Kritik Nalar Politik NU - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
06/09/2004

Kritik Nalar Politik NU

Oleh Syaiful Arif

Pada Pemilu 2004 ini, untuk kesekian kali NU menampakkan wajah politiknya. Pemilu legislatif membuktikan keandalan politik NU dengan memosisikan PKB dalam tiga besar, serta laris-manisnya kiai NU yang diperebutkan oleh para capres dalam pemilu presiden. NU memang mempunyai nalar politik yang “tajam”, dengan “modal politik” yang besar, yakni fanatisme massa. Pertanyaannya adalah seberapa “cerdas” nalar politik NU dalam kancah pertarungan pilpres putaran kedua, mengingat dalam sejarahnya, politik NU sering berujud pada sad ending?

Pada Pemilu 2004 ini, untuk kesekian kali NU menampakkan wajah politiknya. Pemilu legislatif membuktikan keandalan politik NU dengan memosisikan PKB dalam tiga besar, serta laris-manisnya kiai NU yang diperebutkan oleh para capres dalam pemilu presiden. NU memang mempunyai nalar politik yang “tajam”, dengan “modal politik” yang besar, yakni fanatisme massa. Pertanyaannya adalah seberapa “cerdas” nalar politik NU dalam kancah pertarungan pilpres putaran kedua, mengingat dalam sejarahnya, politik NU sering berujud pada sad ending?

Terma kritik nalar politik diperkenalkan oleh Abed al-Jabiri, pemikir Islam asal Maroko, yang menerbitkan karya Wijhah al-Nazhr nahw ‘I’adah Bina’ Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1992). Karya itu berbicara tentang hubungan antara Islam dan politik dalam struktur budaya masyarakat Arab. Nalar politik Arab (al-Aql al-Siyasi al-Arabi) berarti segala pemikiran dan perilaku politik kebudayaan Arab sejak masa Rasul hingga kini.

Secara hakiki, NU merupakan organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyyah) yang tentunya berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Dalam Qanun Asasi li Jam’iyyati Nahdlatul Ulama, K.H Hasyim Asy’ari menegaskan posisi NU yang berdiri di “tengah” (tawasuth) sebagai penjaga tradisi keagamaan masyarakat lokal dari ancaman gerakan puritanisme Islam. Fungsi utama NU bukanlah pada ranah politik, tapi pada pengembangan rekayasa sosial-kemasyarakatan melalui pendidikan dan dakwah.

Namun, memisahkan agama dengan politik adalah mustahil, sebab selain bersifat privat, agama juga merupakan ajaran tata perilaku kemanusiaan, sehingga ia bukan hanya sistem teologi tetapi juga sebuah kebudayaan yang kompleks. Demikian juga dengan NU, sebab sebagai jama’ah diniyyah, tradisi keagamaan NU syarat dengan penetrasi politis.

Religiopolitik

Dalam The Interpretation of Cultures (1996), Clifford Geertz memetakan struktur Islam Jawa yang ia sebut sebagai religion as a cultural system (agama sebagai sistem budaya). Dalam hal ini, agama sangat potensial bagi praktik politisasi, sebab praktik keagamaan dan sistem teologinya mampu menciptakan kesatuan nilai yang menyedot ketundukan massa. Akhirnya terciptalah primordialisme berdasarkan nilai keagamaan, yang dalam kalkulasi pangsa politik sangat menguntungkan.

Sebut saja tradisi fiqh, yang merupakan “perangkat kelembagaan” bagi “tujuan budaya” keagamaan NU.Fiqh yang merupakan yurisprudensi Islam memang menyediakan banyak alternatif pengambilan hukum. Dalam praktiknya, fleksibelitas kaidah fiqh tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Kontroversi fatwa haram kepresidenan perempuan, berulang kali dipolitisir demi mengganjal Megawati, baik pada Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004 ini.

Demikian juga hubungan pemimpin dengan warga yang bersifat paternalistik. Kiai sebagai pemimpin agama berfungsi sebagai “bapak” terhadap “anak-anaknya” yakni para santri. Sebagai guru, kiai mempunyai kewenangan bukan hanya dalam hal pengetahuan, tapi juga perilaku kehidupan. Dalam hal kepemimpinan politik, kiai mempunyai otoritas penuh untuk mengarahkan santrinya kepada pilihan politik yang “dihalalkan” agama (Riffat Hassan, 1991).

Kesadaran Palsu

Jika merujuk konsep kritik nalar politik al-Jabiri, maka ada dua permasalahan dalam nalar politik NU yang harus dikritisi. Pertama, kesadaran palsu (false consciousness). Premis ini digunakan oleh al-Jabiri dalam mengkritik nalar Arab, yang mengalami kesadaran palsu, “cetakan” dari mainstream sistem pengetahuan masyarakat.

Masyarakat NU juga mempunyai “nalar” model ini. Yakni sebuah kesadaran palsu yang meyakini hanya dengan politiklah, warga NU bisa terangkat derajatnya. Kaum Nahdliyyin lupa bahwa NU pernah mengalami masa kejayaan di luar politik praktis, yakni ketika sebagai jam’iyyah diniyyah, NU mampu melindungi tradisionalisme Islam dari praktik puritanisasi (1926). Di samping itu, NU juga turut berkontribusi besar dalam kemerdekaan Indonesia serta menjadi kekuatan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan selama Orba, NU menjelma sebagai kekuatan civil society yang ditakuti negara karena oposisi kulturalnya (1984-1998).

Kedua, penyatuan antara “agama” dan politik. “Agama”, sesuatu yang suci dan sakral bagi NU adalah tugas dakwah, menegakkan nilai-nilai agama, serta pengabdian terhadap pemberdayaan masyarakat. Tugas inilah yang melatarbelakangi pendirian organisasi (jam’iyyah) di atas bangunan kultur-massa (jama’ah).

Penyelewengan fungsi jam’iyyah sebagai penggerak civil society, pada agenda politisasi juga disebabkan oleh “doktrin” Islam sebagai din wa siyasah (agama dan politik). “Doktrin” ini telah menjadi kesadaran palsu di tengah warga NU, sehingga ketika para pemimpinnya menggerakkan massa, mereka tidak menyadari mana batas kepentingan politik, mana yang murni keagamaan. Inilah dampak negatif dari posisi agama yang telah masuk dalam relung kebudayaan. Sebab, baik agama maupun politik, secara kasat mata sama-sama berkorelasi dengan term kemaslahatan umat. 

Sekarang pertanyaannya adalah, sudah “tumpulkah” nalar politik NU, ketika para kiai capres-cawapresnya kurang sukses dalam menggalang dukungan NU? Menuju pilpres putaran kedua ini, politisi NU mungkin bertanya, kenapa suara warga NU kurang signifikan dalam menggenjot perolehan suara. Bahkan yang mengejutkan adalah hasil survei quick count LP3ES dan NDI yang melaporkan sebanyak 32% suara NU, belok ke SBY-Kalla, lebih sedikit dari 33% yang ditasharufkan ke Wiranto-Gus Solah dan 26% Mega-Hasyim (Jawa Pos, 8/7). Atau survei terakhir LSI untuk pilpres kedua yang menggambarkan 58% untuk SBY-Kalla dan 30% untuk Mega-Hasyim. Perpecahan dalam intern NU bukan hanya melahirkan dua faksi antara PBNU vs PKB, akan tetapi berakibat larinya dukungan Nahdliyyin pada kekuatan politik non-NU.

Dari fenomena ini bisa dibaca, bahwa nalar politik NU yang hanya bermodalkan primordialisme massa, tengah mengalami “keruntuhan”. Secara internal, sebagaian warga NU (terlebih anak muda) telah mengalami “pencerahan” pemikiran, sehingga mampu membebaskan diri dari “dogmatisme” tradisi serta hegemoni kiai.

“Keruntuhan” nalar politik NU juga disebabkan oleh “serangan” sistem politik modern yang mengandalkan media. Pada Pemilu 2004 ini, media betul-betul menjelma “the second of God”, sebab gaya politik kontemporer adalah gaya politik citra. Seluruh masyarakat Indonesia (termasuk warga NU), mampu mencerna berbagai kegiatan kampanye dari media, hal inilah yang melahirkan sebuah rasionalitas politik. Hanya saja, rasionalitas tersebut belumlah “kesadaran politik”, sebab kemenangan SBY-Kalla lebih pada kemenangan popularitas yang secara cantik dikemas melalui persepsi media. Salah satu buktinya adalah kegagalan Amien Rais-Siswono, yang nota bene merupakan representasi dari pilihan pemilih yang rasional. Wallahu a’lam


Syaiful Arif, Ketua Program Kajian, Ciganjur Centre, Peneliti Lab. Politik Islam UIN Jakarta dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

06/09/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq