Islam Liberal - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
28/06/2002

Islam Liberal

Oleh Redaksi

Dalam melihat penafsiran, ISLIB tidak menganut prinsip kebenaran yang monolitik. Perbedaan hasil ijtihad dianggap sebagi sesuatu yang lumrah. Sabda nabi “Ikhtilaafu ummatii rahmatun” benar-benar dijunjung tinggi oleh ISLIB.

28/06/2002 09:03 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Aku sangat mendukung pemikiran2 JIL karena sangat rasional tetapi tidak bertentangan dengan nurani dan Al-Qir’an n Al-Hadist, dan aku juga merupakan PENDUKUNG BERAT JIL

#1. Dikirim oleh Antonio  pada  22/06   01:06 PM

Bahwa pintu ijtihad harus tetap harus di buka hingga hari kiamat, itu jelas tuntutan yang mudah dimengerti dan harus diakui bukan hanya keabsahannya, tetapi juga urgensinya. Namun masalahnya ialah terletak pada siapa yang harus berijtihad? Apa setiap orang bisa berijtihad? Saya kira, kita perlu merumuskan dulu sesuai kaedah logis syarat-syarat orang untuk bisa berijtihad.

Sebab, kalau siapapun bisa berijtihad, menginterpretasikan agama tanpa melewati metodologi atau katakanlah penguasaan berbagai disiplin ilmu yang berlapis-lapis untuk mencerna Islam sebagai sebuah ideologi, hukum, moral, dsb, maka itu tak ubahnya dengan pelecehan terhadap Islam. Logikanya, kalau orang mau jadi dokter, sarjana ekonomi, hukum, atau arsitek, misalnya, memerlukan seribu satu macam syarat, jelas untuk menjadi reinterpretator Islam juga bukan orang sembarangan.

Sayangnya, dalam semangat yang dibawa Islib, saya tidak menemukan adanya penekanan dalam hal ini. Sebaliknya, dalam komunitas Islib yang bisa bicara bebas tentang agama Tuhan dan ketuhanan, saya melihat tidak semua anggotanya memiliki kelayakan untuk mereinterpretasi teks-teks keagamaan. Dan ini saya kira terjadi karena Islib memandang siapapun tidak akan pernah lepas dari subyektivitasnya sendiri dalam memahami agama.

Jadi, karena sama-sama bisa subyektif, seakan-akan tidak ada bedanya saya yang gak ngerti bahasa Arab, apalagi balaghah, dengan, Imam Fukaha, dan teolog Fakhrurrazi atau Ghazali, misalnya, yang mungkin sering tertidur di depan tumpukan buku-buku referensinya karena kecapaian mengkaji. Dan karena tidak adanya perbedaan itu, saya pun bisa menafsirkan ulang teks-teks keagamaan.

Logika saya sulit menerima kesimpulan seperti itu. Kalau Islib misalnya menganggap makrifat agama itu seperti udara yang bisa dihirup oleh siapa saja, maka saya menganggap makrifat agama itu seperti mata air pegunungan yang hanya bisa diraih dan dihirup oleh orang yang mau dan berhasil mendaki gunung itu.

Semoga Islib bersedia memuat tanggapan saya, sebab meskipun dari satu sisi saya berbeda dengan Islib, pada intinya saya setuju dengan urgensi dibukanya pintu ijtihad. Bravo Islib!
-----

#2. Dikirim oleh musi nanda  pada  16/07   01:07 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq