Islam itu Religion of Reason - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
24/11/2002

Dr. Daoed Yoesoef: Islam itu Religion of Reason

Oleh Redaksi

Sebagai seorang muslim, saya punya citra sendiri tentang Islam. Bagi saya, Islam itu agama penalaran, agama akal (religion of reason), bukan agama menakutkan (religion of fear).

Anda masih ingat dengan Daoed Yoesoef?  Dia adalah menteri menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1983 yang menelorkan konsep NKK/BKK untuk mahasiswa Indonesia. Terlepas dari kebijakan kontroversialnya sewaktu menjadi menteri dulu, ia kini banyak menggeluti dan membaca tentang Islam, agamanya.

Aspek yang terpenting dalam Islam yang paling berkesan menurutnya adalah aspek rasionalitasnya. Menurut penyandang gelar dua doktor dalam bidang keuangan dan hubungan internasional (1967) dan ilmu ekonomi (1973) dari Universitas Sorborne Prancis ini, citra Islam yang paling kuat adalah sebagai religion of reason (agama bernalar) bukan religion of fear (agama menakutkan) sebagaimana stigma yang dewasa ini melekat kuat pada Islam dan umat Islam.

Berikut ini, Daoed Yoesoef yang sudah sepuh menuturkan refleksi keislamannya kepada Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK). Wawancara berlangsung pada hari Kamis, 21 November 2002 di Kantor Berita Radio 68H. Berikut petikannya:

Pak Daoed, bagaimana Anda memahami Islam? Apakah Anda memandang agama sebagai warisan turun temurun, atau suatu hal yang perlu direfleksi secara berkelanjutan sepanjang hidup?

Saya kira, setiap orang mempunyai citra tersendiri tentang suatu hal yang dia yakini atau dia puja. Kalau yang diyakini dan dipuja itu agama, tentu tiap orang punya citra tersendiri tentang agamanya. Sebagai seorang muslim, saya punya citra sendiri tentang Islam. Bagi saya, Islam itu agama penalaran, agama akal (religion of reason), bukan agama menakutkan (religion of fear). Pendapat saya itu, dilandasi oleh apa-apa yang terjadi menjelang dan hingga terbentuknya agama ini. Kita semua tahu, pada bulan puasa seperti inilah (malam ke-17) turunnya wahyu perdana yang disampaikan Jilbril kepada Rasulullah di gua Hira. Wahyu itu berbunyi iqra’!, bacalah!

Nah, peristiwa begini tidak terjadi pada agama lain. Ketika nabi berkata bahwa dia tidak mampu membaca, Jibril tetap menyuruh membaca (iqra) sampai tiga kali. Itulah wahyu yang pertama turun (5 ayat awal dari surat Al-‘Alaq), meski kelima ayat itu tidak ditempatkan pada urutan pertama surat Alqur’an, karena Alqur’an memang tidak disusun secara kronologis, tapi tematis. Nah, pada kalimat terakhirnya dikatakan ‘allama al-insân mâ lam ya’lam (Dia mengajarkan manusia apa yang dia tidak ketahui). Kalau direnungkan, ayat itu ‘kan mendorong kita untuk mengetahui apa-apa yang ada di sekitar kita. Maka dari itu, kita disyaratkan bisa membaca.

Dari sini saya menyimpulkan, berdasar perkembangan pengetahuan kita, ternyata Tuhan tidak hanya punya satu buku, tapi dua. Pertama, buku yang kita sucikan, Alquran. Untuk memahami buku yang kita sucikan itu (Alqur’an), tentu kita harus memahami bahasa dengan apa buku itu ditulis: bahasa Arab. Sekarang sudah ada terjemahan Alqur’an dalam bahasa apapun, dan itu bagus. Buku yang kedua adalah alam semesta (universe). Buku kedua ini juga ada bahasanya, dan juga harus kita pahami. Sebab, dengan inilah kita bisa hidup. Bahasa dengan mana alam semesta ini dapat dipahami, adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, bukan kebetulan kalau saat membaca Alquran, kita menemukan perkataan ‘ilm atau ilmu pengetahuan itu, selalu diulang-ulang.

Itu artinya, antara buku yang disucikan, dengan alam semesta ini ada hubungan saling melengkapi?

Ya, saling melengkapi. Bahkan, kita tidak bisa memahami Islam dengan baik tanpa pengetahuan itu. Kalau kita lihat, dalam Alquran sendiri, sekitar 750 atau 1/8 ayat Alqur’an, menyuruh kita mempelajari alam. Setelah pengetahuan kita peroleh, kita perlu sebarluaskan pada orang lain. Sementara, ayat-ayat yang membahas tentang hukum, dalam Alqur;an hanya sebanyak 250 atau sepertiga saja. Makanya, kita seharusnya lebih banyak mempelajari (rahasia) alam ini.

Tadi bapak membedakan antara religion of reason dengan religion of fear. Kalau dikaitkan dengan pola pengajaran agama di kita, apakah kita sudah menekankan penalaran agama, atau justeru mengabaikannya?

Nah, ini yang membuat saya sedih, dan sekarang saya gembira bisa berjumpa dengan Pak Ulil. Hemat saya, yang selama ini diajarkan adalah agama ketakutan itu. Kita tidak boleh melakukan ini dan itu karena ada hukuman yang keras dan bisa berakibat neraka. Sehingga, agama begitu sadis. Karena takut, kita harus menghafal. Menghafal, kalau bisa seluruh Alqur’an, tanpa mengerti apa maknanya. Sementara, kalau citra Islam adalah agama akal, dan seharusnya begitu, kita akan diminta mampu memahaminya sesuai dengan perkembangan zaman.

Apakah Bapak punya pengalaman traumatis dalam belajar agama ketika kecil?

Sebelum masuk bangku sekolah, saya sudah mengaji dan itu kebiasaan di kampung kami. Menjelang umur 4 tahun, pada bulan puasa, emak (ibu, Red) mengajak ke tukang pangkas dan mengatakan: “Mulai hari ini, kau tidak dicukur lagi. Kau sudah dewasa. Maka dari itu, kau boleh berpangkas. Nanti malam, kau sudah mulai membaca Alqur’an.” Nah itu awalnya. Dalam hal mengaji, orang tua saya memintakan beberapa orang yang dianggapnya pantas mengajar saja. Suatu ketika, saya bertanya pada salah seorang yang mengajar saya: “Ustadz, katanya Tuhan kita itu --sebagaimana bismillah-- Maha Pengasih dan Penyayang. Tapi, mengapa Tuhan menghukum orang begitu sadis di negara?” Misalnya, lidahnya di potong, ususnya diburaikan, ditusuk dengan besi panas dan lain sebagainya.

Itu ‘kan gambaran neraka yang populer di masa kecil kita!

Ya. Tapi sebagai jawaban, tangan saya dipukul dengan rotan yang ujungnya di belah-belah. Akhirnya, mulai saat itu saya tidak berani lagi bertanya tentang hal-hal yang dianggap tabu.

Tadi Anda mengatakan pengajaran agama yang terlalu menekankan metode hafalan dan kurang menekankan pemahaman. Bisa lebih dijelaskan lagi?

Masalah pengajaran agama, seharusnya para pelajar tidak diminta menghapal, tapi dituntun memahami apa yang tersirat dalam ayat itu. Gurunya tentu harus mampu memahamkan apa yang tersirat dari ayat. Tentang dari mana pemahaman bisa diperolah, dan ilmu apa yang bisa berkaitan dengan itu, tentu menghendaki pendidikan tersendiri. Di negara kita, pendidikan agama menjadi wewenang Departemen Agama, bukan Departemen Pendidikan.

Saya mendengar, waktu Turki mula-mula bangkit di zaman Kemal Attaturk, sampai-sampai sembahyang dilakukan dengan bahasa Turki dengan maksud bisa betul-betul dipahami dan dihayati. Masalah pendidikan agama, memang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Zaman belanda dulu --sesuai pengalaman saya—pengajaran agama oleh masyarakat itu betul-betul intensif. Pagi kami sekolah, siang sampai menjelang maghrib, mengaji. Jadi begitu dan tidak dicampurbaur dengan pendidikan umum. Dengan cara begitu, rasanya tidak mengurangi keimanan dan ketakwaan kami satu apapun. Sebab, itu diajarkan dengan intensif.

Dulu ketika saya menjadi menteri pendidikan begitulah pendirian saya. Tapi kemudian, saya dianggap ingin menghalang-halangi perkembangan Islam. Nah, yang saya maksud itu demikian: intensifikasi pengajaran agama di luar sekolah.

Apa alasan Anda sehingga agama mesti diajarkan di tempat pendidikan agama saja, bukan di sekolah-sekolah umum?

Itu kebanyakan atas pertimbangan politik. Saya menilai, kita menunjukkan kehadiran agama kepada anak-anak dengan cara yang keliru. Orang sering lupa, bahwa sekolah adalah tempat anak-anak diajarkan pengetahuan untuk menjalankan hidup, dan itu memang benar. Sayangnya, yang demikian itu dianggap tidak ada kaitannya dengan agama. Padahal, Tuhan menyuruh kita mempelajari ilmu. Itu sebetulnya sudah agama. Itu yang selalu dilupakan. Nabi pernah menyuruh kita menuntut ilmu ke negeri Cina. Kita disuruh ke Cina bukan untuk mencari Bakmi.

Sebetulnya, belajar fisika dan biologi atau ilmu lainnya itu, juga belajar agama ‘kan?

Ya, sudah termasuk belajar agama dan menjalankan perintah Tuhan.

Menurut Anda, bagaimana strategi yang paling efektif untuk mengatasi kemungkaran?

Saya kira, pencegahannya harus menggunakan akal dan ilmu. Sebab, kemungkaran dan macam-macam penyakit-penyakit sosial itu, ‘kan juga ada sebabnya. Untuk meneliti apa sebab-sebabnya itu, saya pikir sudah ada ilmunya, dan mencai ilmu itu memang dianjurkan sekali oleh Islam. Nah, setelah kita tahu penyebabnya, kita beranjak mencari pemecahannya, dan itupun sudah ada ilmunya. Jadi, kalau kita sebagai umat Islam merasa pedih mata melihat kemungkaran, ya perdalamilah ilmu pengetahuan yang berkait dengan problem kita itu!

Ada hadits yang mengatakan “mengubah kemungkaran dengan tangan” bisa juga ditafsirkan dengan ilmu sebagaimana yang Anda sebutkan tadi?

Iya, bukan main pukul saja. Main pukul itu ‘kan perbuatan preman. Kita tidak disuruh mendukung premanisme. Kita harus jujur dalam hal ini. Dulu, ketika ada pelacur yang akan dihukum lontar batu dalam tradisi Semit, Yesus lantas berkata: “Yang melempar pertama adalah orang-orang yang merasa dirinya paling bersih.” Karena ungkapan itu, malah tidak ada orang yang berani melakukan itu (melontar, Red). Jadi, dari sini kita dapat simpulkan, sebab prostitusi itu banyak hal. Makanya, kalau kita menjadi hakim, kita juga harus bersih dari apa yang kita tuduhkan atas terdakwa. Nah, ini yang kita pertanyakan.

Kembali lagi ke soal Islam sebagai agama bernalar tadi. Saya menyimpulkan, banyak masalah yang harus ditanggulangi dengan akal sehat atau ilmu. Begitu?

Ya. Konon, dulu seorang sahabat, ketika mau diutus (ke Yaman, Red), bertanya pada Nabi tentang apa yang harus menjadi sumber pegangannya (dalam dakwah). Kata Nabi, pertama Alqur’an; kalau tidak dijumpai di Alqur’an, pakailah Hadits; dan kalau tidak ada di Hadits, gunakan Ijma’; dan kalau Ijma’ tidak dijumpai pakai akal dengan berijtihad. Jadi, ketika itu saja nabi sudah menekankan pentingnya akal. Sebab, keadaan berkembang sedemikian cepat dan sebagiannya adalah hasil perbuatan atau kreativitas manusia itu sendiri.

Itu (main hakim sendiri, Red) sebenarnya sudah tidak pantas lagi. Sebab kita tidak hanya hidup bermasyarakat, tapi juga bernegara. Bahwa negara belum atau tidak mampu menanggulangi itu, itu soal lain lagi. Tapi, bukan berarti kondisi demikian mengesahkan kita untuk berbuat sesuatu yang bukan wewenang kita.

Islam bagaimana yang Anda harapkan dapat sesuai dengan era transisi negara kita ini?

Saya kembali ke tadi. Kita harus betul-betul memperdalami ilmu pengetahuan. Apa sih sebetulnya ilmu pengetahuan yang saya maksud itu? Ilmu itu tidak lebih dan tidak kurang adalah pengorganisasian segenap pengetahuan kita itu sedemikian rupa, hingga dapat menguasi semakin banyak potensi-potensi yang di kandung dalam alam. Ini termasuk kaitan-kaitan yang ada dalam alam tadi sebagaimana yang saya sebut sebagai buku kedua tadi.

Sebetulnya, yang demikian itulah semestinya Islam itu, ‘kan?

Lha iya! Yang kita sayangkan adalah, apa yang diinginkan Islam itu dikembangkan oleh orang-orang yang tidak beragama Islam. Kemudian, hasilnya nanti kita pergunakan dan kita pakai.

Bukankan Islam juga selalu dibicarakan terpisah dari ilmu sehingga terlihat sangat sempit?

Itu sama dengan menyiapkan orang Islam untuk mati saja! []

24/11/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Memang benar apa yang dikatakan Pak daoed Yoesoef namun sayang ini terkatakan setelah menjabat mendiknas, coba kalau masih menjabat yang kemudian diturunkan dalam rencana startegisnya pastilah orang atau pembaca akn memiliki second opinieon tentang islam. Apalagi sekarang mas bom yang sering dituduhkan itu adalah orang muslim, statement seperti itu sangat penting. Saya sendiri Islam karena orang tua saya Islam, sehingga tidak terlalu ada permasalahan,, namun disisi lain sya mengalami kerugian karena tidak terlalu mau mengetahui apa esensi islam itu. Namun akhir-akhir ini baru saya sadari bahwa semua hal yang diperintahkan dan dilarang itu ada alasannya, namun sayng ornag tua saya jika ditanya kenapa Al-Quran itu tidak boleh ditaruh di tempat bawah jawabannya adalah ORA ILOK, bahkan dalam mengucapkan kata Allah saja harus tepat katanya, kalau tidak tepat ORA ILOK.  Tetapi sekarang saya lebih mencari apa yang menjadi alasan Alloh untuk menganjurkan dan melarang terhadap suatu hal, saya selalu mencari dan terus mencari, pasti semuanya ada alsan. Dan seperti yang dikatakan Pak Daoed yaitu dengan ilmu…
-----

Posted by atiek  on  10/03  at  06:10 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq