Menimbang Fikih Lintas Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
01/12/2003

Menimbang Fikih Lintas Agama

Oleh Muhammad Al-Fayyadl

Sudah saatnya sekarang fikih memberdayakan diri dengan mengusung agenda-agenda yang lebih menjanjikan dan prospektif di masa mendatang. Wacana fikih lintas agama menjadi signifikan di sini, karena tawarannya yang menukik langsung pada kenyataan bahwa selama ini fikih sering dijadikan alat legitimasi bagi tindak kekerasan atas nama agama.

Munculnya wacana fikih lintas agama saat ini pada dasarnya berada di tengah “iklim” yang cukup paradoksal. Di satu sisi, ada semacam gejala yang tidak main-main yang dipertunjukkan sebagian kalangan untuk mempromosikan syariat Islam pada tingkat formal, yaitu menjadikan hukum Islam sebagai satu-satunya regulasi dan undang-undang yang mengikat secara legal. Sementara itu, di sisi lain, ada fenomena umum yang masih memperlakukan fikih secara konservatif dan tradisional, meskipun tidak terang-terangan mengagendakan syariat Islam pada tataran formal.

Kedua corak fikih semacam ini, dalam kenyataannya, mencerminkan bahwa pola pikir yang menghinggapi kesadaran umat Islam masih amat kental warna syari’ah-minded-nya. Dalam ungkapan lain, dunia fikih masih didominasi oleh kecenderungan tekstualisme (“otoritarianisme teks” dalam bahasa Nasr Hamid) yang sangat kuat. Karena itu, tidak mengherankan bila belum ada wawasan baru untuk merambah isu-isu kontemporer yang lebih mendesak, seperti isu perdamaian dan toleransi antaragama.

Sudah saatnya sekarang fikih memberdayakan diri dengan mengusung agenda-agenda yang lebih menjanjikan dan prospektif di masa mendatang. Wacana fikih lintas agama menjadi signifikan di sini, karena tawarannya yang menukik langsung pada kenyataan bahwa selama ini fikih sering dijadikan alat legitimasi bagi tindak kekerasan atas nama agama. Kasus-kasus seperti misinterpretasi atas konsep jihad telah menimbulkan dampak yang tak kecil bagi pengabsahan agama sebagai sarana kekerasan terhadap kelompok-kelompok lain yang tak seagama. Jika kita membuka kepustakaan fikih klasik, konsep-konsep jihad yang diperkenalkan di situ masih sarat dengan nuansa kekerasan, dan hal ini tak jarang digunakan oleh sebagian orang yang melakukan kekerasan untuk menjustifikasi diri dengan mengatasnamakan agama.

Fikih lintas agama berangkat dari asumsi bahwa keberadaan fikih sebagai salah satu produk wacana keislaman tidak terlepas dari dimensi teologis, yaitu persoalan akidah dan keimanan. Artinya, fikih juga berurusan dengan keyakinan religius, karena dalam realitas sosialnya, kaum muslim tidak bisa menyangkal keberadaan orang-orang lain yang tidak seagama dengan mereka. Untuk itu, diperlukanlah seperangkat aturan agar hubungan antara umat muslim dengan kalangan nonmuslim itu terfasilitasi sebaik mungkin.

Sejak awal, hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan dua belah pihak untuk saling mengerti dan memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan eksperimentasi demokrasi, umumnya kelompok-kelompok nonmuslim seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan yang sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai “warga kelas dua”, meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran mereka sepenuh hati. Dan ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang seolah-olah taken for granted: bahwa orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.

Keyakinan semacam ini merembes pada penafsiran hukum atas ayat-ayat Alquran yang membicarakan status orang-orang nonmuslim. Para fukaha hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa poin hukum fikih yang tidak dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti kasus nikah antaragama dan harta warisan bagi keluarga yang tak seagama. Dalam hal ini, nonmuslim tidak diperbolehkan berhubungan dengan umat muslim karena perbedaan agama tadi. Sementara itu, ada pula beberapa masa’il fiqhiyyah di mana baik umat muslim maupun non-muslim diperlakukan sejajar dan mendapat perlakuan hukum yang sama, seperti persoalan zakat dan kewajiban menaati penguasa (uli al-amr).

Tentu saja, dalam menangani persoalan sesensitif ini, para fukaha tidak main “pukul rata”. Mereka juga menetapkan kategori-kategori tertentu yang memilah antara kaum nonmuslim yang ahlul kitab maupun nonmuslim yang sepenuhnya musyrik. Akan tetapi, kategorisasi ini belum cukup memadai untuk mewadahi pluralitas dan menjamin hubungan yang efektif dan egaliter antara kaum muslim dan nonmuslim sendiri. Ini dilatarbelakangi oleh dua alasan mendasar. Pertama, kategori apakah seorang nonmuslim musyrik atau bukan yang dibuat para fukaha masih didominasi oleh asumsi teologi skolastik yang melihat keimanan atau akidah orang-orang nonmuslim, tak terkecuali kelompok ahlul kitab, sebagai bentuk penyimpangan (deviasi) dari kebenaran Islam, dan karena itu perlu “diluruskan”. Kedua, kategorisasi semacam ini telah mengabaikan munculnya komunitas-komunitas keberagamaan yang lebih kompleks dan beragam daripada sekadar pembedaan antara ahlul kitab (Yahudi-Nasrani) dan musyrik yang dibuat para fukaha abad pertengahan.

Karena itu, sudah menjadi keniscayaan jika fikih mesti melakukan tafsiran ulang atas sumber-sumber normatif yang melahirkan ambivalensi di kalangan umat muslim dalam menyikapi orang-orang nonmuslim, sekaligus mengangkat pesan universal Islam yang pada dasarnya senada dengan kebenaran yang diyakini oleh agama-agama lain di luar Islam. Upaya ini sangat bergantung pada kepedulian fukaha untuk mencari solusi alternatif agar fikih juga bisa berbicara banyak dan berperanan dalam menciptakan hubungan antaragama yang harmonis dan toleran.

Para fukaha yang lebih memilih merujuk pada ayat-ayat Alquran yang berisi seruan untuk memerangi orang-orang yang kafir (ayat al-qital), tanpa memperhatikan asbab an-nuzul dan setting sosial-historisnya, akan terjebak untuk membenarkan klaim eksklusif yang tidak memberi ruang gerak bagi nonmuslim. Agenda pluralisme agama tidak akan mengalami kemajuan berarti dengan fikih eksklusif semacam ini. Berbeda ihwalnya jika para fukaha mau membuka mata terhadap realitas kemajemukan. Mereka akan mampu mencairkan asumsi teologis yang sedemikian kental itu sehingga menghasilkan pembacaan hukum yang membela kepentingan dan kemaslahatan orang-orang nonmuslim. Ayat-ayat “pluralisme” yang banyak kita jumpai dalam Alquran (seperti QS.2: 62; QS.2:143; QS.3:67 dan lain sebagainya) lalu mendapat tempat dalam setiap perbincangan fikih. 

Fikih lintas agama memiliki ancangan kuat agar fikih yang ada saat ini tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat individual-privat atau ‘ibadah mahdlah saja, melainkan juga menyentuh ranah publik, termasuk di dalamnya menyangkut hubungan “transinstitusional” antara satu agama dengan agama lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, wacana ini akan membantu mengatasi merebaknya heterofobia di tengah masyarakat kita, khususnya ketakutan sebagian kalangan Islam terhadap segala hal yang berbau Barat (yang diidentikkan dengan Kristen) belakangan ini.

Momentum ini, menurut hemat saya, sangat tepat untuk menunjukkan bahwa dialog antaragama juga perlu dilakukan secara komprehensif pada level praktis yang terkait dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan demikian, untuk menyentak kesadaran umat muslim akan realitas pluralisme, kita tidak perlu muluk-muluk. Kita cukup mengangkat persoalan-persoalan yang kelihatannya “sepele” namun punya implikasi besar bagi hubungan antaragama, misalnya hukum mengucapkan salam kepada nonmuslim pada saat Natal. Dengan kata lain, narasi besar pluralisme agama mesti diterjemahkan secara konkret ke dalam kehidupan yang “membumi”. Fikih lintas agama akan menyumbang peranan penting jika ia bisa menunjukkan kepada khalayak bahwa hukum Islam dapat menjadi perekat sosial, dan bukan pemicu disintegrasi. []

01/12/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

fiqh pada saat ini mungkin bisa jadi bersifat relatif, terganrung tempat dan juga waktu dan tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. namun, yang membuat zaman itu berubah adalah pengetahuan, yaitu ketika pengetahuan manusia itu berkembang, maka zaman pun ikut berkembang. dan dalam hubungannya dengan hubungan antar agama, rasanya tidak ada masalah dalam islam. suatu sikap eksklusif yang hadir dalam suatu kelompok muslim mungkin hanya sekedar kasus belaka, tapi tidak bisa di klaim islam itu sebdiri, namun sebagian dari orang muslim itu sendiri. setiap agama terdapat ajaran mengenai bagaimana hubungan antar umat beragama, salah satunya yaitu toleransi antar umat beragama, namun ada batasan-batasan serta tidak melebihi batsa-batas akidah.

Posted by nur jannah  on  05/12  at  09:41 AM

Jangankan Fikih Lintas Agama, Fikih Islam itu sendiri mesti dipertanyakan, dicari ushul fikihnya dan terakhir dicocokkan lagi dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, karena lahirnya fikih itu juga beberapa tahun setelah masa kekhalifahan 4 khulafaurrasyidin (Abubakar, Umar Utsman dan Ali ra). Kalau memang sudah dicari Ushul fikihnya dan cocok dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi maka Insya-allaah Fikih itu menjadi rahmatan lil alamin.
-----

Posted by I Kuswa  on  01/11  at  03:01 AM

Saya tidak bisa memahami mengapa urgensi fiqh lintas agama itu dianggap perlu. Sepertinya ada usaha untuk mereduksi pemahaman agama itu sendiri.

Memang, tidak ada sebuah tekanan dalam agama untuk meningkatkan kecerdasan spiritual seorang pemeluk agama. Namun, dengan menciptakan fiqh lintas agama, menimbulkan pertanyaan tersendiri ; mengapa anda beragama? Atau setidaknya memilih sebuah agama?

Bila mengikuti cara berpikir umum (baca: versi JIL) bahwa semua yang melakukan pembelaan terhadapa agama dianggap fundamentalis.... dan anti-barat, lalu mengapa tidak tersebar berita adanya ilmuwan barat yang sampai sekarang menciptakan bible lintas agama atau weda lintas agama. Pertanyaan ini sangat sederhana namun signifikan, karena dunia barat adalah orientasi cendikiawan kita di Indonesia. Sesuatu yang sangat merusak akal sehat beragama.

Singkatnya, sadar atau tidak, terobosan untuk membuat ushul fiqh lintas agama adalah usulan primitif dan tak bermoral. Nilai Pancasila saja dengan tegas mengatakan bahwa toleransi beragama bukanlah dengan cara menganut kelima agama yang diakui, tapi dengan cara menganut dengan patuh dan loyal terhadap ‘hanya’ satu agama. Sehingga terciptalah toleransi. Dengan menghargai agama yang lain.

Saya yakin penulis gagasan itu adalah seorang intelektual (kebetulan-mungkin ber’kepercayaan’ islam) yang sangat toleran terhadap antar agama namun mengabaikan toleransi intra agama. Terobosan ini jelas bermaksud menciptakan ketegangan baru dalam proses keimanan orang muslim yang pada akhirnya tidak akan berdampak positif bagi siapapun.

Tentu dengan pengecualian, kalau penggagas hanya ingin menuai ‘popularitas’… hmmmm begitu rendahnya mentalitas anda.

Posted by Rina Permata Sari  on  12/28  at  12:13 PM

Tidak diperlukan fikih lintas agama. Karena tiap agama memiliki cara masing masing dalam menterjemahkan ajarannya menjadi perbuatan yang aplikatif. Memaksakan adanya fikih lintas agama sama saja dengan mencampur baurkan ajaran agama masing masing bahkan semakin mengkaburkan kemurnian ajaran.

Memadukan hubungan antar umat beragama memang perlu, namun tidak harus dengan menyampurkan ajaran agama, atau memaksakan agama untuk menyesuaikan satu sama lain.

Hubungan antar muslim non muslim bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, dan harus selaras. Terutama dalam aktivitas sosial dan ekonomi.

Sehingga yang seharusnya kita lakukan adalah mencoba menggali ulang, bagaimana cara Islam mengatur hubungan islam - non islam, bukan membuat peraturan sendiri yang bisa jadi berasal dari pendapat semata dan kemungkinan menyimpang dari ajaran Islam, dengan alasan demi toleransi dan keselarasan terhadap pemeluk agama lain.

Memang benar bahwa setiap muslim harus menjaga setiap hak dari ahlul dzimah, yakni warga non Muslim yang berlindung di negeri muslim. Tidak boleh menyakiti ataupun berbuat tidak adil terhadap mereka dan memberikan kebebasan untuk melakukan aktivitas ritual keagamaan.

Toleransi dan keselarasan yang dimuat ajaran Islam yakni yang sebagaimana yang telah tertulis secara textual maupun yang maknawiyan di alquran dan al hadits sudah sangat mendeskripsikan sekali bagaimana seharusnya seorang muslim beraku terhadap non muslim. Nilai tersebut sudah sangat mengandung nilai toleransi dan keselarasan dan keadilan.

Posted by Dwi Nugroho  on  12/08  at  10:12 AM

Fikih klasik memang kedengaran nggak enak kalau bicara soal pluralisme. Saya pernah baca buku Yusuf Qardlawi, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami (1984), yang khusus ditulis untuk membuktikan kalau Islam (terutama fikihnya) punya penghargaan lebih terhadap nonmuslim.

Tapi sayangnya Qardlawi masih “terbius” konsep fikih lama yang mengidealkan adanya “masyarakat Islam”, seakan-akan nonmuslim hanyalah entitas kecil yang inferior, lemah, dan belum mandiri. Padahal, kalau mau pluralis, pengakuan akan kesederajatan itu penting.

Jadi, sekarang bagaimana caranya agar fikih lama yang terkesan “diskriminatif” itu dirumuskan ulang?

Posted by Muhammad "Ayak" Al-Fayyadl  on  12/05  at  03:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq