Kultur Takfir - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
01/10/2006

Kultur Takfir

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Rupanya mentalitas arkaik dengan mengkafirkan dan menghujat orang lain itu tak surut dalam fenomena keberislaman kita kontemporer. Bahkan ia tampak cenderung menaik. Keberislaman Indonesia juga kian terkotori kabut kelam pengkafiran.

Ikhtilaf lazim diartikan sebagai perbedaan, termasuk perbedaan di dalam memahami agama dan menafsirkan kitab suci. Dan Islam adalah salah satu agama yang menghargai perbedaan. Sebuah pernyataan populer menyebutkan bahwa perbedaan adalah rahmat (ikhtilâf al-a`immah rahmah). Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “ma yasurruni lau anna ummata muhammadin lam yakhtalifû (saya senang kalau umat Muhammad berbeda pendapat).”

Indahnya perbedaan pendapat itu menginspirasi Abi Abdillah Muhammad bin Abdirrahman al-Dimasyqi untuk memberi judul bukunya dengan Rahmatul Ummah fiy Ikhtilâf al-A`immah (Keuntungan Umat dari Perbedaan Para Imam).

Namun, lain yang diidealkan lain pula yang dilaksanakan. Perbedaan kerap berakhir dengan kekerasan. Sebagian ulama yang menyampaikan tafsir keagamaan berbeda dipersonanongratakan, dipenjarakan, dipukul, disiksa, dicaci-maki, dan buku-bukunya dibakar. Ibnu Jarir Al-Thabari (w. 310 H./923 M.) menjalani sebagian hidupnya dalam penderitaan karena disiksa oleh pengikut fanatik Ahmad bin Hanbal.

Orang yang mau mengunjungi kediaman Thabari diancam. Buku-bukunya dihanguskan. Kitab tafsir buah karyanya, Jâmi’ al-Bayân fiy Ta`wil al-Qur`an, dianggap sebagai sampah karena dinilai mengandung cerita-cerita israiliyat. Kitab tafsir tersebut lalu dibakar bersamaan dengan buku-bukunya yang lain. Tak puas sampai di situ, kuburan Thabari pun kerap dilempari kotoran. Namun, kini semua umat Islam tahu bahwa tafsir al-Thabari adalah tafsir yang sahih. Apa yang dahulu dipandang sebagai sampah telah dipandang sebagai sesuatu yang penting. 

Abu Hayyan al-Tawhidi (w. 414 H./1023 M.) juga pernah disiksa sepanjang hayat. Abu Bakar al-Sarakhshi (w. 483 H./1090 M.) salah seorang ahli fikih bermadzhab Hanafi menulis kitab al-Mabsuth-nya di ruang penjara. Orang sealim al-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (w. 150 H./767 M.) yang kini pendapat-pendapatnya diikuti banyak orang, dulu oleh sebagian ulama dipandang menyesatkan.

Ibnu Hibban al-Busti dalam al-Majruhin min al-Muhaddisin wa al-Dhu’afa` wa al-Matrukin menyatakan bahwa Abu Hanifah tak lebih dari seorang penyeru bid’ah dan kafir. Abu Hanifah pernah didesak untuk mencabut sejumlah pendapatnya dan segera bertobat dari kekufuran. Bukan hanya Abu Hanifah, Al-Busti pun mengkafirkan ulama-ulama lain; Muhammad bin Hasan al-Syaibani (189 H./802 M.) dianggap sebagai penyebar kebohongan dan bukan seorang ahli fikih. Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi (w. 150H./767M.) dianggap sebagai orang fasiq dan fajir. Padahal, kata Imam Syafi’ie (w. 204 H./820 M.), sejauh menyangkut soal tafsir, kita ini adalah anak-anak yang bergantung pada Muqatil.

Rupanya mentalitas arkaik dengan mengkafirkan dan menghujat orang lain itu tak surut dalam fenomena keberislaman kita kontemporer. Bahkan ia tampak cenderung menaik. Keberislaman Indonesia juga kian terkotori kabut kelam pengkafiran. Cak Nur terus dihujat dan dikafirkan sekalipun ia sudah meninggal satu tahun yang lalu.

Gus Dur jelas; di sejumlah tempat ia dihujat dan darahnya dihalalkan. Tapi, biasanya ia melawan kemudian tak peduli. Gus Dur adalah tipe kyai yang la yakhafu lawmata la`im (tak gentar dengan cemoohan orang lain ketika menyatakan pendapat).

Saya mulai mendengar, sekelompok orang gencar menghujat para kiai yang menolak perda syari’at dan bentuk-bentuk formalisasi syari’at Islam lainnya. Memang, bagi para kiai itu, fikih cukup dijadikan sebagai etika sosial dan bukan sebagai hukum positif negara. Atas pandangannya itu sejumlah kiay menuai caci maki. Di mata para pemaki itu, menolak formalisasi syari’at Islam sama saja dengan mengapkir syari’at Islam.

Betapa merisaukannya kultur takfir ini. Ia telah menjadi benalu yang mengganggu tumbuh-suburnya semangat Islam yang rahmatan lil alamin. Benalu itu tentu tak menyehatkan. Karenanya, pada hemat saya, tradisi pengkafiran tersebut sudah waktunya segera dihentikan dan dicabut dari tubuh umat Islam. []

01/10/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya sependapat dgn Sdr Mustahdi. Karena jika kita amati sejarah masuknya Islam ke Nusantara yg notabene tidak melalui pertikaian berdarah adalah oleh karena inkulturasi bukan meng-impor dari Arab. Maka dgn demikian bisa kita pahami kentalnya inkulturasi ini terutama di daerah Jawa. Dan ini pulalah yg menjadi prinsip kalangan NU dan juga Gus Dur (GD). Maka kalangan NU pun lebih setuju menerima keadaan plural NKRI dan dasar negara Pancasila, sekaligus men-tranformasikan nilai2 ke-Islam-an ke dalam budaya, bukan pemaksaan ke dalam institusi kenegaraan.

Pendekatan yg jauh berbeda dilakukan terutama sejak dekade 1990-an dimana ada sekelompok ummat Islam yg mungkin masih terbawa mimpi2 NII atau DI/TII dan masih berkeinginan utk mewujudkan sebuah negara teokratik di bumi Indonesia dalam sebuah formalisasi syariah. Konsekuensinya tentu saja segala “gentlement agreement” dalam pendirian negara ini menjadi mentah.

Yg terjadi justru ummat Islam skrg jauh lebih mementingkan simbolisme keagamaan demi sebuah kepentingan jangka pendek kelompok tertentu drpd memikirkan hal2 esensial.

Misalkan di Aceh dgn penerapan hukum syariat dimana yg terjadi ada elemen2 sipil ikut melakukan “policing action” (aksi polisi) dalam menyetop wanita2 yg memakai celana jeans misalnya atau ngusi orang pacaran drpd berpikir bagaimana membentuk sebuah pemerintahan yg bersih, efektif dan efisien. Logika2 ironi inilah yg digunakan oelh kalangan2 sektarian yg sedang euforia di negeri ini melakukan pembodohan2 dlm pemahaman keagamaan. Kenapa ? Karena tujuan akhir mereka bukanlah urusan spiritual melainkan KEKUASAAN, ya kekuasaan itulah jawabannya. Kekuasaan ujung2nya adalah “uang”. Well, it all comes back to money, isn’t it ?

Merdeka !!!
-----

Posted by Johan  on  10/06  at  02:11 PM

Saya tidak habis pikir, mengapa karakter islamnya orang-orang Arab harus dipaksakan untuk diterapkan pada islamnya orang indonesia. padahal Indonesia itu bukan Arab, dan islam itu sama sekali tidak identik dengan Arab. Islam memang turun di negeri unta, akan tetapi islam untuk seluruh alam yang pasti memiliki kultur berbeda. Penerapan perda-perda syari’at islam yang akhir-akhir ini melangit di bumi Indonesia saya lihat lebih cenderung adanya gejala meng-Arabisasi islam di Indonesia, karena yang diusung bukan substansi islam yang rahmatan ‘alamin, tetapi lebih mengarah pada teori-teori wahabisme yang sebenarnya di negeri asalnya paham ini mulai tergeserkan oleh rasionalitas para intelektual muslim. Islam (al-qur’an dan al-hadits) menurut saya, tidak ubahnya sebuah idea moralitas dan spiritualitas yang bersifat abstrak, dan manusia diberi akal untuk menterjemahkan idea itu dalam wujud kemaslahatan umat mansuia secara menyeluruh, dan itu sebenarnya yang telah dicanangkan oleh Rasulullah pada periode Makkah. Saya yakin, dengan sendirinya teori tafkir yang sering muncul di kalangan penganut islam lambat laun akan hilang dengan perkembangan kecerdasan keberagamaan masyarakat kita.

Posted by Mustahdi  on  10/05  at  07:11 PM

‘kultur takfir’ dalam sejarah umat Islam merupakan institusionalisai dari ‘rasa ketidak-sukaan’ akan ‘yang lain’. ‘tafsir’ resmi, menjadi justifikasi atas nama otoritas. dan kekuasaan menjadi pembenar, untuk melakukan pemaksaan penafsiran tunggal.

itulah persoalannya, ketika keniscayaan keberagaman penafsiran harus diterjemahkan satu versi.

dalam budaya Arab sendiri budaya ‘takfir’ lahir, karena penafsiran ekslusive. Bahwa mereka yg berbeda, mereka yang berpendapat lain sebagai ‘the other = the hell’. atau sesuatu ‘yg bukan kita/golongan kita’. maka saat mengklaim bahwa ada satu pendapat maka yg tak berpendapat sama = kapir.

kata ‘takfir’ menjadi lebih serem karena menjadi idiom agama untuk menuduh mereka yg berbeda sbg ‘yg lain’ dan harus diperangi. walau pada awalnya ini hal biasa yg digunakan untuk mengidentifikasi tentang yg bukan kita.

sebelum menjadi idiom agama, takfir sebetulnya sama saja dgn ungkapan ‘eh elu kaga bener, elu bukan genk guwa”.

Posted by sirojudin mursan  on  10/04  at  10:11 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq