Mendamaikan Filsafat dan Syariat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
25/10/2005

Tadarus Ramadan JIL Seri II Mendamaikan Filsafat dan Syariat

Oleh Umdah El-Baroroh

Pengetahuan yang dicapai lewat pembuktian demonstratif, bagi Ibnu Rushd tidak akan keluar dari dua kemungkinan: sudah dibicarakan oleh syari’at atau belum. Jika syari’at belum membicarakannya, maka kita akan bebas menentukan dan tidak ada persoalan lagi. Tapi ketika syari’at sudah bicara, maka ada lagi dua kemungkinan: sesuai atau tidak sesuai dengan pembuktian demonstratif. Kalau sudah sesuai maka tidak ada lagi masalah. Bila tidak sesuai, maka harus dicari jalan keluarnya, yaitu melalui takwil

Pertanyaan mengenai hubungan filsafat dan syariat adalah pertanyaan abadi yang selalu muncul di setiap zaman dan tak pernah kunjung tuntas. Pada pertengahan Abad IV Hijriah hubungan filsafat dan syari’at telah mengemuka di publik yang dilontarkan oleh Ikhwan al-Shafa. Pada masa al-Kindi persoalan tersebut pun menjadi isu besar yang ramai diperbincangkan. Tetapi perdebatan antara kedua kubu ilmu pengetahuan itu mencapai puncaknya melalui karya Al-Ghazali, Fayshal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah dan Tahafut al-Falasifah. Dalam penilaian Al-Ghazali, keduanya bagai minyak dan air yang mustahil bertemu. Benarkan demikian? “Tidak!” Demikian jawaban lantang Ibn Rushd dalam bukunya: Fashl al-Maqal wa Taqrir Fima Bayn al-Hikmati wa al-Syari’ati min al-Ittishal. Dalam penutup risalah ini, Ibnu Rushd menggambarkan hubungan keduanya sebagai sahabat dan saudara sesusuan. Dalam bahasanya yang sangat indah ia mengatakan “Inna al-hikmah hiya shahibatu al-syari’ah wa al-ukht al-radhi’ah”

Isu klasik itu diangkat kembali oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) lewat diskusi Ramadlan, 12/10 yang lalu. Hadir sebagai pembicara Syafiq Hasyim, Deputi Direktur ICIP (International Centre for Islam and Pluralism) dan Novriantoni Kahar, alumnus Fakultas Akidah Filsafat Universitas Al Azhar Kairo dan aktivis Jaringan Islam Liberal. Keduanya mencoba membedah pokok-pokok pemikiran Ibnu Rushd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Fima Bayn al-Hikmati wa al-Syari’ati min al-Ittishal.

Kitab tersebut konon merupakan inti pemikiran teologis dan filosofis, atau bahkan juga pandangan syari’at Ibnu Rushd. Novri menyebut buku tersebut sebagai manifesto pendek tentang filsafat dan syari’at Ibnu Rushd. “Sayangnya, ia hadir dalam senja kala runtuhnya peradaban Islam”, tambah aktivis JIL itu lebih lanjut.

Filsafat dan syari’at menurut Ibnu Rushd, sebagaimana dikutip oleh Novriantoni, didasarkan pada rasionalisme realistis yang memungkinkan terlindunginya jati diri dan kemerdekaan kedua bidang itu. Selain itu juga berdasarkan pada prinsip ketunggalan kebenaran (wihdah al-haqiqah). Artinya bahwa hakikat kebenaran hanya satu, namun termanifestasi dalam wujud yang beragam. “Kedua bidang ilmu ini, filsafat dan syari’at, sebenarnya bersama-sama dalam mencari atau menuju pada hakikat kebenaran yang tunggal. Di sinilah keduanya bertemu”, jelas Novri.

Sebelumnya, filsafat dipersepsikan lebih rendah dari syari’at atau bahkan bukan dianggap sebagai salah satu bidang dalam kajian agama. Sehingga keberadaannya sangat diabaikan. Padahal bagi Ibnu Rushd, filsafat tak lain adalah sebuah bentuk pengamatan atas segala makhluk yang ada secara seksama, untuk mengetahui sang pencipta.” (Ibnu Rushd, 1995: 27).

Buku setebal seratusan halaman itu, menurut alumnus Universitas Leiden, Syafiq Hasyim, merupakan risalah pendek Ibnu Rushd. Sepeninggal penulisnya, risalah itu diketemukan dalam bentuk manuskrip oleh Marcus J. Muller di perpustakaan Madrid, Spanyol. Selain penemu, Muller juga merupakan muhaqqiq (filolog) atas karya tersebut. “Hasil tahqiq ini selama kurun waktu 1859-1959, menjadi landasan penerbitan oleh banyak penerbit di Timut Tengah”, papar aktivis jender dan pluralisme itu.

Risalah pendek ini terdiri dari dua topik besar, yaitu topik mengenai pembahasan syari’at dan hikmah, serta hukum takwil, ditambah satu topik tambahan, yakni tentang metode konseptualisasi dan penghukuman dalam syariah.

Dalam risalah tersebut Ibnu Rushd tampak menekankan sekali penggunaan qiyas (silogisme) dalam melihat mawjudat. Inilah metode burhani (demonstratif) yang sangat diagungkan oleh Ibnu Rushd. Bahkan dianggapnya sebagai metode tertinggi dalam agama dan ilmu pengetahuan. “Pengetahuan yang dicapai lewat pembuktian demonstratif, bagi Ibnu Rushd tidak akan keluar dari dua kemungkinan: sudah dibicarakan oleh syari’at atau belum. Jika syari’at belum membicarakannya, maka kita akan bebas menentukan dan tidak ada persoalan lagi. Tapi ketika syari’at sudah bicara, maka ada lagi dua kemungkinan: sesuai atau tidak sesuai dengan pembuktian demonstratif. Kalau sudah sesuai maka tidak ada lagi masalah. Bila tidak sesuai, maka harus dicari jalan keluarnya, yaitu melalui takwil”, jelas Novri. ‘Kefanatikan Ibnu Rushd dalam menggunakan silogisme ini secara konsisten juga diterapkan dalam menulis risalah ini”, papar Syafiq.

“Takwil yang dimaksud oleh Ibnu Rushd adalah mengeluarkan makna dari dilalah al-haqiqah (makna yang sejati) kepada dilalah majaziyah (makna yang metaforis) tanpa melanggar tradisi lisan orang Arab”, jelas Syafiq.

Alih-alih membincang rasionalitas Ibnu Rushd, definisi takwil di atas dinilai oleh lulusan Leiden University ini sebagai wajah konservatisme dan ekslusivisme Ibnu Rushd. “Karena Ibnu Rushd masih mensyaratkan takwil dengan menggunakan logika Arab.” “Padahal logika arabisme yang begitu dominan dalam penafsiran teks itu sekarang telah banyak menuai kritik dari penafsir modern.”

“Kritik Syafiq di atas sama persis dengan kritik Hasan Hanafi terhadap Ibnu Rushd dalam ‘al-Isytibâh fi Fikr Ibnu Rushd”, tandas Novri. “Sepertinya ada ambiguitas dalam pemikiran Ibnu Rushd.” “Di satu sisi tampak rasional, tapi di sisi lain menyimpan konservatisme.” Tapi kritik ini ditepis oleh Atif al-Iraqi dalam “Al-Ittijah al-Aqli fi Falsafah Ibnu Rushd”, tambah pria jebolan Al-Azhar, Kairo. “Menurut Atif Iraqi, Ibnu Rushd justru seorang rasionalis sejati.” Pandangan serupa juga dilontarkan oleh budayawan senior, Gunawan Mohamad, yang hadir dalam diskusi tersebut. Menurutnya, menilai konservatisme Ibnu Rushd hanya karena keteguhannya menggunakan kaedah bahasa Arab dalam takwil adalah terburu-buru. Karena kita sampai saat ini belum menelusuri pandangan kebahasaan Ibnu Rushd. “Jangan-jangan pandangan bahasa Arab dia juga rasional?”, tanya penulis Catatan Pinggir itu kritis. 

Meski pemikiran Ibnu Rushd dinilai tampak ambigu atau tidak relevan, tapi bagi aktivis JIL ini Ibnu Rushd mempunyai sumbangan penting dan sangat relevan untuk konteks sekarang. Yaitu pemikirannya tentang ketidakmungkinan terjadinya konsensus untuk soal-soal agama yang bersifat teoritis, sebagaimana yang terjadi pada soal-soal praktis. Prinsip ini disebut oleh Novri sebagai prinsip ketidakmungkinan keonsensus pada soal-soal teoritis. “Hal ini pula yang sebenarnya telah dilakukan Ulil ketika mengkritik fatwa MUI yang mengharamkan soal-soal teoritis seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Ulil seakan-akan sedang menggemakan kembali kritik Ibnu Rushd terhadap Al Ghazali”, tegasnya.[]

Untuk membaca makalah lengkap Tadarus Ramadan ini, silakan download dan buka file di bawah ini:
Tadarus_Ramadan_Ibnu_Rusyd_II_Novri.pdf (Format Adobe PDF, 158KB)

25/10/2005 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq