Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
21/08/2003

Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas

Oleh Mashuri

Maraknya sastra religius belakangan ini memang menggembirakan. Hanya saja, ada sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan terkait dengan mutu atau kualitas sastra religius itu. Sebab, bagaimanapun sastra itu bermain dalam wilayah estetika.

Perkembangan sastra religius memang marak akhir-akhir ini.
Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan terkait dengan kualitas estetika dan
pemahaman pada masalah religiusitasnya. Mengapa demikian? Dalam konteks sastra
religius, pandangan umum menangkap bahwa yang dinamakan sastra religius adalah
sastra atau karya sastra yang mengusung lambang-lambang agama, baik itu Islam,
Kristen dan lainnya. Dengan begitu, penyebutan beberapa metafor dalam karya itu
mengacu pada kekhasan dari sebuah agama. Tak heran bila posisi sastra religius
selalu mengacu pada agama formal. Hanya saja, konsepsi umum itu mendaptkan
penyangkalan yang cukup signifikan dari beberapa teks sastra yang memiliki
kandungan religiusitas tinggi.

Salah satunya dari Jalaludin Rumi, seorang sufi dan penyair Persia terkemuka. Salah satu puisinya yang
dikenal dalam hal ini adalah:

Jangan tanya apa agamaku

bukan Yahudi

bukan Zoroaster

bukan pula Islam


Karena aku tahu

begitu suatu nama kusebut

begitu Anda memberikan arti yang

lain

daripada makna yang hidup di hatiku

Abu Mansur Al Hallaj (tokoh sufi dikenal dengan ungkapan
ektasenya: Anal Haq), juga pernah menulis gagasannya tentang religiusitas dan
agama: Aku telah renungkan agama-agama, yang membuatku berusaha keras untuk
memahaminya. Dan aku baru sadar bahwa agama-agama itu, kaidah-kaidah unik,
dengan sejumlah cabang.

Di sisi lain yang bermain dalam konteks agama-agama formal
adalah yang terkait dengan dogma, sehingga kungkungan adanya konsep realisme
dogmatis atau idealis dogmatis begitu mewarnai konstruksi dan penyebutan sastra
religius itu. Dalam satu sisi, hal ini hampir sama dengan konsep realisme
sosial yang digagas dalam sastra-sastra marxis, terlebih komunis.

Poisisi ini tidak akan menemukan titik tertingginya, jika
acuannya memang benar-benar sangat formalis, karena selama ini religiusitas
dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan. Dalam satu sisi religiusitas
berbeda dengan sitem religi. Religiusitas tidak hanya berkutat pada masalah
ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiusitas lebih mengarah pada
kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilai-nilai dan asas
kemanusiaan.

Jadi posisinya tidak hanya transeden dalam arti teologi,
tetapi juga imanen. Dalam kerangka Islam, tendensi yang diemban bukan hanya
hubungan dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga fungsi sosialnya, hubungan
dengan sesamanya (hablum minan nas). Jadi posisi manusia juga diperhatikan, dan
yang menjadi acuan adalah faktor kemanusiaan yang luas, yang menjadi landasan
dari sebuah bangunan keagamaan. Dengan demikian, bangunan estetis yang
terkonstruksi dalam sastra religius tidak mengacu pada dogma yang bermain dalam
tataran hukum positivisme atau syariah.

Dalam masalah keindahan, Sayyed Husein Nasr mengungkap bahwa
dalam keindahan itu terdapat pengetahuan tertinggi dan kesucian, sehingga
seni-seni tradisional yang meliputi jiwa murni seharusnya memang dikembangkan,
sebab posisi kemanusiaan benar-benar terpelihara. Di sini, posisi agama tidak
lagi beban dalam upaya mengejawantahkan ekspresi dalam wilayah estetika dan
proses kreatif.

Kondisi ini akan berlaku, jika pemahaman agama tidak
terkungkung dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran
tunggal. Dalil-dalil yang mengacu pada pemahaman yang dangkal pada kebebasan
dan pembebasan ekspresi dalam seni memang harus ditafsir-ulangkan. Pembacaan
tidak lagi bersifat heuristik, tetapi hermeneutik, dengan mengacu tiadanya
prasangka dan proses penafsiran atau pembacaan itu merupakan bagian dari sejarah
itu sendiri, seperti ide hermeneutika yang pernah digagas Gadamer.

Dengan landasan kemanusiaan, pembacaan terhadap realitas
keagamaan itu bisa pula menggunakan strategi dekonstruksi Derrida, dengan
paradigma bahwa sebuah teks itu tidak utuh. Ia memiliki celah dan jarak
pemaknaan. Bisa pula dengan discourse Foucault dengan melihat asal pengetahuan
dan konteks terjadinya teks. Umpamanya, jika agama formal melarang menvisualkan
manusia, maka posisi seni tidak lagi terlarang menvisualkan manusia, dengan mempertimbangkan
kembali bahwa manusia tidak lagi manifestasi dari ‘Tuhan’. Ada jarak pemaknaan dan rentang waktu dan bergesernya
penafsiran. Di sisi lain, religiusitas dikembalikan pada posisi asali, tidak
lagi apriori pada ‘the other’ atau manusia lain di luar keyakinan sendiri.

Hal itu karena dengan merujuk pada sifat Islam yang rahmatan
lil ‘alamin
, yang tidak lagi memberikan previliese dengan mengedepankan
binary oposotion dalam pemihakan kebenaran atau memberi keistimewaan pada
pihak-pihak tertentu, maka konsepsi religiusitas itu tidak hanya membentur
dinding konsep status quo. Sebab, ambiguitas pada realitas bisa memberikan
nilai tambah bahwa seni, sastra dan budaya bisa menelusup dalam bayang Tuhan
dalam memahami realitas kemanusiaan. Ia, seni dan sastra religius, bisa jadi
tidak sekedar pengejawantahan nilai-nilai agama. Religiusitas menjelma ruh atau
nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme.

Mungkin yang perlu dikedepankan di sini, bahwa proses
penciptaan karya-karya religius tidak harus terjebak pada dogma agama. Ia
bersifat bebas dan merupakan proses pembebasan juga. Bisa menggunakan
lambang-lambang agama formal sebagai bahan, hanya saja ada pertanggung jawaban
estetik. Dalam hal ini, bisa berupa sebagai pengangkatan pada celah dan sisi
yang perlu diperbaiki dari agama itu, yang mungkin lebih menekankan pada
aturan-aturan rutinitas dan tidak sampai pada penghayatan yang menyusup hingga
tulang sumsum, dengan sentral masih berkutat dan berpihak pada sisi
kemanusiaannya.

Erich From dalam To Have or To Be pernah menegaskan,
religiustitas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai
kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubungan dengan
Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang
memberikan pada individu suatu kerangka oroentasi dan suatu objek kebaktian.
Hal ini mengacu pula pada konsep agama yang membebaskan yang digagas Fromm
dalam Religion dan Psychoanalysis. Seperti juga yang ditulis Nietzsche dalam
Also Sprach Zarathustra: “Aku butuh Tuhan yang mengerti bagaimana menari”.

Dalam sastra Indonesia modern, sastra religius yang paling baik masih dipegang oleh cerpen AA
Navis dalam Robohnya Surau Kami. Dalam cerpen yang kental dengan tradisi Minang
yang memang ketat dalam masalah agama, cerpen itu sepenuhnya mengusung
nilai-nilai religiusitas yang tidak mempermasalahkan aspek religius dalam
penyebutan Tuhan dalam agama formal, tetapi lebih menekankan pada faktor
manusianya, dengan jalan menggugah keberadaan manusia itu sendiri dalam sistem
religi yang berkembang di sana. Bahkan, dalam satu sisi, cerpen ini
mempertanyakan nilai terdalam dari sistem religi itu, dengan memunculkan
nilai-nilai religiustitas yang perlu ditumbuhkembangkan. Bahkan, ‘surau’ bisa
pula dianggap sebagai penanda dari sebuah kebobrokan sistem yang hanya
mengedepankan sebuah tatanan formal dan mapan dari sebuah agama.

Tradisi Sastra Sufi

Dalam tradisi sastra klasik yang berkembang di Indonesia, karya-karya yang ada menyaran pada
sastra didaktis, sastra yang berpretensi pada masalah pengemban misi
pendidikan, tuntunan dan ajaran. Kenyataan itu bisa ditemui dalam tradisi Jawa
Klasik dan Melayu Klasik.

Mungkin hal itu bisa dimaklumi, karena dalam tradisi sastra
klasik Indonesia, sastra memang sebagai alat. Bahkan
ada yang lebih ektrem, dengan acuan yang terpenting adalah tujuan (ghayah) dari
pada jalan atau alat (washilah). Konsepsi antara ghayah dan washilah itu
menjadi tidak sehat dan mengganggu, ketika di antara keduanya ada yang
mendapatkan posisi istimewa. Perlu ditegaskan, ketika kondisi realitas sudah
hiperrealitas, maka pembongkaran pada dikotomi itu sebuah keharusan. Dengan
mengandaikan dalam ghayah terdapat inti dari washilah dan sebaliknya. Sebab
hasil akhir itu sangat dipengatuhi proses ‘menjadi’. Bahkan ‘proses’ itu
menjadi penentu. Dalam sastra. perdebatan antara bentuk dan isi ini memang
sudah selesai.

Berkaitan dengan masalah dualitas itu, akan sedikit
tertolong jika mengacu pada tradisi sastra sufi, terutama sastra sufi yang
berkembang di Timur Tengah. Dalam Manthiqut Thair karya Faridudin Athtar,
nuansa religiusitas masih sangat kental, dengan kandungan estetika yang
brilian. Bahkan, terkait masalah hubungan antara fisik dan batin, Athtar pernah
berkata:

Ketika jiwa disatukan dengan raga, maka ia pun bagian dari
keseluruhan itu: Belum pernah ada pesona yang mengagumkan seperti itu. Jiwa
punya peranan dalam apa yang rendah; terbentuklah paduan antara tanah liat yang
pekat dan ruh yang murni. Karena paduan ini, insan pun menjadi yang paling
mengagumkan dari segala rahasia.

Hal senada juga terdapat dalam rubai Omar Qayyam, Diwan Al
Hallaj, Masnawi Rumi, Mujanat Rabiah Adawiyah dan beberapa sastrawan sufi
lainnya. Seperti yang ditegaskan Ibn Arabi (tokoh sufi, pencetus paham wahdatul
wujud):

Hariku telah mampu untuk setiap
bentuk

dialah padang bagi seekor kijang

dan sebuah biara bagi Nasrani

Dialah pula bagi berhala dan Ka’bah
bagi berhaji

Dialah lembar dari Taurat dan Kitab
Quran yang suci

Ke mana pun onta-onta cinta itu
berangkat

Ke sana jualah agama dan imanku melekat

Lewat keindahan, realitas absolut yang menjadi tujuan
terwujud dan termanifestasikan. Jika acuannya pembebasan, pembebasan esoterik
itu dalam terlaksana. Dalam sastra sufi, tidak lagi dibedakan antara alat dan
tujuan. Posisi keduanya sama, tidak ada yang diperalat. Apalagi, para sufi itu
menyuarakannya dalam kondisi fana’ (ekstase ketuhanan).

Dalam puisi Barat modern yang menghadirkan lanskap spiritual
dan religiusitas juga cukup banyak. Diantanya, seperti penyair Welsh Dylan
Thomas. Berikut kutipan puisinya:

Terlalu bangga untuk mati, hancur
dan buta ia mati

jalan yang paling gelap, dan tak
bisa ditolak

orang lembut dan dingin berani dalam
kebanggan yang sempit

merasa tidak berdosa, ia takut pada
kematiannya

karena ia membenci tuhannya, tetapi
siapakah ia adalah biasa

Orang tua lagi ramah berani dalam
kebanggan yang menyala

Dalam tradisi sastra Jawa, bisa dilihat pada beberapa karya
klasik. Posisi estetika juga masih menjadi pertaruhan, kendatipun mendapat
muatan yang luar biasa. Konvensi macapat yang meliputi guru gatra, guru
wilangan dan guru lagu juga masih tertata. Hal itu ampak pada karya-karya
Yosodipuro I, Yosodipuro II, Ronggowarsito, Paku Buwana IV dan Mangkunegara IV.
Dalam karya-karya mereka, kendatipun unsur didaktik tentang religi dan
pengajaran juga kental, tetapi alur keindahan yang menjadi jiwa dari wailayah
estetika tetap dipertahankan dan menjadi acuan. Seperti yang tersirat dalam
Wedhatama:

Samengko ingsun tutur

sembah catur supaya lumuntur

Dhingin raga, cipta, jiwa, rasa,
kaki

ing kana lamun tinemu

Perlu ditekankan, dalam tradisi sastra sufi atau suluk dalam
tradisi Jawa, posisi formalitas agama memang diabaikan, seperti ide yang ada
pada puisi Rumi di awal tulisan ini, sebab dalam jenis sastra sufi memang
bermain dalam wilayah-wilayah ‘menembus batas’. Umumnya, sastra sufi memamng
mengedepankan sisi terdalam dari manusia, karena sikap kemanusiaan manusia itu
bisa menjadi ukuran kedekatan seorang manusi dengan Tuhannya. Dalam tradisi
sastra sufi, konsepsi humanisme dalam kerangka sastra religius menemukan
bentuknya yang paling konkrit dan jelas.

Sebuah Tantangan

Maraknya sastra religius belakangan ini memang
menggembirakan. Hanya saja, ada sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan
terkait dengan mutu atau kualitas sastra religius itu. Sebab, bagaimanapun
sastra itu bermain dalam wilayah estetika. Dari sini, ada semacam agar aspek
religiusitas yang merambah segala relung-relung terdalam dari manusia dengan
segala absurditasnya juga mendapat tempat yang seimbang dalam sastra religius,
tanpa ada pemaksaan pada aspek-aspek dogmatik dan terjebak pada khotbah. Sebab,
bagaimanapun wilayah seni dan sastra berbeda dengan wilayah agama.

21/08/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Halo, Pak Mashuri! Saya sangat setuju dengan pendapat Anda. Sastra memang harus berkualitas, bukan hanya pada tataran sastra religius.Karena itu, lahirlah apa yang disebut sastra garam dan gincu. Sastra Religius hendaknya menempatkan dirinya pada sastra garam. Oh ya, satu lagi, Bakat adalah anugerah terindah dari Allah, maka hadiah terindah indah kita untuk Allah adalah menggunakan bakat itu untuk menggaungkan agama Allah termasuk melalui karya sastra.
Selamat berjuang Saudaraku!

Posted by Rialita Fithra A  on  09/04  at  09:42 AM

Saya sangat mendukung gagasan Saudara. Tetapi gagasan tersebut harus sampai mewujud menjadi sebuah karya, jangan hanya sampai pada tingkat wacana. Kalau tidak mewujud itu bukan gagasan, tetapi sekedar hayalan. Apalah artinya hayalan kalau tidak digoreskan pada kertas? Kalau sedang sudah sampai mana, kalau sudah mana buktinya? Ingat kita main di dunia akademik! Akademisi/ilmuwan itu tidak boleh bohong, tetapi boleh salah. Hai ngomong-ngmong kebetulan saya sedang menulis buku Religiositas Islami dalam Karya Sastra/ Cara Memahami Nilai-nilai Religius dalam Karya Sastra. Tolong kirimkan referensi-referensi yang berhubungan dengan sastra religius baik teorinya maupun karyanya. Terima kasih kawan.
-----

Posted by Heri Jauhari  on  04/07  at  07:04 AM

Eh, Bram, jangan menilai dulu dong. Penggagasan itu baik selama kita dapat memproses gagasan itu sampai ke dalam bentuk jadinya. Mashuri bisa saja sedang dalam proses menuju itu.

salam.

Posted by dian  on  03/24  at  07:03 PM

Kurang kerjaan, ‘kali, ya? Sastra religius kok digagas-gagas? Kalau memang Anda religius dan berkemampuan membuat sastra bermutu, bikin saja langsung. Tak usah digagas-gagas nanti malah bau abab.  Eh, ngomong-ngomong soal Ronggowarsito yang Anda sebut, betulkah dia bisa melakukan mukjizat menghidupkan orang mati seperti diyakini sebagian kalangan penduduk sekitar Solo? 

Salam Bram

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  08/21  at  05:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq