Kompilasi Hukum Islam Sangat Konservatif! - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
01/09/2003

Dr. Siti Musdah Mulia, MA: Kompilasi Hukum Islam Sangat Konservatif!

Oleh Redaksi

Paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat secara nyata diterapkan negara pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip keadilan gender dan pluralisme beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali berkata lain. Banyak produk fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan anak-anak.

Paradigma
unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat secara nyata diterapkan negara
pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyeragaman sistem hukum ini absah
saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip keadilan gender dan pluralisme
beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali berkata lain. Banyak produk
fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif terhadap perempuan
dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan anak-anak. Berikut
petikan wawancara Ulil Absar-Abdalla dengan Dr. Siti Musdah Mulia, MA., staf
ahli Menteri Agama bidang Organisasi dan Hukum pada Kamis, 28 Agustus 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bu Musdah, KHI akan dinaikkan derajatnya dari sekadar Inpres menjadi UU. Bukankah
KHI itu isu lama?


 

SITI MUSDAH MULIA: Memang
pembahasan KHI sudah lama digagas, yakni sejak tahun 1985 dengan terbitnya
Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB itu
diterbitkan untuk merespon sejumlah persoalan di lembaga peradilan agama ketika
itu. Misalnya, kita menjumpai kenyataan bahwa sejumlah kasus peradilan agama di
berbagai wilayah, memutuskan kasus yang sama dengan cara berbeda-beda.

Nah,
KHI itu semacam kumpulan perundang-undangan, pasal per-pasal yang dibakukan
melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. I tahun 1991. Lalu KHI ini
disosialisasikan sebagai pedoman hukum bagi para hakim di berbagai peradilan
agama di seluruh Indonesia.

KHI
muncul karena adanya kebutuhan untuk menyeragamkan atau unifikasi hukum. Sebelum
adanya KHI, para hakim agama mempunyai independensi dalam menetapkan keputusan
atas kasus-kasus yang mereka jumpai, berdasarkan ijtihad mereka masing-masing. Biasanya
ijtihad itu bersumber dari bacaan mereka atas kitab-kitab (khususnya fikih)
yang dapat mereka akses. Dengan begitu, tak ayal lagi, lahirlah produk hukum
yang berbeda-beda, meski kasusnya kadang sama.

ULIL: Berdasarkan perkembangan terakhir, apa pokok masalah yang
terdapat dalam KHI?

MUSDAH: Dari
perspektif pemerintah, KHI ingin ditingkatkan statusnya dari sekadar Inpres menjadi
UU. Sekarang, kita punya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang wakaf, yang
menjadi salah satu bagian dari KHI. KHI itu sendiri berisi tiga masalah pokok,
yaitu soal perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.

Kita
sudah punya UU Perkawinan tahun 1974, dan seluruh isi UU itu sudah tercakup
dalam KHI. Sekarang, soal perwakafan juga ingin ditingkatkan statusnya menjadi
UU. Soal perwakafan, sejauh ini baru diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.
28 tahun 1977. Makanya, saat ini RUU-nya sedang kita godok. Naskahnya sudah
selesai dikerjakan di Direktorat Peradilan Agama.

ULIL: Bila perwakafan sudah punya UU tersendiri, lantas apa
guna KHI?

MUSDAH: KHI
mungkin masih berguna bagi hakim agama untuk menjadi landasan persoalan
keluarga. Hanya saja, kalau ketiga-tiganya sudah selesai dan menjadi UU, saya
piker, memang tidak ada gunanya lagi.

Apalagi ditilik dari segi isi, KHI sangat
konservatif. Dilihat dari perspektif kalangan feminis, khususnya dari aspek
kesetaraan gender, banyak sekali pasal yang tak sesuai dengan aspirasi keadilan
gender. Misalnya, pasal kewajiban suami-istri, pembagian harta kekayaan, dan
hak perwalian. Menurut saya, nyaris semua pasal yang ada mengandung persoalan,
khususnya dalam hal inkonsistensi. Karena itu, kami ingin sekali melakukan
reformasi atas butir-butir KHI ini.

ULIL: Lebih
spesifik pada soal hak dan kewajiban suami-istri, adakah pasal yang
diskriminatif terhadap perempuan?

MUSDAH: O, ya! Ketika berbicara kedudukan suami-istri pada pasal 79 dijelaskan bahwa suami
adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jika dicermati lebih
jauh, pasal ini telah berhasil membakukan peran domestik rumah tangga pada
perempuan. Perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara laki-laki
selalu di luar. Laki-laki adalah pemimpin, sementara perempuan adalah yang
dipimpin.

Padahal
kenyataan di masyarakat tidak selamanya demikian. Kalau dalam pasal tersebut
laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga, Biro Pusat Statistik (BPS)
justru mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh
perempuan. Maka dari itu, saya melihat bahwa KHI kurang melihat realitas yang
ada di masyarakat.

ULIL: Dalam hukum Islam, suami bisa menceraikan istrinya kapan
saja, meski tidak di depan peradilan. Sejumlah negara coba mereformasi hukum
keluarga dengan cara membatasi dan mempersulit proses perceraian. Bagaimana
Anda melihat masalah ini?

MUSDAH: Itu
sudah diatur dalam UU Perkawinan maupun KHI yang berisi bahwa perceraian hanya
bisa dilakukan di depan pengadilan atau pemerintah yang berwenang. Tak boleh
ada perceraian yang dilakukan tanpa peradilan. Tapi kenyataan di masyarakat
berbicara lain. Suami bisa saja melakukan perceraian tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya,
perempuan, tidak semudah itu bisa melakukannya. Ia harus melakukan gugatan
perceraian lebih dulu. Ada istilah yang berbeda menyangkut prosedur perceraian
antara suami dan isteri. Untuk laki-laki digunakan istilah permohonan bercerai,
sementara bagi perempuan digunakan istilah gugatan bercerai. Kalau perempuan
sudah masuk dalam kasus ini, persoalannya tentu menjadi tidak mudah.

ULIL: Anda bicara mewakili perasaan perempuan atau diri
sendiri?

MUSDAH: Saya
punya fakta berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang kita lakukan.
Misalnya, penelitian tentang dampak poligami di berbagai tempat di Indonesia. Kita
juga punya penelitian dalam bentuk tesis dan disertasi mengenai fakta
pelaksanaan KHI di berbagai tempat. Saya kira, saya tidak hanya berbicara
mewakili diri sendiri.

ULIL: Lantas, bagaimana poligami diatur dalam KHI?

MUSDAH: Saya
memperhatikan adanya inkonsistensi KHI dalam persoalan ini. Dikatakan bahwa
asas perkawinan Islam adalah monogami. Tapi ayat lain mengatakan bahwa poligami
dibolehkan dengan empat syarat yang dikemukakan dalam pasal yang sama. Saya
pikir, ada inkonsistensi antar-ayat dalam satu pasal yang sama. Jika asasnya
adalah monogami, maka tidak boleh ada celah bagi poligami agar tak terjadi
keresahan sosial. Ruang untuk itu mesti dibatasi sesempit mungkin.

Ternyata
KHI masih memberi kelonggaran bagi terjadinya poligami. Itulah yang menjadi
titik keresahan kita, karena poligami menimbulkan berbagai dampak dalam wujud
problem sosial-budaya di masyarakat. Kita mempunyai data untuk memperkuat
proposisi ini.

ULIL: Masalah perwalian dalam KHI juga dipandang diskriminatif
atas perempuan. Benarkah demikian?

MUSDAH: Yang
dimaksud perwalian dalam KHI adalah perwalian atas anak perempuan ketika dia akan
menikah. Selama ini, KHI sama sekali tidak memberi peluang pada ibu untuk
menjadi wali bagi pernikahan anaknya. Bila kita pikir lebih jauh, persoalan ini
jelas-jelas sangat diskriminatif. Bagaimana mungkin, seorang ibu yang
melahirkan dan membesarkan anaknya tidak bisa mewakili suaminya yang telah
tiada, misalnya, untuk menjadi wali bagi pernikahan anaknya sendiri. Padahal,
ibu seringkali adalah orang yang paling mengerti tentang anaknya dan mampu
untuk melakukan itu. Lucunya, kadang yang menjadi wali justru anak laki-laki
(kakak, misalnya) dengan melangkahi hak ibunya.

ULIL: Apakah itu disebabkan KHI versi lama hanya mengambil
hukum Islam dari produk fikih klasik secara mentah-mentah?

MUSDAH: Ya.
Makanya, hasil kajian awal kami menjelaskan bahwa KHI merupakan produk hukum
yang dicangkokkan begitu saja dari budaya Arab atau Timur Tengah yang kadang
berbeda sama sekali dengan realitas yang kita jumpai di Indonesia.

Jadi,
perlu dikembangkan hukum Islam yang sesuai dengan konteks kita di Indonesia
agar bisa mengadopsi budaya dan realitas yang kita hadapi. Jika tidak, akan
terjadi kesenjangan luar biasa antara hukum dan realitas masyarakat itu
sendiri. Kalau begitu adanya, apa gunanya produk hukum kita buat.

ULIL: Usaha mereformasi hukum keluarga merupakan usaha besar
yang cukup melelahkan. Sejumlah negara seperti Mesir, Tunisia, Yordania dan
Irak sudah melakukannya dengan berbagai kontroversi. Pada tahun 1974,
kontroversi tentang hukum keluarga juga terjadi di Indonesia. Pertanyaan saya,
apakah Anda tidak merasa menabrak tembok besar karena hukum lama yang
disakralkan?

MUSDAH: Itu
sudah kita sadari sejak awal. Berbicara tentang hukum keluarga, memang bicara
tentang isu yang sangat sensitif. Sebagian kita menganggap pasal-pasal yang
bisa dipersoalkan itu sudah merupakan takdir dan tak bisa lagi diubah. Tapi
dalam perbincangan kita di banyak forum, tak sedikit ulama yang mengatakan
bahwa sebagian pandangan dalam KHI tak lebih hanyalah sebuah ijtihad fikih.
Kalau demikian, mengapa kita takut untuk mengadakan perubahan demi kemaslahatan
umat di masa yang akan datang.

ULIL: Menurut
hadis, ijtihad yang benar akan mendapat door prize ganda, sementara yang
salah mendapat satu saja. Bu Musdah, ada kasus perceraian di Malaysia via sms (short
message service
). Bagaimana pendapat Anda tentang kasus ini jika dikaitkan
dengan KHI?

MUSDAH: UU
Perkawinan dan KHI kita sudah jelas bahwa seseorang tak boleh melakukan
perceraian secara semena-mena seperti itu. Semua bentuk perceraian harus
dilakukan di depan peradilan. Jadi, meski suami berkata: “Saya ceraikan kamu!,”
tetap saja tidak sah sebelum adanya saksi dan petugas pengadilan yang
berwenang.

ULIL: Tapi dalam masyarakat, praktik cerai liar bisa saja
terjadi?

MUSDAH: Bukan
hanya cerai liar, perkawinan liar pun banyak terjadi. Sebanyak 40% peristiwa
perkawinan di masyarakat, ternyata tidak tercatat di kantor catatan sipil. Perlu
diingat, perkawinan liar semacam ini, sebetulnya sangat merugikan, khususnya
bagi kalangan perempuan dan anak-anak.

ULIL: Adakah
batasan-batasan dalam KHI yang mempersulit proses perceraian atau memproteksi
perempuan dari dampak perceraian semena-mena semacam di atas, karena secara de
facto
pemegang hak cerai hanyalah laki-laki?

MUSDAH: Semangatnya
jelas ada. Semangat utama KHI, juga mengatur agar perceraian tidak dilakukan
secara semena-mena. Seorang suami yang akan menceraikan istrinya harus datang
ke Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menyatakan bahwa dia akan menceraikan
istrinya dengan alasan tertentu. Lalu pihak KUA membaca, apakah alasan yang dikemukakan
masuk akal atau tidak. Terlebih dahulu ada upaya untuk mendamaikan mereka yang
berperkara.

ULIL: Kita juga menyaksikan sengketa menyangkut pembagian harta
ketika proses bercerai. Bagaimana pembagian harta gono-gini?

MUSDAH: Harta
gono-gini adalah hasil kekayaan yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Sementara
kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan tidak termasuk di dalam kategori
harta gono-gini. Dan ketika suami-isteri bercerai, semua harta yang diperoleh
secara bersama dalam ikatan perkawinan harus dibagi dua. Apakah suami bekerja
atau tidak, sama saja statusnya. Kalau istri tidak bekerja di luar rumah, dia
juga mendapat 50 persen dari harta gono-gini tersebut.

ULIL: Terakhir, apa perubahan mendasar yang perlu dilakukan
terhadap KHI?

MUSDAH: Yang
paling mendasar adalah, pertama, mengubah keseluruhan pasal-pasal KHI
yang masuk kategori bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap
hak-hak perempuan dan anak-anak. Kedua, dari perspektif pluralisme
agama, juga terdapat banyak hal yang harus kita ubah. Kita berkeinginan agar
KHI lebih mantap posisinya dalam konteks pluralisme agama, serta dalam konteks
membangun masyarakat Indonesia yang lebih demokratis [.]

01/09/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

saya pikir, hukum islam tidak perlu lagi ditafsirkan macam-macam, alquran dan hadis sudah ratusan tahun yang lalu ditafsirkan oleh ulama-ulama, dan tidak akan berubah karena perubahan zaman. malah kita yang mau menafsirkan dengan “mengkondisikan” hanya akan mendapatkan dosa besar

Posted by Muhammad Ilyas,S.STP  on  11/20  at  11:32 PM

Dewasa ini masalah fasakh tidak pernah ada tindak lanjut atau bahkan hanya sedikit yang melakukan fasakh untuk kebutuhan perceraian, saya sudah mencari beberapa buku yang mengurai fasakh tapi tidak pernah ada buku yang mengurai fasakh sampai tuntas. saya sangat ingin menanyakan masalah nikah fasakh dan fasakh nikah, saya mohon agar masalah ini menjadi terang dan jelas.

terima kasih.
-----

Posted by hayyu citra herdana  on  07/09  at  05:07 PM

Bu MUsda, saya sangat atensi terhadap pikiran-pikiran saudara, akan tetapi perlu ada beda mana wilayah syari’ah dan mana wilayah fikih. Sebab pada dataran tek al-Qura’an yang sudah jelas perintahnya, maka tidak ada lagi alasan orang tidak taat pada prinsip tersebut. Sebagai contah misalnya pembagian dua banding satu dalam masalah waris itu kan ketentuan Allah dalam suarat an-Nisa” ayat (11) dan ingat dalam ayat (13-14) itu kan ancaman Allah. Kita sebagai orang Islam tentu harus taat pada al-Qur’an. Hal ini juga ada perbandingan bagaimana KHI memberikan akomudasi terhadap waris pengganti berarti itu menafsirkan ketentuan ayat (7) surat an-Nisa’ yang dianggap masih membutuhkan penafsiran manusia. Itulah yang saya maksud termasuk masalah piligami. Sebab poligami merupakan hal yang dibolehkan dalam al-Qur’an, berarti boleh juga dilakukan asal syarat yang ada dalam al-Qur’an dipenuhi. terima kasih

Posted by abdul jamil  on  10/26  at  12:10 PM

Saya sering heran, banyak orang yang sering teriak-teriak menentang poligami tapi diam saja kalau ada pasangan kumpul kebo, atau pura-pura monogami tetapi ternyata punya istri simpanan. Dan yang saya sebut terakhir ini justru yang banyak terjadi.

Menurut saya, seorang wanita justru akan lebih terhormat menjadi pelaku poligami (melalui pernikahan yang sah) daripada jadi istri simpanan. Belum lagi kalau kita bicara masalah prostitusi, wah!

Posted by Pambudi  on  10/13  at  01:10 PM

Saya hanya mohon kepada seluruh komponen umat, khususnya temen-temen di JIL supaya bertobat. Jangan buat lagi kerusakan di muka bumi ini dengan memutarbalikan ayat-ayat Allah. Kalau tidak, insya Allah, seluruh manusia akan menjadi saksi atas kemunkaran yang telah temen-temen perbuat di hari kiamat nanti. Mudah-mudahan kalian cepat sadar wahai hamba Allah

Saudara seiman,

Asep Firman

Posted by Asep Firman  on  10/07  at  04:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq