikan data.
seakan pure-objektif...tetapi lihat konsep dibelakang mereka. bukan menolak semua barat..tetapi skeptis-kritis dan Imbang.lihat teks anda tentang G. H. A. Juynboll...jelas anda ‘sangat kagum’. Imbanglah...kalau Islam...Al-Qur’annya harus direvisi,dengan kajian hermeutika...hadistnya tidak dapat dianggap hadist...maka mana unsur sakralitas agama anda? tidakkah kita cemburu. wallahu al a’lam

Posted by Muh  on  09/25  at  01:16 PM

Devita mengatakan: “Kenapa sih kita diharamkan untuk mengkaji hadits.” Tanggapan= Siapa sebenarnya yang mengharamkan studi hadits.. kita mengetahui bahwa dari awal, proses kodifikasi hadits itu adalah sebuah studi hadits, lalu atas dasar apa orang mengatakan bahwa studi hadits haram..?!

kemudian, Devita mengatakan: “Kalau memang tidak percaya pada berita-berita dari non muslim (walau mereka sebenarnya mengkaji secara pure objective)” Tanggapan= Dalam suatu metode ilmiah, unsur subyektifitas tetap ada. walaupun dapat direduksi seminimal mungkin, subyektifitas tidak bisa dihapus. jadi, bagai mana kita bisa mengatakan bahwa hasil studi barat itu “pure objektif”?! pasti ada kepentingan yang mendasari studi ilmiah tersebut (negatif atau positif). jadi, dalam menghadapi suatu hasil studi ilmiah (baik menguntungkan atau merugikan Islam bagi yang merasa...) kita harus ingat bahwa “kebenaran” yang dihasilkan oleh studi adalah “kebenaran epistimologis” yang debatable.

Akhirnya, marilah kita tersud memperdalam kemampuan analisis kita untuk dapat menanggapi segala hasil studi yang ada.. OK!!!
-----

Posted by EL YASIR  on  02/21  at  05:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq