Eksperimen Demokrasi dan Kebebasan Beragama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
20/09/2005

Eksperimen Demokrasi dan Kebebasan Beragama

Oleh Abdul Mukti Ro'uf

Menghadirkan demokrasi di negeri bermayoritas muslim seperti Indonesia ternyata tidak mudah. Sebabnya bukan karena Islam sebagai doktrin tidak welcome terhadap demokrasi. Spirit Islam dan spirit demokrasi bahkan dapat bertemu secara substantif. Penelitian tentang wacana kesesuaian Islam dan demokrasi baik yang tekstual maupun yang kontekstual sudah teramat banyak.

Menghadirkan demokrasi di negeri bermayoritas muslim seperti Indonesia ternyata tidak mudah. Sebabnya bukan karena Islam sebagai doktrin tidak welcome terhadap demokrasi. Spirit Islam dan spirit demokrasi bahkan dapat bertemu secara substantif. Penelitian tentang wacana kesesuaian Islam dan demokrasi baik yang tekstual maupun yang kontekstual sudah teramat banyak. Sebut saja hasil penelitian mutakhir sarjana Barat seperti Robert W. Hefner (Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia: 2000). Dengan analisa “antropologi demokrasi"nya, Hefner merekomendasikan bahwa Indonesia memiliki modal sosial dari sejarah Islam Indonesia dalam mengembangkan demokratisasi. Tokoh-tokoh besar seperti Abdurahman Wahid dan almarhum Nurcholish Madjid, sepanjang karir intelektualnya tidak pernah berhenti untuk mendorong laju demokrasi di Indonesia. Demokrasi memang bukan segalanya, tetapi ia lebih bisa diterima ketimbang yang lain seperti teokrasi.

Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilihan persiden secara langsung sepanjang tahun 2004 lalu, dipuji oleh majalah terkemuka The Economist edisi 10 Juli 2004, yang dalam cover story-nya membuat judul, ”Indonesia’s Shining Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia). Pujian dunia internasional terhadap keberhasilan “proyek demokrasi” sekaligus “hadiah” bagi umat Islam (yang percaya dengan demokrasi) dalam mengaplikasikan “Islam damai” sekaligus membantah tudingan akan suburnya “islam radikal” di Indonesia.

Fakta ini juga menjawab “tudingan” Oliver Roy (The Failure of Political Islam) yang mengatakan bahwa kemenangan politik islamis di negeri muslim hanya membawa berbagai perubahan superfisial di bidang hukum dan adat istiadat. Islamisme, belakangan berubah menjadi tipe neo-fundamentalisme yang hanya peduli kepada gerakan menegakkan syariat tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik yang baru.

Pengalaman keberhasilan kerja demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia-meskipun baru seumur jagung-dengan demikian semakin meyakinkan bagi akademisi politik ternama seperti Liddle, Stephan, Esposito, Voll, dan Hefner bahwa umat Islam di Indonesia berbeda dengan umat Islam di kalangan Timur Tengah yang selalu dipersepsi keras.

Namun, seperti diingatkan Hefner, modal sosial yang dimiliki itu bisa saja berbalik sebagai ancaman bagi demokrasi. Pasca-robohnya rezim Orde Baru, ternyata tesis Hefner tengah mendapat pembenarannya, baik sebagai pendorong demokrasi maupun sebagai ‘pemukul’ demokrasi. Aktualitas kehidupan beragama adalah salah satu ukuran apakah pilar-pilar demokrasi dapat terjabarkan dengan baik pada tataran sosiologis atau tidak.

Tidak dapat dielakkan, di Indonesia, karena fakta kemajemukan yang tinggi, hubungan antar agama dan suku sering melahirkan konflik serius. Islam dan Kristen misalnya (dua agama yang paling sering “berseteru"), selalu saja memunculkan “kecurigaan teologis” di atas isu semacam “Kristenisasi” dan “Islamisasi”. Orang Islam khawatir dikristenkan dan orang Kristen khawatir diislamkan. Konflik antar agama ini sering pula didasarkan atas hubungan mayoritas-minoritas di mana politik diskriminatif sering berlangsung.

Fakta-fakta terbaru seperti perusakan kampus Ahmadiyah di Parung Bogor, kontroversi 11 fatwa MUI, penutupan gereja di Bandung dan Serang Banten oleh warga adalah dilema tersendiri bagi pembangunan demokrasi, untuk tidak menyebut sebagai cacat demokrasi. Ada sebagian dari gerakan Islam yang amat serius menangani isu semacam itu dengan paradigmanya sendiri yang acapkali memicu kekerasan. Seolah-olah, dalam konteks penutupan tempat ibadah secara paksa, antara agama satu dengan yang lainnya sudah tertutup ruang toleransi. Surat Keputusan Bersama No.01/BER/MDN-MAG/1969 (Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri) menjadi alasan hukum untuk menutup tempat ibadah yang tidak seharusnya. Di samping alasan hukum, ada semangat keagamaan yang menyelinap di atas logika penutupan tempat ibadah oleh kelompok agama lain. Bagi mereka, gerakan ini adalah bagian dari ibadah dan dakwah yang diletakkan dalam frame amar makruf nahi munkar.

Dilema empirik semacam itu, meskipun secara bijak harus dianggap sebagai bumbu demokrasi, haruslah dianggap sebagai masalah serius baik oleh warga maupun negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi, ekspresi keberagamaan warga haruslah dijamin melalui undang-undang. Hubungan mayoritas-minoritas harus diletakkan dalam bingkai keadilan. ‘Warga mayoritas’ tidak bisa berlindung di atas nama kuantitas. Keduanya harus bergerak meng-indonesia. Jika tidak demikian, maka warna-warni ‘bunga Indonesia’ tidak lagi indah dipandang mata.

Sinergi Islam dan Demokrasi

Ironi demokrasi yang disajikan Indonesia, jika mau jujur, bukanlah hal baru dalam praktik demokrasi di negera-negara tertua demokrasi sekalipun. Di AS misalnya, ironi semacam itu sering pula terjadi. Kelompok White Anglo Saxon Protestant (WASP), sebagai kelompok mayoritas di AS, memiliki privilege di atas yang lainnya. Artinya, secara diam-diam, ideal demokrasi seringkali dikalahkan oleh aktualitasnya. Karena itu, tidak keliru jika Giovanni Satori (1986), seperti dikutip Amich al-Humami (Negara Sekuler: Sebuah Polemik: 2000), mengajukan pertanyaan kritis: “Jika kita bicara tentang demokrasi Barat, maka kata kuncinya itu ‘Barat’ atau ‘pengalaman’? Dalam perspektif demikian, Demokrasi Indonesia haruslah dibangun secara mandiri dan otonom dari pengalaman demokrasi negara-negara Barat. Sebagaimana Iran, Indonesia kurang lebih sama. Yaitu, bagaimana menjadikan agama (Islam) sebagai pemandu demokrasi yang khas Indonesia. Mungkin di sini ada soal klasik, yaitu bagaimana Islam sebagai ajaran diolah menjadi ‘menu Indonesia’ sebagaimana anjuran Cak Nur, “bagaimana ber-Islam secara Indonesia dan ‘ber-Indonesia’ secara Islam”. Maksudnya, Islam (dengan I besar) sebagai sebuah ajaran yang murni mau tidak mau harus berdialog dengan islam (dengan i kecil) sebagai aspek kesejarahan umat Islam. Dinamisme masyarakat muslim Indonesia sebagai fenomena keberagamaan, yang oleh Hefner disebut sebagai modal sosial demokrasi harus selalu diperiksa untuk meneguhkan kembali ikatan Islam dan demokrasi, terutama pada wilayah sosialnya.

Dalam ruang yang lebih spesifik, kehidupan demokratik harus ditopang oleh kehidupan beragama yang kondusif. Untuk itu, kehidupan umat beragama di Indonesia harus diletakkan dan diabdikan untuk kepentingan umat Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan ‘ber-Islam secara Indonesia’ ala Cak Nur.

Pengrusakan, penutupan paksa tempat ibadah adalah “peristiwa sosial” yang mendefisitkan cita-cita demokrasi. Jikapun bukan atas nama demokrasi, “peristiwa sosial” yang anarkhis pastilah tertolak secara sosial. Maka, kebebasan beragama harus mendapat tempat yang layak di atas pelataran demokrasi Indonesia. Posisi mayoritas-minoritas harus ditempatkan dalam bingkai keadilan yang jujur.

Kekhawatiran “penjajahan teologis” dari agama satu ke agama lain bukan lagi menjadi wacana yang menarik di era multikulturalisme dan pasar bebas agama dan budaya. Agama-agama justru harus menjadi ‘imam’ kemajuan bangsa. Pendekatan teologis-eksklusif terhadap fakta kemajemukan hanya akan memelihara jarak kerja sama agama-agama. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, musuh Islam bukan Kristen, musuh Kristen bukan Islam. Musuh keduanya adalah keterbelakangan, kebodohan, pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Maka, kerja sama agama-agama mutlak diperlukan untuk melawan musuh-musuh itu sebagai tanggung jawab publik-agama-agama.[]

Abdul Mukti Ro’uf, Dosen STAIN Pontianak

20/09/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamualikum,wr,wb… Saya sangat setuju dengan tulisan bapak Abdul Mukti Ro’uf “musuh Islam bukan Kristen, musuh Kristen bukan Islam” QS2:[62] Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.  Kalau kita saling bermusuhan (Islam-Kristen) ini berarti Al Qur’an kita salah tulisannya, adakah diantara para bapak bapak yang berani merobahnya? Apakah ayat tersebut diatas memang sudah dirobah karena adanya ayat ini

QS2:[106] Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?  Sehingga anda bilang ayat ini sudah direvisi dengan ayat QS 5: [29] Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.  Kenapa kita sebagai muslim selalu takut akan kehilangan akan pemeluknya? Allah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama QS2: [256] Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui Akan tetapi tidaklah begitu kenyataannya. Kita sering kali ketakutan sendiri (kuatir) akan kehilangan pemeluk agama Islam di Indonesia sehingga bisa mengurangi rasa kebanggaan pribadinya juga. Apakah betul kalau pemeluk agam Islam berkurang berarti pamor Indonesia akan turun? Atau pamor agam Islam akan turun? Atau Allah orang Islam akan turun pamornya. Apakh anda yakin kalau anda beragama Islam itu adalah karena kehendak Allah dan dikuatkan dengan keimanan dari diri anda akan agama Islam itu sendiri? Apakah anda beragama Islam karena orang tua anda, atau karena terpaksa dikarenakan sesuatu hal? Atau karena dipaksa? Kalau anda boleh menjawab dengan jujur saya kira anda akan menjawab karena “kehendak Allah dan iman anda” maka anda memilih agama Islam.  Nah apakah orang lain juga mempunyai pengalaman seperti anda juga? Saya kira setiap orang mempunya pandangan yang sama seperti anda, dan mereka juga tidak mau didikte oleh siapapun. Jadi apakah kekuatiran kita ini beralasan? Lagipula kenapa kita harus takut kalau suatu saat muslim diIndonesia misalnya hanya 20 juta jiwa saja, apakah ini juga bukan kehendak Allah? Saya kira Allah sangat sayang kepada bangsa Indonesia, maka mungkin saja pada suatu saat pemeluk agama Islam hanya 20 juta jiwa tapi mempunyai kualitas Islam yang baik dari pada mempunyai 220 juta muslim tapi tidak ada kualitasnya. Untuk apa mempunyai 220 juta muslin tapi kerjanya hanya membuat ribut dan keonaran dalam berbangsa dan beragama? Lebih baik hanya 20 juta muslim tapi berkualitas dan bisa mengatur negara. Para pejabat dan ulama Indonesia sering mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan mayoritas Islam jadi dikatakan negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar didunia. Apakah ini benar? Ya benar dalam bentuk kuantitasnya, akan tetapi bagaimana dengan kualitasnya. Kebanggaan akan kebesaran bangsa Indonesia sering dideklarasikan kepada dunia oleh para pejabat dan para ulama kita, akan tetapi yang diterima bukanlah pujian akan tetapi sebaliknya yang diterima adalah hinaan belaka karena dibalik kebanggaannya itu terlihat kebobrokannya yang tidak bisa diterima oleh dunia yaitu besar akan keterbelakangannya, besar akan kebodohannya, besar akan penganggurannya, besar akan kemiskinannya, besar akan korupsinya dan lain-lain. Untuk saya pribadi lebih baik Allah hanya memilih 20 juta muslim yang berkualitas sehingga mereka bisa membangun negara Indonesia tercinta ini dalam hal memberantas keterbelakangan, memberantas kebodohan, memberantas pengangguran, memberantas kemiskinan, memberantas korupsi dan lain-lain ketimbang diberikan 220 juta muslim yang arogan dan membuat keonaran terus menerus. Banyak orang juga takut akan kehadiran JIL, sehingga kehadiran JIL ini membuat rasa tidak nyaman untuk beberapa ormas keislaman. Kenapa anda takut akan kehadiran JIL dan kenapa anda juga takut akan keberpihakan JIL? Yang harus anda takutkan adalah bukan JIL atau Ahmadiah atau Kristen, Budha, Katolik, Hindu, Kong Hu Tze dll, yang harus anda takutkan adalah Allah SWT, karena kebenaran hanya ditangan Allah dan bukan ditangan anda anda sekalian. Anda adalah orang yang beragama Islam dan mengimaninya, kalau memang anda mempunya iman yang kuat, maka pakailah iman anda itu untuk menghakimi diri anda sendiri sehingga anda bisa mengkoreksi diri anda masing masing untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Janganlah memakai kekuatan iman anda untuk menghakimi lembaga keislaman yang ada di Indonesia untuk memamerkan power anda kepada teman teman anda.

Soal hasut menghasut itu sudah biasa, orang orang yang menghasut adalah orang orang yang paling pengecut karena takut kehilangan mayoritasnya, yang muslim menghasut yang minoritas supaya bisa dilihat bahwa dirinya berhasil membawa orang yang beragama lain masuk Islam. Dan pihak lain juga menghasut untuk keluar dari Islam dan masuk kedalam agamanya juga untuk memamerkan dirinya akn keberhasilannya. Diluar soal hasut menghasut, kalau ada seorang muslim pindah ke agama kristen, itu adalah hak orang tersebut karena mungkin dia melihat bahwa Allahnya adalah sama dan dilihat ada ketenangan dalam hidupnya. Dan sebaliknya kalau ada seorang Kristen pindah agamanya dan menjadi seorang muslim, apakah ini harus anda banggakan? Saya kira hal ini tidaklah perlu dibanggakan, karena ini memang adalah kehendak Allah SWT dan dia juga mengimaninya sebagai suatu kebenaran. Jadi apakah yang anda anda cari? Tidak ada , semua kekuatiran anda akan JIL, kristenisasi, islamisasi adalah sia sia belaka, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Pengrusakan Ahmadyah, Gereja gereja dan pembunuhan akan orang orang yang beragama lain hanya membuat hati Allah SWT menjadi sedih, ya sedih sekali terutama terhadap bangsa Indonesia ini yang hanya ingin memamerkan kekuasaannya dan kebebasannya sehingga manusianya (para muslim) yang ditinggikan dan Allah SWT direndahkan serenda rendahnya. Ingatlah bahwa Allah SWT adalah hakim yang agung, anda anda akan menghadapinya kelak bersiap siaplah dalam menghadapi penghakiman terakhir nanti. wassalaamu’alaikum wr. wb. Munir sjaf
-----

Posted by Munir sjaf  on  09/28  at  06:09 AM

Assalamualikum,wr,wb…

Puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat beriring salam tidak lupa ditujukan kepada Rasul Allah yang mulia Muhammad SAW.

Saya adalah salah seorang yang cukup responsif terhadap hadirnya JIL dan berbagai macam artikelnya yang sangat ilmiah dan benar - benar logis, tetapi coba kita lebih bersikap Objektif melihat kenyataan yang ada di lapangan, artikel yang saya baca melalui situs JIL cenderung melihat bahwa kenyataan dilapangan kaum Kristenlah yang sering dihasut, diajak, dengan berbagia cara untuk masuk Islam padahal tidak demikian kenyataannya, sebaliknya kaum kristen (misionaris)yang sering kali melakukan segala macam cara untuk mengkristenkan orang-orang Islam, ini fakta dilapangan, tetapi kenyataannya artikel yang sering ditulis teman - teman JIL adalah cenderung menganggap saudara - saudara Muslim sebagai biang segala kerusuhan, biang segala penghambat kebebasan beragama dan beribadah padahal tidak demikian kenyataannya, mohon maaf sebelumnya saya ini hanya orang awam yang tidak memiliki kemampuan menulis secara ilmiah seperti saudara - saudaraku di JIL, saya jadi bertanya - tanya JIL ini mewakili Umat/golongan/kelompok yang mana??? atau Netral??? tetapi kalau kita perhatikan dari sekian banyak Artikel semuanya cenderung memojokkan saudara - saudara Muslim yang hanya sekedar membela keberadaanya,

Posted by Andi Rusbiandi  on  09/20  at  09:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq