Masyarakat Sudah Cerdas dan Perlu Pilihan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
09/07/2006

Asrori S. Karni: Masyarakat Sudah Cerdas dan Perlu Pilihan

Oleh Redaksi

Media massa tak selamanya mampu mendikte corak keagamaan masyarakat. Saat tingkat kecerdasan bermedia suatu masyarakat makin tinggi, opini mereka akan makin sulit untuk digiring ke corak pemikiran dan sikap beragama tertentu. Demikian pendapat Asrori S. Karni, praktisi media, tentang bentuk-bentuk media keagamaan Indonesia dan perannya dalam menentukan corak keberagamaan masyarakat.

Media massa tak selamanya mampu mendikte corak keagamaan masyarakat. Saat tingkat kecerdasan bermedia suatu masyarakat makin tinggi, opini mereka akan makin sulit untuk digiring ke corak pemikiran dan sikap beragama tertentu. Demikian pendapat Asrori S. Karni, praktisi media, tentang bentuk-bentuk media keagamaan Indonesia dan perannya dalam menentukan corak keberagamaan masyarakat, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

NOVRIANTONI (JIL): Bung Asrori, sebagai wartawan yang banyak meliput isu-isu keislaman, apa pendapat Anda tentang hubungan antara media massa dengan corak keagamaan masyarakat Indonesia?

ASRORI S. KARNI: Saya ingin memulai dari fakta lapangan dalam mengkaitkan antara peranan media dengan corak keagamaan masyarakat. Di situ ada dua trend yang menarik diamati. Pertama, sikap keagamaan mainstream masyarakat kita yang dapat diukur dari hasil-hasil penelitian, atau pernyataan-pernyataan terbuka sejumlah pemimpin simbol-simbol Islam berbasis massa besar seperti NU dan Muhammadiyah. Kedua, soal akseptabilitas media penyampai gagasan keislaman, baik berupa media massa cetak maupun tayangan-tayangan elektronik yang punya misi untuk menyampaikan gagasan keislaman.

Dari hasil pengamatan terhadap statemen pemimpin-pemimpin ormas Islam, kita dapat menyaksikan fakta bahwa semakin berjaraknya mereka kini dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam di era 1970 dan 1980-an. Polemik tentang 11 fatwa MUI merupakan salah satu milestone terbaru dalam melihat bagaimana sikap mainstream tokoh agama kita. Dan dari situ pula kita dapat melihat bagaimana NU dan Muhammadiyah berbeda statemen dan sikap dengan kalangan anak muda yang selama ini dikenal sebagai motor gerakan pembaruan Islam. Itu satu.

Yang kedua, dari sisi akseptabilitasnya, media-media bercorak pembaruan juga sulit berkembang dibanding media-media yang menawarkan pandangan keislaman non-pergulatan. Bentuk media yang kedua ini tidak selalu bercorak fundamentalis atau konservatif, tetapi memang mereka memilih bidikan lain dalam menyajikan agama. Misalnya, di situ dibahas bagaimana agama memberi kontribusi pada penyelesaian problem riil di masyarakat, seperti membantu penyelesaian kesulitan ekonomi, mengatasi problem pengangguran, membantu mencarikan jodoh, melunasi utang, dan lain sebagainya. Nah, kedua tren ini tampaknya tetap berjalan berdampingan.

Dari situ saya melihat, ada proses interaksi juga antara visi dan misi media Islam dengan selera pasar. Jadi, media tidak sepenuhnya mampu mendikte selera pasar, dan sebaliknya, pasar juga tidak sepenuhnya mampu mengendalikan opini media. Jadi ada proses interaktif. Realitas seperti itulah yang terjadi saat ini, sehingga gagasan-gagasan keislaman yang sifatnya berbeda dengan kalangan mainstrem atau mendobrak kemapanan, cenderung lebih susah diterima.

JIL: Faktor apa yang membuat media-media Islam moderat yang pro-pembaruan pemikiran keagamaan seakan-akan susah mendapat tempat?

Saya melihat, itu karena media-media Islam moderat mulai mengusung atau merintis tema-tema yang berbeda sama sekali dengan kalangan mainstream. Jadi, tema-temanya bersifat rintisan. Polemik tentang perkawinan antaragama, kewarisan bidang agama, regulasi berpakaian di ruang publik, saya pandang sebagai agenda rintisan, dan karena itu tingkat resistensinya lebih kuat. Memang betul, pada periode akhir 1980-an atau awal 1990-an, gagasan-gagasan Islam moderat sudah relatif mendapatkan tempat.

Gagasan-gagasan seperti tidak relevannya lagi partai Islam dan negara teokratis, dan sudah tidak zamannya Islam menjadi dasar negara dan asas partai, sudah dibicarakan waktu itu. Semua gagasan-gagasan besar itu relatif lebih mudah diterima publik. Buku-buku seperti Membumikan Alqur’an karangan Prof. Quraish Shihab, yang relatif menawarkan gagasan pencerahan, pada periode-periode itu sudah diterima secara luas di masyarakat dan dicetak ulang berkali-kali. Bahkan bukunya almarhum Cak Nur, Islam, Doktrin, dan Peradaban, yang begitu tebal dan serius, juga sudah mendapat penerimaan yang luas.

Nah, saat itu media sudah tampil dengan gagasan-gagasan keislaman yang mengusung isu-isu pembaruan, dan relatif sudah dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Saya membayangkan, posisinya akan berbeda ketika isu-isu itu ditampilkan media pada awal tahun 1970-an, saat Cak Nur baru menggulirkan isu Islam, Yes! Partai Islam, No Rintisan proyek pembaharuan pemikiran tentang hubungan antara agama dan negara pada tahun 1980-an, menjadihal yang biasa. Padahal di awal 1970-an, gagasan-gagasan tersebut mengalami penolakan yang sangat keras.

Kita tahu, ketika Cak Nur mengusung isu desakralisasi di tahun 1970-an, ia berhadapan langsung dengan keluarga besar Masyumi yang sempat mengidamkan Cak Nur menjadi Moh. Natsir muda yang akan meneruskan cita-cita politik Masyumi. Jadi saya berkesimpulan, setiap gagasan pembaharuan yang masih berada pada tahap permulaan, tetap akan mengalami penolakan yang kuat dari kalangan mainstream. Tetapi, melalui proses dialog yang rutin dan proses pemahaman yang berkelanjutan, lama-lama ia akan dapat diserap publik.

JIL: Anda mengandaikan media punya peran besar dalam mengusung jengkal per jengkal tahap kesadaran intelektual sebuah masyarakat?

Ya, betul. Media memainkan peranan penting, lebih-lebih pada masa di saat teknologi multimedia sudah begitu canggih sekarang ini. Dulu, polemik keagamaan yang menggunakan instrumen media baru tampil lewat versi cetak atau buku. Tapi sekarang, semuanya bisa tampil lewat berbagai bentuk. Kini, Anda bisa berpolemik lewat milis, internet, radio, TV, koran, dan seterusnya. Dan itu juga memberi warna tersendiri dalam bentuk polemik antar kelompok moderat dengan kalangan konservatif.

Saya menangkap adanya nuansa polemik yang berbeda antara kini—ketika teknologi seperti email, milis, dan lain-lain sudah berkembang—dengan masa sebelumnya. Kini, konsolidasi gagasan dan aspirasi masing-masing kelompok lebih kuat dan terorganisir. Proses pematangan, pengayaan, dan konsolidasi gagasan menjadi lebih intensif, karena tingkat komunikasi juga lebih intensif. Tapi di sisi lain, itu juga membuat pola interaksi antarkelompok sekarang ini lebih reaktif.

JIL: Apakah dengan begitu proses penyebaran gagasan lewat media-media yang tidak resmi seperti kelompok pengajian, perkumpulan majlis taklim, dan lain sebagainya, masih relevan?

Itu juga catatan yang sangat menarik. Perlu diingat, pangsa pembeli media atau buku dalam masarakat kita, sebenarnya datang dari kalangan yang sudah mapan. Harga buku kita tergolong mahal, dan karena itu yang bisa membeli relatif terbatas. Karena itu, peran media-media yang tidak resmi itu juga sangat penting. Namun itu tidak berarti para penyebar gagasan-gagasan pembaharuan yang serapan pasaranya rendah itu, perlu buru-buru pesimis. Sebab, lemahnya pangsa pasar seperti itu tidak selalu berarti masyarakat sedang tidak berminat pada gagasan Islam pro-pembaruan, karena bisa jadi mereka hanya tak mampu membeli buku saja.

Karena itu, gagasan-gagasan pembaruan, bisa juga disebarkan melalui perantara, yaitu komunikasi tokoh-tokoh lokal yang punya jemaah, seperti mereka yang biasa berceramah, berkhotbah, dan seterusnya. Saya pernah punya pengalaman wawancara dengan sejumlah Kyai di Cirebon dan Situbondo di awal 1990-an. Di situ saya menyaksikan betapa pahamnya mereka dengan gagasan-gagasan Gus Dur. Itu juga karena mereka punya kemampuan untuk membeli buku-buku Gus Dur atau media-media yang mengangkat tema-tema pembaruan Islam seperti yang dimuat di Jurnal Prisma saat itu.

Nah, gagasan-gagasan itu kemudian, dengan cara mereka sendiri, disampaikan pada komunitas masing-masing. Gagasan tidak masalahnya negara dipimpin oleh perempuan; partai Islam bukan bagian dari Islam, dan karena itu kita tidak berdosa kalau tidak berpartai Islam, sudah mereka ketahui juga. Jadi kalangan akar rumput bisa menyerap gagasan-gagasan pembaruan, meski mereka tidak membeli buku atau media cetak lainnya, tetapi lewat perantara-perantara.

JIL: Tapi sekarang tampaknya proses radikalisasi yang berlangsung lebih intensif lewat pemberitaan dan opini yang dikembangkan media-media tertentu?

Ya. Saya kira yang paling menentukan naik turunnya penerimaan dan pasar media adalah mainstream ataukarakter arus utama masyarakat kita. Saya adalah pembaca setia media-media non-liberal dan non-fundamentalis. Di situ saya mencermati, pada isu-isu tertentu, keduanya bisa berjalan seiring dengan arus pemikiran Islam pembaharuan, seperti isu sekularisasi politik atau posisi Islam dalam negara. Namun pada isu-isu lain yang lebih spesifik, seperti soal perkawinan beda agama, pasar media cenderung sejalan dengan kelompok yang lebih literalis dan puritan.

Namun demikian, selera keberagamaan arus utama masyarakat Indonesia tetaplah dinamis dan tidak linier. Artinya, kalau saat ini mereka menyetujui RUU Pornografi, itu tidak berarti mereka juga akan setuju konsep khilafah. Jadi, masyarakat bisa setuju soal pornografi diatur sedetil-detilnya, tapi pada isu-isu lain seperti posisi Islam dan negara, mereka berbeda pendapat. Jadi itu dua hal yang berbeda.

JIL: Jadi masyarakat juga sangat kritis dan tidak gampang dapat digiring ke opini tertentu?

Betul. Apalagi sekarang referensi orang dalam bermedeia sudah beragam sekali. Mereka tidak hanya membaca satu majalah dan koran, tapi lewat internet, mereka bisa baca apa saja. Apalagi, pasar buku saat ini juga begitu bebas. Jadi sebenarnya, baik media kelompok moderat ataupun kelompok ekstrem, asalkan bisa bernegosiasi dengan selera mainstream, akan dapat diterima secara luas. Kita ingat, gagasan pembaruan hubungan negara dan agama yang pada awal tahun 1970-an ditentang dan dimulai dari kelompok pinggiran, dengan pola sosialisasi yang khas, kini sudah bisa diterima mainstream.

JIL: Bagaimana posisi media yang punya perhatian terhadap isu agama dan budaya lokal, Bung?

Apresiasi terhadap kultur lokal oleh sebuah media, saya kira juga bagian yang dekat dengan selera arus utama masyarakat. Jadi media yang memberi apresiasi terhadap kultur lokal, budaya setempat, dan seterusnya, cenderung akan diterima di tengah masyarakat. Karena itu, sekarang banyak sekali bermunculan media-media komunitas. Grup Jawa Pos yang membikin lini-lini lokal, saya kira juga dalam rangka memberi perhatian terhadap kultur lokal, budaya setempat, dan dinamika yang dekat dengan pembacanya. Saya kira ini juga salah satu pilihan isu media yang bisa ditempuh di tengah kompetisi bermedia saat ini.

JIL: Bagaimana dengan media-media Islam radikal yang hadir dengan pemberitaan yang cenderung vulgar, karena menganggap media-media mainstream tidak memberitakan fakta apa adanya?

Bisa jadi anggapan itu benar. Media yang lebih detil dalam memaparkan fakta biasanya datang dari komunitas yang lebih kecil. Ada beberapa faktor kenapa mereka misalnya lebih vulgar dalam memberitakan konflik. Pertama, mereka belum puas dengan sumber-sumber berita mainstream yang telah menyajikan sebuah kasus. Kedua, itu juga bagian dari strategi kompetisi dalam bermedia. Rumusnya, agar bisa masuk pasar, Anda harus bisa ungggul dan tampil beda.

Tapi yang menarik juga di pentas permediaan Islam di Indonesia di tahun 2000-an, adalah hadirnya majalah seperti Hidayah yang lebih bersifat mistis. Mereka masuk ke dalam polemik lain yang bukan isu politik Islam, tapi fokus dalam menampilkan pandangan-pandangan mistis keagamaan, lengkap dengan sanksi yang kontan. Misalnya, sanksi duniawi ketika kita mamakan harta anak yatim, dan isu-isu lainnya. Tapi saya menduga, tema-tema seperti itu juga akan menemui titik jenuh. Sebab, media-media seperti itu juga akan mengalami pasang-surut dinamika penerimaan pasar dan publik.

Karena itu, saya melihat semua itu sebagai kebutuhan yang bersifat tentatif, bukan permanen. Ada suatu masa ketika beban keseharian begitu kuat, tingkat tekanan hidup sangat tinggi, dan tantangan begitu ketat, maka cara-cara pelarian ke alam sana bisa menjadi instrumen untuk relaksasi dan sedikit refreshing. Tetapi minat pada sajian keislaman bercorak mistik, saya kira juga tidak akan berlangsung lama. Sinetron-sinetron bercorak mistis kini ratingnya juga sudah mulai menurun.

Dari situ kita tahu perbedaan antara Hidayah versi majalah dengan versi sinetron yang ditayangkan di televisi. Yang versi majalah, nuansa mistisnya sebenarnya tidak terlalu kuat, sementara di sinetron agak kuat. Perbedaan itu berdampak pada tingkat penerimaan publik. Pada versi majalah, Hidayah masih menampilkan tema-tema yang mengungkapkan dampak langsung dari proses keberagamaan kita: kalau Anda pelit, Anda akan mati sengsara; kalau toleran dan dermawan, Anda akan mati bahagia. Kalau masih sebatas itu, orang masih merasa ingin tahu. Tapi begitu ada dramatisasi dan mistifikasi berlebihan, orang jadi resisten. Terbukti, sekarang tayangan-tayangan hikmah di TV sudah mulai bergeser dari yang mistis ke yang natural dan lebih halus.

JIL: Kalau begitu, memang ada ruang kosong di segmen media massa Islam yang saat ini masih terabai?

Saya kira, pembaca atau pendengar media butuh akan spiritualitas yang disajikan dengan cara-cara yang elegan, bukan dengan cara-cara mistis atau provokasi yang keras. Itu yang saya lihat ketika menguatnya kajian-kajian spiritualisme yang disajikan dengan cara-cara ilmiah di awal tahun 2000-an. Di situ, ada interaksi yang positif antara isu-isu media dengan kebutuhan pembaca atau pendengarnya. Kebutuhan publik akan spiritualitas seakan-akan kini meningkat, karena makin meluasnya kehampaan spiritual di tengah masyarakat. Gayung bersambut tatkala ada sajian-sajian yang elegan tentang spiritualitas dari para agamawan.

Saya kira pola-pola semacam itu harus terus dikembangkan. Karena itu, media-media pengusung Islam moderat pun harus membaca kebutuhan pasar dan memenuhinya dengan pola-pola tertentu, terutama dengan citarasa Islam moderat yang menghargai pluralisme, perbedaan, dan seterusnya.

JIL: Bagaimana prospek media-media Islam radikal dalam merebut ceruk pasar dan menentukan corak keberagamaan masyarakat kita?

Saya kira, dia hanya akan berdampak pada komunitas kecil yang memang sudah menjadi pasarnya. Dan sebetulnya, komunitas kecil itu relatif sudah susah menerima pandangan-pandangan baru. Tapi kadang-kadang kita terkecoh juga, karena seolah-olah dampaknya sudah luar biasa, hanya karena suara mereka begitu lantang. Itulah yang kemudian dicover oleh sejumlah media, sehingga iklim kebencian seakan-akan sudah merebak ke mana-mana. Pada titik ini, media seharusnya melakukan pemotretan yang seimbang tentang wajah masyarakat kita.

Saya sampai kini masih yakin, para pembaca yang disajikan corak keagamaan yang bernuansa kebencian, suatu saat akan jenuh dengan sendirinya. Sebab, karakter masyarakat kita sebenarnya memang seperti orang Melayu yang tidak suka ekstremitas. Karena itu, media-media yang menjual ekstremitas dan kebencian, juga tidak akan berusia lama.

JIL: Apa yang perlu dilakukan media untuk merekontruksi citra Islam Indonesia yang kini terkesan keras?

Media pengusung gagasan Islam moderat saya kira perlu tampil lebih interaktif. Artinya, di satu sisi dia membawa misi atau gagasan-gagasan Islam moderat, tapi di sisi lain juga membaca kebutuhan audiens. Jadi tidak monolog. Anda dapat memberi sekaligus membaca apa yang mereka butuh. Itulah yang secara simultan perlu diberikan atau disajikan.

Misalnya, saat ini Anda menyajikan polemik tentang RUU Pornografi, tapi pada edisi mendatang menyajikan bagaimana salat tahajud dapat membantu relaksasi di tengah tingkat stress yang tinggi. Dengan kombinasi sajian semacam itu, saya kira gagasan-gagasan Islam moderat akan lebih mudah diterima. Gagasan-gagasan yang ditampilkan secara lebih konfrontatif akan lebih mudah mengalami resistensi. Masyarakat kita sudah cerdas, dan karena itu mereka perlu diberi banyak pilihan.

JIL: Ngomong-ngomong, ketika media tempat Anda bekerja (Gatra) meliput isu-isu keislaman, apa yang diinginkan dari pembaca?

Tema keagamaan yang sering kita angkat adalah tema-tema polemik. Pada tema-tema yang bersifat polemis itu, kita hanya ingin menyadarkan masyarakat bahwa perdebatan pandangan dan sikap merupakan hal yang wajar dalam sejarah pemikiran Islam. Karena itu, silakan Anda beragumen, toh publiklah yang nantinya menilai. Dan yang lebih penting, jangan sampai perdebatan itu selalu ditindaklanjuti dengan otot, batu, dan seterusnya. []

09/07/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq