NU dan Passing Over Pemikiran - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
26/01/2009

Menyambut Ultah NU ke 83 NU dan Passing Over Pemikiran

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni.Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

83 tahun lalu (31/1/1926), Nahdlatul Ulama berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam`iyah diniyah ijtima`iyah). Kehadirannya saat itu memiliki beberapa tujuan pokok, di antaranya: Pertama, menahan laju purifikasi Islam yang digelorakan beberapa tokoh Wahabi Indonesia. Gerakan purifikasi itu dikeluhkan dan ditentang para kiai pesantren karena potensial merubuhkan jenis-jenis keislaman lokal nusantara. Bagi para kiai, tak ada Islam murni dan tak murni. Islam selalu berwatak lokal dan pribumi. Dengan memodifikasi pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.), para kiai berpendirian bahwa Islam itu warna-warni. La lawna lahu. Walawnuhu lawna ina’ihi. Yang menjadi perekat dari berbagai ekspresi keislaman itu, menurut para kiai, adalah nilai-nilai dasar dari agama itu (maqashid al-syari`at).

Fakta antropologis, sosiologis, dan intelektual menunjukkan bahwa pernah ada Islam Hijaz dan Islam Persia. Jika Islam Hijaz bersandar pada kekuatan dalil normatif al-Qur’an dan Hadits (dalil naqli), maka Islam Persia secara umum bertunjang pada kekuatan akal (dalil aqli). Sejumlah pengamat masih mengkategorikan Islam Persia ke dalam dua corak; Islam Kufah dan Islam Bashrah Sekiranya Islam Kufah berparadigma formalistik-rasionalistik dengan tokohnya misalnya Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H.), Masruq al-Hamdani (w. 63 H.), maka Islam Bashrah beraroma sufitik-spiritual dengan tokohnya Hasan al-Bashri (w. 110 H.) dan Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H.). Jika rasionalisme para ulama di Kufah dipandang sebagai respons positif atas filsafat Yunani yang berkembang di sana, maka asketisme Hasan al-Bashri dan eskapisme Rabi`ah ditempuh sebagai kritik terhadap hedonisme yang menghunjam di Bashrah. 

Di Indonesia juga sama. Ada Islam Aceh, Islam Minangkabau, di samping Islam Sasak dan Islam Jawa. Di Jawa pun, ekspresi keislaman bisa dibedakan antara pesisir utara Jawa yang cenderung ortodoks dan pesisir selatan Jawa yang lebih heterodoks. Kita bisa melihat tampilan keislaman di utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, hingga Situbondo yang berbeda dengan karakter keislaman selatan Jawa mulai dari Yogyakarta, Kebumen, Magelang, Ngawi, Blitar, Pacitan, Lumajang hingga Banyuwangi. Sadar akan pluralitas itu, NU tak punya ambisi untuk merangkum kaum nahdliyyin ke dalam satu cluster pemikiran yang ekslusif. Warga NU hingga hari ini dibiarkan dengan segala keanekaragamannya. Sekali lagi, yang menjadi semen perekatnya adalah maqashid al-syari`at.

Kedua, NU berdiri untuk mengedukasi masyarakat agar tak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran. Dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatul Ulama pasal 2 disebutkan tentang tujuan berdirinya NU, “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe memegang dengan tegoeh satoe dari mazhabnja imam empat jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah An-Ne’man, atoe Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengedjakan apa saja yang mendjadikan kemaslahatan agama Islam”. Artinya, di tengah masyarakat yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i saat itu, NU membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasional sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.

Kini sejumlah kiai NU melakukan passing over pemikiran. Dalam berbagai kegiatan ilmiah dan bahtsul masa’il, mereka tak hanya mengutip para imam mazhab dari rumpun keislaman Sunni, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah. Sejumlah kiai merujuk pada tafsir al-Zamakhsyari yang berhaluan Mu`tazilah dan fikih Ja`fari yang Syi`ah. Di beberapa pesantren, tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari dipelajari secara khusus oleh para santri. Saya juga berjumpa dan kenal dengan beberapa kiai NU yang secara diam-diam melahap buku-buku keislaman progresif yang ditulis misalnya oleh Hassan Hanafi, Mohamed Arkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Khalil Abdul Karim. Dalam soal pemikiran keislaman, sikap para kiai NU clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (unzhur ma qala wa la tanzhur man qala). Kesahihan sebuah pemikiran tak diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi apa yang dikatakannya--seperti apa argumennya dan bagaimana kemanfaatannya.

Seperti disebutkan di ujung terakhir pasal 2 Statuten Perkoempoelan NU itu, kemasalahatan adalah jangkar dari seluruh diskursus keislaman dalam NU. Pandangan ini tak asing. Sebab, mayoritas ulama Islam memang berpendirian demikian. Izz al-Din Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H.) misalnya berkata, “seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan” (innama al-takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum). Akhirnya, basis kemaslahtan inilah yang menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan ini juga yang terus mendinamisasi pemikiran dalam tubuh Nahdlatul Ulama, dari dulu hingga sekarang. Selamat Ulang Tahun NU yang ke 83. []

26/01/2009 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (46)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

islam adalah agama yang mempersatu umat manusia, alangkah indah jika kerukunan beragama dan berbangsa dimaknai dengan prinsip religi. setiap manusia mempunyai keyakinan yang berbeda tetapi mempunyai prinsip tujuan hidup yang sama yaitu kebahagian. alangkah indah jika antar kelompok-tidak mementingkan pribadi atau kelompoknya.

Posted by ray  on  05/20  at  04:33 PM

Selamat Ultah NU yang ke 83 jayalah umatnya, jayalah jam’iyahnya,

Posted by Kang Fuad  on  04/21  at  03:22 PM

Kang kabayan, Yanglebih penting dari sekedar penalaran rasio, adalah ketajaman mata hati,"futuhal arifin”. Islam memang ada yang murni dan ada yang warna-warni. Islam yang murni adalah Islam pada tataran ide, sistem nilai, norma yang semuanya lengkap dan indah tercanum dalam qaulul haq, Allahul Adzim (AlQur.an)dan kebenaran “ide” al Qur,an adalah absolut, karena itu firman Allah. Sedan Islam warna-warni adalah Islam pada tataran amaliyah,Islampada tataran praktis.Untuk dapat mengamalakan Islam seseorang dituntut untuk memaham Ide Alqur’an,nah pada tataran inilah sangat mungkin terjadi distorsi, karena keterbatasan pemahaman manusia terhadap ayat-ayat ilahiyyat.Oleh karena itu, percayalah selagi seseoang berkeyakinan, bahwa pemahaman dia adalah yang paling benar, maka selamanya dia tidak akan bisa menerima perbedaan. Padahal yang namanya penafsiran, interprestasi bukanlah ebenaran mutlak, tapi kebenaran yang sangat subyektif. Itulah sebabnya, Ulama2 kita dahulu tidak sukup memahmi ayat2 ilahiyat dengan penalaran rasio semata, tetapi juga dengan keajaman mata batin. Sehinggayang beliau dapatkan bukan sekedar kulit luar, yang tampak warna-warni, tapi juga spirit islam ang mengagngkan akhlakul karimah. Dan pada titik inilah Islam dapat menjadi rohmatal lil alamin, ketika, perbedaan itu dianggap sebagai rahmat, karena keterbatasan kemapuan penalaran akal manusia…
Wallahu a’lamu bshowab

Posted by Kang Fuad  on  04/21  at  03:03 PM

Assalamualaikum ww.
Saya sepakat dengan mas ‘bijak’ mengukur keislaman seseorang atau bahkan diri sendiri itu sangatlah mudah. Karena Islam itu memang simpel, rukunnya lima saja. Syahadat, sholat, shaum, zakat,haji, masing2 dengan rukunnya yang juga sangat simpel. Dua rukun pertama, memang fadu ain [wajib mutlak], tiga terakhir terutama zakat dan hajji, wajib jika mampu, dan ukuran2 kemampuan itu juga sudah jelas. Apa lagi? Ini masalah ritual, masalah hablumminannas juga simpel. Berdagang ada aturannya.Berpolitik juga. Bertetangga baik dengan sesama muslim maupun tidak juga sederhana saja. Yang halal yang haram sudah jelas, dan sebagian besar seseuai dengan nilai nilai universal yang dianut oleh sebagian bsar umat manusia. Cuma yang berbeda adalah hukumannya, oleh Islam lebih keras tapi berdasar pada prinsip keadilan. Yang berat dan sulit dari sudut pandang Islam adalah berjihad melawan’diri sendiri’dan juga membersihkan pikiran dari dari kepentingan2 tertentu terutama dalam mendalami Islam, ataupun menyikapi perbedaan faham yang semakin meruncing akhir2 ini. Rasanya mudah dipahami begitu Rsulullah wafat muncullah berbagai faham dan mazhab, sudah barang tentu dilatar belakangi oleh berbagai macam keoentingan. Baik yang bertujuan positip maupun negatip. Sayangnya yang menonjol adalah latar belakang kepentingan pribadi, kelompok, kekuasaan harta benda dll. Dan inilah yang kita warisi sekarang ini.  Terjadi paradoks dlam dunia Islam, ‘orang’Islam mempelajari Islam tidak dari sumbernya atau di hulunya tapi dihilirnya. Okelah sekarang jika para pemikir atau orang2 yang menganggap dirinya sebagai pembaharu dalam Islam bisa mensterilkan diri pengaruh pemikiran para orientalis, setiap debat atau diskusi adalah semata mata untuk kecemerlangan Islam kita apresiasi, walaupun sebenarnya dalam Islam itu sudah tidak ada lagi yang perlu dperdebatkan. Karenanya saudara2ku marilah kita satukan tujuan, marilah kita masing2 memperbaharui iman kita, sebab jangan dikira begitu menganggap kita yang paling benar dan beriman jangan dikira tidak akan diuji, oleh sang Pencipta. Wallahu’alam.

Posted by djineman_rowoh  on  03/27  at  03:57 PM

Dalam setiap zaman, NU selalu melahirkan cendikiawan2 muslim yang mewarnai pemikiran islam. Warna dan corak keislaman nusantara hendaknya menjadi kekayaan islam dalam bingkai keindonesiaan. Selamat Ultah NU semoga senantiasa memberikan pencerahan terhadap indonesia…

Posted by Enal  on  03/08  at  06:28 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq