Abdul Munir Mulkhan: Islam adalah “Produk” Lokal
Oleh Redaksi
Pesan yang dibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam juga merupakan respon atas kedaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Jadi, boleh disebut bahwa Islam adalah universal dan partikular sekaligus. Sejarah memperlihatkan bahwa Islam selalu terlibat dalam tegangan antara yang universal dan yang partikular.
Pesan yang dibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam juga merupakan respon atas kedaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Jadi, boleh disebut bahwa Islam adalah universal dan partikular sekaligus. Sejarah memperlihatkan bahwa Islam selalu terlibat dalam tegangan antara yang universal dan yang partikular. Pesan Islam yang universal selalu berhadapan dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Wakil Sekretaris Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dan juga Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada (UGM), berbicara mengenai tema ini dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) yang disiarkan melalui Radio 68 H dan jaringannya di seluruh Indonesia:
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Islam sebagai agama yang universal yang melintasi ruang dan zaman, kadangkala bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal, wajah Islam berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Bagaimana menurut anda?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Kita harus benar-benar menyadari dua hal. Pertama, Islam itu sendiri sebenarnya lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Yang saya maksud dengan Islam sebagai produk lokal adalah Islam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di sana. Hal ini memang kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global.
Kedua, seberapa pun kita yakini bahwa Islam itu wahyu Tuhan yang universal, yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justru kedua dimensi ini perlu disadari yang tidak mungkin di satu sisi Islam sebagai universal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokal sebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkan Islam itu.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Ada kesan kontradiksi antara Islam yang satu, yang dibawa oleh Nabi Saw dengan Islam yang termanifestasikan dalam bentuk yang beragam. Kadang terjadi ketegangan antara berbagai manifestasi dan “terjemahan” Islam itu. Bagaimana anda melihat masalah ini?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Sederhana saja, Islam itu diwahyukan Tuhan untuk manusia, untuk dipahami makhluknya agar menjadi petunjuk (hudan lin-nas). Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam bisa dipahami di dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan “disemaikan.” Jadi sebenarnya lebih karena meletakkan Islam yang universal itu pada dimensi sosio-politik-budaya-ekonomi pemeluknya.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Jadi, karena Islam dipeluk manusia dan manusia hidup dalam konteks tertentu, maka mereka harus menerjemahkan Islam sesuai dengan konteks itu sendiri?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Hal itu memang sudah menjadi konsekuensi logis ketika Islam didakwahkan keluar dari tempat pertama Islam muncul. Karena Islam diperuntukkan bagi manusia dan Alquran itu sendiri juga mendorong, kalau dalam bahasa teologis barangkali mewajibkan, pemeluknya untuk memahami. Cara memahami ini tentu sesuai dengan kondisi yang berbeda-beda. Cara pemahaman tukang becak dengan guru besar jelas beda.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Dalam sejarah Islam dari dulu hingga kini banyak kelompok yang berkembang sesuai dengan konteksnya masing-masing. Tapi ada “gugatan” pada sebagian orang, kenapa sih Islam harus berbeda-beda; Mengapa kita tidak berpegang teguh kepada tali Allah agar tidak tercerai-berai. Bagaimana dengan masih kuatnya “mitos” Islam tunggal?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Yang pertama sekali perlu diingat bahwa di dalam Alquran banyak sekali informasi tentang keragaman persepsi dan lain-lain. Kedua, “Islam yang satu” tidak mungkin terwujud di dalam ekspresi sosio-budaya pemeluknya dalam bentuk yang tunggal dan monolitik. Itu ahistoris. Bagaimana mungkin, katakanlah satu milyar penganut Islam di bumi ini bisa diseragamkan aspirasi dan ekspresi sosial-budaya-politik-keagamaannya dalam menerjemahkan Islam? Mustahil, menurut saya.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Islam di Indonesia juga banyak; ada NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Washliyah dan lain-lain. Sekarang muncul Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir dan lain-lain. Ada kawan menyatakan bahwa Islam yang “diterjemahkan” dalam berbagai organisasi kadang menimbulkan “persaingan yang tidak sehat”, misalnya klaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Bagaimana etika yang paling sehat di dalam menerjemahkan visi Islam?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Dialog bisa menjadi salah satu jalan. Dialog dan kemudian membangun saling pengertian bersama. Kalau tidak ada kesepakatan juga tidak mengapa. Toh sudah bertemu dan kelompok-kelompok yang berdialog tersebut ‘kan bisa “sepakat dalam ketidaksepakatan.” Dalam logika orang desa, kalau ada satu kelompok yang merasa benar sendiri dan yang lain dituding salah atau sesat, nanti saya khawatir kesepian di surga; tidak ada temannya. Klaim-klaim kebenaran absolut seperti itu sesungguhnya lebih menunjukkan, barangkali dalam bahasa yang agak sarkastik, kurang menyadari bahwa hidup sosial tidak bisa sendirian. Di hutan saja pun tidak bisa hidup sendirian, mesti bersama hewan-hewan, pohon-pohonan dan semak belukar.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Jadi toleransi tidak harus antar-agama, tapi juga antarkelompok dalam agama itu sendiri?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Ya, benar. Perlu disadari bahwa kadang-kadang banyak di antara kita yang menjadi Islam, Kristen, Hindhu dan lain-lain lebih karena takdir sosial. Maksud saya, karena saya kebetulan lahir di Jawa Timur, di lingkungan pesantren, orang tua saya Islam, maka saya menjadi Islam. Yang jadi Kristen juga sama saja. Lahir dari keluarga besar Kristen di daerah Batak misalnya, maka ia menjadi Kristen. Ada yang karena orang tuanya NU, ya sebelum lahir dia sudah NU. Begitu juga orang Muhammadiyah.
Ada memang yang melakukan proses pencarian terhadap agama, mungkin saja surganya lebih tinggi. Apa implikasi dari takdir sosial? Kalau pakai perspektif Jabariyah, maka yang salah adalah sosialnya.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Antony Reid mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui jalan damai, penetration pasific. Oleh karena itu, Islam masuk bergaul dan beradaptasi dengan tradisi-tradisi lokal. Ada figur Sunan Kalijaga, Sunan Ampel dan lain-lain. Bagaimana caranya agar tradisi Islam beradaptasi secara baik dengan tradisi-tradisi lokal bisa kita lanjutkan dalam konteks sekarang ini?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Hal itu tergantung kepada si pemeluknya sendiri. Dalam situasi yang makin terbuka dan mengglobal, dengan informasi yang semakin kaya ini, secara sosiologis, selalu melahirkan beragam pemahaman. Kemudian yang diperlukan adalah, pertama, bagaimana menempatkan pemahamannya itu sebagai sesuatu yang benar, tetapi tidak menegasi pandangan orang lain yang mungkin juga menemukan sebongkah kebenaran. Dalam persepktifnya sendiri, tentu saja.
Yang kedua, orang akan melihat dan tertarik pada Islam karena bagusnya Islam. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak Islam atau yang lain adalah dengan menunjukkan kebaikan Islam itu sendiri. Bagaimana caranya? Di sinilah kita perlu mengingat apa fungsi-fungsi Islam, atau lebih khusus lagi, apa peran pemeluk Islam itu bagi kemanfaatan orang lain.
Jadi kehadiran seseorang atau sekelompok muslim mesti bisa menunjukkan manfaat bagi orang lain. Jangan kemudian Islam itu hanya baik dan bagus di rumahnya sendiri sehingga kemudian orang lain, yang berbeda agama sekalipun, tidak mengerti kebaikan Islam. Masalah kebaikan itu relevan dengan firman Allah ta’awanu ‘alal birri wattaqw; “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan.” Apa yang dimaksud dengan kebaikan? Tentu saja, menurut persepsi masing-masing orang, dan di sinilah kemudian dibutuhkan komunikasi. Mungkin kita menganggap apa yang kita lakukan baik untuk kita sendiri atau kelompok kita, tetapi orang lain memahaminya jelek.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Gus Dur pernah menyatakan perlunya pribumisasi Islam. Islam yang sesuai dengan tradisi, yang mempribumi. Apakah anda setuju dengan pemahaman seperti itu?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Saya sepakat dengan Gus Dur soal pribumisasi Islam. Tapi sebenarnya, saya kira, tidak perlu dipribumisasikan, karena sudah dengan sendirinya Islam niscaya mempribumi. Apa pasal? Karena pemeluk Islam itu berbeda-beda, keluarganya berbeda, pendidikannya berbeda, tempatnya berbeda, lalu secara sosiologis-antropologis, niscaya mesti mempribumi.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bila ada ngotot mengatakan Islam universal, tanpa melihat konteks kearaban yang melingkupinya?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Nabi Saw lahir, besar dan wafat di Arab. Kaitannya dengan ini, Islam sebagai realitas sui generis itu kemudian ditransendensi; bahwa pengalaman Arab menjadi sebuah prototype pengalaman universal.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bagaimana dengan pendapat yang mengatakan pengalaman yang khas Arab tidak perlu. Mereka kemudian mengekstrak; Islam yang universal dihilangkan unsur kearabannya dan diambil intinya saja?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Saya kira, di dalam banyak hadis dan ayat-ayat Alquran juga tidak ada beda antara Arab dengan orang Ajam (non-Arab) kecuali takwa dan perbuatan yang baik yang menjadi pembeda. Kalau tidak salah dalam tradisi fiqh, ada satu fatwa dari Abu Hanifah, salah seorang pendiri mazhab Hanafi, bahwa karena dia hidup di Persia dan banyak orang Persia yang tidak bisa melafalkan Arab, Imam Hanafi mengatakan bahwa shalat pakai bahasa Persi juga boleh.
Seperti orang Aceh misalnya, mengucapkan huruf ta’ (dalam huruf Hijaiyyah) saja tidak bisa. Orang Banyumas juga tidak bisa menyebut ‘ain. Kalau hal ini dituding makhraj-nya salah, maka cara baca Alqurannya juga bisa salah dong. Apalagi bila disebut berdosa, nanti banyak orang yang berdosa bukan karena tindakannya, tapi karena ia lahir sebagai orang Banyumas atau Aceh: sesuatu yang tidak bisa ia tolak karena merupakan takdir Allah.
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Soal ketegangan Islam dengan “tradisi lokal.” Misalnya, ajaran Islam mengenai pakaian yang pantas, yang islami. Apakah ada satu jenis pakaian yang paling islami daripada yang lain?
DR. ABDUL MUNIR MULKHAN: Itulah kecenderungan orang. Kalau kita pakai fiqh yang populer saja, pakaian yang islami hanya menutup aurat. Lalu modelnya tergantung masing-masing. Mungkin pakai kerudung, pakai topi, pakai kebaya, atau mungkin pakai sarung. Belakangan ini muncul model jilbab yang besar, bahkan menutupi mata. Dulu pada waktu saya kecil sampai sekarang ibu saya tidak kenal jilbab. Dia hanya memakai kebaya dan berkerudung yang bisa disampirkan.
Saya melihat foto-foto dokumentasi pribadi Buya Hamka. Keluarga Hamka “hanya” memakai pakaian ala melayu, tidak dalam pengertian jilbab yang kita kenal sekarang.
Itulah bentuk tafsir terhadap prinsip menutup aurat. Mengapa harus menutup aurat? Itu ‘kan safety, keamanan. Kalau seperti itu mungkin tafsirnya jadi lain lagi. Yang penting adalah bagaimana kita memakai sesuatu yang membuat kita aman. Mungkin tiap-tiap daerah bisa berbeda-beda dalam mengekspresikan bentuk pakaian yang aman. Orang Eskimo paling hebat dalam menutup aurat. Mereka memakai mantel tebal, jaket dari bulu binatang yang menutupi seluruh tubuh karena daerahnya dingin minta ampun.
Saat ini muncul keinginan untuk menegaskan identitas agama Islam dengan menganggap bahwa atribut-atribut Islam yang sebenarnya khas Arab, seperti penafsiran Prof. Dr. KH Quraisy Shihab tentang jilbab, sebagai atribut Islam. Bagaimana menurut anda?
Menurut saya, esensinya yang kita pegang. Nilai-nilai moral yang bersifat universal dan melintasi sistem budaya yang beraneka ragam itulah yang kita ambil sehingga kita bisa mengekspresikan bentuknya sesuai dengan pengalaman kita. []
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)