Kebebasan Beragama Dikorupsi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
02/07/2006

Diskusi di UIN Yogya Kebebasan Beragama Dikorupsi

Oleh Hatim Gazali

Demi kelangsungan hidup bersama, penyangkalan kebebasan beragama baik secara filosofis ataupun praktis dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari persoalan-persoalan ekonomi dan perebutan kekuasaan politis, hanya akan membawa kehancuran bagi penduduk negara yang berlabel NKRI.

“Bukan saja kebebasan beragama, kebebasan bertafsir sekalipun tidak mendapatkan dukungan penuh dari mayoritas umat Islam”. Demikian pernyataan kritis Abd. Moqsith Ghazali dalam Seminar Sehari Jaringan Islam Liberal (JIL) bekerjasama dengan Community for Religion and Social engineering (CRSe) Yogyakarta, 04 Mei 2006 lalu. Seminar yang bertema “Kebebasan Beragama Perspektif Agama-Agama” ini menghadirkan Prof. Dr. H. Machasin, Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, dan Dr. George Junus Aditjondro, pengamat politik dari Yogyakarta, sebagai pembicara.

Menurut guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Machasin, perbincangan perihal kebebasan beragama dibutuhkan ukuran yang jelas untuk menilai serta siapa yang mewakili. Menurutnya, Islam tidak bisa diwakili oleh satu lembaga tertentu. “Karena itulah, ketika menyebutkan kata perspektif Islam dengan menyuguhkan sejumlah ayat dan hadist, harus dipertanyakan kembali apakah itu benar-benar perspektif Islam ataukah hanya sekedar perspektif Mahasin”, tandasnya.

Pada diskusi yang berlangsung di aula II UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini Mahasin juga menyinggung tentang identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurutnya, identitas agama dalam KTP sangat merepotkan catatan sipil. Pencantuman itu menurutnya tidak diperlukan. Sebab, hal itu merupakan hak; hak untuk berkafir ria atau beriman. “Ini penting, karena agama sesungguhnya merupakan sebuah kebebasan”, tandasnya.

Dengan mengutip QS. 2: 256, Mahasin menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk menentukan beragama atau tidak. Akan tetapi, ada hadist nabi yang menyebutkan bahwa orang yang pindah agama harus dibunuh. Hadist ini berlaku untuk umum. Karena itulah, non-muslim yang pindah ke agama lain harus dibunuh juga.

Argumen teologis yang dihidangkan oleh Pak Mahasin mendapat rincian (syarah) dari pembicara kedua, Abd. Moqsith Ghazali. Menurutnya, konsep kebebasan beragama dalam Islam yang didasarkan pada QS. 2:256 oleh Machasin akan menjadi masalah ketika membaca ayat berikutnya. Di sana disebutkan bahwa sungguh sangat jelas antara yang haq dan bathil. Dan seluruh tafsir al-Qur’an memberikan perincian bahwa yang dimaksud dengan haq adalah Islam. Maka, di luar Islam masuk dalam kategori bathil. “Dari sinilah sebenarnya kebebasan beragama dalam Islam menghadapi masalah besar”, ucap aktivis JIL ini.

Hal tersebut menjadi sangat jelas ketika membaca Islam dalam aspek sejarah. Abu Bakar, sahabat pertama nabi, misalnya, mula-mula langsung membunuh orang-orang yang diklaim murtad. Begitu pula sejumlah kasus lainnya yang menimpa Al-Hallaj atau Ibn Rusyd yang divonis kafir oleh kalangan Islam lainnya.

Dari situlah terdapat paradoks dalam Islam. Pada satu sisi Islam memberikan kebebasan dalam beragama (QS. 2:256), tetapi pada sisi lain Islam justru menganjurkan pemeluknya untuk membunuh orang-orang non-muslim. Maka, untuk menghadapi itu Muhammad Ibrahim Al-Asfahani telah memberikan pernyataan yang sangat inspiring.

Menurutnya, prinsip dasar di dalam Islam adalah kebebasan beragama. Sehingga, ayat-ayat partikular seperti membunuh non-muslim, murtad, kafir harus ditundukkan oleh ayat-ayat dan prinsip dasar Islam di atas.
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama menghadapi kendala yang tidak ringan. “Sejumlah kasus yang menimpa—seperti—Lia Aminuddin, Ahmadiyah dan lain sebagainya, adalah fakta betapa kebebasan beragama di Nusantara ini masih sebatas teks dalam UUD 45, bukan menjadi realitas yang menyejarah” paparnya. “Padahal, Ahmadiyah telah bertengger di negeri ini jauh sebelum Indonesia merdeka.” Dan, kedatangannya pun bukan hadir dengan sendirinya, tetapi justru dijemput oleh bangsa Indonesia ke India. Mestinya, negara harus memberi perlindungan terhadap rakyatnya yang mendapat perlakuan yang diskriminatif. Sebaliknya, negara justru bertindak sebagai juru kebenaran yang bisa mengklaim dan mengadili keyakinan seseorang. Negara terlampau jauh mengintervensi persoalan-persoalan privat masyarakat kita.

Sementara itu, George Junus Aditjondro banyak mengamati dari aspek sosiologis. Menurutnya, ketika negara mengharuskan warganya untuk beragama, tetapi hanya membatasi pada empat agama (Katolik dan Protestan adalah bagian dari satu agama), maka sebenarnya kebebasan beragama telah disunat dan dikerangkeng. Begitu pula pembentukan Departeman Agama yang melembagakan salah kaprah pembedaan Katolik dan Protestan seolah-olah sebagai dua agama. Di situlah kebebasan beragama dikorupsi. Menurutnya, pemutlakan kemauan mayoritas, khususnya agama mayoritas di tingkat nasional maupun regional, berakar pada kecenderungan masyarakat tradisional yang masih merupakan Gemeinschaff akan penyeragaman (conformity).

Ia menyuguhkan sejumlah kasus yang terjadi terkait dengan kebebasan beragama dan sejumlah aksi kekerasan lainnya, terutama yang menimpa Islam dan Kristen. Sehingga, Aditjondro menyarankan adanya “empati timbal balik” diantara aktivis Kristen dan aktivis muslim. ”Aktivis muslim perlu merasakan apa artinya jadi minoritas di negeri ini. Merasakan sulitnya beribadah tanpa rasa takut digusur”, usulnya. ”Sementara aktivis Nasrani pun perlu ikut merasakan stigma terhadap aktivis muslim yang terus dipojokkan.”

Akhirnya, Aditjondro berpesan bahwa demi kelangsungan hidup bersama, penyangkalan kebebasan beragama baik secara filosofis ataupun praktis dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari persoalan-persoalan ekonomi dan perebutan kekuasaan politis, hanya akan membawa kehancuran bagi penduduk negara yang berlabel NKRI.

02/07/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ada yang berpendapat bahwa agama adalah umpama baju sedangkan badan inilah iman.Saya kira ada benarnya,tetapi bukan berarti boleh dengan seenaknya berganti baju ! kalau ada seseorang yang memakai “baju” dan “baju"nya tidak pas,apakah harus dipaksakan ? menjadi tertawaan orang lain ? ada juga seseorang yang memakai “baju” dan MERASA “baju"nya tidak pas,bukan berarti harus segera berganti baju,tetapi teliti kembali,apakah ada yang kurang dengan “baju"nya ? saatnya tanya pada yang ahli “baju” ! Inya’allah akan mendapat solusinya !

Sedikit tanggapan untuk lia,gunsa,jakarta.Sebaiknya kita pun harus sadar bahwa selama ini masih ada pendapat bahwa non-muslim tidak harus dibela,ini kejadian yang sering kita alami dan lihat : kalau Ummat Islam mengadakan acar di stadion dengan massa yang luar biasa banyak,non muslim tidak pernah menentang,demo,protes atau apalah....tetapi ada kejadian : Jogja festival ( oleh ummat Nasrani ) akhirnya dibatalkan karena banyak tekanan dari ormas2 Islam di jogja agar acara tersebut dibatalkan,apakah ini toleransi ? pada hari H nya saya melihat sendiri ada ormas Islam yang berkumpul dengan baju ala militer,bertutup kepala seperti teroris/pejuang timur tengah,membaya pentungan berjaga2 diluar stadion yang jelas2 tahu acara tersebut akhirnya batal ! saya berpikir,kalau seandainya acara tersebut tetap berlangsung,apa yang akan terjadi ? sampai sebegitu takutnya kah Ummat Islam sebagai mayoritas,sampai harus menghalangi sesama manusia yang ingin beribadah kepada Sang Pencipta ? apa yang harus ditakutkan ?
-----

Posted by Surya Lesmana  on  07/06  at  12:08 AM

menanggapi tulisan hatim Ghazali di atas, tampaknya kita memang perlu lebih banyak mepelajari dan memahami pluralisme lagi. bagaimana bisa menjadikan masyarakat akar rumput paham arti kebebasan beragama dalam toleransi keberagamaan jika para intelektual muslim saja masih gagap dalam meamahami pluralisme. kita sering memvonis terlebih dlu suatu paham dari Barat sebagai kafir tanpa berupaya memahami lebih dalam. liberalisme, pluralisme, sekularisme sebagai yang datang dari barat layak kita pelajari juga tanpa meninggalkan khazanah intelektual muslim terdahulu.

Koordinator Komunitas Kajian Agama dan Filsafat (Kom-KAF) Unnes

Posted by Edi Subkhan  on  07/09  at  04:07 PM

Bagi saya memeluk suatu agama adalah sangat penting hingga ke jiwa saya. Dalam hal kebebasan agama memang hrs kita hormati, tapi tidak menghormati agama sendiri yang perlu dipertanyakan. Apa sih sebenarnya agamanya? Itu pertanyaan bila melihat orang yang tidak bisa menerima agamanya sendiri tapi masih bertengger dibaliknya. Kalau dikatakan tidak toleransi, mana yang tidak toleransi, jumlah gereja di indonesia melebihi jumlah masjid dengan penduduk mayoritas muslim. Kalau tidak toleransi, di menado justru masjid bisa dihitung dengan jari apalagi di Bali. Justru kita menghormati yang bermayoritas, bahkan saya merasa justru islam jadi minoritas dan bulan-bulanan bagi orang munafik. Yang jadi pertanyaan saya, mengapa islam yang selalu dialihkan menjadi aliran sesat? Jawabannya karena kita toleransi, demikian juga menganggap semua agama adalah sama dan mereka fine-fine aja. Bukankah itu toleransi? Di Irlandia konflik agama masih berlangsung, karena mereka masing2 berpegang teguh pada keyakinannya sendiri, mana toleransi? Disini selain ahmadiyah dan lia aminudin masih banyak yang tenang-tenang saja. Kalau menyamakan semua agama dengan sama2 menyembah Tuhan, jelas kita semua menyembah Tuhan. Bukan patung atau tembok atau berhala. Tapi menyamakan semua agama dan “hal” lain, jelas tidak. Mengapa orang yang mengaggap semua agaa sama tidak memeluk selain islam. Ktp- tetap Islam, tapi agama sama. Kenapa tidak tercantum dengan tiga atau empat agama? Islam menyempurnakan agama yang terdahulu. Dan kalau kita betul-betul memahami setiap ayat al-qur’an tidakkah hati anda bergetar? Kebebasan berfikir boleh saja, tapi manusia ada batasnya. Mengapa harus dipaksakan dengan fikiran yang merusak? Toleransi yang bagaimana lagi melihat sebelah kanan masjid hanya dibangun dengan papan yang tambal sana tambal sini sedangkan gereja sebelah kiri sangat megah. Atau toleransi apa lagi yang mendatangkan orang-orang sakit di rumah sakit dan mendo’akan dengan cara ibadahnya. Semoga penulis melihat lebih dalam lagi. Jika merasa agama dan orang-orang yang beragam tidak toleransi, silahkan pilih agama sendiri. Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Semoga anda mendapat hidayah dari agama anda.

Posted by lia  on  07/06  at  11:07 PM

Perlu memang mendiskusikan tentang kebesasan beragama dan memang sangat baik untuk “kesehatan” hubungan antar ummat beragama. tapi perlu digaris bawahi, yang namanya Islam itu memiliki nabi yang bernama Muhammad SAW., dan bagi yang tidak mengakui akan kenabiannya, maka harus diragukan juga akan keislamannya. memang “tidak ada” yang dapat dipersalahkan dalam masalah Ahmadiyah ini, karena bagi kami yang sangat awwam dalam beragama dan tidak terlalu mengerti akan pemikiran para penganut Ahmadiyah.

Kalau boleh memberi masukkan kepada pemeluk Ahmadiyah, untuk tidak menggunakan label “Islam”. Karena kebanyakan dan mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak akan pernah ada lagi nabi setelah nabi Muhammad. Dan Ahmadiyah yang memnggunakan label Islam inilah cenderung membawa kepada permusuhan antara penganut Islam dan Ahmadiyah. Mohon penjelasan bagi mereka yang mengetahui perihal Ahmadiyah. Bacalah dengan lengkap ayat yang mengatakan kebebasan beragama. Silahkan kaji kembali?

Posted by eka saripudin  on  07/04  at  05:07 AM

Saya setuju sekali dengan pendapat dari Bapak Hatim Gazali, bahwa intinya setiap orang berhak untuk memeluk agamanya sesuai keyakinannya masing-masing hal ini sesuai dengan firman Allah S.W.T. dalam Surah Al-Baqaah ayat 256 yang bermaksud “Tidak ada paksaan dalam Islam”. Selanjutnya sebagai seorang ahmadi saya mengajak para pembaca untuk bertukar pikiran di Forum Ahmadiyah : http://www.ahmadiyah.co.nr menganai agama Islam. Jazakumullah.

Posted by Dino  on  07/02  at  09:07 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq