Menimbang Partai “Alternatif” Muhammadiyah - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
12/12/2004

Menimbang Partai “Alternatif” Muhammadiyah

Oleh Imam Cahyono

Gagasan membentuk partai alternatif di kalangan internal Muhammadiyah terus menghangat. Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, NTB, 2-5 Desember lalu, merekomendasikan agar ide tersebut diusung Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun depan. Gagasan ini muncul sejak Sidang Tanwir Pemuda Muhammadiyah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu.

Gagasan membentuk partai alternatif di kalangan internal Muhammadiyah terus menghangat. Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, NTB, 2-5 Desember lalu, merekomendasikan agar ide tersebut diusung Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun depan. Gagasan ini muncul sejak Sidang Tanwir Pemuda Muhammadiyah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu. 

Menurut pernyataan Abdul Mu’ti, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi ide tersebut. Pertama, tidak terjadinya hubungan mutualisme-positif antara Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kedua, keinginan Amien Rais untuk mundur dari pucuk pimpinan PAN membuat lenyapnya kader Muhammadiyah di PAN. Ketiga, PAN dinilai tak sanggup lagi mengemban amanat sebagai saluran politik warga Muhammadiyah. 

Jika ditelisik lebih mendalam, gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik Indonesia makro, terutama pasca pemilu 2004. Gagasan ini bisa dikatakan sebagai antiklimaks, wujud kekecewaan warga Muhammadiyah atas hasil pemilu lalu. Dalam formasi Kabinet Indonesia Bersatu, suara warga Muhammadiyah kurang terakomodir. Keberadaan Hatta Rajasa sebagai Menteri Perhubungan dan Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional, tidak dianggap representasi warga Muhammadiyah. 

Kenyataan pahit juga harus diterima warga Muhammadiyah dari hasil pemilu legislatif. Eksistensi PAN dinilai tak mampu lagi menampung dan mengakomodasi kepentingan politik warga Muhammadiyah. Bahkan muncul opini, PAN sudah dikuasai kader-kader non-Muhammadiyah yang tidak memiliki akar di Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah yang ada di PAN sudah sering terpinggirkan. PAN dianggap tidak memiliki ikatan emosional lagi dengan Muhammadiyah, terlebih tak lama lagi akan ditinggalkan Amien Rais. 

*****

Harus diakui, memisahkan Muhammadiyah, ormas Islam terbesar kedua di negeri ini, dari pusaran politik praktis sungguh mustahil. Secara historis, pada masa Orde Lama, embrio politik Muhammadiyah sudah terlihat tatkala turut bergabung dengan Masyumi. Di masa pemerintahan Soeharto, Muhammadiyah aktif di Parmusi. Tatkala terjadi fusi partai politik, aspirasinya disalurkan ke Golkar, PPP dan PDI. Dan ketika Orde Baru runtuh, aspirasinya disalurkan ke PAN. Kendati PAN bukan partai Muhammadiyah, sejarah mencatat warga Muhammadiyah sebagai basis konstituen PAN terbesar. 

Gagasan untuk mendirikan partai baru juga menandakan proses demokratisasi telah berjalan di lingkungan Muhammadiyah. Di negara demokratis, pembentukan partai adalah wajar dan sah-sah saja. Sebagai saluran politik, aspirasi warga Muhammadiyah yang beragam tentu perlu diakomodir dan dipandang sebagai aset berharga. 

Pertanyaannya adalah: seberapa besar keuntungan dan kerugian mendirikan partai baru?  Dari sisi profit, bisa jadi warga Muhammadiyah yang tidak lagi terakomodir dalam PAN mendapat ruang aktualisasi politik yang lebih kondusif. Kader-kader Muhammadiyah yang potensial di bidang politik, bisa ikut mewarnai pentas politik dan memberi kontribusi pada jagad politik Indonesia. Sebab, sulit mengabaikan peran dan kekuatan Muhammadiyah sebagai determinan perubahan politik di negeri ini.

Tapi, kerugiannya juga penting untuk dipertimbangkan. Untuk mendirikan partai baru, dibutuhkan sumber daya manusia dan finansial yang tidak sedikit. Lebih dari itu, mind-set Muhammadiyah selama ini adalah sebagai gerakan sosial pembaharuan yang lebih menitikberatkan persoalan sosial ketimbang politik. Politik bagi Muhammadiyah banyak menghabiskan energi, lebih mudarat ketimbang maslahat.

Pemilu 2004 seharusnya menjadi pendidikan politik berharga. Ketika itu, Muhammadiyah menjadi sponsor politik dan all out mendukung Amien Rais. Semua energi dari pusat sampai ke ranting tersedot untuk mengurusi politik. Tak hanya sumber daya manusia yang terkuras, tapi juga finansial. Makanya, alih-alih akan menambah energi untuk menyalurkan aspirasi politik warga Muhammadiyah, ide ini bisajadi justru menjadi beban yang menindih dan memberatkan langkah Muhammadiyah. 

Tanpa mendirikan partai, sebenarnya aspirasi politik warga Muhammadiyah pun sudah tertampung dan tersalurkan cukup baik. Selama ini, tidak sedikit kader dan warga Muhammadiyah yang menyebar dan menyalurkan aspirasi ke partai-partai lain. Makanya, Muhammadiyah perlu kembali mengukuhkan diri sebagai gerakan sosial.

***

Sejak digulirkan KH Ahmad Dahlan, mind-set Muhammadiyah jelas sebagai gerakan sosial. Gerakan tajdid dan kembali ke Alqur’an dan Hadis yang dipeloporinya, dikukuhkan dengan pembacaan kritis dan teo-praksis atas surat al-Mâ`ûn demi merespons realitas dan problema sosial yang begitu kompleks. Muhammadiyah kemudian dijadikan sebagai institusi yang menyentuh dan mengikis akar problem sosial. 

Jika mau konsisten pada gerakan pembaharuan sosial, Muhammadiyah tidak perlu mengambil jalur politik lagi. Jika Muhammadiyah terlalu bernafsu memilih garis politik, besar kemungkinan aktivitas dan kegiatan sosialnya bakal terbengkalai. Selain itu, politik juga berpeluang menyuburkan konflik dan tarik-menarik kepentingan demi capaian-capaian jangka pendek. 

Perlu diingat, mobilitas dan perubahan sosial yang dilakukan Muhammadiyah selama ini selalu lewat jalur pendidikan. Sebagai gerakan sosial, sumbangan terbesar Muhammadiyah pada masyarakat dan bangsa tak lain berkat kesetiaan pada jalur pendidikan, bukan kekuasaan. Lewat pendidikan, sejak TK sampai perguruan tinggi, Muhammadiyah telah membantu dan mendukung upaya pencerahan masyarakat tanpa pandang bulu. Pendirian rumah sakit dan panti asuhan adalah sumbangan konkret lainnya. 

Jadi, tanpa masuk ke jalur politik praktis, Muhammadiyah tetap dapat memerankan posisi strategis sebagai ormas yang konsisten sekaligus gerakan sosial alternatif. Semua itu bisa bertahan kalau upaya reorientasi, melihat kembali peran Muhammadiyah selama ini dalam perubahan sosial selalu dilakukan. Peran strategis yang dapat diambil Muhammadiyah adalah turut serta menggarap masalah-masalah yang timbul akibat pengabaian dan diskriminasi kebijakan publik. Masalah yang timbul akibat ekses negatif sebuah policy tidak sedikit. Itu semua adalah medan garapan Muhammadiyah, selain soal pendidikan, kemiskinan, dan kesehatan. Muhammadiyah yang berada di luar jalur politik, nyatanya tetap mewarnai kebijakan politik pemerintah.

Karenanya, Muhammadiyah harus melakukan redefinisi diri dan membaca ulang konsep mustad’afin baru. Hemat saya, di sinilah Muhammadiyah dapat berperan strategis dan memberi sumbangsih konkret, ketimbang mengurus soal politik yang selalu menargetkan kepentingan sesaat.

Imam Cahyono, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, staf pengajar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

12/12/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

pilihan warga kader MD melakukan perubahan sosial melalui jalur struktural maupun kultural tidak harus ditolak.

yang perlu ditolak adalah menggunakan nama MD sebagai jalan menuju stuktur atasnama perubahan sosial.

Posted by kasyadi  on  04/17  at  01:01 PM

menarik apa yang disajikan oleh mas Imam Cahyono, ketika saya masih aktif di Ikatan mahasiswa Muhammadiyah saya sering menilik pemikiran Mas Imam yang brilian dan selalu memberikan apresiasi positif terhadap perubahan tanpa melihat siapa pelukunya.

ketika aktivis kaum muda berkumpul, bergerak, dan bercita-cita untuk mendesains peradaban sebuah negara. menurut saya itu sah-sah saja. asalnya mengikuti aturan main yang sepakati oleh kaum pembuat peradaban sebelumnya. tak peduli ia harus hadir darimana? apakah kaum muda NU atau kaum muda dari muhammadiyah...! yang penting peran aktivis muda ini tidak bersadar atas kejernihan kelembagaan dimana ia di kader sebelumnya. mereka harus hadir sebagai aktivis muda dengan cirikhas kemandirian tanpa harus mengemis kepada siapapun.
-----

Posted by Taufik Riswan  on  07/31  at  12:07 AM

Muhammadiyah vis a vis Politik Obsesi pembentukan partai muhammadiyah lebih banyak didasari orientasi kekuasaan jangka pendek, ketimbang orientasi perjuangan keummatan jangka panjang. Basis muhammadiyah yang katanya 30 juta-an memang jumlah menggiurkan bagi siapa saja yang memiliki syahwat politik besar untuk melakukan bargaining dengan kekuatan politik luar, tapi dampaknya yang dirasakan Muhammadiyah hanyalah konflik dan perpecahan.

Muhammadiyah tampaknya perlu belajar dari saudara mudanya NU yang lebih sering bergesekan dengan politik dan akhirnya menimbulkan konflik interest yang tidak selesai. Khittah 1926 yang semula dijadikan penjaga dalam membangun relasi NU dan Politik, hanyalah berjalan dalam teks tidak dalam konteks.

Basis politik kaum Islam modernis yang dulu tergabung dengan Masyumi, kini habis terbagi dalam partai-partai politik baik yang berasas Islam maupun non Islam. lihat misalnya Sumbar, Aceh, Jawa Barat yang dulu basis Masyumi, sekarang jadi basis Golkar. Bagi mereka yang rindu dengan Masyumi, sekarang ada PBB yang mengklailm sebagai partai “pewaris sah “ Masyumi. Bagi kalangan intelektual muslim kampus yang masih memiliki idealis, ada wadah PKS dan sebagian Islam modernis lainnya ada di PPP melalui wadah Parmusi. Jadi partai muhammadiyah hanya tinggal mengais sisa suara yang ada dipinggiran, itupun kalau ada.

Watak partai politik dengan ormas sangat beda. Parpol berorientasi pada kekuasaan sehingga polarisasinya siapa kawan, siapa lawan. ormas termasuk Islam seperti Muhammadiyah oritentasinya membangun peradaban, bersifat sosial, gerakan amar makruf nahi. Jadi dengan mengubah menjadi partai politik, maka muhammadiyah telah “menambah lawan” dan mengurangi kawan.

Muhammadiyah harus belajar dari kekalahan Amien Rais kemarin dimana Muhammadiyah - secara strutrual - telah all out turun gelanggang memback up Amien Rais, tapi apa hasilnya? hanyalah kekalahan. dimanakah jumlah massa Muhammadiyah yang 30 juta itu? Ingat! warga Muhammadiya adalah warga yang rasional, tidak mau terjebak pada figur, dan mereka kini sudah tersebar dimana-mana. Kekalahan Amien Rais menunjukkan bahwa habitat Muhammadiyah bukan di politik, tapi di garis kultural. Menjadi gerakan sosial, dakwah dan pendidikan merupakan sebuah gerakan politik yang a politik.

Posted by abdul aziz muslim  on  01/11  at  02:02 AM

MEMBANGUN BANGSA TANPA BIROKRASI, MUNGKINKAH?

Tanggapan Untuk Imam Cahyono Oleh: Benni Setiawan*)

Tulisan Imam Cahyono koran ini (12/12/2004) tentang partai Muhammadiyah menarik untuk ditanggapi. Setidaknya ada dua hal mengapa Imam tidak sepakat adanya partai di tubuh Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah kurang mempunyai sumberdaya manusia dan finansial yang mencukupi. Kedua, main set Muhammadiyah sebagai gerakan sosial pembaharuan, ketika ia membuat partai maka akan menghabiskan tenaga dan lebih banyak mudharat ketimbang maslahatnya. Tanpa masuk jalur partai pun Muhammadiyah tetap dapat memerankan posisi strategis sebagai ormas yang konsisten sekaligus gerakan sosial alternatif. Dua hal di atas yang mungkin mendasari beliau untuk tidak sepakat akan adanya partai Muhammadiyah. Perbincangan mengenai partai di tubuh ormas terbesar no dua di Indonesia ini, adalah hal yang tidak baru lagi. Bahkan di sidang Tanwir Mataram beberapa waktu lalu (2-5/12/2004) wacana ini adalah salah satu yang meramaikan suasana muktamar. Partai politik sebagimana yang telah kita ketahui bersama adalah sebagai wadah penyaluran aspirasi politik setiap warga negara, lebih dari itu sebenarnya partai adalah representasi dari kehidupan masyarakat yang ada. Mengapa demikian, sekiranya wakil rakyat baik dan tidak melakukan pelanggaran hukum maka masyarakat adalah baik, dan sebaliknya jika wakil rakyat tidak lagi mencerminkan aspirasi yang dibawanya berarti ini adalah indikasi carut marutnya tananan yang ada di masyarakat. Begitu juga yang terjadi di Muhammadiyah. Ketika representasi dari Muhammadiyah adalah PAN akan tetapi yang terjadi adalah ada beberapa—kalau tidak mau dikatakan banyak—kader-kadernya yang melakukan pelanggran hukum (baca: korupsi). Maka Muhammadiyah juga akan menerima imbasnya. Partai Muhammadiyah yang digagas sebagaimana yang telah dikutip Imam Cahyono dari Abdul Mu’ti (Ketua Pemuda Muhammadiyah) pada poin ketiga PAN tidak sanggup lagi mengemban amanah sebagai saluran politik warga Muhammadiyah(12/12/2004), mungkin adalah salah satu faktornya adalah banyak kader PAN yang menyimpang dari Muhammadiyah. Selain itu kenyataan di lapangan banyak kader partai yang dari Muhammadiyah sudah lupa dari mana ia berasal, dengan kata lain mereka “sudah tidak lagi” mau berjuang di Muhammadiyah.  Keengganan ini adalah representasi buruk dari kinerja pengkaderan yang tidak jalan. Kader-kader yang benar dari Muhammadiyah sendiri tersingkirkan dari barisan partai dan diduduki oleh orang-orang yang tidak melalui jalur struktural Muhammadiyah (IRM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, NA). Selanjutnya, ketika alasan yang digunakan adalah Muhammadiyah kekurangan sumber dana dan sumber daya manusia itu hal yang terlalu mengada-ada. Ormas terkaya di Indonesia adalah Muhammadiyah. Tidak kurang dari 169 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) sebagai mana yang dilaporkan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Direktori Perguruan Tinggi Muhamamdiyah (2004). Rumah sakit yang tersebar dan sampai ke pelosok desa. Pondok pesantren dan panti asuhan sebagai basik pengkaderan. Maka tidak wajar jika Muhammadiyah kekurangan kader-kader politiknya. Begitu juga dengan sumber dana, ketika setiap amal usaha menyumbangkan 2,5 % dari hasil pendapatnya pun akan terkumpul dana yang tidak sedikit.  Optimalisasi dan pengembangan sumber daya kader yang salama ini dikebiri sudah merupakan tugas seluruh warga Muhammadiyah untuk mengembangkan dan menampungnya. Jangan sampai kader yang sudah berjuang keras di Muhammdiyah dilempar dari kandangnya sendiri. Sebagai contoh, ada seorang teman pernah menjabat sebagai puncuk pimpinan di sebuah lembaga potonom Muhammadiyah dengan terpaksi harus tidak diteri menjdi dosen di sebuah PTM walaupun ia telah mendapatkan rekomendasi dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) dan bahkan PP Muhammadiyah. Sungguh sangat memilukan.  Pemikiran bahwa Muhammadiyah adalah sebagai gerakan sosial Islam amar ma’ruf nahi munkar adalah merupakan salah satu dari tiga identitas Muhammadiyah yaitu gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan gerakan tajdid. (Musthfa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban:2002:159). Kemudian penafsiaran baru kita adalah bagaimana gerakan amar ma’ruf nahi munkar dapat diterima oleh warga Muhammadiyah. Amar ma’ruf adalah dengan pendirian amal usaha baik jalur pendiikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan. Kemudian untuk nahi munkar adalah dengan masuk birokrasi (baca; partai politik).  Walapun diakui oleh Imam Cahyono bahwa warga Muhammadiyah telah banyak masuk ke beberapa parpol seperti PPP, Golkar, PBB, PKS dan bahkan PDI P, apakah mereka mampu mengambil sebuah kebijakan yang menjadi agenda besar partai ke depan. Kader yang berada di dalam partai politik lain tidak lebih adalah sebagai the second class (meminjam istilah Marx). Mereka sangat sulit untuk dapat memaikan peran penting dan membawa aspirasi warga Muhammadiyah.  Partai Muhammadiyah sebagai penafsiran baru gerakan nahi munkar merupakan alternatif guna membangun bangsa Indonesia ke depan. Kebijakan yang diambil legislatif akan sangat berpengaruh bagi kesejahteraan rakyat. Ketika warga Muhammadiyah sedikit di parlemen (DPR) dan kurang signifikan suaranya dalam pengambilan kebijakan yang pada akhirnya membuat kesengsaraan bagi rakyat adalah merupakan dosa sosial yang harus ditanggung oleh Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar.  Gerakan sosial ini sebaiknya dijadikan landasan ide bagi pengembangan Muhammadiyah ke depan dalam membangun masyarakat madani (civil society). Kemajuan dan kemandirian bangsa saat ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, ketika ini tidak segera disadari, mungkin warga Muhammadiyah sendiri akan merasakan dari kebijakannya yang tidak memihak sebagai bagian bangsa Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, gerakan sosial alternatif dengan banyaknya kader yang sudah masuk sistem partai kurang dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencerahan bangsa. Belum lagi ketika image partai tersebut buruk di tengah masyarakat. Entah partai Orde Lam, Orde Baru, koruptor dan lain sebagainya. Masyarakat akan memandang partai bukan orang yang ada didalamnya.  Ketika kebijakan partai yang penting tidak dapat di warnai oleh kader yang ada karena sedikitnya jumlah suara mereka maka tidak aneh ketika mereka malah melegitrimasi apa yang diinginkan partai, walaupun hal itu merugikan rakyat banyak. Kesadaran masyarakat Indonesia pun demikian adanya. Masyarakat akan memilih partai yang pimpin siapa tanpa memandang siapakah dia. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat feodal yang mementingkan keturunan dan patron patriarki. Sebagai akhir dari tulisan Imam, ia menannyakan apa redefinisi dan konsep baru mustad’afin? Jawabanya adalah ketertindasan masyarakat oleh sistem yang dibuat dan disengaja untuk melemahkan peran dan fungsi masyarakat itu sendiri. Ketika Muhammadiyah merasa melemahkan peran dan fungsi masyarakat maka hendakalah ia bertanggungjwab atas semua yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan mengontrol pembuat kebijakan dan masuk ke dalamnya karena dengan demikian suara-suara yang selama ini tidak tersalurkan akan terdengar lantang. Dengan begitu, ia juga tahu bagaimana mekanisme pembuatan kebijakannya. Tanpa itu semua mungkin sangat sulit membangan bangsa yang telah dilanda krisis multidimensional ini.  Allahu a’lam

Posted by benni setiawan  on  01/10  at  11:01 PM

Mas Imam cahyono yang ganteng. Dik eka membaca tulisan mas terasa sekali bahwa mas seorang yang memiliki pendirian yang kokoh dan bertahan dalam jalur kultural. Dan tulisan-tulisanmas selalu menyentak hati ini

Namun, saya pikir dan saya rasa, terkati dengan tulisan mas ini, itu kan hak mereka untuk mendirikan parpol muhammadiyah. mereka kan anak muda yang perlu juga kita apresisasi ide dan gagasan mereka, nanti kalau di -cuek-in bisa nguambek..hee..hee. Berbudayalah politik

Posted by eka ariani  on  12/15  at  12:12 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq