Kristen Kanan Di Amerika - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
16/07/2007

Kristen Kanan Di Amerika

Oleh Sumanto al Qurtuby

Gerakan fundamentalisme, di manapun di semua agama, pada dasarnya sama saja: menjadikan agama sebagai kendaraan untuk meraih politik kekuasaan! Mereka umumnya tampil saleh di depan publik lengkap dengan aksesoris-aksesoris keagamaan, menunjukkan komitmen pada upaya mempertahankan nilai-nilai tradisional keagamaan dan berpretensi sebagai satu-satunya “penjaga gawang” tradisi keagamaan.

Seminggu sebelum kematiannya, tokoh “Kristen kanan” berpengaruh di Amerika Serikat (AS), Jerry Falwell (73) bercerita kepada wartawan CNN Christiane Amanpour, kalau dia ingin hidup 20 tahun lagi guna melengkapi visi Liberty University yang didirikannya tahun 1971 di Lynchburg, Virginia. Sambil mengutip cerita Hezekiah, yang dalam Bibel dikisahkan minta tambahan umur 15 tahun, Pendeta Falwell bertutur, “I’m praying the same prayer with an option to renew.”

Dia mengungkapkan tujuan minta tambah umur itu untuk merealisasikan keinginannya mengembangkan Liberty University sebagai universitas Kristen evangelis utama baik di AS maupun dunia. Universitas yang dulu bernama Lynchburg Bible College itu punya mahasiswa lebih dari 10 ribu yang tinggal di kampus dan 15 ribu yang mengambil kelas jauh. Falwell menyebut para mahasiswa di kampusnya sebagai calon evangelis Kristen—dan tentu saja kader Kristen kanan—masa depan. Mendiang Falwell yang memiliki jemaah lebih dari 24 ribu itu, dikenal sebagai salah satu tokoh tua Kristen fundamentalis yang anti-Islam, homoseksual, pornografi, obat-obatan, aborsi, feminisme, liberalisme, sekularisme, dll, yang dianggapnya dosa-dosa yang merusak bangsa (AS), gereja, dan Bible.

Pendapat Falwell yang “serba anti” dan sejumlah tokoh Kristen kanan gaek lain seperti Pat Robertson, Franklin Graham, Jerry Vine, Richard Cizik, dll., berakar pada pandangan yang menganggap bangsa Amerika dibangun di atas basis etika Judeo-Christian yang anti-sekularisme dan liberalisme. Dan karena itu, dia menginginkan AS sebagai “rumah” buat Yahudi dan Kristen yang memelihara tradisi dan nilai-nilai kekristenan dan keyahudian. Karena pandangan (tepatnya keyakinan) inilah, dia dan sejumlah temannya ramai-ramai membentuk gerakan Christian Zionism, sebuah paham dan gerakan yang menganggap negara modern Israel sebagai pemenuhan atas janji Bibel.

“Siapa yang mencintai Israel, akan dicintai Tuhan dan siapa yang membenci Israel maka akan dibenci Tuhan” adalah kalimat dalam Bibel yang sering mereka kutip sebagai justifikasi teologis dan fondasi moral dukungan mereka terhadap Zionisme Kristen. Falwell dan koleganya tidak hanya mendukung secara teologis dan keagamaan, tapi juga secara politik dan finansial. Tokoh-tokoh Kristen kanan ini juga tergabung dalam American Alliance of Jews and Christians, organisasi persekongkolan Yahudi-Kristen untuk menghadapi Islam yang didirikan oleh Rabbi Daniel Lapin.

Ketika Partai Likud Israel gencar membangun hubungan mesra dengan sayap kanan Kristen AS (1980-an), Falwell dan para “pendekar tua” Kristen kanan tadi menjadi salah satu tokoh kunci dalam memobilisir kelompok Kristen konservatif guna mendukung apapun yang dilakukan Israel. Di antara tokoh tua Kristen konservatif AS, Falwell memang spesial. Menurut sebuah sumber, sesaat setelah Israel mengebom reaktor nuklir Iraq pada tahun 1981, PM Israel waktu itu, Menachim Begin menelponnya, minta agar ia menerangkan ke publik Kristen AS mengenai alasan-alasan pengeboman tersebut (http://www.zmag.org).

Sara Diamond dalam Spiritual Warfare: the Politics of Christian Right, juga mencatat bahwa lewat program televisi dan perjalanan rutinnya ke Israel, Falwell telah memainkan peranan penting dalam mengarahkan kelompok konservatif Kristen agar “memperhatikan” masalah Timur Tengah. Sebagai ganjaran atas kerja kerasnya, Israel menghadiahi Falwell jet pribadi (1979), dan dua tahun berikutnya, Israel’s Jabotinsky Award atas dukungan-dukungannya pada Yahudi Israel.

Gerakan Kristen kanan menguat di panggung politik AS sejak 1973 ketika mereka menggalang massa melawan gerakan civil rights dan kebebasan yang disuarakan American Civil Liberties Union (ACLU) yang mereka anggap telah menodai Kristen dan Bibel. Bersama sejumlah politisi Partai Republik konservatif seperti Paul Weyrich, Terry Dollan, Richard Viguerie, James Kennedy, dan Howard Phillip, mereka membentuk gerakan “Moral Majority” dengan Falwell sebagai pemimpinnya. Organisasi Moral Majority ini mampu memobilisir masa Kristen konservatif dan mengantarkan Ronald Reagan dari Republik ke Gedung Putih (1980). Sejak keberhasilan spektakuler itu, pamor dan pengaruh para tokoh Kristen kanan, terutama Falwell, di Republik sangat kuat.

Menurut Bill Berkowitz (2007), para tokoh Kristen kanan ini menjadi aktor kunci di balik perang yang dilancarkan Reagan—tidak hanya perang Israel atas Palestina, tapi juga serangkaian perang di Amerika Tengah dan Afrika yang mematikan puluhan ribu orang. Lebih dari itu, mereka juga mendukung politik segregasi Apartheid di Afrika Selatan dan mengkritik Nelson Mandela karena menjalin persekutuan dengan para tokoh Muslim anti-Apartheid di negara tersebut.

Reputasi para tokoh Kristen kanan berlanjut. Merekalah yang menjadi aktor kunci di balik kemenangan Republik dan kesuksesan Bush ke Gedung Putih mengalahkan John Kerry dari Demokrat yang dianggap simbol liberalisme dan sekularisme AS. Tanpa dukungan Kristen kanan, Partai Republik akan kempes dan Bush mustahil menjadi AS-I. Karena jasa mereka demikian besar, maka Bush pun tak kuasa untuk menolak ide-ide mereka—termasuk gagasan keblinger War on Terror dan ide aneh American Theocracy. Bahkan Bush berpura-pura saleh sambil mengutip Injil dan mengkritik liberalisme, padahal dunia tahu kalau dia adalah “si bengal dari Texas.”

Gerakan fundamentalisme—di manapun di semua agama—pada dasarnya sama saja: menjadikan agama sebagai kendaraan untuk meraih politik kekuasaan! Mereka umumnya tampil saleh di depan publik lengkap dengan aksesoris-aksesoris keagamaan, menunjukkan komitmen pada upaya mempertahankan nilai-nilai tradisional keagamaan (kekristenan, keislaman, keyahudian, kehinduan, dll), dan berpretensi sebagai satu-satunya “penjaga gawang” tradisi keagamaan. Untuk menunjukkan “komitmen” dan “kesatriaan” pada kelompok agamanya, mereka terkadang rela mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar kepada “lawan agamanya.” Seperti ditulis professor Fuller Theological Seminary, J. Dudley Woodberry [Krabill, Shenk, Stutzman (eds.) 2005], Jerry Falwell dan Franklin Graham menyebut Islam sebagai “agama jahat dan amoral” (a very evil and wicked religion). Jerry Vine menyebut Nabi Muhammad sebagai “a demon-possessed pedophile”. Sementara Richard Cizik, wakil presiden Govermental Affairs of the National Association of Evangelicals yang membawahi 43.000 kongregasi Kristen menyebut Islam sebagai “kerajaan setan” yang menggantikan posisi Uni Soviet—sebuah cacian yang mendorong Akbar S Ahmed menulis buku Islam Under Siege.

Cacian yang sama juga dilontarkan para tokoh Islam militan-fundamentalis. Kita masih ingat mendiang Khomeini menyebut AS sebagai “Setan besar” dan Israel sebagai “setan kecil.” Bagi saya, ungkapan-ungkapan bombastis ini aneh, mengingat pada saat yang sama Iran menjalin hubungan mesra dengan Uni Soviet dan negara komunis lain. Kata-kata kasar terhadap AS, Kristen, atau Yahudi juga dilontarkan Osama dan sindikatnya, yang juga lagi-lagi terasa aneh mengingat AS-lah mitra utama sekaligus “pencetak” Bin Laden, Taliban dan Mujahidin pada saat menggulingkan Uni Soviet! 

Jadi, sebetulnya gerakan kanan agama ini sebatas gerakan akal-akalan untuk membungkus nafsu politik kekuasaan yang menggelora. Tidak ubahnya seperti gerakan simbolik lain, kelompok kanan agama ini menjadikan simbol-simbol agama sebagai magnet untuk mengeruk simpati dan dukungan publik. Ketika simpati dan dukungan publik itu mengalir dan mampu mengantarkan mereka ke tampuk kekuasaan, tidak dengan sendirinya para tokoh “pembangkit agama” ini memperhatikan hak-hak dan kebutuhan dasar umatnya. Bahkan faktanya, hanya para elit kanan agama inilah sebetulnya yang menikmati lezatnya kekuasaan, bukan rakyat banyak.

Itulah yang terjadi di Iran ketika negara dikendalikan kaum mullah (Aslan 2006), Afghanistan semasa rezim Taliban (Rashid 2001), Iraq (al-Khalil 1990), Palestina (Gold 2003), Sudan (ICG 2006), Arab Saudi (Abu El Fadl 2005), dll. Dimana-mana rakyat banyak memang selalu menjadi korban gerakan politik simbolik agama, sampai akhirnya—setelah sekian lama dimanipulasi—mereka sadar akan akal-bulus para tokoh agama kanan tadi, dan melakukan perlawanan ketika ada momentum.

Itulah yang terjadi di AS saat ini ketika rakyat Amerika “mencabut mandat” Bush—dengan kekalahan telak Republik pada pemilu sela tahun lalu—ketika mereka sadar bahwa kebijakannya yang di-back up penuh kelompok Kristen kanan lebih banyak menimbulkan kerugian fisik, finansial, dan moral buat bangsa AS sendiri. Gerakan simbolik kelompok kanan agama ini tidak hanya terjadi di AS dan Timur Tengah, tapi juga di Indonesia. Sejak reformasi membuka pintu negeri ini, gerakan-gerakan kanan Islam yang penuh simbol-simbol dan jargon-jargon kosong keislaman bertebaran di mana-mana. Jika bangsa dan rakyat Indonesia tidak terlena pada simbol-simbol palsu itu, mereka kembali akan menjadi korban politik segelintir para elit agama!***

** Mahasiswa Ph.D. Boston University, Massachusetts, USA

16/07/2007 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

assalamu’alaikum war. wab.

berpolitik itu wajib kita lakukan untuk mencapai suatu keinginan trutama demi masa depan bangsa dan agama. tapi jangan berpolitik dengan menggunakan nama Tuhan dan agama. Hentikanlah mencari popularitas semata dengan berkedok agama. sebagai warga negara yang baik mari kita jaga nama baik bangsa dan agama kita. jangan menjual ayat-ayat Tuhan dengan sebuah kepentingan.

Posted by M Khoiruddin  on  09/04  at  10:11 PM

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Sebagai muslim moderat, saya ingin berkata: HENTIKAN MENJUAL NAMA TUHAN DENGAN HARGA YANG MURAH ! Mereka-mereka yg memperjuangkan fundamentalisme dan sejenisnya hanyalah orang-orang yang menggunakan nama Tuhan demi kepentingan mereka semata dan demi imajinasi liar mereka. Mereka tidak memiliki legitimasi untuk melakukan hal tersebut, dan sebaliknya, mereka malah mencederai iman mereka sendiri. Memang perlu menerapkan dan mewujudkan ajaran Tuhan di bumi ini, tapi apa iya Tuhan butuh partai? Hati2, apapun yg anda percayai bisa menjadi bencana bagi umat manusia.

Wassalam
-----

Posted by liberationlocomotive  on  07/19  at  10:07 AM

Hentikan politisasi agama, sekarang juga! Tolak partai-partai yang membawa bendera agama tertentu! Tolak pemberlakuan hukum agama sebagai hukum negara! Jika politisasi agama terus dibiarkan, saya yakin, para Nabi akan meratapi hal ini, dan Tuhan akan sangat menyesal, karena telah menciptakan manusia yang tega mempolitisasi diriNya. Hahaha…

Posted by Franz Vince  on  07/17  at  02:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq