Kita Perlu Desaudinisasi Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
03/12/2006

Soheib Bencheikh: Kita Perlu Desaudinisasi Islam

Oleh Redaksi

Secara umum, perkembangan Islam di Prancis saat ini berjalan sehat. Namun menguatnya corak Islam yang ideologis dan puritan juga cukup mengkhawatirkan. Diperlukan desaudisasi Islam agar mereka lebih mampu menyesuaikan Islam dengan kultur Prancis. Demikian pendapat Dr. Soheib Bencheikh, mantan Mufti Marseilia yang kini sedang merintis French Institute for Islamic Science, dalam kunjugan 10 harinya di Indonesia, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Sabtu (25/11) lalu.

Secara umum, perkembangan Islam di Prancis saat ini berjalan sehat. Namun menguatnya corak Islam yang ideologis dan puritan juga cukup mengkhawatirkan. Diperlukan desaudisasi Islam agar mereka lebih mampu menyesuaikan Islam dengan kultur Prancis. Demikian pendapat Dr. Soheib Bencheikh, mantan Mufti Marseilia yang kini sedang merintis French Institute for Islamic Science, dalam kunjugan 10 harinya di Indonesia, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Sabtu (25/11) lalu.

NOVRIANTONI (JIL): Apa kesan kunjungan di Indonesia?

SOHEIB BENCHEIKH (SB): Kesan pertama adalah hangatnya sambutan dan perjamuan serta kemurahan hati individu-individu dan lembaga-lembaga yang saya kunjungi. Saya menemukan wajah Islam yang sumringah dan lapang dada di Indonesia. Di sini, saya juga menemukan geliat pemikiran (at-tafkir) sekaligus alpanya pemikiran (`adamut tafkir) di berbagai kalangan yang saya jumpai. Saya banyak bertanya soal tantangan-tantangan Islam di Indonesia, tapi tak banyak jawaban yang saya dapat. Tampaknya, ada banyak ketidakpahaman tentang berbagai konsep dan gagasan dasar yang berlaku di dunia modern saat ini, seperti konsep kewarganegaraaan, sekuralisme, dan demokrasi.

Saya terbiasa memaknai sekularisme sebagai ”netralitas administratif” (hiyadatul idarah) dalam sebuah negara terhadap semua kelompok agama dan keyakinan. Demokrasi saya sebut sebagai sistem yang tak mungkin diingkari dan tidak juga perlu disifati, misalnya dengan sebutan demokrasi Islam, demokrasi Kristen, atau demokrasi ekologis. Sifat-sifat itu pada ujungnya hanya mengorupsi dan menyerabut demokrasi dari akarnya. Demokrasi itu tidak punya warna, bau, juga identitas. Demokrasi adalah ruang yang memberi tempat bagi segala warna, bau dan identitas warga negara untuk mengekspresikan dirinya secara terbuka. Rumusnya: yang paling persuasif dan paling rasional akan diikuti.

JIL: Anda senang melihat Indonesia menjadi negara yang demokratis?

SB: Saya senang. Indonesia adalah negara Muslim pertama yang mengamalkan demokrasi, dan juga prinsip-prinsip negara sekuler. Iklim ini akan memberi kesempatan pada semua kelompok untuk mengekspresikan dirinya. Tapi sayang, di Indonesia dan banyak negera Muslim lainnya, ada semacam hambatan psiko-linguistik untuk menerima penerapan sekularisme. Hambatan psikologis terjadi karena sekularisme memang berasal dari Barat. Bagi sebagian orang, segala yang datang dari Barat harus disikapi secara sekptis walau kita belum membahasnya. Hambatan lingustik terjadi karena ada problem semantik saat kita memaknai kata sekularisme ke dalam bahasa kita.

Mungkin kalangan Kristen Arablah orang yang pertama-tama menerjemahkan kata sekularisme dengan kata Arab, al-`almaniyyah (dinisbatkan pada alam, dunia atau le monde). Itu karena dalam kitab suci mereka, terutama Perjanjian Baru, disebutkan bahwa Yesus bukanlah bagian dari alam. Bahkan dikatakan, setanlah penguasa alam sebenarnya. Mereka lebih memahami sekularisme sebagai kehampaan atau ketiadaan agama.

Sebagian lain menerjemahkan sekularisme dengan sebutan al-`ilmaniyyah yang dinisbatkan pada ilmu. Tampaknya kata ini merujuk pada sebutan untuk kalangan saintisme (scientism). Kalau membaca buku-buku Arab yang menista sekularimse, seperti karangan Syekh al-Qardlawi, bahasannya selalu dimulai dengan pemaparan sejarah sekularisme sejak masa kaum demokrat Yunani dari mazhab atomisme, menuju mazhab materialisme, dan ditarik ke abad XIX ketika pengaruh kalangan saintis (al-ilmawani) makin menguat di masyarakat.

Saintisme, sebagaimana kita tahu, adalah pandangan filosofis yang mengingkari segala sesuatu yang belum terbukti lewat prosedur ilmiah. Mereka terkadang bersikap ekstrim dalam pandagan demikian. Mereka mengatakan, sampaipun soal-soal metafisika, kita sangat mungkin menerima atau tidak menerimanya lewat prosedur pembuktian ilmiah. Tapi sikap demikian lama-lama surut, terutama di Prancis yang menjadi lumbung kalangan saintis.

Filosofi kalangan saintis kemudian berkembang ke arah positivisme, seperti yang dipelopori oleh sosok seperti August Comte. Mereka-mereka yang berpandangan positivistik ini sampai pada gagasan bahwa ilmu tidak akan berkembang kecuali kalau kita benar-benar skeptis terhadap metode-metode yang kita gunakan. Karena itu, ilmu bagi mereka tidak bersifat mutlak, tapi baru tahapan tertentu pencapaian akal manusia. Ilmu juga tidak dianggap bersifat pasti dan berakhir. Sikap demikian membuat seorang ilmuwan tidak dapat mengatakan inilah kesimpulan akhir pembahasan saya. Sikap demikian hanya menutup rapat-rapat pintu menuju ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangannya, kalangan ilmuwan kemudian lebih menitikberatkan bahasan pada soal epistimologi pengetahuan atau dengan cara apa ilmu didapat. Bahasan ini kemudian menjadi independen dari filsafat. Berkat epistimologi, kalau ditemukan sesuatu, mereka segera akan membahas metode yang digunakan dalam pencapaian tersebut. Nah, bagi saya, para pemikir di dunia Islam yang menolak sekularisme, sebetulnya sedang menolak saintisme dan klaim-klaimnya. Mereka menyerang sasaran yang salah.

JIL: Apa pemaknaan pribadi Anda terhadap sekularisme?

SB: Bagi saya pribadi, sekularisme bukanah filsafat yang rumit. Laicite di Prancis bukanlah agama dan ideologi. Ia adalah gagasan yang tidak bertubuh dan sangat sederha, yaitu netralitas administratif dalam aspek pengelolaan hubungan antara negara dan agama. Artinya, ketika sebuah negara mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler, ia harus memberi ruang bagi setiap orang untuk menerima atau tidak menerima agama. Lebih kongkritnya, sekularisme adalah pemisahan antara urusan agama dan negara. Di situ ada dua faedah penting. Pertama, bagi agama sendiri, dan kedua bagi sebuah negara.

Bagi semua kelompok agama, kita dapat meraskan bahwa semua kita sedang dalam perlindungan negara yang netral, rasional, dan dapat dikritik, karena dia bukan bagian dari suatu institusi yang sakral. Setiap partai yang berkuasa di negara-negara sekuler dapat dikritik, dievalusai, direformasi, bahkan diganti oleh partai-partai yang kemungkinan lebih mampu memimpin dan membuktikan bahwa mereka mampu mengerjakan hal yang lebih baik.

Institusi negara, dengan demikian, menjadi netral, profan, tidak punya mandat dari langit, dan tidak punya nilai kesakralan sebagaimana klaim agama-agama. Negara terbebas dari dogmatisme. Di samping itu, agama juga dapat terbebas dari permainan dan intrik-intrik politik demi mencapai tampuk kekuasaan. Itulah fakta di negara-negara yang sudah mapan dengan sekularismenya.

JIL: Bagaimana dengan negara yang teokratis atau semi-sekuler?

SB: Pemandangan itu berbeda sekali dengan Aljazair, Tunisia, Maroko, dan negara-negara Arab lainnya. Di sana Anda akan menemukan fakta bahwa negara sama sekali tidak mencerahkan, tak dapat diharapkan untuk perbaikan. Tugas negara sekan-akan hanya terfokus untuk satu hal, yaitu menjaga kesucian agama dan kekuasaan para penguasanya. Lebih tepatnya, mereka hanya berkepentingan menjaga corak agama yang konservatif dan terbelakang dan memanfaatkannya untuk tetap langgeng berada di kekuasaan.

Sebaliknya, partai-partai politik yang bertindak sebagai kekuatan oposisi dan kritikus pemerintah berkuasa, juga berhasrat untuk merebut kekuasaan dengan medium yang sama, yaitu mimbar masjid. Semua itu dilakukan dengan menggunakan idiom-idiom keagamaan demi membangkitkan sentimen keagamaan masyarakat. Sentimen keagamaan mayoritas umat Islam, misalnya, selalu menjadi sandera atau pertaruhan di tengah permainan dan intrik-intrik politik yang tidak bermoral sekalipun.

JIL: Mengapa Anda tampak gigih sekali membela sekularisme?

SB: Perlu Anda ketahui, orang-orang yang paling keras berteriak tentang pentingnya pemisahan agama dan negara dalam sejarahnya adalah orang-orang yang tulus dalam beragama. Saya punya alasan praktis untuk membela sekularisme. Sebagai seorang Muslim, di Prancis saya tetap dapat menjalankan Islam dengan penuh keceriaan dan kebanggaan di bawah kekuasaan negara sekuler. Andai kekuasaan politik Prancis hanya dipasrahkan pada prosedur demokrasi yang kadang-kadang lebih banyak bicara soal kekuasaan mayoritas (mayoritas Katolik dalam kasus Prancis, Red), sudah barang tentu kita tidak akan nyaman berada di sana.

Untungnya, pemahaman demokrasi yang dangkal itu sudah berlalu dari Prancis. Prancis sudah lama punya Konstitusi yang menjamin kelangsungan sekularisme, termasuk aspek perlindungan terhadap hak-hak individu dan kaum minoritas. Karena itu, bila ada yang mencela sekularisme secara berlebih-lebihan, saya menyarankan mereka untuk mencoba tinggal di Prancis atau Amerika sekitar lima tahun. Dengan itu, saya yakin mereka akan dapat membuktikan bahwa sekularisme benar-benar melindungi mereka dari sentimen-sentimen keagamaan yang dangkal.

JIL: Para penentang sekularisme memaknai sekularisme lebih dari soal netralitas administratif. Bagi mereka, sekularisme adalah ideologi yang meminggirkan, kalau bukan membuang agama dari kehidupan. Tangapan Anda?

SB: Bohong dan tidak berdasar kalau ada yang mengatakan bahwa sekularisme lebih dari itu dan dapat menggusur agama dari semua level kehidupan. Sekularisme secara sederhana hanya soal cara pengelolaan negara agar tidak gampang dipengaruhi oleh sentimen-sentimen agama murahan. Di Barat, Anda tidak dipaksa untuk beragama atau tidak beragama. Soal anda taat atau tidak taat beragama adalah urusan Anda dengan Tuhan semata. Nuansa itu berbeda sekali dengan apa yang terjadi di negara-negara Arab, baik yang dianggap sekuler maupun yang nyata-nyata bersifat teokratis.

Ketika berada di Arab Saudi atau Aljazair, saya merasa bahwa diri saya sedang dikelilingi oleh aparatur lembaga inkuisisi. Dengan begitu, salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, seakan-akan bukan untuk Tuhan penguasa alam. Semua itu seakan untuk menghindar dari orang yang memata-matai setiap gerak-gerik dan ibadah kita. Semua bukan demi Tuhan, tapi untuk menjaga stabilitas kekuasaan atau citra positif di hadapan masyarakat umum.

Di Perancis, sedikit ketaatan yang saya abdikan pada Tuhan benar-benar lepas dari motif-motif seperti itu. Sekalipun bukan orang yang terlalu taat, saya benar-bernar merasa ikhlas ketika beribadah. Tidak ada yang memaksa saya untuk menerapkan Islam atau tidak menerapkan. Dan itulah hakikat Islam; dia hanya disodorkan (yu`radl) bukan dipaksakan (yufradl). Kalaupun saya menerapkan Islam secara konsisten, itu bukan untuk mencari muka di hadapan komunitas Islam atau untuk mendapat kedudukanm khusus dengan pakaian yang mengada-ada.

JIL: Para pejuang negara Islam mengklaim tegaknya negara Islam justru akan menjamin hak-hak minoritas jauh lebih baik dari yang diberikan negara sekuler. Pendapat Anda?

SB: Bagaimana menghilangkan konsep ahluz dzimmah (non muslim yang diproteksi di negara mayoritas Muslim dengan konsesi-konsesi tertentu, Red) yang masih ada di kepala mereka?! Terus terang, saya dan kebanyakan Muslim Prancis tidak pernah ingin menjadi ahluz dzimmah mayoritas Katolik Prancis. Saya dan tentu saja setiap orang, selalu ingin menjadi warga negara yang setara dengan segenap hak-haknya sebagai warga negara yang sah. Para pejuang negara agama di manapun kadang lupa bahwa sekat-sekat agama dalam banyak negara, kini makin mencair dan jauh berbeda dari masa lampau. Anda dapat menyaksikan warga negara Indonesia yang Kristen dan orang Swedia yang Muslim hidup nyaman dalam sebuah negara sekuler yang modern. Kalau perkembangan positif seperti itu terus berkembang, kelak kita akan menemukan suatu negara yang tidak ada lagi yang bermasyarakat mayoritas atau mengklaim sebagai mayoritas.

Revolusi ilmu pengetahuan, sarana telekomunikasi dan transportasi saat ini memungkinkan kita untuk hidup dengan orang lain tanpa perlu tahu identitas primordialnya. Setiap gagasan dapat direngkuh dan setiap orang gampang berinteraksi satu dengan lain. Apa yang ditulis orang Arab Saudi untuk mendiskreditkan agama Kristen, niscaya dibaca dan dipahami Vatikan dalam bahasa Arab. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, kalau ingin menjadikan Islam sebagai peserta aktif revolusi dunia masa mendatang, yang potensial menyatukan kita dalam unsur kemanusiaan meski berbeda bahasa dan kebudayaan, maka kita harus terus memperbarui wacana kita tentang Islam dan menyiapkan diri untuk meninggalkan konsepsi-konsepsi lama kita tentang agama ini.

JIL: Tampaknya Anda berangan-angan terjadinya pertemuan dan perbauran budaya, bukan perbenturan dan percekcokak antarbudaya. Apakah gagasan ini cukup realistis?

SB: Pada hakikatnya apa yang disebut perbenturan peradaban itu tidak ada dalam realita. Yang selalu ada di mana-mana adalah perbenturan antara kelompok yang lapang dada (munfatihin) dan yang menutup diri (munghaliq). Tidak ada perbenturan Barat dan Timur. Perlu diingat, yang pertama kali menentang invasi Amerika atas Irak adalah almarhum Paus Yohanes Paulus II. Dan orang pertama yang menutup mata atas tragedi itu, kalau bukan menyepakatinya, adalah Syekh al-Azhar.

Negara yang paling gigih menentang perang dan sampai kini masih menangggung akibat adalah Perancis dan Jerman. Keduanya nyaris kehilangan sekutu abadi dan alamiahnya, yaitu Amerika. Dan negara yang ikut memfasilitasi invasi itu dan menyediakan kawasannya untuk pangkalan militer Amerika adalah negara-negara Arab. Karena itu, benturan antarperadaban itu sebenarnya tidak berwujud kecuali dalam imajinasi para ilmuwan Amerika. Dan demi membuktikan itu, mereka menunjukkannya lewat pelbagai aksi mereka di berbagai belahan dunia.

JIL: Sebagian orang Islam menilai pelarangan jilbab, cadar atau burka, di beberapa negara Barat sebagai bentuk konfrontasi negara sekuler Barat terhadap Islam. Ada perbenturan nilai antara orang Islam di Barat dengan budaya Barat pada umumnya?

SB: Peradaban saya sebagai seorang Arab-Muslim tidak terletak pada keharusan memakai jilbab, apalagi cadar dan burka. Pemahaman-pemahaman tentang standar peradaban yang dibatasi dalam hal-hal yang artifisial seperti itu sudah saya tinggalkan sejak lama. Bentuk peradaban yang saya dambakan adalah peradaban yang senantiasa menjaga moralitas.

Kita tahu, perempuan-perempuan nomaden Arab dulunya juga mengenakan jilbab dengan sedikit belahan pada bagian dada. Karena itu, Alqur’an menganjurkan untuk menjumbaikan jilbabnya ke daerah dada. Kalau kita mengklaim anjaran itu bersifat universal, bagaimana kita menghukumi perempuan-perempuan Muslim di negara Barat dan Afrika yang belum akrab betul dengan budaya jilbab? Karena itu, kita mesti memahami anjuran dalam ayat itu sebagai anjuran untuk berperilaku sopan. Itulah makna universal yang bisa kita tangkap dari ayat-ayat Alqur’an tentang jilbab.

JIL: Anda tidak menganggapnya sebagai bagian pokok dari ajaran Islam?

SB: Saya tidak mengatakan itu, tapi Islam sendiri yang mengatakan. Kita semua tahu, soal itu bukan bagian dari pokok ajaran Islam, tidak termasuk 5 rukun Islam dan tidak pula bagian dari 6 rukun iman. Itu termasuk cabang Islam, yaitu anjuran untuk bertindak dan berperilaku sopan. Dan lebih penting lagi, ada banyak cara bagi kaum perempuan untuk menjaga kesopanan di zaman modern. Bagi perempuan nomaden Arab masa lalu, cara menjaga harkat dan martabat itu diwujudkan dalam aspek yang sangat lahiriah. Tapi bagi kebanyakan perempuan Muslim di Prancis dan Inggris saat ini, yang dititikberatkan justru pembekalan diri dengan sebanyak mungkin ilmu dan keahlian.

JIL: Ada organisasi-organisai Islam Prancis yang medukung pelarangan jilbab, terutama cadar atau burka?

SB: Ada banyak figur politik yang menginginkan agar di kawasan mereka masyarakat Muslim tidak terlalu menonjolkan identitas keagamaanya, terlebih dengan cadar dan burka. Kini banyak isu keamanan yang muncul dari penonjolan simbol-simbol keagamaan itu. Tapi isu seperti itu sebenarnya isu yang sekunder. Bagi kami, perdebatan seputar itu tanpa sengaja telah menggiring Islam untuk tetap berkutat pada persoalan-persoalan yang artifisial. Banyak isu-isu lain yang perlu dibahas lebih serius daripada soal pakaian, seperti isu pendidikan, kemiskinan, dan kesempatan kerja.

Bagi kami, kita tetap harus memperjuangkan Islam sebagai agama yang bersemayam di sanubari tiap induvidu, sehingga kita tidak perlu mengandalkan negara untuk menjaga kelangsungan agama kita. Kita tidak perlu menjadikan soal ketaatan dan ketidaktaatan kita dalam beragama menjadi persoalan negara. Biarlah itu menjadi zona perjumpaan kita yang langsung dengan Tuhan, tanpa intervensi siapapun. Perkembangan Islam yang terlepas dari kekuasaan negara sangat penting karena memang tidak ada dokrin klerisisme di dalam Islam.

JIL: Anda menganggap para pendukung penggunaan cadar atau burka di negara-negara Barat gagal beradaptasi dengan corak kebudayaan Islam di Barat?

SB: Mereka secara umum memang tidak mampu berinteraksi secara positif dengan peradaban dunia. Padahal, sejak dulu salah seorang intelektual Prancis yang banyak menulis tentang Islam, yaitu Roger Garaudy, sudah mengingatkan perlunya kita melepaskan diri dari proyek Saudinisasi Islam (masyru`us sa’wadatil Islam). Kita perlu melakukan desaudinisasi Islam. Garaudy mengingatkan itu, karena itulah gejala kuat yang sedang ia saksikan. Bagi saya, sangat mengenaskan bila perbenturan kita dengan Barat hanya disebabkan oleh isu jilbab dan cadar, bukan oleh isu-isu yang lebih substansial.

Saya terenyuh menyaksikan panasnya perdebatan soal ini di televisi Aljazirah. Lebih terenyuh lagi ketika kaum Muslim di Inggris bersikeras menyenggarakan Hari Jilbab Sedunia (al-yaumul `alami lil hijab). Bagi saya, itu adalah pertarungan dan pertaruhan yang tidak bermanfaat. Sudah empat belas abad lebih usia agama ini, tapi perdebatan kita masih saja soal pakaian apa yang mesti kita kenakan. Saya sulit membayangkan saat ini malaikat Jibril akan naik-turun lagi ke muka bumi hanya untuk mengajarkan bangsa Arab dan umat Islam bagaimana cara berpakaian, seberapa panjang jenggot yang diharuskan, dan persoalan-persoalan artifisial lainnya.

Jangan lupa, kalau kita menganggap semua itu esensial, para musuh Nabi Muhammad dulunya pun adalah orang-orang yang bersorban lebih besar dan berjenggot lebih panjang daripada kita.

JIL: Anda frustasi melihat gagalnya sebagian umat Islam melakukan penyesuaian Islam dengan kebiasaan setempat?

SB: Penyesuaian itu adalah hak kita semua. Mengapa kita memaksakan Muslim Prancis untuk mengamalkan corak Islam yang akan menjauhkan mereka dari lingkungan kebudayaan Prancis? Bagi saya, mereka berhak menentukan corak Islam ala Prancis, dengan syarat paling minimal seperti percaya pada Tuhan dan kenabian Muhamad. Tidak lebih dari itu. Untuk apa mereka harus mengubah nama mereka dengan nama yang berbau Arab ataupun mengubah secara radikal cara berpakaian mereka? Apakah Abu Bakar dan Umar pernah mengganti namanya ketika memeluk Islam? Apakah Khadijah dan Aisyah mengganti namanya?

JIL: Dengan apa Anda memberi nama anak-anak Anda?

SB: Yang pertama saya beri nama Hajar, ibundanya orang Arab dan Nabi Ismail. Yang kedua saya beri nama Iskandar atau Alexander Makedonia. Yang ketiga saya beri nama Arsalan yang khas Turki. Tidak ada maksud untuk menegaskan identitas agama ketika saya memberi nama-nama pada anak saya. Semuanya nama-nama yang mendunia. Nama saya sendiri Shoheib, berasal dari nama bawaan dari orang tua saya yang Arab. Itu pun diambil dari nama seorang sahabat Nabi yang berasal dari Yunani yang memeluk Islam.

Bagi saya, tidak ada hal-hal yang perlu membatasi kebudayaan Timur dan Barat. Pembatasan itu sendiri baru ditetapkan secara tegas oleh negara-negara Eropa pada era kolonialisme. Itulah yang disebut Edward Said sebagai batasan-batasan geografis yang imajiner. Karena itu, kalau kita serius membahas akar-akar pemikiran klasik Islam, kita akan menemukan wujud filsafat yang bersumber dari Yunani, administrasi pemerintahan dari tradisi Persia, dan adopsi prinsip `urf (adat) yang berasal dari tradisi hukum Romawi. Itulah peradaban. Saling memberi dan menerima. Peradaban Eropa tidak akan bisa tinggal landas kalau tidak meneruskan dan mengembangkan peradaban Arab-Islam yang mulai runtuh.

JIL: Kini kita seakan menghadapi pertarungan mencari otentisitas. Orang Islam menginginkan otentisitas Islam sementara kalangan fundamentalis Kristen juga ingin seperti itu. Dan itu menimbulkan gap. Tanggapan Anda?

SB: Kelompok-kelompok yang fundamentalis itu di mana-mana hanya minoritas. Tapi kebangkitan minoritas Kristen fundamentalis di beberapa negara Barat saat ini sangat mudah dipahami. Mereka memang berpandangan sempit. Tapi kemunculan mereka sedikit banyak juga dipicu oleh perasaan bahwa negara mereka yang demokratis, sekuler, toleran, dan pluralis, kini seakan-akan kedatangan kuda troya yang berpotensi mengancam kenyamanan hidup mereka. Mereka merasa telah memberikan kebebasan penuh kepada banyak imigran Muslim untuk tinggal di negeri mereka. Tapi para imigran ini kini dianggap mengganggu eksistensi mereka. Karena itulah gejala kebangkitan kelompok kanan itu kini terjadi di Jerman, Denmark, menjalar ke Belanda dan negara Eropa lainnya. Tapi mereka tetap minoritas yang tak perlu terlalu dirisaukan.

JIL: Apakah orang Islam akan diperlakukan seperti Yahudi di Jerman dulunya atau masa depan mereka akan cerah?

SB: Saya selalu mengatakan kepada umat Islam di Prancis agar mengambil pelajaran dari orang-orang Yahudi. Sebab mereka lebih tahu bagaimana populisme mengancam eksistensi mereka. Kita tahu, di mana-mana, demokrasi tidak pernah bisa lepas dari ancaman populisme yang kadang bengis. Bahkan sebuah konstitusi, sebagai sumber nilai tertinggi sebuah negara, mungkin saja berubah bilamana opini publik berubah drastis. Kalau kita menyia-nyiakan kekuatan kita untuk sesuatu yang tidak perlu dan menantang Barat di kampung halaman mereka sendiri, mereka bisa saja memanipulasi opini publik tentang ancaman orang Islam di Eropa. Kalau sudah parah, mereka bisa saja membuntuti orang Islam di manapun. Untungnya, sekularisme selalu melingdungi kita. Dan iklim kebebasan selalu dapat memberi perlindungan terhadap kalangan minoritas. Jangan lupa, Hitler menggunakan populisme dan demokrasi untuk sampai pada tampuk kekuasaaan dan menciptakan bencana.

Karena itu, saya selalu menganjurkan orang Islam untuk mengambil pelajaran dari orang-orang Yahjudi tentang bagaimana mempengaruhi pusat-pusat kekuasaan tanpa kebisingan. Itu berhasil mereka lakukan di Prancis tanpa mengingkari sejarah dan identitas keprancisan mereka. Dan mereka juga berjuang untuk hak-hak kaum minoritas secara keseluruhan. Tapi tampaknya kita tidak mau mengambil pelajaran. Kita seakan-akan tak punya kesadaran politik yang memadai.

Dulu, institusi-institusi pendidikan di Prancis berada dalam asuhan Gereja Katolik. Semua mata pelajaran di Prancis, dulunya sangat kuat dipengaruhi institusi agama Katolik, tepatnya Kongregasi Jesuit. Tapi gerakan Kaum Republikan III mampu meruntuhkan dominasi Gereja atas institusi pendidikan dan menjadikan pendidikan sebagai ruang yang terbuka bagi semua. Itu dicapai lewat perjuangan yang berdarah-darah dalam perang Prancis-Prancis. Eksponen Republik III lalu mampu menyerabut sektor pendidikan dari dominasi suatu gereja, sehingga muncullah corak pendidikan sekuler dan netral untuk semua agama dan kelompok. Dengan itu, konsep kewarganegaraan yang setara menjadi semakin kokoh.

Nah, ketika orang-orang Muslim datang di Prancis, mereka tidak mengerti sejarah Prancis. Mereka datang dengan surban yang menjulang tinggi lalu berteriak bahwa demi demokrasi kami mestinya juga berhak melakukan ini dan itu. Mereka secara umum tidak paham bahwa perjuangan Prancis untuk mencapai sebuah negara sekuler hanya bisa terwujud lewat cara yang berdarah-darah. Mereka juga tidak tahu bahwa keharmonisan hubungan antaraagama di Prancis tidak datang sekonyong-konyong, tapi juga melalui pelbagai cobaan pahit.

Pada mulanya, orang Islam generasi pertama yang datang di Prancis disambut dengan penuh toleransi dan rasa iba kerena mereka adalah kalangan minoritas yang sempat tertindas di negara asalnya. Tapi ketika orang Islam makin banyak dan sudah pula menjadi perpanjangan kepentingan ideologis di tanah asalnya, seperti Wahhabisme dan Ikhwanul Muslimin, para anggota Parlemen Prancis mulai waswas dan merasa adanya bara yang siap menyala. Kecemasan itu menguat karena ada tanda-tanda meningkatnya intoleransi beragama yang mewabah seperti pengecaman berlebihan terhadap Yahudi dan Kristen di Prancis. Perkembangan jilbab dan cadar juga sangat mengkhawatirkan mereka.

JIL: Anda tergangggu oleh pengaruh Islam berwatak ideologis itu di Prancis?

SB: Secara umum saya tidak khawatir akan masa depan Muslim Perancis. Tapi saya mengkhawatirkan jenis keislaman yang mulai dianut dan dikembangkan oleh banyak kalangan muda Muslim Prancis saat ini. Mereka telah menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Dengan menganut jenis Islam tertentu, mereka mulai kesulitan membangun hubungan sosial yang lebih baik dengan tetangganya. Mereka menghabiskan waktu untuk membahas soal jenggot, ukuran celana, budaya siwak, dan lain-lain.

Mereka lupa bahwa Nabi Muhammad sendiri memanfaatkan hal-hal terbaik pada zamannya sebagaimana kita di zaman modern. Sebagai pemikir Islam, saya pernah dikecam tidak mengindahkan sunnah Nabi versi mereka. ”Anda sungguh tidak mengindahkan sunnah Nabi!” sergah mereka. ”Dalam hal apa aku tidak mengindahkan sunnah Nabi?” tanyaku. Katanya, ”Dari gaya hidup Anda sehari-hari, terutama cara berpakaian.” Jawaban saya waktu itu adalah: yang aku pahami dari sunnah Nabi adalah fakta bahwa Nabi tidak punya minat untuk bertindak menyimpang (syadz) dari budaya pada masanya.

Bagi saya, untuk benar-benar menghormati sunnah Nabi, kita hendaknya jangan bertindak janggal-janggal pada masa kini, terutama dalam hal-hal yang tidak esensial. Saya menyayangkan kalau hendak menjadi Muslim kita justru berperilaku menyimpang dari tatanan sosial yang ada. Padahal kalau kita jujur, justru itulah prototipe yang digambarkan kalangan orientalis tentang Islam. Kesan eksotis dan aneh dari orang Islam itulah yang mereka citrakan tentang hakikat Islam. Tapi, saya dan para orientaslis pun dianggap tidak mengerti tentang Islam. ”Mereka (para orientalis itu, Red) justru mengetengahkan Islam sebagaimana yang kalian tunjukkan pada mereka,” kata saya.

Itulah pengalaman saya berdialog dengan sebagaian anak muda Islam yang ekstrem. Memang banyak dialog yang mentok, tapi sering juga berhasil. Karena itu, saya selalu menyarankan para pengambil keputusan di Prancis untuk bertindak bijak terhadap mereka. Saya jelaskan, mereka berperilaku demikian bukan karena dalamnya pemahaman Islam mereka, tapi karena sedikitnya Islam yang mereka pahami. Mereka sungguh tidak punya kekebalan-diri dari virus fanatisme. Mereka mendatangkan orang-orang yang ekstrem untuk mengajarkan Islam sehingga mereka gagal membangun hubungan sosial yang positif dengan masyarakat Prancis dan terpinggirkan.

JIL: Apa bayangan Anda tentang sosok Muslim Prancis yang ideal?

SB: Saya berpandangan sederhana: ketika seorang Prancis mengaku dia Muslim, dia akan tetap Muslim, meski orang lain meragukan kemurnian Islam mereka. Toh, Tuhan tidak memperkenankan kita untuk menjadi pengadil (qudlat) bagi nurani dan jenis keislaman orang. Bagi saya, sosok Muslim Perancis yang ideal adalah seorang Muslim yang terbuka, cerdas, berwawasan luas, dan punya sensitivitas politik yang tinggi. Mereka berpikiran terbuka dan selalu mencermati pemikiran-pemikiran kontemporer. Mereka hendaknya juga mengetahui sejarah Prancis, dan Eropa pada umumnya, karena Prancis punya posisi strategis di kawasan Eropa. Di sisi lain, mereka hendaknya juga mendalami khazanah pemikrian Arab dan Islam, khususnya sebelum fase kemundurannya.

Saya teringat seorang mahasiswa Indonesia yang terobsesi untuk menghidupkan kembali masa kejayaan ilmu dan peradaban Islam dengan proyek kembali menelaah karya-karya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun. Saya katakan, ”Jangan membatasi diri pada mereka saja. Mereka memang brilian pada masanya. Tapi kalau Anda benar-benar ingin memperdalam ilmu pengetahuan dan sains, Anda hendaknya melanjutkan apa yang sudah dicapai oleh khazanah ilmu pengetahuan modern. Boleh saja Anda menengok ulang apa yang sudah dicapai oleh para raksasa pemikiran Islam itu. Tapi Anda harus menambahkan sesuatu yang baru!”

Kita tahu, untuk saat ini, buku kedokteran Ibnu Sina, yaitu as-Syifa atau al-Qanun fit Thibb, sudah lama ditinggalkan negara-negara Eropa. Orang Eropa juga tak lagi merujuk al-Khawarizmi dan Abul Hayyan at-Tauhidi untuk mengerti ilmu pasti. Memang, sejarah membuktikan bahwa apa yang dicapai oleh orang-orang saat ini bukan sesuatu yang turun begitu saja dari langit, tapi merupakan akumulasi dari pencapaian-pencapaian peradaban yang tiada henti dari masa sebelumnya. Tapi mengandalkan apa yang dicapai Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khalun terlalu jauh dan sangat kurang. 

JIL: Saran Anda untuk perkembangan Islam di Indonesia?

SB: Saya heran mengapa masyarakat Islam Indonesia yang terkenal ramah dan mampu membangun pola hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha, kini justru bertindak semena-mena terhadap kelompok Ahmadiyah. Bagi saya, kalau mereka mengaku Islam, tak ada yang berhak mengeluarkan mereka dari keluasan Islam dengan cara memonopoli pandangan tentang Islam. Sunni, Syiah, Khawarij, dan lain-lain, semuanya tidak berhak memonopoli kebenaran tentang Islam. Kalaupun mereka dianggap keluar dari Islam, prinsip yang berlaku adalah: bagi mereka agama mereka dan bagi kita agama kita.

Saya heran mengapa ekstremisme seperti itu muncul dalam perilaku masyarakat Islam Indonesia yang terkenal toleran dan lapang dada menyikapi keragaman. Katakan pada nurani orang-orang Islam Indonesia yang ingin kembali menghidupkan kembali pandangan yang positif tentang kemajemukan, tradisi toleransi, dan keluesan watak Islam, bahwa jika usaha mereka berhasil, itu akan banyak sekali manfaatnya.

JIL: Banyak yang merasa tidak berdosa memperlakukan Ahmadiyah secara semena-mena karena mereka sudah dianggap sesat. Tanggapan Anda?

SB: Tidak soal sebesar apapun perbedaan keislaman Anda dengan mereka. Biar Tuhanlah yang nantinya menjadi hakim perbedaan di antara kita. Begitulah prinsip Islam yang saya kenal. Tentu ada saja yang beranggapan bahwa mereka sedang membela kemurnian Islam dengan menyerang Ahmadiyah. Tapi bagi saya, kalau ingin menunjukkan wajah Islam yang murni dan asli, Anda harus menampilkannya dalam bentuk yang lapang dada. Tunjukkan pada dunia bahwa meski banyak perbedaaan di antara kita, kita tetap tidak menjadikan itu sebagai alasan untuk berkonflik.

Saya kita, sikap itu akan lebih banyak membantu citra Islam daripada bertindak konyol. Itu lebih baik daripada kita terus-menerus berimajinasi sedang membela Islam yang asli. Klaim Islam asli itu pada hakikatnya tidak perlu dan tidak bermanfaat untuk membangun hubungan sosial-kemasyarakatan yang harmonis. Kita tahu, Alqur’an sendiri tidak berbicara tentang apa itu Islam yang asli. Sepanjang hidup, saya tidak menemukan Alqur’an berjalan di muka bumi dengan mikrofon sembari memberi kuliah tentang apa itu Islam asli. Yang ada hanya orang-orang dengan berbagai watak dan kecenderungannya yang berbicara lantang atau lamat-lamat tentang apa itu Islam menurut mereka. []

Dr. Soheib Bencheikh was born in Jeddah, Saudi Arabia in 1961, studied Islamic theology at Al-Azhar University and received his doctorate from the prestigious Parisian Ecole Pratique des Hautes Etudes (EPHE). Formerly the mufti of Marseilles, France, he is a member of the French Council for the Muslim Religion(1) and head of the French Institute for Islamic Science.(2) Recently, he announced his candidacy for the April 2007 French presidential election, and launched his election website (http://www.elanrepublicain.net). In addition, one of his supporters maintains a blog (http://soheib.bencheikh.over-blog.com) that includes interviews he has given to the press, as well as links to other French Muslim reformist websites.

03/12/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

hehehehe.. emang kita ini masih manusia biasa ya, kadang lucu, kadang sulit dipahami, kadang masih suka nyalahin orang lain. Gimana enggak, lha Perancis yang notabene diakui di dunia sebagai salah satu pencetus demokrasi kok malah nyasar ke Indonesia untuk mencoba mencari jawaban atas apa yang sedang terjadi di Perancis. Negara kita yang katanya “Tidak demokratis” kok malah kehidupan KEBERAGAMAAN dan KEBERAGAMANNYA dipandang bagus oleh Soheib, yang juga berasal dari Saudi Arabia. Sangat ironis kalau mas buronan misionaris lalu menarik garis yang kurang relevan dengan menjustifikasi agama tertentu. Lho kok gitu?? lha disadari atau tidak, diakui atau tidak, kasat mata atau tidak, semua agama punya misi menyebarkan ajarannya dengan bermacam-macam istilah. Ada yang menamakannya misionari, dakwah, pencerahan, dll, dst. harus jujur juga disadari bahwa kadang manusia salah dalam mengimplementasikan tugas ini dengan bermacam-macam ekses. jadi ya nggak adil juga sih kalo lantas menyalahkan agama lain. Coba kita jujur juga dengan keadaan sekarang, terutama kalo kita mau bicara minoritas dan mayoritas. Ketika pada posisi mayoritas, biasanya yang merasa mayoritas akan menuntut hak-hak yang lebih karena kemayoritasannya. Tetapi, ketika berada pada keadaan minoritas, yang minor juga akan meminta kesamaan hak dan diakui keberadaannya. jadi, ya lebih baik terbuka aja dengan keadaan ini. Saya kira pemikiran Soheib sangat bagus karena dia, yang orang Saudi Arabia, bisa dan berani mengatakan hal-hal seperti yang dia yakini, misalnya desaudinisasi. Agama sekarang harus bersifat global dan tidak bisa diklaim sebagai milik masyarakat tertentu, dan Soheib ingin mengatakan hal tersebut. Sama halnya dengan bahasa Inggris yang tidak bisa diklaim sebagai milik orang inggris lagi. Bahasa itu menjadi milik dunia. Ya pasti aja sih, agama beda dengan bahasa dan mungkin nggak bisa atau nggak boleh diperbandingkan. Tapi siapa sih yang bisa menghentikan globalisasi? Mas BM bisa? Jadi, saya sih masih melihat dan merasa bahwa manusia itu emang makhluk yang lucu, kadang sulit dipahami, kadang masih suka nyalahin yang lain. Namanya juga manusia, kan???
-----

Posted by wahyu wewe  on  01/18  at  02:02 AM

Terasa sekali, orang yang diwawancari ini ber-pendidikan tinggi, semua ucapan-nya “BERISI”. Tidak asal njeplak. Menurut saya, pengalaman hidup beragamanya di Perancis seperti yang telah diceritakan dalam tulisan ini perlu disebarluaskan melalui media lain-nya. Sehingga bisa menjadi contoh yang baik untuk kehidupan beragama di sini yang cenderung makin dibawa ke arah pemahaman artificial saja.

Posted by Bambang  on  12/11  at  10:12 PM

seperti permasalahan ini bukan hanya berkutat pada islam, melankan pada muslim. contoh di perancis merupakan persoalan migrasi, yang nota bene permasalahan nasional suatu bangsa yang maju. para migrasi cenderung mempertahankan pola budaya,sosial dan interaksi yang mereka bawa dari negeri asal dan itu juga dipengaruhi juga dari latar belakang pendidikan imigran, terlebih lagi imigram tersebut berasal dari asia dan afrika yang memiliki budaya khas tersendiri.dari segi sosiologi dan psikologi, manusia akan merasa aman, nyaman, tentram bila ia hidup dalam susana yang familiar dengannnya. sama ketika orang china membangun pecinan di negara2 dimana mereka tinggal, panguyuban dusun dan desa, apakah ini bermsalah? permasalahannya bukan pada agama, baik ia seorang muslim, nasrani, budha, hindu atau apalah namanya, pointnya terletak dari kemampuan pribadi2 ini berinteraksi pada masyarakat setempat dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerima dan menghormati perbedaan pribadi imigran. harus ada timbal balik sikap antar keduanya, sehingga apa yang biasa kita jargon2kan di negeri ini “saling toleransi"dapat berlaku juga disana.

Posted by moon child  on  12/10  at  11:13 PM

Perkembangan misionaris Nasrani di negeri ini merupakan sumber dari segala bencana pertikaian horizontal antar agama. Tanpa pandang kemanusiaan, segala upaya dilakukan dengan mengeksploitasi kemiskinan, kebutuhan umat muslim. Tak hanya satu pihak yang wajib toleransi, namun saling toleransi, bagaimana mungkin anda mengharapkan suatu kedamaian terwujud bila salah satu pihak masih saja melakukan tindakan semena-mena dengan menjustifikasi pemyebaran agama? JIL merupakan bentuk lain dari orientalis yang berkedok Islam karena ketidakmampuan pengikutnya tuk bersikap sekuler sebagaimana nenek moyangnya.

Posted by buronan misionaris  on  12/10  at  11:12 PM

Saat selesai membaca wawancara dari pihak JL dan Bung Soheib, saya langsung menerawang bila saja sekitar 30-40% muslim Indonesia memiliki pandangan seperti beliau, saya gak kebayang deh bagaimana hebatnya Indonesia.

Posted by reynaldo  on  12/10  at  01:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq