Hasutan Berjubah Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
23/10/2005

Hasutan Berjubah Agama

Oleh Luthfi Assyaukanie

Kiranya tak ada alasan lagi bagi MUI untuk berkelit bahwa fatwa-fatwa mereka tak ada sangkut-pautnya dengan kekerasan. Faktanya adalah bahwa perusakan terhadap rumah-rumah Ahmadiyah dan rencana penyerangan terhadap kantor JIL beberapa bulan lalu, jelas-jelas merupakan imbas langsung dari fatwa MUI yang kontroversial itu.

Laporan majalah Tempo terbaru (17/10) tentang pengakuan seorang aktivis Islam untuk membunuh mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar-Abdalla, sungguh sebuah berita yang mengejutkan, karena baru sekarang berita itu terungkap dengan penuturan yang begitu gamblang.

Iqbal Husaini, aktivis Islam itu, mengakui bahwa ia telah tiga kali mendatangi Komunitas Utan Kayu, markas JIL dan tempat Ulil bekerja. Namun, sayangnya, dia tak memiliki kesempatan bagus untuk membunuh menantu K.H. Mustafa Bisri itu.

Kendati berita itu sendiri cukup mengejutkan, bagi saya, yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa niat pembunuhan itu dilakukan karena didorong oleh fatwa mati yang pernah dikeluarkan Forum Ulama Umat Islam (FUUI), pada tahun 2002.

Pengakuan itu menambah bukti lagi bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan para ulama, baik di tingkat pusat (MUI) maupun lokal, jelas memberikan andil yang besar terhadap tindak kekerasan di tengah masyarakat. Sebelum ini, Ahmadiyah menjadi korban kekerasan sekelompok kaum Muslim yang terdorong oleh fatwa MUI yang menyesatkan aliran yang telah lama berada di Indonesia itu.

Kiranya tak ada alasan lagi bagi MUI untuk berkelit bahwa fatwa-fatwa mereka tak ada sangkut-pautnya dengan kekerasan. Faktanya adalah bahwa perusakan terhadap rumah-rumah Ahmadiyah dan rencana penyerangan terhadap kantor JIL beberapa bulan lalu, jelas-jelas merupakan imbas langsung dari fatwa MUI yang kontroversial itu.

Pengakuan Iqbal untuk membunuh Ulil karena didorong fatwa FUUI itu jelas sebuah perkara kriminal. Mestinya, bukan hanya dia saja yang dipersalahkan karena rencana jahatnya itu. Ada aktor intelektual yang lebih berbahaya yang harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum, yakni FUUI sendiri, yang mengeluarkan fatwa ceroboh itu.

Begitu juga dalam kasus-kasus yang menimpa Ahmadiyah. Polisi seharusnya tak hanya menindak para pelaku saja, tapi juga para “aktor intelektual” yang menyebabkan sekelompok Muslim itu melakukan perbuatan demikian.

Saya kira hukum kita memiliki delik yang jelas tentang perkara hasutan. Seseorang yang mengeluarkan amaran untuk membunuh orang lain adalah penghasut, dan mestinya ditindak secara hukum, apalagi jika hasutannya itu benar-benar digunakan untuk melakukan tindak pembunuhan.

Saya kira, selama para penghasut yang mengatasnamakan agama bebas melontarkan kebenciannya dengan bungkus fatwa, kekerasan akan terus terjadi. Saya tidak tahu berapa banyak lagi orang yang diam-diam terus memendam niat mencelakai orang lain akibat sebuah fatwa agama yang didengarnya dari seorang ulama atau ustad.

Situasi keagamaan Indonesia kini sudah semakin mirip dengan situasi keagamaan di Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah, yang terus mempertontonkan kekerasan atas nama agama. Peran ulama dan ustad sangat besar dalam mendorong aksi-aksi kekerasan itu.

Pada tahun 1992, Faraj Fouda, kolumnis terkenal Mesir, ditembak oleh seorang aktivis Islam. Alasan dia menembak mati Fouda karena ia mendengar ulama Cairo kerap mengecam Fouda sebagai seorang yang sesat.

Naguib Mahfouz, peraih Nobel bidang sastera, hampir mengalami nasib serupa. Dalam sebuah perjalanan pulang ke rumahnya, ia ditikam oleh seseorang yang mengaku baru saja mendengar seorang khatib Jumat yang mengatakan bahwa Mahfouz telah “murtad” dan karenanya halal darahnya.

Kita tentu saja tak menginginkan Indonesia seperti Mesir dalam contoh buruk itu, tapi jika fatwa-fatwa kebencian dan kekerasan terus bermunculan, rasanya hanya tinggal soal waktu saja untuk menggenapi kesemrautan dan keterpurukan negeri ini.  (Luthfi Assyaukanie)

23/10/2005 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

dari tanggapan temen2 yang kurang memahami permasalahan ini yang tidak melihat akarnya sebagai pijakan maka saya perlu nanggapi dari pernyataan Luthfi Assyaukanie: “Kiranya tak ada alasan lagi bagi MUI untuk berkelit bahwa fatwa-fatwa mereka tak ada sangkut-pautnya dengan kekerasan”
saya mempermasalahkan pernyataan ini karena MUI memberikan sesuatu yang terbaik dan juga pembelaan atas penodaan agama islam oleh ahmadiyah, kalau saya umpamakan AHMADIYAH itu, seumpama datang seorang laki2 tua seumuran ayahmu dan mengaku kalau kamu adalah anak dia bukan anak dari ayahmu yang syah, bagaimana sikap kamu? pasti kamu marah dan tidak terima karena ayah kamu sudah jelas bukan orang tua yang mengaku -ngaku ayahmu itu, ini adalah oranga tua kamu di ganti dengan orang lain kamu “marah” bagaimana dengan kami yang kaum muslimin, yang nabi kami dan kitab kami di ganti dengan mirza gulam ahmad dan tadzkiroh. Faktanya adalah bahwa perusakan terhadap rumah-rumah Ahmadiyah dan rencana penyerangan terhadap kantor JIL beberapa bulan lalu, jelas-jelas merupakan imbas langsung dari fatwa MUI yang kontroversial itu.

Posted by Syamsi  on  04/24  at  08:44 PM

Saya sangat setuju dengan tanggapan rekan2....setahu dan sepaham saya MUI itu adalah Majelis Ulama Indonesia.....menurut saya guru SD saya juga Ulama, mas Ulil juga Ulama, CakNur, Gusdur, GusMus, Emha, Ahmad Dhani,sampai dosen seni rupa saya pun saya anggap Ulama....karena pada merekalah ilmu-ilmu itu ada dan disampaikan.... sedangkan MUI itu cuma Majelis yang artinya tempat duduknya ulama, bukan Ulama itu sendiri.

Jadi intinya kita nggak usah peduliin urusan tempat duduk, pasti ujung2nya toh kedudukan dan uang juga tujuannya, semoga bukan. Ini memang lelucon tapi mudah2an dpt dipahami, saya muslim yang bergaul di lingkungan Nasrani...tiap hari malu karena fatwa MUI atau FPI di televisi. Untuk JIl semoga tetap jaya dan LOWPROFILE, kadang2 adakan kunjungan dong ke kampus2 kecil di kota kami, InsyaAllah kami menyambut dengan baik ...amin
-----

Posted by Achmad Rofiq  on  11/05  at  08:12 PM

saya kira MUI telah melangkahi otoritas Tuhan sebagai penguasa alam semesta ini. Tuhan—sebagaimana yang kita kenal dengan nama ALLAH swt—sendiri tidak pernah mengkhndaki pertikaian antar umatnya dan Tuhan menurunkan wahyuNya kebumi dengan semangat pembebasan, yaitu membebaskan manusia dari segala jerat kemungkaran dan kemunafikan. namun kini apa yang telah diperbuat oleh MUI adalah sebuah legalisasi agar kemungkaran tersebut dapat terus berlanjut dan lestari di masyarakat. maka dari itulah kita harus menolak otoritarianisme beragama yang diusung oleh MUI, lewat fatwa-fawtanya.

Posted by rio rizalino  on  11/01  at  03:12 AM

Sebuah perjuangan butuh kesabaran. KH. Mustofa Bisri selalu berkata begitu, maklum hidup khan butuh perjuangan dan of course butuh sabar-karena pasti ada kerikil-kerikilnya.

Apalagi mau merubah pola budaya pemikiran yang ada, wah sulit sekali--banyak tantangannya, bung..!

Sabar yah..terus berjuang...! saya dukung selama kalian di jalan yang benar. MUI kita memang lucu yah...padahal mereka itu memegang amanah yang sangat besar sekali bagi umat islam di Indonesia. eh..jadi begini jadinya. Jangan-jangan ulama-ulama kita di MUI adalah ulama keledai. (seperti yang dikutip oleh M. Lukmanul Hakim, redaktur majalah Sufi)

Jangan tersinggung yah..kalo tersinggung berarti punya penyakit hati..!

Posted by fahrul Rozi Munir  on  10/28  at  12:11 PM

menyambung apa yang dikatakan bung luthfi tadi memang sudah selayaknya MUI sebagai satu lembaga (yang mengaku) otoritas ulama mencabut fatwa-fatwa yang selama ini lebih didasarkan pada hal-hal yang sempit. dan sudah sepatutnya MUI kemudian mengeluarkan seruan yang mengajak publik untuk dapat lebih menyikapi bahwa memang ada perbedaan dalam menafsirkan sesuatu hal dan permasalahan tersebut tidaklah lantas untuk disikapi dengan kebencian buat MUI kalau tidak mau ditinggalkan umat keluarkanlah fatwa yang sejuk!!

Posted by rynal may F  on  10/24  at  09:11 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq