Khazanah Klasik Saja Tak Cukup - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
13/06/2006

Diskusi di Jember Khazanah Klasik Saja Tak Cukup

Oleh Andiono Putra

Al-Qur’an yang selalu mengandung pelbagai makna penafsiran, harus dipahami dengan mengetahui langgam atau lagu ayat-ayatnya. Misalnya ayat la ikraha fi ad-dini, apakah ayat ini bernada keras ataukah biasa saja. Kalau bernada keras, maka ayat ini setegasnya melarang kebebasan beragama.

“Jangan jadikan Islam sebagai agama tertutup”, demikian Drs. Abd Moqsith Ghazali, MA, Koordinator Kajian Jaringan Islam Liberal, saat mengomentari tanggapan KH. Abdullah Syamsul Arifin, yang menolak menggunakan hermeneutika sebagai metodologi pembacaan teks agama yang progresif di STAIN Jember 27/5 lalu. Bagi Moqsith, bukan alasan yang tepat menolak menggunakan hermeneutika lantaran ia lahir dari rahim budaya Yunani. Karena, Islam harus dipahami dengan segala keterbukaannya. Dengan keterbukaan ini, Islam di masa lalu dapat memperoleh peradabannya yang agung. 

Selanjutnya, Moqsith juga menolak pemahaman yang hanya bergantung pada lafadz, seperti tersirat dalam kaidah: “al-ibratu bi-umum al-lafdz, la bikhusus al-sabab”. Kaedah ini disusun terpengaruh oleh logika Aristoteles. Menurut Moqsith, kaidah ini mestinya diganti:”al-ibratu bi al-maqashid, la bi al-alfadz”.  Moqsith lantas mengutip perkataan al-Ghazali, “Banyak orang yang pandangannya sangat picik, hanya membatasi firman Tuhan pada fakta-fakta yang inderawi, yang tekstual. Padahal, banyak yang bisa dicapai dengan mata kesadaran. Bukan dengan mata kepala manusia”.

Menanggapi tudingan bahwa pemikiran Jaringan Islam Liberal meragukan al-Qur’an, Moqsith menampiknya. Karena bagi Moqsith, al-Qur’an adalah sebuah fakta sosial di kalangan umat Islam. Starting point-nya tidak dimulai dari meragukan al-Qur’an, tapi dengan meyakini otentisitasnya yang berasal dari Tuhan. Hanya saja, akal sebagai firman Tuhan dalam bentuknya yang lain harus digunakan untuk menangkap pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an. Dan manusia, melalui akalnya, dipandang mampu menangkap pesan tersebut.

KH Abdullah Syamsul Arifin, pengurus Syuriah NU cabang Jember, menolak pandangan Jaringan Islam Liberal yang menempatkan akal di atas wahyu. Sebab, dalam tradisi berpikir Nahdlatul Ulama, akal selalu ditempatkan di nomor urut kedua setelah wahyu. Demikian ini karena, bagi Kiai Abdullah, penggunaan akal selalu akan diintervensi oleh kepentingan hawa nafsu yang selalu memburunya. Karena itulah, penggunaan akal harus dibatasi dan diposisikan di bawah wahyu yang ilahiyah. Belum lagi, ini yang lalu disebut oleh Abdullah sebagai tafsir kepentingan. 

Pada sisi lain, Abdullah yang sebelumnya menawarkan metodologi pembacaan teks agama melalui khazanah Ushul al-Fiqh yang demikian kaya, juga mengkritisi Jaringan Islam Liberal yang terlampau memberhalakan teks-teks Barat. Memang, slogan Jaringan Islam Liberal adalah lari dari kungkungan teks-teks Islam. Tapi, menurut Abdullah, Jaringan Islam Liberal lari dari teks Islam, menuju kungkungan atau belenggu teks baru bernama Barat. Tidak mau terjajah oleh teks Islam, tapi dijajah oleh nilai-nilai Barat, seperti pluralisme, gender, HAM dan lain-lain yang semuanya buatan manusia.

Diskusi bertema ”Menggagas Metodologi Penafsiran Teks Agama Yang Progresif” itu juga menghadirkan Kiai Imam Nakhai. Kiai yang mewakili suara pesantren itu mengatakan bahwa khazanah Islam itu sudah demikian kaya. Artinya, metodologi pembacaan teks agama yang progresif harus diletakkan pada bandul ushul al-fiqh yang sangat kaya. Nakhai lebih percaya dengan metodologi ushul al-fiqh daripada metode lain yang belum bisa diuji validitasnya. Seperti takhsis bi-al ‘urfi, takhsis bi al-maslahah, dan sebagainya. “Kalau metode ini yang digunakan, saya yakin, bacaan teks-teks agama menjadi progresif”, ujar Nakhai. Hanya problemnya, lanjut Nakhai, kalangan pesantren belum sepenuhnya berani mengaktualisasikannya.

Soal metodologi, Nakhai juga menawarkan pembacaan teks-teks baru terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang selalu mengandung pelbagai makna penafsiran, harus dipahami dengan mengetahui langgam atau lagu ayat-ayatnya. Misalnya ayat la ikraha fi ad-dini, apakah ayat ini bernada keras ataukah biasa saja. Kalau bernada keras, maka ayat ini setegasnya melarang kebebasan beragama. Namun, karena langgamnya biasa-biasa saja, maka artinya memang tidak ada paksaan agama alias memberi tempat bagi kebebasan beragama. Begitu halnya dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain. 

Namun Imam Nakhai mengimbau untuk tidak mencukupkan terhadap apa yang terdapat dalam khazanah klasik saja. ”Upaya-upaya kreatif nan cerdas untuk tidak jumud terhadap apa yang tertulis dalam khazanah klasik haruslah selalu dikembangkan”, pesannya sambil mengutip al-Qarrafi.[]

13/06/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

menanggapi apa yang telah ditulis achsin el-qudsy bahwa tidak ada kemutlakan dalam penafsiran, saya pun setuju dalam kita boleh memutlakan tafsir, tapi sebuah penafsiran khan ada metodologi, harus tahu kedalaman ilmu agama yang luas, tahu bahasa arab, bukan asal menafsirkan. Nashih Nasrulloh, Lc alumni Azhar University, jurnalis media Islam di jakarta
-----

Posted by nashih Nasrullah  on  06/23  at  09:06 AM

Namun, hemat saya apapun bentuknya sebuah penafsiran termasuk metode hermeutika harus bisa dipahami sebagai produk ijtihad, yang bisa benar, juga bisa salah. Dan perlu diingat bahwa jika ada yang salah yang dihasilkan oleh suatu ijtihad, maka tidak serta-merta ijtihad harus ditiadakan. Apapun yang dihasilkan oleh seorang mujtahid, salah atau benar, ia tetap akan mendapat penghargaan di sisi Allah. “Jika benar ia akan mendapat dua pahala, dan jika salah, pahalanya hanya satu”, itulah penegasan sekaligus kebijaksanaan Nabi yang paling masyhur mengenai ijtihad. Sehingga, ijtihad selalu akan membawa kebaikan, baik ganda maupun tunggal.  Tetapi terjadi kesalahkaprahan, karena memandang tafsir sebagai agama itu sendiri, serta menjadikannya bersifat sakral. Lalu, bagaimana kita akan menjelaskan kenyataan beragamnya penafsiran terhadap al-Qur’an, sementara al-Qur’an dari sejak diturunkan tidak pernah berubah. Dalam bidang fiqh, yaitu ilmu yang menuntun cara beribadah seseorang, bagaimana kita menjelaskan lahirnya banyak sekali madzhab dalam fiqh, sementara semuanya mengklaim mendasarkan argumennya pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari Imam Syafi’I saja lahir dua madzhab, qadîm (lama) dan jadîd (baru).  Pada mulanya, Imam Syafi’i menerima pendapat sahabat (qaul al-shahâby) dalam madzhab lamanya, tetapi setelah hijrah ke Mesir dan mendirikan madzhab baru, ia justru menolak qaul al-shahâby dijadikan sebagai hujjah dalam sistem pengambilan hukum. Selanjutnya, dalam ijtihadnya Syafi’i mengatakan bahwa, “qaul al-shahâby mungkin saja dijadikan sebagai hujjah, asalkan para sahabat semuanya telah sependapat. Tetapi apabila mereka berselisih pendapat, siapakah yang akan kita terima pendapatnya, dan siapa pula yang akan kita tolak?”. Sebab itu, ijtihad Imam Syafi’I akhirnya memilih tidak ber-hujjah dengan pendapat sahabat. Inilah kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Perkembangan sistem kepercayaan dan syari’at telah selesai dengan berakhirnya kenabian Islam, dimana telah diletakkan di dalamnya prinsip-prinsip umum agama yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam ijtihad. Oleh karenanya, perkembangan dalam Islam tidak melalui “penghapusan”, atau “penambahan”, sebab tidak ada risalah penutup setelah Islam, sehingga perkembangan Islam tidak memungkinkan berasal dari luar, tetapi justru dari dalam dirinya yaitu melalui pintu ijtihad. Islam dengan demikian, akan meluas, berkembang, dan mendalam melalui ijtihad.  Ijtihad senantiasa memberi peluang pada kritisisme yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip umum yang secara built in terdapat dalam sistem pemikiran dan keyakinan Islam. Misalnya, sebagaimana secara eksplisit ditunjukkan oleh al-Qur’an ketika mengkritik sikap taklid kepada pendahulu.  Salah satu faktor hilangnya ruh kritisisme dalam konteks sistem keyakinan (al-‘aqidiyyah) dan penetapan hukum (al-tasyri’iyyah) ialah adanya hegemoni penafsiran yang ditempatkan dalam posisi sebagai Teks agama itu sendiri, serta hilangnya etos musyawarah dan kepemimpinan yang hegemonik dalam hirarki kekhilafahan. Pemegang otoritas tafsir yang hegemonik melindungi dirinya dengan cara melarang kritik terhadap dirinya, sembari membekali masyarakat dengan prinsip-prinsip ‘ismah.  Dalam bukunya, “al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd”, Imam Ghazali memberikan kepada penguasa ideologi kekuasaan, yang menurut Hassan Hanafi, tidak dapat membedakan antara sifat-sifat Allah dan sifat-sifat penguasa; keduanya memiliki sifat Mengetahui, Hidup, Dapat Berkehendak (apa saja), Mendengar, Melihat, dan (dapat) Memaksa. Sementara itu, melalui “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”, Ghazali memberikan kepada masyarakat ideologi ketaatan, guna menempa mereka dengan sabar, tawakal, qana’ah, zuhud, ridha, takut, dan lain sebagainya. Kemudian, mengkafirkan para oposan politik, baik yang mengambil posisi secara terang-terangan seperti Mu’tazilah, sembunyi-sembunyi seperti al-Bâthiniyah, maupun oposan dari luar sebagaimana diperankan oleh Khawarij. Maka, yang tersisa ialah ‘ketetapan’ bahwa al-Asy’ariyyah adalah akidah yang benar dalam agama, dengan al-Syâfi’iyyah sebagai madzhab fiqhnya. waallu’alam bissaawab

Posted by achsin el-qudsy  on  06/22  at  07:06 PM

Memang islam harus membuka diri. Islam jangan terpaku pada al-quran yang tekstual saja, misalnya seperti yang diutarakan di atas bahwa walaupun hermeutika dari budaya yunani kalau memang itu baik mengapa tidak kita gunakan. Kalau islam liberal di katakan meragukan al-quran saya kurang setuju, justru islam liberal yang menyakini al-quran, karena jika al-quran tidak dikaji secara kontekstual fungsi al-quran tidak tampak, padahal alquran adalah sebagai wahyu yang harus bisa membimbing manusia.

Mengenai tanggapan bapak Arifin bahwa akal di bawah wahyu saya kurang setuju, karena akal adalah sesuatu pemberian Allah yamg sangat berharga, sesusatu yang tidak diberikan kepada mahluk selain manusia, kalau menurut saya akal itu sejajar dengan wahyu, karena sama-sama pemberian dari Allah.

Posted by ahmad jauhari  on  06/19  at  02:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq