Membongkar Ideologi Arabisme dalam Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
29/07/2005

Diskusi Bulanan JIL Membongkar Ideologi Arabisme dalam Islam

Oleh Umdah El-Baroroh

Kecenderungan Arabisme sekarang ini telah masuk dalam regulasi Undang-Undang. Kecenderungan ini menurutnya bukan saja akan mereduksi Islam menjadi hanya berwajah Arab, tapi juga akan menutup kemungkinan untuk mengakomodir masuknya budaya-budaya lain dalam pemahaman agama.

“Sangat susah untuk memisahkan Islam dari Arabisme. Karena Islam lahir dan besar di Arab.”Ungkap Abdul Moqsith Ghazali, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) mengawali pembicaraannya dalam kesempatan diskusi bulanan JIL 28 Juni lalu. Perkembangan Islam pertama kali dimulai dari lokal masyarakat Arab. Sehingga pengaruh budaya Arab terhadap Islam sangat kentara sekali. Dalam teks Alquran banyak sekali kita jumpai khitab yang secara langsung ditujukan pada orang Arab. Bahkan 50% dari kandungan Alquran, menurut Moqsith menggambarkan lokal Arab.

Namun demikian pengaruh itu bagi Moqsith bukan berarti Islam meniru dan menjiplak apa adanya. Tetapi sebaliknya Islam nampak bermaksud memperbaiki dan memodifikasi budaya tersebut. Hal itu bisa dilihat dari beberapa praktek ibadah yang diakomodir Islam dari budaya Arab. Misalnya thawaf, tradisi jahiliyah mempraktekkannya dengan kondisi telanjang bulat sebagai pertanda ketulusan dan keterusterangan. Dalam Islam hal itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga nampak lebih religius. Akan tetapi upaya koreksi dan kritisisme Islam terhadap budaya Arab, menurut Moqsith, dalam beberapa hal terjebak pada ambiguitas. Ia mencontohkan pada kasus poligami. Praktek poligami yang berkembang di Arab sebelum Islam secara tekstual diakomodir dalam Alquran. Padahal secara fundamental tujuan perkawinan dalam Alquran sendiri adalah monogami. Hal ini menampkkan adanya semacam dualitas, yang oleh beberapa penafsir modern itu dipahami sebagai proses gradasi penerapan hukum. Namun hal itu menjebak Islam pada pembenaran praktek poligami.

Pengaruh Arabisme terhadap Islam muncul ketika terjadi proses sofistikasi Alquran di tangan penafsir. Di samping itu dalam beberapa praktek ritual ibadah juga nampak ada upaya pembingkaian dengan nuansa Arab. Kasus tentang pro kontra shalat, adzan, atau khutbah menggunakan bahasa non Arab tampak sekali menggambarkan dominasi kultur Arab.

Selain Abdul Moqsith Ghazali, diskusi yang digelar di kawasan Teater Utan Kayu itu sedianya juga menghadirkan Yusuf Rahman, dosen pasca sarjana UIN Jakarta. Tetapi karena ketidaksiapan Rahman, maka ia absen dari diskusi itu dan digantikan oleh Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU sekaligus juga Koordinator JIL. Ulil pada kesempatan tersebut mensinyalir bahwa perdebatan tentang pemisahan Islam dari pengaruh Arabisme, secara tak disadari sebenarnya telah berlangsung sejak permulaan abad kedua hijriah, atau bahkan akhir abad pertama hijriah. Perdebatan tentang apakah seorang pemimpin harus dari suku Quraisy atau tidak mengingatkan Ulil pada kuatnya syahwat klan Arab untuk mengatur dan memengaruhi penafsiran yang bernuansa Arab.

Imam Syafi’i, salah seorang imam madzhab yang menjadi kiblat mayoritas umat Islam Indonesia, disebut oleh Ulil dan Moqsith sebagai salah seorang yang ikut andil dalam melakukan Arabisasi pada ajaran Islam. Hal ini terbukti dari upaya Syafi’i untuk menjadikan Arab sebagai standar dalam mengatur kehidupan umat. Contoh kecil yang cukup remeh, misalnya, ditunjukkan oleh Moqsith dalam hal menetapkan halal-haram makanan. Bagi mereka (syafi’iyah) makanan yang halal adalah makanan yang dianggap baik oleh orang Arab. Sebaliknya makanan yang tidak baik bagi orang Arab maka dianggap haram. Praktek Arabisasi Islam ini bukan hanya menjadi sebuah wacana, tapi juga telah direproduksi melalui teks-teks yang ditulis oleh ulama abad pertengahan. Parahnya hal ini diterima oleh umat Islam apa adanya, tanpa dilihat secara kritis. Bahkan kecenderungan ini banyak mewarnai praktek beragama umat Islam sekarang. Inilah yang menjadi keprihatinan kedua pembicara tersebut.

Urgensi pemisahan pengaruh budaya Arab terhadap Islam, menurut Ulil, disebabkan adanya kecenderungan untuk mencampuradukkan antara ajaran agama dengan budaya. Sehingga ajaran-ajaran yang sifatnya partikular telah mengalami proses universalisasi yang luar biasa. Bahkan tidak jarang hal-hal yang merupakan fakta alamiah atau sosiologis telah dinaikkan menjadi fakta agama. Ulil mencontohkan tentang praktek qailulah atau kebiasaan tidur siang Nabi menjelang dzuhur. Praktek tidur seperti itu sering dipahami sebagai ajaran agama. “Padahal jika ditelusuri kebiasaan seperti itu lebih dipengaruhi oleh unsur geografis Arab yang cuacanya panas”, papar Ulil. Sehingga pada siang hari orang harus beristirahat dari aktifitasnya yang melelahkan. Kebiasaan demikian itu oleh masyarakat non Arab diimport sebagai bagian dari ajaran agama yang harus diikuti dan diteladani. “Bukan hanya sebatas itu”, lanjut Ulil. Banyak sekali unsur-unsur budaya Arab lain yang dipahami sebagai ajaran agama, seperti memanjangkan jenggot, menggunakan jubah, surban, penutup kepala, bahkan juga jilbab.

Kekhawatiran lain diutarakan oleh Moqsith. Menurutnya, kecenderungan Arabisme sekarang ini telah masuk dalam regulasi Undang-Undang. Kecenderungan ini menurutnya bukan saja akan mereduksi Islam menjadi hanya berwajah Arab, tapi juga akan menutup kemungkinan untuk mengakomodir masuknya budaya-budaya lain dalam pemahaman agama. “Oleh karena itu pemisahan Islam dari Arabisme harus segera dilakukan”, ucap Moqsith dengan tegas.

Meskipun Arabisme harus dipisahkan dari Islam, tapi bagi Ulil budaya dan peradaban Arab tetap harus diapresiasi. Menurutnya ada dua wajah Arab, pertama adalah Arab yang tertutup dan membenci budaya selain Arab serta menganggapnya rendah. Inilah yang ia sebut sebagai Arab xenophobic. Kedua, adalah Arab sebagai sebuah peradaban yang terbuka dan tidak membenci unsur lain di luar Arab. Sebagai orang yang lama mengenyam pendidikan di bangku pesantren, Ulil sangat tertarik dengan bahasa Arab. Menurutnya bahasa Arab saat ini adalah satu-satunya bahasa kuno yang mampu bertahan dan hidup. Bukan hanya itu, bahasa Arab juga mampu berkembang cukup pesat, tapi tetap tidak menyimpang jauh dari akarnya. Hal ini bisa dilihat dari bahasa Alquran dan bahasa Arab dalam literatur klasik yang masih tetap bisa dipahami oleh masyarakat modern. “Bahasa Arab juga mengandung kelenturan luar biasa”, papar Ulil dengan nada takjub. Oleh karena itu pemisahan Islam dari Arabisme, bagi Ulil hanya dilakukan terhadap Arab yang xenophobic.

“Apa yang tersisa dalam Islam bila harus dilucuti dari pengaruh Arabisme?” Pertanyaan yang dimunculkan oleh salah seorang pengunjung ini menyentak kesadaran seluruh peserta diskusi. “Tak ada yang harus dikhawatirkan dengan Islam ketika dipisahkan dari Arabisme”, tandas Ulil dalam menjawab pertanyaan tersebut. “Karena ketika Islam turun di Arab sebenarnya ia telah mengalami embodiment (pembadanan, pegejawantahan-pen) dengan budaya Arab. Ini terlihat dari bahasa, ekspresi, dan foklor yang digunakan. Oleh karenanya ketika Islam dibawa ke luar Arab, mutlak harus dilakukan reembodiment kembali. Dan menolak reembodiment dapat mengakibatkan keringnya spiritualitas dalam agama”, tegas Ulil mengakhiri pembicaraannya. []

29/07/2005 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

pemisahan bahasa dan budaya arab dari Islam, merupakan upaya pelucutan islam sebagai sebuah agama. esensi bahasa dan budaya Arab dalam Islam tak bisa dipisahkan karena bahasa dan budaya arab merupakan jejak untuk memahami ajaran Islam.

Posted by kokoylareangon  on  08/21  at  04:55 PM

Kapan bisa diundang untuk diskusi tentang kontekstualisasi agama-gama di Indonesia
-----

Posted by Jappy  on  09/13  at  11:09 PM

Di dalam Pancasila juga terdapat ideologi kapitalisme dan liberalime; kita easy going aja tuch. Jadi kenapa harus dibesar-besarkan?! Mestinya Bu Umdah ini mencari dahulu dasar bukti yang konkret mengenai hal ini, baru materinya dilempar ke forum diskusi.

Posted by Hamonangan A  on  02/25  at  02:02 AM

Saya sependapat bila dikatakan bahwa sejauh ini upaya Arabisasi di Indonesia semakin menggila. Segala hal yang terkait dengan Islam senantiasa dirujuk ke tradisi atau kondisi Arab. Baik dari urusan agama maupun sosial, dari cara berpakaian, cara makan hingga pilihan jenis makanan.  Kan lucu kalo makan nasi, harus dengan dua jari.

Belum lagi kalo terkait dengan urusan keagamaan. Dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, haruskah kita menunggu fatwa dari Arab sana? Syukur kalo pemberi fatwa pernah berkunjung ke Indonesia. Kalo tidak, kan jadinya lucu. Bisa-bisa fatwanya hanya berlaku bila kita di tengah padang pasir. Masalah lain muncul bila fatwa itu dianggap final, sehingga otoritasnya melebihi daripada sekian banyak ayat al-Quran yang nota bene harus didahulukan.

Posted by Wara Pribadi  on  08/14  at  07:09 PM

Saya pikir memang sia-sia saja bila kita mencari islam yang sejati dan hakiki dalam arti sebagaimana Allah memaksudkannya. Agama -dalam hal ini Islam- selalu muncul dan berkembang di dalam masyarakat dan lingkungan sosial tertentu. Agama sebagai cara Allah mewahyukan diri, hanya mungkin dipahami dengan sarana-sarana manusiawi yang dipahami manusia, misalnya bahasa dll. Agama tidak mungkin dan tidak pernah lahir di ruang hampa atau di bulan. Implikasinya, buat saya, yang ada hanyalah Islam (versi) Arab, Melayu, Afrika, Cina, dll. Tapi, arabisasi Islam memang sangat merisaukan. Kesan saya, di sini, apa-apa yang berbau dengan Arab kerap diidealisasikan dan diromantisir. Itu sebabnya, kekerasan terhadap TKI di Timur Tengah misalnya, jarang diekspos seperti halnya di negri-negeri lain.

Posted by iwan karnos  on  07/29  at  08:07 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq