Nikah Beda Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
30/06/2002

Dr. Zainun Kamal, MA: Nikah Beda Agama

Oleh Redaksi

Teks-teks suci tidak berdiri pada ruang hampa ketika ia menyapa manusia. Satu kasus menarik adalah ketika Khalifah Umar melarang seseorang menikahi ahli kitab, sementara Alquran memperbolehkannya, menunjukkan intervensi sesuatu di luar teks. Pada kasus lain, sebagian ulama masih mengharamkan seorang muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam.

Memang banyak peristiwa di sekitar kita yang menunjukkan ambiguitas teks ketika berhadapan dengan realitas bahwa cinta suci tidak memandang sekat-sekat etnisitas dan agama. Perkawinan Yasser Arafat dengan Suha, Jamal Mirdad dengan Lidya Kandouw dan lain-lain menjadi contoh kecil dari hamparan banyak kasus pernikahan antaragama.

Berikut ini petikan wawancara Dr. Zainun Kamal, pengajar pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan alumnus dari Universitas Al-Azhar dan Kairo University, Mesir dengan Nong Darol Mahmada dari Kajian Utan Kayu (KUK). Wawancara yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 20 Juni 2002 ini juga menghadirkan Bimo Nugroho, salah seorang Direktur Institut Studi Arus dan Informasi (ISAI) Jakarta yang mengalami secara langsung pernikahan antaragama.

Mas Bimo, Anda adalah seorang pelaku pernikahan antaragama. Anda seorang Katolik, sedang istri Anda seorang muslimah yang berjilbab. Apa kendala yang Anda alami dalam pernikahan beda agama ini?

Bimo: Kendala awalnya terjadi ketika melamar. Sebetulnya saya sudah dekat dengan calon mertua saya sebelum menikah. Tetapi ketika saya melamar, situasinya menjadi serius sekali. Ketika saya melamar, mertua saya menjawab begini: “Nak Bimo tahu sendiri kan kami ini Islam. Jadi, kalau mau menikah dengan anak saya, Nak Bimo harus masuk Islam dulu!” Saya langsung terdiam dan situasi menjadi hening. Saya bingung mau jawab apa?

Karena dia menanti jawaban saya, akhirnya yang keluar dari mulut saya begini: “Pak, saya ini orang Katolik. Tapi ke gereja seminggu sekali saja bolong-bolong, apalagi bila masuk Islam dan harus salat lima kali sehari. Wah, saya pasti lebih banyak berdosa bila masuk Islam daripada tetap di Katolik.” Itu saya ucapkan karena tidak ingin masuk Islam hanya formalitas untuk menikah saja. Akhirnya, saat pernikahan, orang tua isteri saya tidak bisa hadir. Ini kesulitannya dan merupakan yang paling berat bagi isteri saya.

Bagaimana dengan prosedur di catatan sipil dan prosesi pernikahan lain?

Bimo: Oh, kami lancar. Akhirnya kami menikah dengan dua cara juga. Menikah dengan cara Katolik di gereja –di sana ada dispensasi untuk menerima isteri saya yang teta Islam —juga pernikahan secara Islam.

Pak Zainun, sebenarnya bagaimana pandangan Islam tentang persoalan pernikahan antaragama ini?

Zainun: Untuk melihat persoalan ini, mungkin dua hal yang perlu kita bahas. Dilihat dari hukum positif, negara memang tidak mengizinkan kawin antaragama. Dalam hukum agama yang umum ada dua penjelasan: Pertama, secara eksplisit teks Alquran membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. Itu terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5. Bahkan, ada pembahasan ulama yang lebih luas tentang ayat itu. Umumnya, yang masuk lingkup ahli kitab itu hanya Yahudi dan Kristen. Tapi dalam ayat itu bukan disebut ahli kitab, tapi alladzîna ûtû al-Kitâb, orang-orang yang mempunyai kitab suci.

Dalam Alquran terdapat kategorisasi golongan musyrik, mukmin dan ahli kitab. Orang musyik adalah mereka yang percaya pada adanya Tuhan, tapi tidak percaya pada kitab suci dan atau tidak percaya pada salah seorang nabi. Mereka itu adalah musyrik Mekah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi. Kalau ahli kitab, mereka percaya pada salah seorang nabi dan salah satu kitab suci.

Yang diistilahkan Alquran dalam surat al-Ma’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab. Mereka percaya bahwa itu adalah kitab suci dan yang diutus kepada mereka adalah seorang nabi; maka menikahi mereka itu dibolehkan. Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gauthama adalah seorang Nabi. Konghuchu, dianggap nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho. Mereka itu dianggap sebagai orang yang diberi kitab dan boleh dikawini. Mereka kadang mengatakan, ini kitab dari Nabi Ibrahim, kok! Atau kitab dari Nabi Luth. Yahudi boleh karena jelas diutus padanya Musa. Umat Nasrani mempunyai nabi Isa. Itu beberapa pendapat. Ulama yang mempunyai pembahasan yang lebih luas memasukkan Konghuchu, Budha dan Shinto sebagai yang boleh dikawini. Itu memang sudah dipraktekkan Islam dan sampai sekarang banyak sekali laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim.

Adakah praktik pernikahan antaragama dalam sejarah Islam?

Zainun: Yang mempraktekkan itu misalnya, Yasser Arafat dan itu tidak menjadi masalah di Palestina sana. Nabi sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam. Utsman kawin dengan salah seorang ahli kitab. Ada yang dengan Kristen dan juga dengan Yahudi. Sampai sekarang, praktek pernikahan antaragama itu berjalan terus. Sebagian ulama melarang, tapi teks secara eksplisit membolehkan. Persoalan kita tadi, bagaimana kalau sebaliknya, yakni laki-lakinya non-muslim dan perempuannya Islam seperti kasus Mas Bimo ini.

Pertama-tama perlu saya jelaskan, bahwa teks Alquran secara eksplisit tidak ada yang melarang. Hanya saja, mayoritas ijtihad para ulama, termasuk di Indonesia, tidak membolehkannya meski secara teks tidak ada larangan. Makanya, yang membolehkan memiliki landasannya dan yang melarang juga punya landasan tertentu. Larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam itu tidak disebutkan dalam Alquran. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.

Lantas bagaimana Anda menyimpulkan dari sesuatu yang tidak diekspli-sitkan oleh Alquran?

Zainun: Saya ingin menceritakan beberapa kasus. Misalnya, saya pernah bertemu dengan sepasang suami-isteri. Yang perempuan, pada mulanya muslim, lantas menikah dengan seorang Belanda, lantas masuk Kristen. Dan mereka sudah punya tiga anak. Kemudian dalam perjalanannya, perempuan ini mau kembali masuk Islam dan minta izin kepada suaminya. Akhirnya diizinkan oleh suaminya dan perempuan itu masuk Islam. Masalah kita sekarang berbeda, yang suaminya masih Katolik dan perempuannya Islam. Itu diizinkan sendiri oleh suami. Apakah dalam kondisi begini akan dibolehkan kalau kita berpegang pada pendapat pada ulama tadi? Kalau sekiranya ini tidak dibolehkan, tentu saja wajib cerai. Bagaimana hak perempuan ini? Dia bahkan bisa diusir dari Belanda. Apakah memang agama itu menempatkan kedudukan wanita seperti itu? Oleh karena itu, karena tidak ada teks yang tegas tentang itu, maka ijtihad yang berlaku tentang pernikahan seperti itu tentu perlu ditinjau kembali.

Yang menjadi persoalan besar dalam pernikahan antaragama ini adalah persoalan anak. Bagaimana status agama anak Anda karena Anda berbeda agama?

Bimo: Pernikahan kami sekarang telah melewati masa hampir tujuh tahun. Kesepakatannya memang terserah pada anak itu mau memilih agama apa. Tapi kemudian saya melihat kenyataan bahwa di rumah anak-anak lebih banyak waktu dengan istri saya. Istri saya beragama dengan baik, shalat lima waktu dan berjilbab. Kemudian anak saya dididik secara Islam dan saya sendiri berpikir, kalau dia beragama Islam secara baik, kenapa tidak? Sementara karena saya lebih banyak waktu di kantor, tidak normal juga kalau saya menuntut anak saya beragama Katolik sementara saya tidak bisa mencurahkan waktu untuk mendidik anak saya secara Katolik.

Zainun: Mengenai masalah anak, tadi dijawab oleh Mas Bimo. Karena yang penting, bagaimana suami-isteri itu mendidik anak secara baik. Karena dalam semua agama mengandung nilai moral yang sama dan bersifat universal. Kita mendidik anak untuk berbuat baik pada orangtuanya. Kita mendidik anak kita supaya jangan berbuat jahat dan berbuat baik pada siapa saja. Saya kira, itu nilai-nilai universal yang sangat ditekankan semua agama. Jadi kita didik anak kita secara baik kemudian dia pilih agama apa, hal itu terserah anak.

Saya kira, salah satu alasan sebagian ulama mengharamkan laki-laki non-muslim menikah dengan wanita muslim karena dikhawatirkan istri atau anak-anaknya menjadi murtad. Tapi kalau kita melihat kasus mas Bimo ini, malah sebaliknya. Anak-anaknya semua ikut ibunya karena yang banyak mendidik anak di rumah adalah ibunya. Karenanya, dalam kasus ini, ijtihad dan pendapat para ulama yang melarang wanita muslim menikah dengan pria non muslim perlu ditinjau ulang.

Bagaimana dengan masalah warisannya?

Zainun: Dalam masalah warisan, pendapat ulama berbeda-beda. Ada yang menyebut tidak boleh saling mewarisi kalau berbeda agama. Tapi ada yang berpendapat sesungguhnya sang isteri bisa mewarisi suami dan tidak bisa sebaliknya. Betapa pun saya kira ada solusi terbaik dari Alquran. Toh ada wasiat misalnya. Kalaupun terhalang, suami bisa saja berwasiat, ini rumah kalau saya meninggal nantinya untuk kamu. Atau buat anak ini dan itu. Itu boleh saja.

Pak Zainun, ada hadis Nabi tentang pernikahan yang memakai empat kriteria: kecantikan, kekayaan, keturunan dan agamanya. Dan yang dipentingkan dari kriteria itu adalah agamanya. Bukankah itu maksudnya adalah agama Islam?

Zainun: Memang ada kriteria itu: agama, kecantikan, kekayaan dan keturunan. Menurut pendapat sebagian ulama, kita dianjurkan memprioritaskan agamanya. Kemudian kalau ada orang bilang ini ada perempuan cantik dan saya ingin kawin dengan dia misalnya. Apakah tidak sah perkawinannya? Tetap sah. Tapi Nabi menganjurkan memilih agamanya, artinya orang yang bermoral. Agama dalam arti nilai-nilai yang baik. Namun bila ada yang lebih memilih kekayaan dan kecantikan dalam urusan mencari jodoh, maka tidak dilarang oleh agama dan kawinnya tetap saja sah.

Bagaimana dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khattab tentang pelarangan menikahi ahli kitab?

Zainun: Saya ingin menjelaskan alasan pelarangan itu. Ada seorang sahabat bernama Hudzaifa al-Yamani yang kawin dengan perempuan Yahudi, kemudian Umar menulis surat padanya agar menceraikan istrinya. Kemudian Hudzaifah ini menjawab, apakah perkawinan kami haram? “Tidak haram, ”kata Umar, “hanya saja, saya khawatir perkawinan kamu itu nantinya berdampak negatif?”

Apa maksudnya? Begini, ada persoalan sosial pada masa itu. Waktu itu Islam dalam penyebaran ajarannya mengalami banyak sekali tantangan dari luar. Banyak para sahabat yang meninggal dalam medan perang yang menyebabkan janda-janda perempuan menjadi membludak. Kalau laki-laki muslim menikah dengan non-muslim, lantas perempuan muslim, khususnya para janda ini bagaimana? Karena itu Umar secara politis melihat tinjauan strategis itu. Karena dia ketika itu berkuasa, maka dia melarang itu. Larangan Umar bisa dibaca sebagai larangan kekuasaan, dan bukan larangan agama. Sama saja dengan hukum negara kita sekarang ini. Dalam kasus ini, laki-laki muslim tidak dibolehkan menikahi perempuan non-muslim, padahal hukum agama membolehkan. []

30/06/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (59)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

saya seorang muslim yang menikah dengan laki-laki khaolik sekarang usia perkawinan saya hampir 3 tahun;satu tahun yang lalu saya pindah agama seperti suami saya tapi dalam hati saya hanya allah swt yang saya sembah saya melakukan itu supaya keluarga saya utuh tapi belakangan ini saya merasa berdosa dan saya takut akan mati,makanya dengan keberanian saya bilang kepada keluarga suami saya kalau saya ingin masuk islam kembali karena saya gak bisa membohongi hati saya sndiri.tadinya saya sudah pasrah kalau harus berpisah dengan suami saya tapi suami saya begitu menyayangi saya dan dia gak sanggup hidup tanpa saya begitu juga bapak mertua saya,saya takut beliat stroek karena saya pergi apalagi anak saya yang baru usia 1.8 tahun.pertanyaannya apa benar yang saya lakukan ini saya akan terus bersama suami saya walaupun saya menjadi muslim kembali dan di non muslim apakah hubungan kami ini sama saja dengan berzina?

Posted by enzi febrianti  on  08/26  at  03:21 PM

Hidup adalah beribadah kepada ALLAH SWT, Islam sudah jelas benar lagi jalan yang lurus.. Mengapa harus mencari pasangan diluar Islam..kita lebih mencintai agama atau manusia.. Rasulullah menyarankan agamanya apalagi yang lebih indah dari manusia melainkan agamanya… Ini dari sudut pandang orang-orang sholeh.... Semoga kita selalu dalam bimbingan ALLAH SWT… Amien.

Posted by Haikal  on  06/19  at  04:43 PM

Agama adalah petunjuk untuk menjalani hidup untuk mencapai kebahagiaan sejati (surga, baik di dunia atau akherat), agamamu agamamu, agamaku agamaku, kalau agama kamu beda dengan agama aku, kitak tak akan pernah bisa mencapai kebahagiaan yang sama karena buku petunjuknya beda, Kalaupun petunjuknya sama tapi membacanya dengan cara berbeda, hasilnya pasti akan berbeda juga.  Manusia lahir sendiri dan mati sendiri (tidak akan bawa anak istri), jadi saat kamu menjelang mati nanti, itulah saat kamu tahu, apakah istrimu akan sejalan denganmu atau tidak di kehidupan berikutnya, dan itulah saat kamu tahu kamu menyesal atau tidak dengan pilihan hidup kamu.

Ya, hidup adalah pilihan, kebahagiaan sejati atau semu juga pilihan.  Ada yang bahagia jadi petani hidup seadanya, ada yang tidak bahagia walaupun jadi orang terkaya di negeri ini.  Semua akan terkuak saat menjelang mati, saat kita sadari, apa yang akan kita bawa ke kematian nanti.  Jadi pilihlah sendiri, apa yang akan kamu bawa saat kamu mati nanti? 

Ada agama yang mengajarkan hanya 3 hal yang bisa kamu bawa; amal soleh, anak yang soleh dan ilmu yang bermanfaat.  Kalau kamu percaya agama itu tanyakan pada diri kamu sendiri:
cukupkah amal solehmu? atau lebih banyak amal tidak solehmu?
solehkah anakmu? atau kafirkah anakmu?
bermanfaatkan ilmumu? atau malah menyesatkan ilmumu?

Kalau kamu tidak percaya agama itu, janganlah mengaku beragama itu, dan cobalah tanya ke dirimu sendiri, apa yang agama ajarkan untuk dibawa saat kamu mati nanti.

Kalau kamu tidak percaya ada kehidupan setelah mati, janganlah mengaku beragama, dan cobalah biarkan orang lain menjalani agamanya dengan baik, dengan begitu kamu menghormati hak asasi manusia lain.

Kalau kamu tidak mau menghormati hak asasi manusia lain, hati-hati lah, karena kamu bisa diadukan ke polisi dan KOMNAS HAM dan bisa dihukum.

Posted by ingin tobat  on  06/16  at  01:20 AM

Dua ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyyah sudah mengharamkan perkawinan jenis ini (beda agama). Saya lebih percaya kedua ormas Islam itu ketimbang pendapat di sini. Wallahu A’lam

Posted by Fathoni  on  06/02  at  03:04 PM

saya wanita muslim yang mempunyai seorang kekasih beragama khatolik. hubungan saya dengan dia sudah berjalan 3 tahu.. untuk masalah prinsip agama kita tidak memiliki kendala apapun. bahkan kami berencana untuk menikah, dengan membawa agama masing”. menurut saya, setiap agama itu pasti mengajarkan hal yang baik pada setiap umat nya. jadi apapun agama nya, saya kira tidak jadi masalah. asalkan kita tetap berpegang teguh pada keyakinan sendiri.toh yang nama nya manusia hanya bisa berusaha, yang menentukan tetap yang di atas.

Posted by memey  on  05/31  at  01:32 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq