Islam dan Kekerasan Perempuan
Oleh Siti Aisyah MA
Rasulullah saw. memberikan gelaran sangat mulia kepada laki-laki yang senantiasa memuliakan perempuan dan mencela laki-laki yang merendahkan dan meremehkan perempuan. Beliau bersabda: “Barang siapa yang memuliakan perempuan, maka dia itu mulia, dan barang siapa yang menghina perempuan maka dia adalah hina”. Alangkan tingginya penghargaan Islam terhadap para laki-laki yang tidak melakukan tindak kekerasan fisik, penghinaan, pelecehan seksual, tidak menghargai kelebihan yang dimiliki perempuan. Kalau laki-laki itu manusia yang mulia, maka semua pelanggaran di atas tidak akan pernah dilakoninya.
Ketika menikmati lagu Screaming Behind the Wall, awalnya saya tidak memiliki pemahaman sedikitpun bahwa yang disindir di dalamnya adalah perlakuan tidak wajar diterima oleh para perempuan yang mungkin berstatus nikah atau tidak. Setelah melek dengan hak-hak perempuan yang sementara sedang digalakkan pemerhati perempuan, saya sadar bahwa itu sebuah pernyataan atau fenomena penderitaan perempuan yang dibunuh, dipukul, diperkosa, rasa percaya diri perempuan (self esteem dan self confidence) disepelekan dan sebagainya.
Mereka tidak berani memberitahukan keluarga, teman atau organisasi pemerhati perempuan tentang penderitaan yang mereka alami, dan bungkam adalah jalan ‘terbaik’ dari pada bersuara. Kenapa diam itu lebih dipilih ketimbang membeberkan persoalannya? Biasanya ini berkaitan dengan harga diri korban sendiri.
Jika mereka menceritakan pengalaman pahit tersebut, paling tidak ada dua kemungkinan yang terjadi: Pertama, mereka misalnya dianggap sebagai perempuan yang sudah cacat dan mungkin juga menjadi ‘sampah masyarakat’ karena telah diperkosa. Ini laksana kata pepatah: ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Komunitas dilingkungan perempuan itu tidak menyadari bahwa pemerkosaan terjadi bukanlah atas kehendak perempuan, tetapi merupakan suatu musibah yang tidak pernah diplanningkan sebelumnya dan terjadi karena kerakusan seksual laki-laki dalam mencaplok perempuan.
Kedua, perempuan sendiri biasanya diklaim ‘bersalah’. Suatu contoh, bila ada perempuan (istri) yang dipukul atau bahkan dibunuh sang suami, maka perempuan cenderung disalahkan karena mereka tidak pandai mengalah, tidak sabar dan selalu temperamental. Alangkah tidak enaknya jadi perempuan yang menjadi korban kekerasan. Belum lagi mereka dikucilkan dari masyarakat. Naudzu billah min Dzalik.
Perempuan dilahirkan bukan untuk pemuas seks laki-laki semata, bukan untuk dihardik, dihina, dipukul, dibunuh ataupun sederetan korban kekerasan (Victims of Violence). Mereka punya hak dihargai dan dimuliakan, karena mereka makhluk yang mulia. Islam telah mengajarkan melalui petunjuk al-Qur’an dan hadis (yang dijadikan pedoman hidup umat muslim) bahwa perempuan merupakan makhluk mulia. Al-Qur’an, misalnya Surah an-Nisa ayat 19, menjelaskan: “Dan pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang ma’ruf”. Cara yang makruf maksudnya adalah memperlakukan istri dengan cara yang halus, lemah lembut, kasih sayang, bukan dalam bentuk kekerasan fisik dan tekanan psikis.
Ayat tersebut tidak cukup hanya dipahami secara tekstual dengan melihat lahiriah redaksi ayat yang ditujukan pada para suami, tetapi bisa juga dipahami secara kontekstual dan berlaku pada laki-laki secara umum sebagai etika bergaul dan bertindak-tanduk terhadap perempuan. Pemahaman ini didasarkan pada kaidah Ushul Fiqhi yang mengatakan “al-‘Ibratu bi ‘Umumi al-Lafdzi La Bikhusus al-Sabab” yang dijadikan acuan adalah dengan pemahaman yang bersifat umum bukan pada latar belakang turunnya ayat (sabab wurud). Selain itu, bisa juga dianalogikan bahwa istri yang merupakan satu kesatuan ikatan dengan suami saja harus diperlakukan secara baik, halus, lemah lembut, apatah lagi perempuan lain , yang seharusnya melebihi sikap tersebut.
Rasulullah saw. memberikan gelaran sangat mulia kepada laki-laki yang senantiasa memuliakan perempuan dan mencela laki-laki yang merendahkan dan meremehkan perempuan. Beliau bersabda: “Barang siapa yang memuliakan perempuan, maka dia itu mulia, dan barang siapa yang menghina perempuan maka dia adalah hina”. Alangkan tingginya penghargaan Islam terhadap para laki-laki yang tidak melakukan tindak kekerasan fisik, penghinaan, pelecehan seksual, tidak menghargai kelebihan yang dimiliki perempuan. Kalau laki-laki itu manusia yang mulia, maka semua pelanggaran di atas tidak akan pernah dilakoninya.
Ada sebahagian kelompok masyarakat beranggapan bahwa perlakuan kasar (tindakan memukul istri yang salah) dibenarkan dalam al-Qur’an, dengan mengutip surah an-Nisa ayat 34: “…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka…” Kata nusyuz dipahami dengan kesalahan fatal dari istri yang akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup berumah tangga dan mengganggu perkembangan anak-anak. Misalnya, istri punya PIL (Pria Idaman Lain) serta bermesraan dihadapan suami dan anak-anak.
Jika kesalahan ini dilakukan istri, bukannya ia langsung dipukul, tetapi Islam menjelaskan prosedur manusiawi yang semestinya dijalani suami, yakni menasehati lebih dahulu si istri, tentunya dengan memberikan pertimbangan positif dan negatif terhadap tindakan yang dilakukannya. Sebab, mungkin saja si istri melakukannya karena khilaf, atau pengaruh lingkungan, dan lainnya.
Setelah berulangkali dinasehati dan tidak digubris, tahapan selanjutnya adalah dengan pisah ranjang. Ini merupakan tindakan yang mendidik (educative action) agar istri merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Bila ini gagal, maka upaya yang maksimal adalah ‘wadribuhunna’ (pukullah-menurut terjemahan Departemen Agama- tetapi bukan dengan pukulan yang bisa berbekas).
Kalaupun ‘wadribuhunna’ diartikan pukullah, maka ini adalah tindakan terakhir setelah upaya nasehat dan pisah ranjang tidak efektif lagi. Saya lebih cenderung memahami ‘wadribuhunna’ sebagai “memberitahukan istri (tentang keinginan) untuk menceraikannya”, karena kata daraba—dalam bahasa Arab—mempunyai makna yang banyak, dan bukan hanya berarti memukul. Pemahaman tersebut juga diilhami oleh adanya korelasi (munasabat) antara ayat tersebut dan ayat sesudahnya, yakni perlunya didatangkan mediator (hakim) jika suami dan istri tetap tidak berhasil berdamai kembali.
Kekerasan terhadap perempuan bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan ajaran Islam. Islam datang untuk membawa kemaslahatan umat termasuk perempuan bukan mensosialisasikan kekerasan.
Wallahu A’lam Bissawab.
Komentar
Menurut saya, alangkah lebih sesuai jika judulnya diganti dengan Islam dan pemuliaan terhadap perempuan. Alasan saya adalah: Isi/materi tulisan sangat bertolak belakang dengan judul.
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)