Ini bukan Prioritas Kita… - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
23/08/2004

Hamid Basyaib Mengomentari Kontroversi Film Buruan Cium Gue Ini bukan Prioritas Kita…

Oleh Redaksi

Kontorversi film Buruan Cium Gue yang ditengarai mengusik perasaan susila masyarakat, merupakan bagian dari rumitnya prosedur menentukan standar moralitas publik. Iklim kebebasan dinobatkan sebagai biang keladi rendahnya standar moral tayangan publik. Padahal, hakikatnya tak jarang berawal dari rendahnya imajinasi kreatif para seniman, sehingga tak mampu melahirkan karya-karya nan bermutu dan cemerlang.

Protes Majelis Ulama Indonesia (MUI), Aa’ Gym, dan sebagian masyarakat atas film Buruan Cium Gue yang ditengarai mengusik perasaan susila masyarakat, merupakan bagian dari rumitnya prosedur menentukan standar moralitas publik. Akibatnya, iklim kebebasan dinobatkan sebagai biang keladi rendahnya standar moral tayangan publik. Padahal, hakikatnya tak jarang berawal dari rendahnya imajinasi kreatif para seniman, sehingga tak mampu melahirkan karya-karya nan bermutu dan cemerlang. Demikianlah sekelumit perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Hamid Basyaib, peneliti Yayasan Aksara yang cukup akrab dengan dunia musik dan perfilman pada Kamis, 19 Agustus 2004. Berikut petikannya:

NOVRIANTONI (JIL): Bagaimana Anda menilai film Buruan Cium Gue?

HAMID BASYAIB (HB): Saya harus akui, kalau saya belum menonton. Dan saya sama sekali tidak tertarik menontonnya. Dari judulnya saja, belum dari segi substansi, saya melihat adanya bias Jakarta, bahkan bias Menteng. Ungkapan “buruan cium gue!” memang bisa saja dimengerti orang Palembang, tapi terkesan jauh sekali dari mereka. Begitu juga bagi orang Makassar, Kalimantan dan lain-lain.

Dari sisi substansi, saya juga tak tertarik. Skenarionya biasanya jelek atau tidak diolah lebih jauh. Tema seperti itu mestinya bisa dieksplorasi lebih baik kalau penulis naskahnya bisa mengembangkan filosofi ciuman. Kita tahu, ada banyak sekali jenis ciuman; cium tangan, cium kekasih, cium anak, cium ibu-bapak dan lain-lain. Tapi saya pastikan film ini bukan dalam arti itu. Tema yang diangkat cium eros; ciuman antarkekasih, atau ciuman orang yang sedang pacaran.

Tapi reaksi atas film ini, apalagi disebut “keprihatianan nasional”, juga berlebihan. Saya kira, orang sekelas Aa’ Gym tak perlu terlalu dramatis memplesetkan judul menjadi “buruan zinahi gue!” Ciuman jelas berbeda dengan zina. Dari sudut Islam pun, beda sekali implikasi moral dan hukumnya. Makanya, saya ingin sekali kita melihat persoalan apapun secara proporsional. Kalau ada keluhan-keluhan, disampaikan saja. Tidak perlu didramatisasi secara berlebihan.

JIL: Anda melihat reaksi yang muncul sudah berlebihan?

HB: Saya kira, ya! Karena sudah jelas tak mungkin sebuah film —apalagi film yang cetek dan dangkal semacam itu— bisa menimbulkan keprihatinan nasional. Ada banyak hal lain; soal kepastian hukum, hakim, jaksa dan polisi yang berprestasi buruk dalam menegakkan hukum. Isu itu langsung mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

JIL: Dalam pandangan MUI dan Aa’ Gym, film ini sudah mencederai susila masyarakat. Mereka menuntut ditarik dari peredaran. Apakah tuntutan itu masih proporsional?

HB: Saya kira tidak. Bagi saya, biarkan saja orang berekspresi sepanjang memegang kaidah-kaidah yang—katakanlah--disepakati bersama. Masalahnya, dalam soal ini kita juga belum kunjung punya kesepakatan yang jelas. Ini masalah lama, dan puluhan tahun tidak diselesaikan. Nah, kalau kembali ngomong soal film, film-film tahun 1970-an dan 1980-an itu banyak sekali yang vulgar. Saya bukan bermaksud membela film-film seperti itu. Bagi saya, film seperti itu tidak perlu dibela, apalagi dari segi kualitas. Yang saya persoalkan adalah ihwal kebebasan berekspresi. Jadi jangan disalahpahami seolah-olah saya membela film ini.

Kalau tuntutan semacam itu terus diakomodasi, orang akan gampang membuat tuntutan serupa. Jangan-jangan kontroversi ini bisa menjelma menjadi promosi terselubung. Dengan larangan, orang jadi penasaran. Padahal dulu, di SCTV pernah diputar serial berjudul Melrose Place. Serial itu sebetulnya lebih vulgar. Serial itu bercerita tentang profesional muda yang hidup satu kos atau mengontrak rumah sendiri-sendiri, lalu tukar-menukar pasangan dengan santainya. Di situ kevulgarannya memang tidak ditunjukkan secara visual. Dan ingat, serial itu diputar sekali seminggu selama beberapa tahun.

JIL: Apa ada standar ganda dalam menilai film nasional dan film impor?

HB: Ya, itu juga persoalan. Tapi tafsiran bahwa film yang sedang kita persoalkan ini the first step to adultry atau selangkah maju menuju perzinahan, amat saya ragukan. Dalam psikologi, hubungan seks itu memang ditafsir berlapis-lapis. Ngobrol dengan lawan jenis dianggap hubungan seks yang paling luar. Berikutnya pegang tangan, cium pipi, sampai coitus atau persenggamaan yang dianggap sebagai the ultimate sexual relationship. Nah, kalau dilihat dari segi itu, langkahnya tentu masih panjang. Lompatannya jauh sekali ke zina.

Soal standar ganda, nampaknya kalau bangsa sendiri yang bikin memang diterapkan standar khusus. Tapi kalau produksi orang luar, standarnya beda lagi. Padahal dari segi ini, yang penting kan bukan siapa yang bikin, tapi apakah film itu diputar di sini atau tidak. Kalau soal siapa yang bikin, penonton tak peduli. Jadi kalau mau konsisten, keluhan yang sama juga harus dialamatkan pada film lain, siapa pun yang buat. Dalam zaman global begini sudah tidak relevan lagi membicarakan soal itu.

JIL: Film itu juga dianggap memamerkan budaya ciuman sebagai budaya asing. Apakah sebuah film harus mencerminkan budaya masyarakat tertentu?

HB: Ada banyak teori tentang itu. Ada yang melihat film sebagai karya seni. Ada yang melihatnya sebagai realitas sosial. Justru, sebuah film menciptakan suatu realitas baru. Artinya, pembuat film ingin realitas sebenarnya mengikuti realitas buatan yang disajikan di film-film itu. Dua-duanya tidak ada yang salah dan benar, dan dua-duanya sah. Tapi kalau kita ngomong soal mencerminkan moral bangsa atau tidak, persoalannya adalah siapa yang merumuskan? Kalau cuma rumusan orang tertentu saja itu tidak valid. Mungkin hal itu harus dirumuskan dalam bentuk hukum. Para wakil rakyat yang notabene dipilih rakyat itulah yang mestinya merumuskan batasan-batasannya. Secara teknis, bisa saja itu dibuat.

Yang perlu dipertimbangkan di sini: ciuman, di belahan dunia manapun, tak pernah menjadi budaya tertentu masyarakat. Apa sih ciuman itu? Ciuman bibir? Di Amerika juga tidak, karena sebagian besar masyarakatnya masih konservatif. Apalagi, Kristen di sana kuat sekali. Nah, kalau cuma ciuman pipi di kiri dan di kanan seperti salaman, siapa bilang bukan budaya kita? Kita punya itu, dan kalau saya sebut siapa saja yang mempraktekkan itu, pasti banyak orang kaget, termasuk tokoh-tokoh agama.

JIL: Dalih yang paling menonjol dari reaksi terhadap film ini adalah dalih moral. Apakah telah terjadi reduksi makna “moral” itu dalam logika agamawan?

HB: Betul! Itu tepat sekali. Kita jarang sekali mendengar imbauan MUI mengenai masalah-masalah bangsa yang lebih berat. Misalnya soal korupsi yang merajalela, penggusuran di mana-mana, dan pameran kemewahan. Persoalan seperti itu tak pernah digubris MUI secara serius. Mereka malah membidik masalah-masalah yang masuk wilayah moralitas individual semacam ini. Kalau kita tetapkan prioritas, ini sebenarnya bukan prioritas kita. Sebenarnya, ada tindakan elite yang jauh lebih destruktif dan berskala lebih luas, karena mereka memegang kekuasaan. Sekali mereka bertindak, implikasinya bisa luas sekali. Kalau mereka korupsi 1 milyar, artinya ada sejumlah anak sekolah yang tidak bisa bersekolah; ada sejumlah gedung sekolah yang tidak bisa dibangun. Mestinya itu prioritas sorotan agamawan.

Makna moral telah direduksi khusus pada wilayah susila. Agama-agama terlalu obsesif atau terlampau mempedulikan hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas, sampai melampaui proporsinya yang wajar. Saya tidak tahu sebabnya. Mungkin karena dalam kitab-kitab suci, persoalan ini dipaparkan cukup detail, tekstual atau harfiah. Akibatnya, masalah moral yang besar-besar tidak tersentuh secara memadai. Mestinya, agamawan mengembangkan konsep moralitas secara lebih luas

JIL: Sejauh pengamatan Anda, bagaimana perkembangan perfilman nasional pasca-reformasi yang cenderung bebas?

HB: Tahun 1970 dan 1980-an, film-film yang vulgar banyak beredar. Dari judulnya saja kita sudah tahu itu film vulgar. Misalnya, Akibat Pergaulan Bebas, Seks dan Kriminalitas, Ranjang Pengantin, dan lain-lain. Saya pribadi sangat tidak suka. Karena bagaimanapun, seks itu bisa dibilang sakral. Tidak ada hubungan yang lebih intim dari hubungan seksual. Hubungan seksual adalah dasar eksistensi kita. Kita semua hadir di dunia ini berkat hubungan seks orang tua kita.

Teman saya berkelakar, tidak ada pekerjaan yang lebih sulit dan berat melebihi hubungan seksual. Sebab pekerjaan lain, seberat-beratnya tidak perlu sampai membuka celana. Intinya, hubungan seks itu merupakan hubungan paling initm. Maksud saya, jangan sembarangan dan melakukannya dengan ngawur.

JIL: Artinya, kalau diangkat ke dunia perfilman, diperlukan teknik-teknik khusus dalam meraciknya?

HB: Ya. Coba diberi pengertian makna seks itu sendiri. Tak perlu akademis, karena bicara seks itu bisa panjang lebar. Orang menulis berpuluh-puluh buku untuk mengulas persoalan ini, dan tidak kunjung beres-beres. Tapi setidaknya, ada penghormatan dan apresiasi yang baik atas persoalan seks, bukan vulgar seperti yang sering ditampilkan. Nah, dalam hal ini saya menyesalkan mengapa penulis skenario film kita, juga para penulis lagu, tak kunjung mampu mengeksplorasi tema ini secara wajar. Kita misalnya bisa melihat aspek filosofis dari seks.

Lagu-lagu Barat memang banyak sekali yang vulgar, apalagi jenis rap. Tapi saya teringat lagu Speak Softly Love dari Andy William yang menjadi tema musik film The Godfather. Sebagian baitnya berbunyi: wine-colored days warmed by the sun (hari-hari yang warnanya seperti anggur yang dihangatkan mentari). Ini ungkapan tentang hari-hari yang dilaluinya bersama sang kekasih. Lalu: deep velvet nights when we are one (malam-malam seperti beludru tua ketika kita menyatu). Yang dimaksud di situ adalah hubungan seks, tapi disajikan dengan indah dan halus, sesuai dengan harkat atau martabat hubungan seks itu sendiri.

JIL: Jadi seks itu luas dan selalu menarik untuk diangkat ke dunia seni?

HB: Menarik sekali! Pertama, karena seks itu impuls manusia yang paling hewani. Jadi, karena impulsnya sangat mendasar, dia menjadi universal. Di manapun, dan zaman apapun, seks selalu memukau. Dia terus laku. Tak heran kalau pedagang film, kalau ingin produknya laku, mereka mengeksplorasi hal yang satu ini. Masalahnya, kalau kesadaran insan perfilman kita tak bisa diandalkan, maka dia harus diatur dengan peraturan. Begitulah lazimnya yang berlaku di suatu negara. Dalam soal ini, kita tidak kunjung beres. Kalau ada pengaturan, muncul semangat untuk mengatur keseluruhan, yang malah menghapus hak (untuk berkarya). Di situlah kita selalu sulit mencari titik temu.

Dalam hal ini, menarik membandingkan dunia perfilman kita dengan Iran. Di Iran, perempuan tidak berjilbab tidak boleh ditayangkan di muka umum. Tapi kita lihat, film-film Iran tumbuh begitu hebatnya, justru di masa Revolusi Islam yang sangat ketat itu. Setelah Revolusi Islam tahun 1979, di Iran tumbuh sutradara-sutradara yang baik. Ada Abbbas Kiarostami, Mohsen Makhmalbaf, Samirah Makhmalbaf, dan Majid Majidi. Di sana banyak sekali film-film yang memperlihatkan adegan perempuan dan laki-laki dengan sangat indahnya.

Uniknya, ternyata energi kreatif muncul di Iran justru karena pembatasan. Ini soal bagaimana kita mempersepsi soal pembatasan. Di sini, umumnya orang mengeluh kalau dibatasi. Di sana, orang seperti Abbas Kiarostami itu wawasannya sehat sekali. Dia pernah ditanya: “Pemerintahan Anda suka melarang-larang!?” Dia jawab, “O, ya! Tapi apakah dengan larangan kita lalu berhenti, meratap, menangis, atau justru terus kreatif? Saya memilih untuk terus bekerja dengan segala risikonya. Kalau film saya disensor, it’s find! Saya membuat film dengan durasi 2 jam. Kalau ada yang disensor setengah atau satu menit tidak jadi soal, asal struktur dasar film saya tidak rusak.” Itu ungkapan seorang sutradara yang filmnya menang di festival film cukup bergengsi di Cannes.

JIL: Dalam iklim yang relatif bebas ini, mestinya kita lebih kreatif?

HB: Justru itu yang saya maksud. Tapi insan perfilman kita, ditekan salah, diberi kebebasan juga mutu karyanya tak kunjung meningkat secara wajar. Saya kira, persoalannya bukan pada disensor atau tidak, tapi soal kreativitas. Seni itu intinya kreativitas. Kreativitas itu tidak bisa dipelajari. []

23/08/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

saya gak setuju banget dengan film itu. karena itu jelas-jelas merendahkan para wanita. setelah saya menonton dan melihat bobot dari film itu. terlihat bahwa yang agresif itu sih ceweknya. itu benar-benar merendahkan kaum wanita. kenapa sih kok si pemain mau melakukan mau menjadi tokoh seperti itu. apakah itu bertanda derajat wanita di indonesia sudah sangat rendah. mengapa wanita bukannya menjaga kehormatannya malah menjatuhkannya sendiri.
-----

Posted by leni lesari  on  05/05  at  12:06 AM

film yang mengundang reaksi keras masyarakat, karena judulnya mengajak untuk berzinah (kata aa gym) dan tidak senonoh yang langsung ditarik dari bioskop - bioskop karena mengundang protes keras masyarakat atau mungkin kaum agama?? baiklah, saya akan mengutarakan pandangan saya terhadap film ini, tetapi sedikit saja karena saya juga belum pernah menontonnya, karena alasan saya jenuh melihat model model film ABG seperti ini.

melihat dari judul, yaitu “Buruan Cium Gue” menurut saya judulnya sangat mengajak dan merendahkan, mengapa??...mengambil perkataan aa gym yang berbicara “buruan zinahin gue” walaupun kandungan “cium” dan “zinah” sangat jauh bagaikan langit dan bumi, dimana “cium” bisa dilakukan oleh bukan pasangan kekasih, bisa juga antara kakak dan adik, orangtua dan anak, saudara antar saudara tanpa menyentuh aktifitas sexual, sendangkan kandungan “zinah” sudah pasti menyentuh kandungan sexual, ah ya tentu saja, ini bila dilihat dari kacamata umum. mengapa saya bilang merendahkan?? mungkin dari peradaban timur yang mengatakan bahwa bila kaum wanita meminta cium duluan adalah murahan, tetapi saya tidak setuju hal tersebut, yang membuat saya berpendapat bahwa judul tersebut murahan karena kandungan isi film tersebut, jg kejenuhan saya, terhadap sesuatu hal yang bisa dibilang BASI, trend ABG kelas atas yang terlalu sering di expose lewat layar kaca yang bisa ditonton secara gratis di masyarakat. Juga judul yang tidak indah yang seharusnya kata2 “buruan cium gue” itu lebih bersifat privasi antara sepasang kekasih dan juga kata2 “buruan cium gue” itu seperti seseorang manusia yang mengobral dirinya untuk dicium oleh siapa saja. well saya disini tentu saja tidak akan menilai sesuatu sebelum tahu seperti apa kandungan sebenarnya, dont judge the book by its cover, aite???

terlepas dari judul, sebenarnya bagaimana sih kandungan film tersebut?? banyak yang bilang biasa saja, banyak yang bilang terlalu vulgar, untuk hal ini saya tidak mau berbicara banyak karena saya sendiri belum menonton film tersebut, tetapi saya bertanya2 kepada orang-orang atau lebih tepat saya bilang ABG-ABG yang sudah menonton, ternyata tidak ada kandungan sexual pun di dalamnya, seperti yang pernah ditampilkan di trailernya dimana salah satu personel sedang menyetir mobil dan mobilnya itu disetir oleng karena sepertinya teman wanitanya sedang melakukan oral sex, padahal sedang mencari barang yang terjatuh, taktik dari distibutor film untuk menarik penonton dengan cara yang jeli dan juga minimnya kreatifitas sineas film Indonesia karena adegan seperti itu seperti di dalam film sweetest thing. Film ini bercerita tentang pandangan seorang pria tentang ciuman pertama yang menurutnya harus dilakukan dengan saat yang tepat dan waktu yang tepat, saya tidak akan bercerita banyak karena saya anggap anda-anda semua sudah pasti mengetahui inti dari ceritanya. tetapi apakah kandungan film ini tidak ada vulgar2nya?? oh tidak, ada satu adegan dimana pria dan wanita ini berciuman di lapangan basket sekolahan, ah yak...norak yak?? merokok aja gak boleh kok ini ciuman?? dan juga cerita yang itu-itu saja yang bercerita kehidupan masa muda yang senang senang dan tanpa masalah, potret kehidupan ABG-ABG kalangan atas dan berada. monoton

baiklah sekarang kita bicara tentang dari sudut pandang mana kita melihat sesuatu, bila kita bicara tentang AA Gym yang notabenenya adalah seorang ulama, sudah pasti dia melihat sesuatunya dari sisi agama, dan sudah pasti diikuti oleh orang-orang yang sependapat dengan AA Gym atau juga yang cuma ikut2an biar dipandang alim..hehehehhe...sudah pasti diprotes. (dimana yang membuat saya bingung, kemana AA Gym sewaktu Eiffel Im In Love dan AADC diputar yang memuat adegan ciuman tidak protes?? tampaknya AA Gym hanya menilai sesuatu dari judulnya saja) tetapi bila kita melihat dari kacamata umum, menurut saya hanya judulnya saja bermasalah sehingga mengundang reaksi keras dari masyarakat -walaupun saya secara pribadi menganggap seluruh kandungannya bermasalah- isinya tidak sevulgar seperti yang digembar-gemborkan. yang membuat saya tertawa terbahak adalah, campur tangan MUI terhadap masalah ini, iyaaaaaaaak...Majelis yang menurut saya adalah cuma sebatas pengekor, tidak bertindak kalau tidak ada protes dan bertindak dengan JUMAWA begitu ada protes, hey for all the ppl in MUI, bertindaklah dengan tegas tanpa harus menunggu protes terlebih dahulu.

jadi menurut opini saya tentang film ini, cuma penduplikasi film2 sejenis dari negara barat sono, negara dimana manusia2 di Indonesia sekarang begitu mengagungkannya. coba saja itu judul diganti dengan yang lebih sopan seperti “Ciuman Pertama” mungkin..tidak akan mengundang reaksi sekeras sekarang. layak tontonkah?? menurut saya yang sudah mencukupi umur sih...layak2 saja, tetapi saya pribadi dan sudah saya utarakan berkali2...jenuh dengan film model2 seperti ini. saatnya sineas Indonesia membuat sesuatu yang beda seperti film “Mengejar Matahari” atau “The Soul” yang terakhir -Katanya- cukup bagus karena berbobot tetapi kurang laku di masyarakat.

Posted by Yudo Arif Wibowo  on  08/31  at  03:08 PM

assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

menanggapi permasalan tentang ‘buruan cium gue’ saya kira protes dari MUI dan AA Gym merupakan langkah awal dimana diharapkan kedepannya akan menjadikan para insan per-film-an bisa kemudian mau membuat sebuah film yang tak hanya bermutu menurut kalangan artis atau pengamat seni sekaligus juga dapat di konsumsi masyarakat umum.

saya kira kita seharusnya men-support apa yang dilakukan MUI dan AA Gym sehimgga mungkin yang akan datang bisa diwujudkan UU Pornografi yang sampai sekarang juga belu jelas rambu-rambunya. demikian tanggapan dari saya semoga bermanfaat. Amiin

wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Posted by siti shofiyah  on  08/25  at  04:09 PM

BCG Tidak Sesuai Dengan Kultur Ketimuran Oleh : Mu’arif *)

Baru-baru ini publik diributkan dengan hadirnya sebuah film sinetron bertajuk Buruan Cium Gue. Sebuah film yang mengangkat tema percintaan kaum muda-mudi yang dibintangi oleh Masayu Anastasia, seorang penyiar radio beken itu. Buruan Cium Gue, yang kemudian lebih populer disingkat BCG adalah produk film dari rumah produksi Multi Vision Plus (MVP) milik Ram Punjabi. Film ini mulai diperkenalkan kepada khalayak umum pada tanggal 5 Agustus kemarin. Hasilnya ternyata di luar dugaan MVP Picture, karena film ini justru banyak mendapat kritikan sekaligus kecaman, terutama dari kalangan ulama.  Salah seorang ulama beken yang getol mengkritik BCG adalah Aa Gym. Beliau yang dikenal sebagai ulama kondang pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid menilai bahwa film BCG tampil dengan vulgar mempertontonkan adegan ciuman antar non muhrim di muka umum. Oleh karena itu, dia sangat mengkhawatirkan dampaknya bagi masa depan moralitas bangsa. Adegan ciuman dalam film ini dari segi nilai-nilai normatif jelas tidak dibenarkan, bahkan termasuk dalam kategori zina. Aa Gym sendiri sempat memlesetkan judul film ini dari Buruan Cium Gue menjadi Buruan Zinahi Gue (Koran Tempo, 22/8). Lain dengan analisis Aa Gym, lain pula dengan Ahmadun Yosi Herfanda, seorang wartawan senior Republika yang memberikan catatan kritiknya. Wartawan senior harian Republika ini membaca suatu indikasi ideologi di balik proses produksi film ini. Adegan-adegan vulgar dalam film BCG sebenarnya bisa dikategorikan sebagai proses ideologisasi dari kultur Barat yang bersifat liberal.  Di Barat, adegan ciuman dengan berbagai bentuk gaya dan dalam tenggang tempo yang bervariasi serta dilakukan di depan umum adalah suatu hal yang sangat lazim. Namun di Indonesia, adegan ciuman sebagaimana dalam film BCG itu bukanlah hal yang lumrah. Adegan-adegan seperti itu bukan termasuk kultur bangsa Timur. Oleh karena itu, dia melihat adanya “ideologi liberal” dalam film BCG itu (lihat Republika, 22/8). Bagaimanapun tanggapan para ulama dalam menilai kehadiran film baru ini sangat tidak sepakat jika BCG tetap beredar. Oleh karena itu, Ram Punjabi sebagai pemilik rumah usaha MVP Picture merasa bertanggungjawab untuk menariknya dari peredaran. Sekarang BCG telah dinyatakan ditarik dari peredaran karena tanggungjawab Ram Punjabi itu.  Membaca fenomena BCG, kita kembali teringat dengan film-film lain yang sebenarnya sejenis. Kita masih ingat dengan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) dan Eiffel…I’m in Love (EIL). Dilihat dari segi materi yang ditampilkan, ketiga film tadi sebenarnya identik. Pertanyaannya kemudian, mengapa para ulama baru mempersoalkan kehadiran BCG? Bagaimana dengan AADC dan EIL? Dua film yang disebutkan terakhir (AADC dan EIL) sebenarnya memiliki kandungan materi yang sama, yakni mengangkat tema seputar percintaan muda-mudi. Sementara dalam tiap-tiap adegannya selalu menampilkan nuansa gaul, gelamour, bahkan ciuman yang sangat sensual. Tokoh yang bernama Cinta dalam film AADC berciuman dengan Rangga di bandara yang jelas-jelas sebagai tempat umum. Apakah ciuman yang diperankan oleh Dian Sastro Wardoyo dan Nicolas Saputra itu bukan termasuk dalam kategori “berzina”? Inilah sebenarnya yang menjadi duduk persoalan. Saya kira memang semuanya sepakat, jika adegan-adegan vulgar bernuansa erotis dalam film-film itu harus dihentikan. Namun pertanyaannya, mengapa kritikan pedas dari kalangan ulama itu baru muncul setelah BCG beredar? Bagaimana dengan AADC dan EIL?  Memang selama ini para ulama, pemerhati film dan lembaga sensor (LSF) kurang mencermati betul kehadiran film-film baru yang sebenarnya bernuansa erotis. Mereka juga kurang peka menyoroti kehadiran film-film baru yang bertemakan percintaan kaum muda-mudi. Padahal tema-tema percintaan menjadi komoditas bagi perkembangan trand dewasa ini. Kaum muda-mudi dipastikan akan menjadi konsumen terbesar untuk kategori komoditas yang bernuansa percintaan itu. Kehadiran film-film yang sempat meledak di pasaran sebenarnya sangat bernuansa ideologis. Sebab, muatan isi film cenderung berseberangan dengan kultur ketimuran (oriental). Dalam film AADC, EIL dan BCG kita bisa menengarai kultur yang lebih tepat disebut dengan “kultur liberal”. Kultur yang satu ini bukan berasal dari bangsa kita (Timur) yang sangat mentabukan persoalan-persoalan bernuansa erotis daan mengarah pada seksualitas itu. Dalam tradisi ketimuran, terutama sekali bagi bangsa kita ini, masih sangat menjunjung tinggi norma-norma susila. Termasuk adegan ciuman, mengenakan baju bikini, dan pergaulan bebas antar muda-mudi menjadi persoalan yang paling ditabukan. Mereka masih berpandangan bahwa persoalan-persoalan di atas termasuk dalam kategori tabu untuk dibicarakan, apalagi diekspos secara massal. Bagaimanapun yang namanya seksualitas adalah persoalan privacy dan sangat tabu untuk dibicarakan. Persoalan ini hanya menjadi milik orang dewasa saja. Sementara anak-anak remaja yang belum masuk kategori dewasa sangat tidak dibenarkan membicarakan, apalagi melakukannya. Inilah pantangan bagi kultur ketimuran itu.  Kalau memang kehadiran film-film bertemakan cinta itu dipahami sebagai proses sex education, saya malah menganggap interpretasi tersebut sangat bias makna. Sebab, memperkenalkan seks lewat film dengan adegan–adegan yang melebihi batas kewajaran, sama artinya telah memperkenalkan seksualitas ala kebarat-baratan. Seperti; ciuman sensual dalam tempo yang relatif lama dan dilakukan di tempat umum, artis yang mengenakan pakaian renang (bikini) dengan bebas, trend pergaulan yang terlalu bebas antara kaum muda-mudi, dan sebagainya. Kesemuanya itu jelas bukan suatu metode yang tepat dalam rangka mengajarkan sex education. Saya sendiri memandang bahwa kehadiran film-film bertemakan cinta, dan cenderung mengarah pada kebebasan seksual, sebagai proses ideologisasi. Maksud saya, kehadiran film-film yang menjadi trand untuk saat ini adalah suatu proses menanamkan kebebasan berekspresi, termasuk dalam hal seksualitas, sebagaimana dalam ideologi kaum liberal. Termasuk dalam kategori ideologi liberal, setiap ekspresi individual sangat dihargai dan dihormati. Oleh karena itu, dalam bentuk apapun ekspresi kebebasan itu tetap harus dihargai dan dihormati. Dengan ini saya menandai suatu gejala yang disebut dengan liberalisasi. Proses ideologisasi yang telah menyentuh pada wilayah praksis itu berupa liberalisasi tindakan. Karena telah memasuki wilayah praksis (tindakan), proses ideologisasi itu jelas sangat mengancam nilai-nilai ketimuran. Sangat jelas dan tegas, bahwa nilai-nilai ketimuran itu berseberangan dengan nilai-nilai Barat.  Sementara dalam konteks budaya, saya juga memandang kehadiran AADC, EIL dan BCG sebagai proses transformasi kultural dari kultur oriental menjadi kultur liberal. Pemirsa dihadapkan pada proses transformasi dengan menerima segala bentuk adegan ala kebarat-baratan itu menjadi bagian dari kultur sehari-hari. Melalui proses yang kontinyu mereka kemudian akan memandang adegan-adegan erotis plus vulgar itu sebagai hal yang lumrah. Oleh karena itu, transformasi kultural ini telah mengancam eksistensi kultur ketimuran. Dalam kultur oriental, masyarakat sangat ketat memegang norma-norma susila yang telah menjadi budaya. Norma-norma susila yang telah menjadi budaya dalam kultur orienal itu tidak mengenal adegan ciuman antar non muhrim di muka umum, berpakaian bikini, hura-hura (gelamour) dan bebas berhubungan dengan sesama jenis. Dalam kacamata kultur oriental, seluruh adegan dalam film-film bermasalah itu ada aturannya. Masing-masing diatur dalam norma-norma susila yan kemudian menjadi budaya.  Melalui artikel ini, saya hendak mengatakan bahwa kehadiran AADC, EIL dan BCG merupakan proses transformasi budaya yang sebenarnya sangat asing bagi kita. Budaya asing yang ditampilkan dalam adegan film-film tersebut jelas berseberangan dengan budaya timur (oriental). Oleh karena itu, jika kita tidak menghentikan film-film tersebut, sebenarnya bangsa ini telah mengikis budaya sendiri dengan menanamkan pola pikir kebarat-baratan. Transformasi budaya lewat media ini akan menenggelamkan eksistensi budaya timur yang selama ini dijunjung tinggi. Dengan ini pula saya mendukung sikap kritis dari Aa Gym yang mengatakan untuk segera mencabut film BCG itu. Namun lebih jauh, saya memandang bahwa bukan hanya BCG saja yang perlum dicabut dari pasaran. Tetapi masih banyak film bertemakan percintaan dengan suguhan adegan-adegan erotis plus vulgar yang perlu dicermati kembali. Bahkan akan lebih baik jika film-film sejenis AADC dan EIL dicabut dari peredaran. []

*) Anggota tim laput majalah Suara Muhammadiyah. Alamat: Sapen GK I no 50 Yogyakarta. Email:

Posted by Mu'arif  on  08/25  at  02:08 PM

saya menghormati pendapat pak hamid basyaib mengenai arti sebuah kebebasan,tapi perlu kita teliti lebih jauh bahwa kebebasan itu bukanlah sebuah sikap vulgar atau tidak normatif, bahkan merusak budaya normatif ketimuran yang dimiliki oleh bangsa indonesia, tentunya film semacam itu tidak perlu ditayangkan karena pengaruhnya tidak edukatif malah lebih cenderung destruktif, bukan berarti hal ini menolak teori kebebasan namun kebebasan itu pada dasarnya didukung oleh sendi-sendi normatif sehingga tujuan kebebasan itu tercapai sebagaimana mestinya.

Posted by waqaar  on  08/24  at  01:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq