Ketika “Media Kebencian” Masuk Pesantren - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
04/12/2005

Ketika “Media Kebencian” Masuk Pesantren

Oleh Novriantoni

Orang yang rutin mengikuti pemberitaan media tentang isu-isu terorisme, tentu akan mudah menangkap kesan bahwa pesantren sedikit banyak sudah terkena getah dari ulah beberapa pelaku teror. Kesan keterkaitan pesantren dengan teorisme itu diperkuat pula oleh kenyataan beberapa pelaku teror yang menampilkan dunia simbol kalangan santri.

04/12/2005 20:47 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Sisa pemikiran kolonial masih berlangsung dengan kental pada diri kita saat ini. Pesantren yang dulunya betul-betul diakui merupakan basis spirit perlawanan penindasan kolonial sudah dijadikan ajang perseteruan antara pemerintah dan orang-orang putus asa untuk mencari pembenaran bahwa radikalisme tumbuh di kalangan pesantren. Kalau kita mau jujur bahwa radikalisme atau yang serupa itu “anarkisme” apakah betul tumbuh dari kalangan pesantren? Sesungguhnya kita jangan menafikan peran si pembuat kerusakan di Indonesia yang skalanya atau daya rusaknya tidak kalah hebat. Saya ingin sampaikan di sini bahwa bibit radikalisme bukankah berasal dari si pembuat kebijakan di masa lalu. Sekarang karena tidak menemukan cara menghapuskan radikalisme atau menimimalkan radikalisme, lalu dicarikan kambing hitam: pesantren. Padahal semua kita tahu betapa pesantren pernah dan akan terus menjadi salah satu pilar menegakkan kualitas moral. Agar masyarakat tidak melahirkan si pembuat kerusakan atas nama kebijakan.

#1. Dikirim oleh Dharmawan dhamaq  pada  06/12   01:13 AM

Pesantren bukanlah jaminan untuk seseorang menjadi saleh, mukmin sejati, pendakwah, ahli fqih, teroris, bahkan bisa saja produknya seorang zalim, koruptor, orientalis, jewish, dan lain sebagainya. Pesantren hanya merupakan salah satu wadah pencarian ilmu, terutama ilmu agama.

Apakah pesantren tersebut qualified di mata manusia sangat relatif, bergantung kualitas manusia yang menilainya. Tapi Allah telah memberikan sarana kepada kita untuk membantu melihat dan menilai terhadap suatu kebenaran dengan menurunkan Alquran dan diperjelas dengan sunnah Nabi SAW.

Allah juga menerangkan bagaimana caranya seseorang dapat diberi cahaya hati dalam memahami Alquran dan juga menunjukkan bagaimana Allah SWT menyesatkan seseorang dalam memahami Alquran, sebagaimana telah diterangkan Allah SWT dalam surat Al Baqarah. 

Begitu juga halnya dengan sekolah umum, sekolah theologi, universitas terkenal di dalam maupun di luar negeri, tidak merupakan jaminan alumnusnya seseorang yang berakal budi tinggi, tetapi bisa saja menjadi seorang koruptor, penebar fitnah, pembunuh massal, pengadu domba, orientalis, dsb.

Jika ada dua orang zalim, misal dimana seorang berasal dari pesantren dan seorang dari alumnus universitas luar negeri, mungkin salah satu yang membedakan keduanya adalah metodologinya. Si zalim dari pesantren mungkin melakukan kejahatan secara transparan dan terang-terangan sehingga lebih menjadi sorotan, tetapi si alumnus dari universitas luar negeri dengan cara yang lebih halus dan terstruktur, dan terlindung dari sorotan publik.

Bisa jadi kerusakan yang diakibatkan si zalim dari pesantren bersifat temporer, sedang si zalim dari universitas luar negeri mengakibatkan kerusakan secara struktural dan berkepanjangan tanpa disadari oleh masyarakat.
-----

#2. Dikirim oleh A Fauzi  pada  18/12   08:13 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq