Oposisi Bukan Sekadar Berbeda - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
17/05/2004

Andi A Malarangeng: Oposisi Bukan Sekadar Berbeda

Oleh Redaksi

Andi Alfian Mallarangeng Selasa lalu (11/5) membuat kejutan politik. Ia mengundurkan diri dari Persatuan Demokrasi Kebangsaan, partai yang ia dirikan dan ia jadikan pelabuhan hatinya. Alasannya, partainya mendukung pencalonan Wiranto sebagai calon presiden dari Golkar. Bagi Anto, sapaan akrab pria yang identik dengan kumisnya ini, posisi yang terbaik untuk partainya saat ini adalah menjadi pihak oposisi bersama dengan kekuatan lain mengontrol pemerintah yanag berkuasa.

Andi Alfian Mallarangeng Selasa lalu (11/5) membuat kejutan politik. Ia mengundurkan diri dari partai PDK (Persatuan Demokrasi Kebangsaan), partai yang ia dirikan dan ia jadikan pelabuhan hatinya. Alasannya, partainya mendukung pencalonan Wiranto sebagai calon presiden dari Golkar. Ia tak terima dan lebih memilih mundur dan kembali ke dunia sebelumnya: dunia intelektual. Bagi Anto, sapaan akrab pria yang identik dengan kumisnya ini, posisi yang terbaik untuk partainya saat ini adalah menjadi pihak oposisi bersama dengan kekuatan lain mengontrol pemerintah yanag berkuasa.

Pengajar Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta ini berpendapat, dalam dunia demokrasi, kekuatan oposisi merupakan salah satu keharusan politik. Fungsinya, untuk memberikan perimbangan, kontrol dan alternatif kebijakan bagi kekuatan politik yang tengah berkuasa. Kenapa oposisi perlu? karena manusia bukanlah malaikat yang dikenal tak pernah berbuat salah, ia perlu kontrol. Untuk menggali pengetahuan tentang oposisi secara mendalam, Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mewawancarai pengamat politik lulusan Northern Illinois University ini, Kamis (6/5). Berikut petikannya:

ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Bung Andi, bisa dijelaskan apa makna oposisi dalam politik?

ANDI A. MALLARANGENG (AAM): Kalau memakai artian yang literal, oposisi artinya “berlawanan”. Kata oposisi hadir dari khazanah Inggris, ketika di dalam parlemen terdapat dua pihak yang saling berhadapan: partai yang memerintah dan partai yang menjadi oposisi di seberangnya. Intinya, oposisi ada karena dalam kenyataan politik ada yang berkuasa dan ada yang di luar kekuasaan. Nah, yang di luar kekuasaan bertugas mengontrol, atau memberikan alternatif kebijakan kepada mereka yang berkuasa, sehingga rakyat mempunyai pilihan-pilhan kebijakan. Dasar filosofisnya oposisi adalah: karena manusia bukan malaikat, maka manusia harus dikontrol oleh manusia lainnya (ketika berkuasa).

UAA: Jadi ide dasarnya adalah kontrol karena manusia sangat mungkin berbuat salah?

AAM: Juga untuk memungkinkan munculnya alternatif kebijakan. Oposisi pada dasarnya adalah perbedaan pendapat. Sebab selalu akan banyak pendapat dalam proses merumuskan kebijakan pemerintah. Misalnya, Anda mau membuat busway, monorail, atau transportasi terpadu. Ini semua adalah pilihan-pilihan kebijakan.

UAA: Kenapa pula penguasa harus dikontrol?

AAM: Sebab sebuah kekuasaan, sesuai pendapat Lord Acton, akan cenderung merusak; cenderung untuk korup. Kalau kekuasaan itu terlalu absolut, dia akan cenderung korup absolut juga. Karena itu, dia harus dikontrol melalui parlemen. Makanya harus ada yang menjadi oposisi di parlemen. Tapi parlemen pun harus dikontrol juga. Makanya beberapa negara menganut model bikameral (dua kamar) dalam sebuah parleman; ada kamar atas dan ada kamar bawah. Antara kamar atas dan kamar bawah saling mengontrol. Jadi tidak mesti kedua belah pihak harus saling setuju.

DPRD di daerah-daerah kabupaten kita sekarang memang masih berbentuk unikameral (satu kamar), berbeda dengan di pusat yang punya DPD dan DPR. Secara prinsip, apa yang dimaui DPRD di daerah akan terjadi dengan tingkat oposisi yang lemah. Kalau mereka mau uang kedeudeh, bagi-bagi giliran studi banding atau naik haji, atau apapun yang akan mereka perbuat, tidak akan ada yang mengontrol dalam parlemen itu sendiri. Kalau dalam sistim bikameral, akan ada DPD dan DPR yang saling mengontrol dalam konteks jointsation.

Selain itu, anggota parlemen --baik yang di kamar atas maupun di kamar bawah-- pun harus dikontrol oleh kekuatan-kekuatan civil society. Kekuasaan membuat budget, undang-undang, dan lain sebagainya harus pula dikontrol oleh kekuatan civil society.

UAA: Sebagian orang berpendapat kalau oposisi bukanlah budaya bangsa atau tradisi Dunia Timur?

AAM: Bisa saja orang mengatakan begitu. Tapi dia juga harus melihat konteks sejarah mengapa pemikiran semacam itu muncul. Pemikiran semacam itu akan muncul ketika kita hidup dalam dunia aristokrasi, atau pada sistem kerajaan absolut. Di situ raja berkuasa secara absolut, sementara rakyat menjadi kawula dan tidak berhak untuk mengoreksi raja. Kalaupun model koreksi terhadap raja dimungkinkan, yang digunakan adalah mekanisme pepe (berjemur) seperti di Jogjakarta.

Jadi kalau rakyat punya aspirasi tertentu terhadap raja, mereka duduk di alun-alun tanpa berbicara sampai berminggu-minggu, sehingga raja memperhatikan mereka dan bertanya apa maunya. Dalam demokrasi kan tidak begitu. Dalam demokrasi, kita tidak lagi punya raja, tapi rakyatlah yang berdaulat penuh. Karena itu, yang diinginkan rakyatlah yang mestinya menjadi kebijakan negara. Persoalannya mungkin terletak pada kenyataan bahwa rakyat itu bermacam-macam.

UAA: Para penguasa di dunia Islam tak segan-segan menggunakan ayat Qur’an yang memerintahkan taat pada Allah, Rasul, dan pemegang kekuasaan politik (ulil amri) dalam satu nafas untuk menuntut ketaatan rakyat. Tentu di sini tidak ada peran oposisi. Komentar Anda?

AAM: Bagi saya, yang dimaksudkan ayat itu adalah loyalitas terhadap negara. Saya bisa saja tidak suka dengan keputusan pemerintah menaikkan pajak atau harga BBM, tapi saya harus tetap patuh terhadap keputusan itu selama diambil melalui jalur yang sah seperti melalui undang-undang atau keputusan pemerintah.

AAM: Bagaimana menjamin agar oposisi tidak sekadar ingin berbeda dan menentang yang berkuasa?

UAA: Di sinilah kita berbicara tentang etika pemerintahan atau etika politik. Jadi yang beroposisi pun tidak boleh sekadar tampil beda; melulu menyalahkan apa yang dilakukan pemerintah. Dalam etika oposisi, kalau pemerintahan salah harus dikatakan salah, dan kalau benar harus dipuji. Makanya dalam negara demokrasi modern seperti Amerika, terdapat semangat bipartisan. Di sini, Partai Demokrat dan Partai Republik bersatu mendukung suatu kebijakan dan tidak mendukung kebijakan lain. Jadi tidak semua harus partisan, sekali-kali bipartisan.

AAM: Bagaimana dengan oposisi masyarakat di luar parlemen?

UAA: Oposisi jenis ini juga penting. Sebab mereka yang berada di dalam parlemen pun sebetulnya punya kekuasaan. Siapapun yang punya kekuasaan harus dikontrol. Disitulah peran civil society seperti dunia pers, kalangan intelektual, dan gerakan mahasiswa. Mereka melakukan kontrol dari luar, supaya mereka yang ada di dalam parlemen bisa diawasi. Di sini kita bisa melihat perilaku para anggora DPR ataupun DPRD. Kalau tidak ada institusi civil society yang kuat, mereka bisa saja membagi-bagi uang kedeudeuh, uang purna bakti, dan giliran haji seenak mereka. Jadi, sementara tugas parlemen mengontrol eksekutif, mereka juga dikontrol oleh kekuatan civil society.

AAM: Jadi ide tantang kontrol berlangsung dua arah: dari dalam dan luar parlemen?

AAM: Ya. Makanya demonstrasi tetap sah dalam dunia demokrasi. Hanya saja demonstrasinya yang tertib, damai. Karena kalau kegiatan oposisi masih loyo, sekadar tampil beda, maka wibawa oposisi juga akan rendah. Prinsipnya, kalau sebuah partai yang beroposisi bisa menjalankan mekanisme kontrol dengan baik, bisa membendung korupsi atau memberi alternatif kebijakan, maka pada pemilu mendatang partai itu boleh jadi akan mendapat suara lebih besar lagi.

UAA: Tapi Bung, oposisi itu kan tidak enak karena tidak kebagian apa-apa. Bagaimana mengatasi persoalan ini?

AAM: Memang. Tapi kalau saya berkuasa, harus ada yang di oposisi. Saya akan senang kalau ada yang mengontrol saya. Sebab bagaimanapun juga saya adalah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kapan saja. Kalau tidak ada kontrol yang baik, maka saya bisa melakukan kesalahan dan tidak ada yang mengingatkan. Sementara, dalam agama disebutkan agar kita saling mengingatkan, al-dînun nashîhah. Bagaimana bisa memberi nasihat kalau semua orang masuk dan terlibat dalam pemerintahan.

UAA: Menurut Anda, tidakkah lebih baik bagi partai-partai Islam untuk membentuk satu blok kekuatan oposisi guna menjadi pengimbang kekuasaan?

AAM: Itu ide yang bagus. Setahu saya hanya PKS yang telah mengklaim akan berada di luar pemerintahan. Itu start yang bagus. Walaupun PKS bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden, tapi dia tidak mau. Hanya saja, perolehannya yang 7 % (untuk beroposisi) masih terlalu kecil. Mesti ada rekan lain yang ikut agar kekuatannya lebih besar lagi. Kita tidak tahu, apakah PPP bersedia menjadi oposisi setelah terlibat dalam pemerintahan sekian lama.

Kita jangan lupa bahwa yang berkuasa selama ini bukan hanya PDI-P dan PPP. Perwakilan Partai Golkar, bahkan PBB dan PAN juga ada di situ. Yang tidak punya menteri di kabinet kan cuma PKB setelah Gus Dur lengser. Makanya, mungkin sekarang ini momentum yang tepat untuk memulai budaya oposisi dalam kehidupan kenegaraan kita, bukan hanya di tingkat nasional, tapi juga di daerah-daerah.[]

17/05/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Menarik perbincangan Ulil Absar Abdallah bersama Andi Alfian Mallarangeng, sebagaimana perbincangan yang sebelumnya Alfian dan UAA juga memuat perjumpaan yang apik dan sangat memukau, wah sepertinya ada deal atau kesamaan visi dalam berpola pikir.

Yang jelas, sangat menarik wacana Oposisi di Indonesia lebih dikembangbiakkan, jangan sampai ada aksi-aksi penjinakan, terlebih lagi kontrol masyarakat/warga negara Indonesia baik untuk pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di dalam negeri maupun di luar negeri.

Selama ini mulai ada titik-titik untuk mengetahui bagaimana seluk beluk penyelenggaraan negara sehingga tindakan-tindakan kekuasaan dalam melakukan KKN terungkap jelas, rinci dan meski tidak seluruhnya tuntas, tapi adalah sedepa yang kita dapat lihat dan saksikan, dan oleh karenanya upaya-upaya antisipasi sejak 2004 ini perlu untuk kembali disegarkan, semangat yang sudah loyo perlu disemai kembali agar penyelenggaraan negara di dalam negeri dapat secara bersama-sama dinikmati oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.

Nnah bagaimana dengan penyelenggaraan negara di luar negeri. Sepertinya Perwakilan RI di luar negeri kurang mendapat perhatian yang cukup lagi intens dari warga negara Indonesia baik dalam bentuk pengawasan-pengawasan yang melekat ataupun pengawasan-pengawasan yang bersifat himbauan, saran dan masukan.

Kita yang di luar negeri sering kali berharap agar pengawasan yang akuntabel dari BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) yang setiap tahun melancong ke seluruh Perwakilah RI di luar negeri dapat kita lihat hasil terangnya, apa saja yang diawasi, dapat nilai berapa mereka yang menyelenggarakan kekuasaan RI di luar negeri, kalau raportnya merah, secara moral para penyelengara negara di luar negeri harus instrospeksi diri, karena selama ini kalau ada kasus-kasus penyimpangan baik dalam bentuk aksi penyimpangan dalam kebijakan maupun kasus penyimpangan jabatan, terjadi tapi tidak diselesaikan dalam proses hukum yang berlaku di dalam UU NKRI.

Selama ini yang terdengar baru KBRI Watch yang dibuat oleh para mahasiswa sukarelawan yang ada di Amerika, dan itupun saat sekarang ini kurang terdengar lagi.

Nah, kedepan demi mengedepankan kehormatan negara untuk maslahat masyarakat Indonesia, dibutuhkan Oposan-oposan yang bermoral yang tidak hanya menjual jargon-jargon beroposisi untuk berbeda, tapi dalam berbeda itu kita dapati hikmah-hikmah yang memberi rasa keadilan bagi sesama. Sehingga para aparatur negara mengetahui, menghayati serta menjalankan dengan sebenar-benarnya kaidah “Sayyidul Qaumi Khadimuhum”, Pemimpin suatu kaum itu adalah pelayan kaum itu.

Semoga dan salam perjuangan buat Daeng Anto, UAA dkk yang tak pernah pantang untuk terus berjuang menegakkan yang benar.!!

salam dari Cairo,

syams
-----

Posted by syamsu alam  on  05/24  at  03:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq