Jihad Melawan Terorisme - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
04/12/2005

Jihad Melawan Terorisme

Oleh M. Guntur Romli

Setiap agama harus disiangi dari rumput dan gulma kekerasan, sehingga agama menjadi lahan subur bagi perdamaian dan kerukunan umat manusia.

Dimuat di Koran Tempo, 18 November 2005

Ketika mendengar kematian Dr Azahari, Amrozi salah seorang terpidana mati Bom Bali I, merasa iri dan bersedih hati. Menurut dia, sohibnya dari negeri jiran itu terlebih dahulu mendapat anugrah kesyahidan. Sementara dirinya, meskipun telah mendapat vonis mati; belum jua dieksekusi. Baginya kesyahidan adalah rute menuju sorga melalui “jalan tol”; tanpa repot dengan kemacetan dan pemeriksaan bertele-tele. Melesat secepat kilat, lalu menempati sorga termegah dan dilayani bidadari-bidarari cantik. Demikian juga dengan Imam Samudra. Alih-alih menyesali perbuatannya, malah menganggap aksinya sebagai jihad fi sabilillah dan mengajak umat Islam untuk mengikuti. Pengakuan tersebut tertuang dalam bukunya, “Aku Melawan Teroris!” terbitan Jazera, Solo, 2004. Benarkah aksi teror itu dinilai jihad?

Saya akan mengutip buku lain yang membantah ideologi Imam Samudra Cs itu. Sebuah buku ditulis oleh al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, Sebuah Tinjaun Syariat, “Mereka adalah Teroris!” Bantahan terhadap Buku “Aku Melawan Teroris!” terbitan Pustaka Qaulan Sadida Oktober 2005. Menurut buku ini, Imam Samudra dengan berbagai macam kedustaan, kepalsuan, dan syubhat-syubhat berusaha membalik opini, dari tuduhan teroris terhadap dirinya, menjadi pahlawan dan pejuang. Dari seorang yang kejam dan tidak punya perasaan, yang telah membunuh sekian nyawa manusia tak berdosa, menjadi pahlawan pembela duka nestapa kaum mustadh’afin. Dari pembunuh keji, menjadi pembela bayi-bayi tanpa kepala di Afghanistan dan Palestina. Dari aksi teror yang keji dan kejam, menjadi aksi heroik dalam rangka membela Islam dan umat Islam. Teriakan membahana, “teroris teriak teroris!”.

Mengapa ideologi tersebut tertanam kuat dalam sanubari Imam Samudra dan kawan-kawan? Masih menurut buku itu, mereka meyakini akidah Khawarij—salah satu kelompok Islam radikal klasik—yang ditiupkan oleh tokoh semacam Sayyid Quthb, dan dilanjutkan oleh Dr Safar al-Hawali, Salman Al Audah, Usamah bin Laden, Ayman al Dzawahiri, dan lain-lain. Tokoh-tokoh itu dianggap ulama mumpuni yang berhasil melakukan indoktrinasi dan mencuci otak mereka sehingga menyulap aksi terorisme sebagai jihad!

Sungguh tidak masuk akal, jika Azahari Husin yang meraih gelar doktor dalam kajian statistik, dari universitas sekular: University of Reading, di negara paling sekular: Inggris, tiba-tiba bersikeras menegakkan agama Allah dengan “berjihad” dimana-mana tanpa doktrin dari seorang “ulama”. Tidak mungkin, para perakit bom dan eksekutor asalnya tukang service telepon seluler atau elektronik, memiliki kesadaran untuk “mati di jalan Allah” tanpa jampi-jampi magik teologis dari “ulama”, walau berasal dari seorang Nordin Mohd Top sekalipun!

Dalam ranah ini, terorisme memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan: aksi dan ideologi. Drama teror ini menampilkan dua tokoh: aktor sebagai eksekutor aksi teror dan aktor intelektual yang membangun basis ideologi teror. Nah, ideologi teror tersebut ditanam oleh aktor-aktor intelektual yang sangat mahir memainkan ayat-ayat Tuhan untuk menggiring pemuda-pemuda tak berdosa sebagai pelaku terorisme.

Oleh karena itu, ulama ibarat pisau yang memiliki peran ganda: memotong kue bolu, atau menikam untuk membunuh. Di negara manapun, ketika marak terjadi aksi terorisme, pemerintah setempat menyerukan agar ulama-ulama agama berperan memerangi terorisme. Di Saudi Arabia ulama-ulama telah mengharamkan “bom bunuh diri”. Di Jordania, khatib-khatib Jumat diserukan mengutuk terorisme dan menyiarkan Islam yang damai. Demikian juga di Mesir, Pakistan, dan termasuk di Indonesia. Sebab-musabab seruan terhadap ulama itu—untuk memerangi terorisme—karena mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik): tidak sedikit dari ulama-ulama itu menjadi aktor intelektual dan mendukung terorisme. Seorang teroris dipastikan memiliki guru, dan balai pendidikan yang membentuk jiwa, pikiran, dan menunjukkan jalan terorisme itu.

Sederhananya, teroris-teroris itu adalah korban dari manusia—yang disebut ulama—tidak bertanggungjawab itu. Anehnya, ulama-ulama kharismatik itu hanya berani membakar kemarahan dan kebencian umat, tanpa memiliki keberanian berada di garis terdepan dengan membawa bom. Jangankan meledakkan dirinya, anak-anaknya pun tidak diajari untuk menjadi teroris dan melakukan pembunuhan. Mereka cukup mempengaruhi santri, tetangga, dan orang lain untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.

Maka dari itu, seorang ulama memiliki peran vital terhadap terorisme. Peran itu dimulai, bagaimana mereka meracik dan menyuguhkan agama ada umat. Jika mereka menyuguhkan agama sebagai ajaran kebencian dan kekerasan, maka, agama akan menjadi kekuatan terorisme mahadahsyat. Agar tetap menarik dan laku, agama dikemas dan dipromosikan melalui pengajian, khutbah, pengkaderan, dan diiming-imingi janji-janji: mati syahid, kenikmatan kehidupan sorgawi dan menikahi bidadari.

Namun jika ulama konsisten mengemas dan menyuguhkan agama sebagai ajaran perdamaian, kerukunan, dan antikekerasan, maka, terorisme dan aksi-aksi kekerasan itu akan dianggap berlawan dengan ajaran agama itu sendiri. Diakui atau tidak, sebagai doktrin, setiap agama memiliki benih intoleran dan kekerasan. Misalnya: ada ayat-ayat perang dalam Al-Quran. Namun seorang ulama, tidak cukup hanya “membacakan”, dia harus memiliki keberanian untuk melakukan “pembacaan” dan “pengkajian”. Setiap agama harus disiangi dari rumput dan gulma kekerasan, sehingga agama menjadi lahan subur bagi perdamaian dan kerukunan umat manusia.

Jihad, tidak bisa didefinisikan sekedar berperang. Pemahaman tersebut telah melakukan “pengerdilan” terhadap ajaran jihad yang agung. Menurut seorang ulama kharismatik Syria, Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthi, dalam bukunya al-Jihad fi al-Islam jika jihad diidentikkan sebagai perang, maka ajaran jihad akan kehilangan makna yang sebenarnya dan segala macam variasinya. Al-Quran sendiri tidak secara definitif memaknai jihad sebagai perang. Al-Quran menggunakan istilah al-qitâl sebagai padanan perang. Sementara jihad tetap kaya dengan multimakna dan multibentuk.

Dalam surat Al-Furqan ayat 52 yang turun di Makkah disebutkan, Karena itu janganlah turut orang yang kafir, dan berjihadlah melawan mereka dengan jihad yang besar. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai; “jihad besar” (jihâd kabîr) ini? Menurut Ibn Abbas, konotasi jihad dalam ayat itu adalah dengan “Al-Quran”, menurut Ibn Zayd dengan “Islam”, dan ada yang berpendapat dengan pedang alias perang. Namum Al Qurthubi dalam tafsirnya al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân (1995: 56) menolak keras pendapat terakhir; “jihad dengan pedang”, karena ayat ini turun di Makkah, jauh sebelum turun perintah perang. Sedangkan makna “jihad yang besar”, menurut Al-Zamakhsyari dalam besutannya, Tafsîr al-Kasysyâf (1995: 278) mencakup segala bentuk perjuangan (jâmi`an likulli mujâhadah).

Seorang ulama fikih klasik Syatha’ al-Dimyati dalam “kitab kuningnya” I’ânah al-Thâlibîn mendefinisikan jihad sebagai aksi menolak marabahaya dan kekacauan serta berjihad untuk kemakmuran dan kesejahteraan: sandang dan pangan (daf`u dlararin ma’shûmin min muslimin jâ’i`in aw `ârin wa nahwihimâ). Jika mau konsisten, perang malah diperbolehkan oleh al-Quran untuk melawan “fitnah”: perangilah mereka sampai tiada lagi (timbul) “fitnah” wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (QS al-Baqarah: 193). “Fitnah” di sini menurut mayoritas ulama tafsir bermakna segala kekacauan akibat, pengusiran, perampasan, dan pembunuhan. Kekacauan yang menebarkan ketakutan dan rasa tidak aman. Fitnah adalah terorisme. Jihad melawan terorisme berarti jihad melawan kekacauan yang berakar pada “fitnah” tadi. Sementara ulama adalah artikulator, penafsir: “lidah” agama, namun bukan berarti seperti Si Pahit Lidah, yang kerjanya, cuma mengumbar kebencian, dan kutukan. Karena agama bukan ancaman dan kutukan. Tantangan terbesar bagi ulama untuk, tidak hanya dituntut menjalankan agamanya secara benar, tapi juga menjaga agar agamanya tidak “dibajak” menjadi amunisi untuk membunuh. Wallahu a’lam.

04/12/2005 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (13)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya mulai bingung dengan yg namanya JIHAD…
apakah JIHAD itu harus membunuh? apakah manusia diciptakan untuk saling membunuh? dan kenapa selalu berdalih perintah AGAMA? apakah AGAMA mengajarkan kebencian dan saling membunuh?

Posted by biasa aja  on  09/30  at  05:44 AM

Ha..ha..ha, sesama muslim aja kalian ga kompak. Komentarnya masih seputar nyari pembenaran menurut versi masing-masing. Kalian ini lucu, kejadian bom di Indonesia, nyerempet-2 sampe ke amerika, israel, palestina, ada juga libanon. Kejauhan bro. Selain itu nyebut juga teroris dan kafir. Artinya islam itu bermuka banyak (kalo yang lain bermuka dua saja). Kalo disingkat, kafir pasti teroris, dan teroris bersumber dari islam, jadi islam sama dengan kafir. Jadi mulai sekarang ga usah nyebut orang lain itu kafir, karena yang kafir itu adalah islam. Jadi kita sebaiknya bersatu, demo menuntut MUI mengeluarkan fatwa haram untuk islam di indonesia.

Posted by mahbud  on  08/22  at  06:22 PM

Maaf jika pemahaman tentang jihad masih kurang dan ilmu agama yang masih dalam taraf belajar. Dari zaman dulu kafir tetaplah kafir, kecuali dia telah bersyahadat. Dan sejak dulu pula, kaum kafir menyatakan perang terhadap umat Islam hal ini pun telah dijelaskan dalam Al Qur’an. Mungkin perang yang dulu dengan sekarang berbeda, bisa perang fisik (seperti di Palestina), bisa perang ideologi ataupun perang ekonomi… Jika kaum kafir mau bertobat, kenapa setelah turunnya Al Quran secara membabi buta menentangnya? Coba direnungkan, dari sejarahnya siapa yang memulai sebuah peperangan…
-----

Posted by sahid  on  03/23  at  07:03 PM

Saya sungguh menangis dengan moral kita sebagai umat muslim.memang ilmu agama saya masih kurang jauh dari kalian.Tapi saya masih membuka nurani saya sebagai manusia.

pertayaan saya adalah kenapa Allah menciptakan manusia dibumi ini?untuk kita bunuh jika dia kafir?kenapa bukan Allah saja yang melenyapkan kaum kafir?bukankan mudah sekali buat Dia?jawabanya simple karena Allah tidak mau.Allah ingin semua kaum kafir bertaubat dan menjadi hambaNya.semoga penafsiran saya tidak salah dengan jihad.

Posted by ummayah  on  03/01  at  04:03 AM

memang islam itu harus keras untuk menghadapi orang kafir, demi allah bukan demi kesombongan dan nafsu. sekarang jika kita melihat perang di poso, ketika orang islam membalas serangan dari musuh maka pada pemberitaan dianggap teroris padahal yang namanya perang ya perang, sedangkan ketika orang kafir membunuh orang islam hal itu dianggap sudah biasa, gimana jika kita memandang semua gerakan perlawanan islam adalah teroris maka kita salah besar, tapi kenyataanya memang gitu khan semua pemberitaan ngomong gitu. Yang namanya kafir itu tetaplah kafir dan harus dimusuhi walaupun dilahirkan oleh ibu yang sama..... bersatulah wahai saudaraku kita tumpas semua kejahatan di muka bumi pahlawan bertopeng.........

Posted by usamah  on  07/29  at  07:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq