Masjid dan Peradaban yang Merosot - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
04/09/2006

Masjid dan Peradaban yang Merosot

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Kalau mendengar khutbah di gereja-gereja Amerika yang disiarkan melalui TV (dikenal dengan istilah “televangelisme"), saya merasa, mutu khutbah orang-orang “kafir” itu secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah di masjid-masjid kita di Indonesia. Retorika mereka sungguh sangat memukau.

Saya curiga, tampaknya masjid-masjid kita kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Sedih melihat masjid kita seperti itu. Rupanya penyakit itu bukan hanya menjangkiti Indonesia. Di Boston pun, ceramah dan khutbah Jumat sangat tidak bermutu. Sama saja.

Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban Islam, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jumat.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

Saya tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jumat yang sarat demagogi dan caci-maki; apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot?

Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan?

Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Dengan Qur’an dan hadis, umat Islam merasa telah “unggul” di atas umat-umat lain. Kitab Suci kita anggap kanon atau Kanon dengan “K” besar. Padahal setiap bangsa mempunyai kanon-nya sendiri-sendiri. Bangsa yang sehat dan maju adalah mereka yang terus-menerus melahirkan kanon, tanpa henti, tidak melulu mengandalkan kanon yang mereka anggap “suci” dan menutup segala kanon. []

04/09/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (72)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

sy setuju mas ulil,
khotbah jumat kebanyakan tdk bermutu, kelihatan fungsi depag tdk efektif.
mustinya penceramah itu di training, tata bahasa, seni public speaking, dan etika berbicara.

omong kosong kalo ada muslim yg gak pernah dengar kata2 provokasi/menjelek2an agama lain, menghina agama lain, menyebut selain islam adalah kafir,..
yang ini sudah trade mark nya mesjid deh...jujur aja..

kalo kita mau meperbaiki islam yang kita liat kekurangannya bukan busung dada melihat keunggulannya,.
makanya sy setuju dgn mas ulil, mengkritik ut memperabiki,.bukan bermaksud menjelek2an, toh dari kita untuk kita juga,..

masih sulit kaum muslim bereformasi,..
agak2 terbelakang, muslim indonesia miskin harta en pengetahuan,..bahkan etika..
muslim kurang santun, lihat saja jilbab berkeliaran pake kaos ketat kyk catwoman,..
knp otoritas agama gak mengambil tindakan..?
justru sibuk membedah keyakinan agama lain en membuat fatwa2 gak penting…

emang islam merosot..
jujur aja..

kita gak usah ngomongin keunggulan muslim,..
kalo mau lebih baik, cacatnya yg diomongin supaya diperbaiki..

salam

Posted by gery  on  08/12  at  09:59 PM

saya setuju sama bang ullil. tidak penting data empirik kurang. yang penting subtansi dan isnya yang memang jadi kenyataan yang mulai menggejala. habis sholat jumat saya sering istirahat di beberapa masjid di jakarta. dan saya selalu mengambil selebaran khutbah jumat, dan selalu saya mendapatkan isi yang senada dengan bang ullil.

Posted by utopian  on  05/18  at  09:50 AM

inilah yang terjadi apabila orang belajar bukan pada sumbernya. kalau ingin belajar karapan sapi dari asal usul ya paling afdol ke madura, belajar dalang ya paling tepat ke jawa, belajar agama islam ya ke negara Islam, ini malah ke Amerika yang mayoritas Yahudi. Salah tempat mas, dan inilah jadinya.
Saya tidak menyalahkan pernyataan mas Ulil mengenai cerama-ceramah jumat di Masjid, tetapi harus ada parameter yang jelas untuk mengatakan bahwa ceramah hanya mengubar kebencian terhadap suatu pihak. Apa mas ulil n the gank pernah melakukan penelitian mengenai hal ini?

Posted by Emima  on  04/03  at  02:08 PM

Swastyastu…

Mas Ulil, walaupun saya bukan seorang muslim, tapi saya percaya bahwa Islam atau bahkan setiap agama akan memajukan agamanya secara fisik dan rohani jika di dalamnya semakin banyak diisi oleh pemikir2 seperti Anda.

Salam dari saudara....

Posted by wiyana ananta  on  11/23  at  04:01 PM

mas ulil harusnya dapat memaklumi kemampuan ustad-ustad traditional kita, itulah kualitas dari hamba Allah yang ada di bumi islam pada sa’at ini, namun kalau mas ulil bersimpati dengan islam, islam bisa bangkit dari mana saja kok, diri anda, dari keluarga anda, dari organisasi anda, dari korporasi anda, sebagai cendekiawan muslim ( ulama )yang telah melanglang buana ( berjalan dimuka bumi ) tentunya kita berharap banyak kepada orang-orang seperti anda, dapat merekonstruksi islam yang shohih atau system islam yang hakiki, yang menurut dugaan dan pendapat saya islam telah berabad-abad didikonstruksi oleh musuh-musuh islam ( penjajah ), sehingga mohon ma’af ulama-ulama dijaman sekarang memahami islam hanya sebatas pemahaman ritualitas dan seremonial di dalam masjid-masjid saja seperti yang anda katakan dan belum mampu mengimplementasikan system islam menjadi real action diseluruh aspek kehidupan di organisasi, korporasi maupun dalam sebuah bangsa karena kebanyakan dari mereka tidak memiliki pengalaman sebagai praktisi ( professional ) kehidupan yang handal seperti yang telah diteladankan oleh rasulullah sendiri, dan menurut hemat saya, islam sudah waktunya dapat diterjemakan menjadi system ( sunnatullah )yang dapat dioperasikan ( sebagai standart operating procedure yang baku ) untuk seluruh aktivitas dan aspek kehidupan, baik di setiap organisasi, korporasi, maupun sebuah bangsa ( whatever your organization )secara partial maupun serempak, jika hal ini dapat dilakukan segera, dan dapat membawa hasil, secara otomatis orang akan berbondong-bondong masuk islam ( mengadopsi system islam ) tanpa paksaan seperti apa yang telah disunnahkan rasulullah saw dan insyaallah islam akan segera bangkit dari bumi pertiwi yang kita cintai ini dan insyaallah indonesia akan menjadi lokomotive kebangkitan islam yang ke II ( transformation of islam power part II )setelah madinah dan kita tidak perlu memalingkan diri lagi ke barat dan kiblat ( standar )kita secara ritual maupun actual tetap ke mekah, dan saya yakin system islam akan tetap menjadi mesin peradaban yang ampuh dan tetap actual sampai ahkir jaman.

salam dahsyat

Posted by doddi widodo  on  10/26  at  05:20 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq