Kristisisme dan Kebebasan Harus Dipertahankan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
26/02/2006

M. Fadjroel Rachman: Kristisisme dan Kebebasan Harus Dipertahankan

Oleh Redaksi

Tidak tersedianya ruang publik yang sehat untuk berdiskusi menyebabkan terjadinya banyak mutilasi gagasan di negeri ini. Kondisi itu juga menutup banyak kemungkinan menemukan norma-norma sosial untuk hidup bersama. Akibatnya, banyak kesalahpahaman antarkelompok terjadi dan aksi-aksi kekerasan merebak. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan M. Fadjroel Rachman, Ketua Badan Pekerja Masyarakat Sosialis Indonesia, Kamis (15/2) lalu.

Tidak tersedianya ruang publik yang sehat untuk berdiskusi menyebabkan terjadinya banyak mutilasi gagasan di negeri ini. Kondisi itu juga menutup banyak kemungkinan menemukan norma-norma sosial untuk hidup bersama. Akibatnya, banyak kesalahpahaman antarkelompok terjadi dan aksi-aksi kekerasan merebak. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan M. Fadjroel Rachman, Ketua Badan Pekerja Masyarakat Sosialis Indonesia, Kamis (15/2) lalu.

NOVRIANTONI (JIL): Bung Fajroel, Anda sering disebut seorang sosialis. Apa maknanya?

M. FADJROEL RACHMAN: Saya membedakan antara seorang sosialis dengan komunis. Biasanya saya bilang, seorang sosialis masih bersedia pergi ke masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya, bahkan ada juga yang naik haji seperti Sudjatmoko, intelektual Indonesia yang terkenal itu. Artinya, masih berusaha religius. Sebab, sosialisme sebenarnya merupakan bendera dengan sejumlah aliran pemikiran. Ada yang mendasarkan gagasan pada agama dan karena itu disebut sosialisme-religius. Mereka sama sekali tidak mengenal gagasan-gagasan Marxisme. Bagi mereka, dalam agama sendiri ada gagasan-gagasan keadilan yang harus diterapkan dalam kehidupan.

Tapi ada juga sosialisme-demokrasi yang mendasarkan diri pada demokrasi dan hampir-hampir mengatakan bahwa sosialisme adalah kapitalisme plus regulasi (ekonomi). Ada pula yang mengaku libertarian-sosialis yang mengandalkan diri pada hak-hak individu dan hak-hak sosial masyarakat. Ada juga sosialisme-Marxis tapi non-komunis. Mereka mengambil gagasan-gagasan Marxis tapi tidak mengakui beberapa aspek doktrinalnya, seperti kediktatoran ploretariat.

JIL: Sebagai sosialis, bagaimana Anda mengenal agama?

Alhamdulillah saya punya akar keagamaan yang lumayan untuk membangun dialektika kehidupan. Pertama, akar tradisionalisme NU. Saya senang dengan gagasan akulturasinya dengan budaya. Kedua, modernisme Muhamadiyah juga menarik karena membawa gagasan tentang amal sosial di dalam spirit agama dan modernismenya. Dan ketiga, tiga generasi keluarga saya kebetulan hidup dalam semangat rasionalisme ilmiah Barat. Jadi, saya hidup dalam tiga pilar atau unsur yang berdialektika itu. Itulah yang sebenarnya membentuk diri saya. Jadi saya tidak terlalu teralienasi dari agama.

JIL: Apakah rasionalisme ilmiah mendorong Anda untuk tidak berafiliasi secara organisasional pada NU ataupun Muhamadiyah?

Tampaknya ya. Tapi di keluarga saya ada saja yang menginduk langsung pada salah satu ormas itu. Tapi saya betul-betul tak pernah terlibat dalam organisasi NU atau Muhamadiyah. Semasa mahasiswa di ITB, saya lebih didorong untuk mengambil jurusan kimia. Saya lebih terpesona pada gagasan rasionalisme yang mendorong kritisisme, individualisme, dialektika, dan materialisme. Agama bagi saya adalah motivasi dari tindakan-tindakan. Saya tidak bisa keluar dari titik itu, dan mungkin itu juga menguntungkan saya.

Semasa jadi mahasiwa, saya memang pernah berada dalam ketegangan antara rasionalisme ilmiah dengan doktrin agama. Sampai hari ini saya masih tetap berada dalam ketegangan itu. Tapi saya juga punya pembenaran-pembenaran atas kegelisahan itu. Kata Mohammad Iqbal, hanya dalam kegelisahanlah kamu akan mengenali dirimu. Saya juga mengikuti Iqbal ketika ia mengatakan bahwa dalam kegelisahan dan ketegangan pencarian itulah kreativitas manusia akan mencapai kreativitas Tuhan.

Suatu waktu, saya memang pernah berpikir kalau ilmu atau sains itu bisa menjadi basis agama. Tapi saya akhirnya paham bahwa ilmu atau sains itu hanya memberi metode, persis seperti yang dikatakan filsuf Inggris, Karl Popper, tentang metodologi pemecahan masalah. Pada akhirnya, sains hanya memberi metode yang bersifat tentatif dan hipotetif; karena itu dia sebenarnya tak bisa dijadikan basis iman.

Namun itu bukan berarti ilmu atau sains merupakan antitesis dari agama. Ilmu dan agama punya metode sendiri-sendiri dalam memecahkan masalah. Agama sebetulnya juga tak bisa mengambil posisi sains. Menurut saya, agama itu seperti lompatan kuantum ke arah iman. Di zaman ini, susah membayangkan kalau ada orang bernama yang tiba-tiba mengatakan ”Saya akan menyembelih anak saya!” seperti Nabi Ibrahim dulunya.

Semua orang mungkin akan mengatakan kalau itu kerjaan gila. Kasus seperti itu merupakancontoh lompatan iman atas kesadaran. Saya pikir, sains tidak bisa memberi basis itu. Jadi agama dan sains adalah dua hal yang berbeda. Tapi agama tetap memberi motivasi, seperti upaya menghidupkan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Motivasi-motivasi seperti itu melahirkan apa yang disebut humanisme-teologis yang berbasis agama.

Tapi pemikiran rasional ilmiah juga dapat menghasilkan gagasan humanisme-sekuler yang bagi saya tak bertentangan dengan agama. Kedua-duanya bergerak atas dasar keinginan yang sama demi membangun solidaritas kemanusiaan; ingin hidup bersama orang lain atau ada bersama orang lain.

JIL: Jadi sosialisme dan doktrin agama tentang keadilan bisa bertemu?

Bisa, walau kalangan agamawan selalu bertanya: apa fondasimu? Tapi semua itu bisa dijawab dengan sederhana. Teman-teman agamawan mungkin mengatakan fondasinya dari Tuhan, contoh baik wahyu atau perilaku Rasul. Dari situlah tumbuh semangat keadilan. Namun kalangan humanis-sekuler melandaskan gagasannya pada adanya orang lain; karena aku ada bersama orang lain. Karena itu, tumbuhlah norma atau nilai-nilai humanis. Atau, aku tidak bisa mengetahui siapa diriku kalau orang lain tak membuat reaksi terhadapku.

Contoh yang paling ringan adalah ketika Anda memandangku, aku mungkin bertanya, “Apa yang salah dengan diriku sehingga dia memandangku sedemikian rupa?” Jadi, fondasinya keinginan untuk ada bersama orang lain menimbulkan norma dan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Anda tumbuh dalam semangat rasionalisme ilmiah. Pernah tergoda melakukan pencarian spiritual?

Dulu saya pernah berpikir apakah sains dapat menjadi dasar saya untuk percaya kepada Tuhan. Tapi akhirnya saya yakin bahwa itu tak mungkin, karena sains tentatif dan hipotetif. Ketika orang menjadikan teori dentuman besar atau big bang sebagai salah satu dasar kepercayaan agama, saya pikir dia keliru dan telah mengambil landasan yang goyah. Sebab dalam sains, selain teori dentuman besar, ada teori-terori lain juga. Dan siapa tahu, dalam beberapa waktu, teori itu akan hilang dan digantikan oleh teori baru.

Kasus itu sama bahayanya dengan tafsir saintifik atas agama. Ptolomeus dulu pernah bilang kalau bumi adalah pusat semesta dan tesisnya itu diadopsi oleh Gereja. Ketika Copernicus mengatakan mataharilah yang dikelilingi oleh bumi, menurut hasil penelitiannya, Gereja tetap bertahan pada dogma lama. Akibatnya, orang seperti Galileo Galilei harus dihukum seumur hidup, dan Giordano Bruno dibakar karena keyakinannya.

Karena itu, dalam proses pencarian itu, saya menemukan bahwa iman ya iman, dan sains ya sains. Bagi saya, semua orang tidak mungkin bisa atheis secara total. Bagi seorang saintis, membuktikan Tuhan tak ada sama sukarnya dengan membuktikan bagaimana Tuhan ada. Karenanya, ada problem besar jika logika-logika saintifik atau matematis diterapkan ke dalam agama. Misalnya, di dalam sains selalu ada orang yang ingin mengatakan bahwa bukti-bukti fisika dan penemuan-penemuan kimia membuktikan keberadaan Tuhan. Ada yang bilang kalau semua sudah ada dalam Alqur’an atau kitab suci agama lain.

Tapi sekarang, NASA mengirim misinya ke Pluto untuk meneliti evolusi tatasurya. Kalau tiba-tiba ditemukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah diamini agama, apa yang akan dikatakan agama? Problem besar dalam nalar agama adalah jebakan tautologis; merasa tidak pernah punya kemungkinan salah.

JIL: Bung Fadjroel, ada yang berpendapat kalau sosialisme itu agama dalam artian luas, sedangkan agama adalah sosialisme dalam artian sempit. Tanggapan Anda?

Kita kembali per definisi saja. Homo socius itu artinya makhluk yang ingin berteman. Yang diinginkan kaum sosialis adalah konsep homo homini socius, manusia berteman bagi manusia lainnya. Ini berlawanan dengan paham homo homini lupus, atau manusia musuh bagi manusia lainnya. Artinya, yang ingin dicari gerakan sosialis adalah nilai-nilai yang ada dalam kehidupan manusia, yang mungkin dijadikan dasar gerak bersama demi menanggulangi persoalan sosial, politik, dan ekonomi.

Mungkin istilahnya sosialisme berbasis nilai. Nilainya itu misalnya keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, kebebasan, solidaritas, dan kesetaraan. Itu adalah nilai-nilai yang juga mungkin tumbuh dari beragam agama dan bahkan dari orang yang tak beragama. Namun semua mengakui nilai-nilai tersebut sebagai dasar hidup bersama. Sebab, tanpa nilai-nilai itu, kita diandaikan akan bunuh-membunuh satu sama lain.

JIL: Tapi mengapa kalangan sosialis tak serta-merta bisa cocok dengan kalangan agama?

Semestinya tidak berlawanan. Setidaknya, itu yang terjadi pada diri saya. Saya senang kalau diundang teman-teman aktivis agama seperti PKS, HMI, PMII, dan agama lain seperti Buddha dan Katolik. Saya ikut dalam pelatihan mereka dan itu tidak masalah. Tapi sepanjang masa Orde Baru, memang ada kesalahpahaman yang menyamakan sosialisme dengan komunisme. Padahal sosialisme berbeda dengan komunisme.

Sosialisme itu berakar lebih jauh dari ajaran sosialisme-ilmiahnya Karl Marx. Sebenarnya, akar utamanya bersumber dari agama. Ketika agama-agama turun, dia menghantam ketidakadilan. Ketika Islam datang, ia mengutuk perbudakan, pembunuhan perempuan, dan lain-lain. Itu sebenarnya juga bagian dari akar sosialisme. Agama-agama Ibrahimi sering mengatakan bahwa manusia itu sama di hadapan Tuhan. Itu juga sebenarnya dasar utama ajaran sosialisme.

JIL: Kalau sudah berakar dalam agama, mengapa masih perlu sosialisme?

Mungkin begini. Tuhan memang sumber kebenaran, tapi yang jadi masalah, dalam proses mencari kebenaran itu, agama sendiri punya banyak tafsir. Tafsir-tafsir itu ditambah pula dengan sejarah agama-agama yang juga tak kalah rumitnya. Kalau bicara sejarah, dalam Islam sendiri, tiga khalifah pertama dibunuh para penentangnya. Bahkan Imam Husein yang cucu Nabi itu bersama 70 pengikutnya dibunuh oleh 30.000 pengikut Yazid bin Mu’awiyah. Kepalanya ditendang-tendang dan dibawa ke istana. Artinya, dalam sejarah agama sendiri, unsur kekerasan itu sudah ada sejak awal.

Nah, yang jadi persoalan, tafsir kebenaran ala siapa yang kita ikuti? Dalam Islam Sunni, ada beberapa versi dan aliran kebenaran. Bahkan dalam Islam Syiah pun juga beragam. Maksud saya, interpretasi sekelompok orang terhadap agama dan kebenaran agama itu sendiri memang harus dipisahkan. Karena itu, kelompok sosialis seperti saya juga berupaya mencari formula agar kelompok-kelompok orang beragama ataupun tidak beragama bisa hidup atas dasar nilai-nilai bersama. Itu bisa saja kita ambil dari motivasi agama, semangat humanisme, filsafat, atau apapun.

Dengan begitu, kita oke saja untuk sama-sama ada. Kita saling menghormati dan bersama-sama membangun nilai dan norma-norma hidup bersama. Itulah yang diajarkan konsep masyarakat terbuka (open society) Karl Popper. Dengan itulah manusia menjadi dirinya. Tapi problemnya, tiap-tiap orang mengabsolutkan interpretasinya atas Tuhan, agama, dan kebenaran. Ketika itu terjadi, muncullah inkuisisi. Karena itu, yang kita tolak adalah interpretasi yang absolut atas ilmu pengetahuan maupun agama. Saya menolak interpretasi absolut terhadap keduanya. Saya membayangkan tiap-tiap manusia diberi kebebasan untuk menciptakan dirinya sendiri di dalam satu ruang sejarah yang terbuka.

JIL: Bung Fadjroel, ada reduksi besar-besaran tentang makna sosialisme dan komunisme. Misalnya anggapan sosialisme dan komunisme itu anti-Tuhan dan antiagama. Mengapa itu terjadi?

Orang-orang sosialis selalu mengatakan bahwa orang-orang komunis telah merampok nilai-nilai sosialisme. Alasan mereka, dalam buku Manifesto Komunis-nya Marx, sudah jelas-jelas dikatakan adanya sosialisme utopis yang berakar pada agama, jauh sebelum adanya sosialisme ilmiah. Nah, kalau mau dalam kendali itu, sebenarnya kami telah berakar jauh ke sana. Tapi orang-orang komunis selalu mengatakan bahwa satu-satunya gagasan sosialisme yang absah adalah komunisme.

Ini mungkin sama dengan apa yang terjadi pada Islam sekarang. Tiba-tiba banyak orang terpana karena Islam disamakan dengan Alqaidah. Tiba-tiba orang tersentak. Itu sama dengan keheranan orang Kristen tatkala kelompok Kharismatik dianggap satu-satunya wajah kekristenan Indonesia. Jadi, di situ ada mutilasi gagasan. Di Indonesia, itu terjadi karena di zaman Orde Baru semua yang berbau sosialisme, komunisme, bahkan liberalisme ditentang dengan keras. Jangankan di masa Orde Baru, sampai kini Jaringan Islam Liberal pun ditentang habis.

Artinya, kita memang tak pernah punya ruang publik yang sehat untuk membincangkan sebuah gagasan secara jernih?

Betul. Karena itu, agenda perjuangan terbesar gerakan sosialis adalah menjamin hak-hak sipil. Pokoknya, hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya, harus betul-betul dijamin dan diperjuangkan. Ini tak ada urusannya dengan dogmatisme, karena sebagian orang sosialis sudah tak peduli lagi dengan Marx. Mereka hanya mengatakan, kami memperjuangkan hak sipil dan hak politik tiap-tiap orang. Kalau ada yang kelompok yang dikepung karena berpikiran berbeda, mereka harus dibela karena berpikir adalah hak. Kalau jamaah Ahmadiyah dikejar-kejar karena keyakinan mereka, mereka harus dibela karena menganut keyakinan tertentu adalah hak.

Betapapun keyakinan itu dianggap menyimpang oleh mayoritas?

Ya. Sebab dengan kebebasan itulah orang dapat menciptakan dirinya; manusia bisa menjadi manusia. Pada titik ini kita bertanya: apa makna kebebasan? Yaitu kemungkinan untuk meragukan, berbuat salah, dan melakukan proses pencarian atau eksperimentasi, serta kemungkinan mengatakan tidak terhadap otoritas apa saja yang mengekang, baik otoritas politik, sosial, agama, filsafat, estetika, dan lainnya. Dalam iklim kebebasan itu, selalu ada kesempatan untuk membuat salah. Dalam kerangka ilmu pengetahuan, itu disebut kemungkinan falsifikasi. Sebab, melalui proses error ellimination itulah kehidupan bisa berkembang. Artinya, orang belajar dari kesalahan. Dan di titik itu pulalah hak sipil bisa berkembang.

JIL: Bagaimana kaum sosialis menyikapi kasus-kasus kekerasan karena perbedaan keyakinan agama?

Kaum sosialis menentangnya, karena pelakunya sedang menentang dan merenggut hak sipil dan politik orang lain. Yang benar hanya Tuhan, sementara manusia hanya memberi tafsir atas kebenaran. Karena itu, pernyataan orang-orang yang menyesatkan kelompok agama tertentu mestinya tak boleh ada kalau kita mengandalkan hak sipil untuk berkeyakinan tertentu. Hak kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi, harus dilindungi, karena itulah jalan kita untuk ada bersama-sama.

Itulah norma-norma yang dicapai manusia dan diperkenankan agama. Kalau Tuhan mau, semua orang bisa menganut Islam yang seragam, atau menjadi satu Kristen. Tapi tetap saja ada keragaman. Justru dalam keragaman itulah timbul dialog, dan dalam dialog yang sehat akan tumbuh apa yang kita sebut kebenaran. Tidak bisa seseorang mengatakan dirinya paling benar. Karena itu, kita selalu butuh ruang publik atau ruang demokrasi di mana dialog bisa dilakukan dengan cara-cara yang sehat sambil menghormati hak sipil orang lain.

JIL: Seperti apa negara yang diharap mampu mengakomodasi banyak kelompok dan aliran secara damai?

Sosialisme selalu mengambil jalan demokrasi. Jalan demokrasi itu berarti tetap dibelanya hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tiap-tiap kelompok. Sementara kalangan komunis berupaya merebut negara untuk menegakkan kediktatoran; dan itulah yang ditentang kalangan sosialis. Bagi mereka, perlu ada satu kelas yang berkuasa (kaum proletar, Red), sementara perbedaan di luar aspirasi kelompok penguasa dihentikan. Ujung-ujungnya totalitarianisme. Bagi kalangan sosialis, sosialisme tanpa demokrasi berarti kediktatoran, dan sebaliknya, demokrasi tanpa sosialisme berarti ketidakadilan.

Agama sebetulnya juga punya potensi besar untuk totaliter, apalagi bila diinterpretasi secara absolut. Sosialisme juga begitu. Jadi semua ajaran, baik sekuler maupun dan nonsekuler, punya potensi totaliter dan membunuh orang.

Karena itu, yang kita pentingkan: setiap agama atau aliran pemikiran harus tetap mempertahankan iklim kritisisme dan kebebasan. Kebebasan di situ berarti kita bisa tetap membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan. Tidak ada yang mutlak dari hasil pemikiran manusia. Yang benar hanya Tuhan. Tiadanya monopoli kebenaran mensyaratkan kita untuk tetap mempertahankan ruang demokrasi. []

26/02/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

KURANG SEPAKAT COY!menurut saya, sosialis tetap tidak bisa disetarakan dengan agama. saya penganut islam ‘kiri’(kata orang). jujur saja, islam tidak bisa disejajarkan dengan sosialis. memang nilai sosialis ada dalam islam. sehingga ada yang mengatakan bahwaia beraliran sosialis religius (sosialis yang beragama). nah artinya ada sosialis yang tidak religius.bisa jadi, pemisahan (sekularisasi) yang dilakukan oleh orang ini dilatar belakangi kurang percayanya ia terhadap agama yang ia anut.kalau ia percaya dengan apa yang ia anut,maka tidak akan ada proses ‘neka-neko’trhadap ajaran agamanya sendiri.jika bung fadjroel mengatakan gara2 perbedaan konsepsi apa yang mengitari bumi, antara sains dan agama, dan ini menyebabkan agama dianggap tidak ‘mendukung’ sains terus terang saya sangat meragukan keagamaan orang yang menyatakan hal ini.setahu saya,(kembali ke islam yang saya anut) Tuhan lebih tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang terjadi terhadap semua ciptaannya.analoginya,pencipta bom lebih tahu apa yang ada pada bom itu dari pada bom itu sendiri.nah jika ada yang bertentangan antara konsep tuhan dengan konsep alam atau juga konsep manusia,maka dipertanyakan KEBENARAN TUHAN, MANUSIA DAN ALAM tersebut. jangan2 ada yang salah diantara tiga konsep tersebut.jika konsep Tuhannya yang salah, jelas...segala sesuatu yang berhubungaj dengan sang Tuhan dipertanyakan.MANA ada tuhan yang salah… ya ga?jika konsep alam yang salah… tergantung anda menyikapinya. tapi jika konsep manusia yang salah… yang tentu manusia itu harup diperbaiki metoda berpikirnya.nah kembali ke sosialis, saya menganggap nilai kepedulian, dan sebagainya itu memang ada dalam agama… nah jadi buat apa kita buat sosialis2an.nambah2i aliran saja. satu aliran saja sudah pusing kok ditambah2i.CONTACT PERSONS:085273960862.boskongres@yahoo.co.id

Posted by ari_oposisi  on  10/17  at  10:05 PM

sy rasa sains dan agama sangat berhubungan erat. Tuhan menciptakan manusia dgn otak agar dpt berpikir dan rasa ingin tahu. oleh sebab itu manusia mencari cara untuk menbuktikan adanya Tuhan. Dan memang dengan sains kita bs mengetahui keberadaan Tuhan. Contoh: Kenapa letak bumi di dlm tatasurya sangat “pas” atau ideal? PASTI ada yg mengatur alam semesta ini, yaitu Tuhan.
Jd, sbnrnya sains adalah jalan untuk menuju kebenaran.

Posted by asa  on  09/18  at  05:33 PM

Saya sangat setuju atas pemikiran Bung Fadjroel mengenai akar sosialisme berasal dari agama. Kebetulan saya seorang muslim dan kesimpulan saya ialah Islam adalah agama sosial(is). Coba kita telaah kembali (yang beragama muslim) ajaran2 Islam yang kita ketahui, mengenai berbagi terhadap sesama, menghargai terhadap sesama, menghormati dll.

Posted by Nooradya Diponegoro  on  08/21  at  06:24 PM

Relevan sekali apa yg terungkap dalam wawancara M Fadroel Rahman dengan realitas keberagamaan kita saat ini. Hal yang patut digarisbawahi adalah pentingnya tentang pemahaman tentang relativitas kebenaran yang diyakini oleh masing2 penganut agama saat berhadapan dengan kebenaran yang diyakini oleh pihak lainnya. Kecenderungan radikalisme agama yang nyata saat ini di Indonesia bukanlah masalah terorisme, namun masalah toleransi. Pengusiran terhadap jemaah ahmadiyah di Nusa Tenggara, kemudian kasus yang menimpa Lia Aminuddin beserta jemaahnya adalah potret buram bagaimana perbedaan disikapi tidak dengan kedewasaan berpikir namun dengan logika formal dengan berlindung dibalik nama agama.
-----

Posted by Ali Muharam  on  02/28  at  07:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq