Khotbah Jumat Nasruddin Khoja
Oleh Hamid Basyaib
Nasruddin Khoja adalah alim besar tapi ogah berkhotbah. Berulang kali aparat muspika, juga para tomas (tokoh masyarakat), memintanya berkhotbah di masjid jami setempat. Tapi akhirnya ia menyerah. Apa yang terjadi ketika ia akhirnya jadi berkhotbah?
Seluruh kampung tahu belaka bahwa Nasruddin Khoja adalah alim besar tapi ogah berkhotbah. Berulang kali aparat muspika, juga para tomas (tokoh masyarakat), memintanya berkhotbah di masjid jami setempat. “Ah, apakah saya lebih pandai dan lebih berakhlak dibanding bapak-bapak sekalian?” begitu alasan penolakannya selalu, seraya tersenyum seramah-ramahnya.
Tapi akhirnya ia menyerah. Pada Jumat pertama, ia datang paling akhir (ia tahu adat istiadat di blantika perkhotiban). “Sidang Jumat rahimakumullah”, ucapnya di mimbar. “Apakah Anda sekalian tahu apa yang akan saya sampaikan dalam khotbah ini?”
Setelah hadirin serempak menjawab, “Tahu!” Khotib Nasruddin mengumumkan: “Kalau begitu saya akan segera pulang, karena tentu tak ada faedahnya memberitahu orang-orang yang sudah tahu”. Tak ada yang bisa menahan alim yang nyentrik itu.
Pada Jumat kedua, Khotib Nasruddin kembali mengulangi pertanyaan, “Apakah saudara sekalian tahu apa yang akan saya sampaikan siang ini?”
Hadirin serempak menjawab: “Tidaaaak!”
“Kalau begitu saya akan segera pulang, sebab pastilah tak ada gunanya berkata-kata kepada orang yang tidak tahu sama sekali apa yang mau saya katakan”.
Di Jumat ketiga jamaah sepakat menyusun strategi untuk membuat Nasruddin berkenan memberi petuah-petuah agama yang paling berharga dalam hidup.
“Apakah saudara-saudara sudah tahu apa yang akan saya sampaikan dalam khotbah kali ini?”
“Sebagian dari kami sudah tahu, ya ustad, dan sebagian dari kami belum tahu....”
“Nah, untuk Anda yang sudah tahu, silakan beritahu mereka yang belum tahu. Bagi Anda yang belum tahu, silakan simak baik-baik. Saya akan segera pulang. Wassalam”.
****
Kita perlu banyak khatib seperti Nasruddin. Dia tahu kapan saat untuk tak bicara. Dia tahu bahwa mewejang jamaah yang sama sekali tak tahu tak akan ada gunanya, sebab dialog internal yang produktif tak akan terjadi dalam benak mereka.
Dia tahu mengkhotbahi orang-orang yang sudah tahu hanya akan membuat mereka jengkel, geli atau iba menonton pameran kedangkalan sang khotib. Akhirnya Nasruddin menyerahkan banyak perkara kepada jamaah/masyarakat sendiri. Ulama/khotib mungkin hanya perlu berperan sebagai fasilitator, bukan menjadi Tuan Serbatahu alias Mr. Knowall apalagi Menteri Urusan Kebenaran - yang gemar benar main gertak dengan menghunus ayat dan hadis. ”The best ulama is the least ulama,” ujar Nasruddin. (Hamid Basyaib)
Komentar
hebat sanagat hebat ada orang seperti itu. saya jadi sangat ingin jika saya sholat jumat minggu depan di kotbah kan oleh beliau..
Mungkin, tulisan tersebut hanya sebuah perumpamaan. Ummat saat ini memerlukan figur yang baik dalam menyampaikan nasihat dan hidupnya penuh dengan keteladanan dengan pemikiran yang islami. pemikiran yang tidak mengakali ayat dengan pikiran kita yang dangkal. Ulama yang benar-benar mengikuti alquran dan assunnah. Jadi, tidaklah benar bila seorang ulama benar-benar seperti yang diungkapkan dalam artikel di atas. Yang benar adalah adakalanya ulama menggunakan sistem klasikal adakalanya ulama hanya menjadi sebagai fasilitator. Tentu, hal ini disesuaikan sengan situasi dan kondisi serta tempat di mana ia berdakwah. Wallahu’alam.
Ass,wr,wb.
Terkadang suatu masalah yang sudah kita fahami bila dbahas ulang dapat menambah keyakinan & kekuatan, bila jengkel karena sudah tahu, sedalam apakah & sejauh mana pengetahuan tentang suatu masalah?.
Mungkin saja pengetahuan itu akan bertambah karena banyaknya pengulangan dari membaca maupun mendengar, bukankah kita sudah tahu rasanya makan nasi dan munum air, tetapi selalu di ulang-ulang pada menu yang sama maupun yg berbeda.
Belajar mendengar adalah sesuatu yang membutuhkan kesabaran, demikian pula seorang Ustadz, cara menyampaikannya memerlukan kemasan baru yang lebih berbobot, walaupun harus menghunus ayat dan hadits yang sama.
---//----
-----
Apa ada ulama yang seperti itu ? Tanpa mau mengingatkan kepada mereka yang tahu tapi tak melaksanakan dan menghabarkan kepada mereka yang belum tahu tak kala diminta, jika ini hanya sebuah perumpamaan yang anda buat ( Penulis ) anda menciptakan suatu kondisi dimana ulama tidak peduli lagi dengan umat apa mereka kira mereka bisa masuk dalam ridho allah sendiri - sendiri, kita tahu banyak ulama sekarang seperti cerita tadi tapi bukan suatu hal yang mulia, tanpa mau menyampaikan kebaikan kepada umat walau sepatah katapun. Hanya Allah yang tahu tak ada satu manusiapun melebihi pengetahuan Allah
Komentar Masuk (4)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)