Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Gagasan
26/08/2008

Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab

Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta. 

Saya masih berada di Balikpapan ketika Saudara Anick HT mengirim info via pesan pendek (SMS) bahwa dia dan Ahmad Suaedy akan menjadi saksi persidangan Rizieq Shihab hari Senin (25/8/2008), pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu inginnya menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa Front Pembela Islam (FPI), mengingat terdakwanya adalah orang yang selama ini mereka kultuskan.

Senin pagi saya menjemput Saudari Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya kami khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah meminta izin, polisi dengan ramah mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami berpapasan dengan beberapa orang dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.

Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, lebih banyak laki-laki dan sebagian besar memakai baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada tempat kosong; cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara takbir menggelegar memenuhi ruangan. Itu terjadi setiap kali diteriakkan kata ”takbir” oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat diteriakkan.

Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan dengan itu, Nong, Anick, Saidiman, dan Ilma datang. Kami berenam duduk bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN hanya muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan jadwal sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini sudah biasa, jadwal sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, Anick, dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang FPI, semuanya laki-laki.

Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh sesak. Sebagian duduk di lantai, sebagian lagi berdiri di seputar dinding ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh pendingin ruangan (AC), sekarang sudah berubah panas dan sumpek. Seingat saya, ada aturan yang ketat dalam persidangan menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?!

Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai melakukan ratiban. Tentu dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. Massa FPI membaca salawat, doa, dan wiridan lainnya, mengikuti pemimpin mereka. Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak lazim ini. Disebut tidak lazim, karena seumur hidup baru kali ini saya menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.

Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban sama sekali bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah saya lakukan sejak di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di pesantren, kami terbiasa ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak, sehingga mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang lain.

Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk memimpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. ”Semua yang mengaku Muslim harap berdiri!” demikian perintahnya. Amanda dan saya tidak berdiri dan itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: ”Kalau Islam, berdiri dong!”; ”Hai kafir, jangan duduk saja!”; ”Kamu bukan golongan muslim, ya?!”; dan seterusnya. Kami tetap diam dan bergeming. Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu menengadahkan tangan berdoa dalam posisi tetap duduk, demikian pula Amanda. Terdengar suara, ”Sudah, nggak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas Islam!” Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin, dengan suara lantang; seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: ”Heran ya, kok di ruang resmi seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain?!” Apalagi soal doba-berdoa; itu kan tidak harus berdiri, bisa sambil duduk, berbaring, dan itu terserah kita. ”Ya, begitulah mereka,” jawab saya.

Pembacaan doa berakhir, dan tidak berapa lama para hakim memasuki ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq Shihab memasuki ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: ”Ehh, ini siapa?” Lalu dijawab, isteri Rizieq. ”Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu pengunjung!” kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera saja muncul interupsi oleh Tim Pembela. Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak di dalam ruangan sidang. Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik; orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu argumentasi yang hangat. Akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi meninggalkan ruangan. Hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi acungan jempol kepada Hakim Ketua. Sikapnya tegas, tenang, dan tidak terpengaruh oleh kondisi ruang sidang yang ”hangat”.

Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran saksi pertama dipanggil, Anick, lalu menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama diajukan oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak bekerja optimal seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami tekanan psikis akibat ulah massa FPI di ruang sidang, atau sedang dalam kondisi yang tidak fit untuk bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru sangat bersemangat. Mereka dengan lantang mencecar para saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, membuat para saksi agak kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan menjawab pertanyaan dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang bersifat teknis, seperti berapa banyak massa AKKBB, atau berapa banyak massa FPI, para saksi tidak memberi jawaban yang pasti.

Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslim, kan?; Jangan bohong ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini pembohong, kalau Anda berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas, pasti Anda sudah digebukin juga! Selain itu, suasana sidang masih juga diselingi yel-yel Allahu Akbar dan kalimat agamis lainnya.
Lalu, sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang yang mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan, seperti: ”Astagfirullah, ini orang kafir!”; ”Dasar kafir, lho!”; ”Beraninya ngaku Islam!”; ”Giliran di sumpah justru pake Qur’an!”; ”Kamu pantas di neraka!”

Bagi saya, paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama, pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang melatarbelakangi aksi Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya, tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para founding fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana.

Muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan semua warga negara. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga negara dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga negara adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen, dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila.

Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan, dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan mereka. Dalam ruang sidang, saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan isyarat tangan, serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan! Jadi, mereka juga bisa sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti, dan serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas dirinya sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.

Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan! Saya tidak menginginkan corak agama demikian.

* Ketua Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), Jakarta.

26/08/2008 | Gagasan | #

Komentar

Komentar Masuk (126)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Wah...potret keagamaan Indonesia semakin jelas saja.
Beruntung bagi saya menemukan “kebenaran sejati” yang membawa kami pada keselamatan yang abadi…

Posted by roista man  on  11/23  at  12:58 AM

Alangkah indahnya orang yang mampu melihat bahwa dunia ini berwarna-warni dan bukan hitam putih doang. Alangkah indahnya bila manusia santun, tidak cepat emosi bagaikan orang kurang waras. Marilah kita tampilkan bahwa iman kita lewat tingkah laku. Orang lain yang akan menilai kita lewat sikap hidup kita. Ingat TUHAN paling senang melihat orang yang penyabar, berperilaku adil, tidak menganggap kelompoknya paling benar. Kita adalah manusia yang tidak sempurna, hanya TUHAN yang sempurna. Oleh karena itu marilah kita berjuang terus selama ada di atas dunia ini untuk lebih sempurna. Jangan sekali-kali kita anggap diri kita sempurna dan orang lain tidak sempurnya. Ingat ketika kita mati kita hanya menempati lahan seukuran tubuh kita saja. Ya Tuhan yang maha sempurna, ajarlah kami mengakui dosa-dosa kami.

Posted by emanuel zega  on  11/19  at  11:59 AM

saya ini moderat tapi tidak selalu liberal
prinsip saya adalah saya percaya akan keseimbangan
hidup, ada malam ada siang , ada gelap ada terang , ada baik ada buruk.
masalahnya banyak manusia mengklaim dirinya paling terang, paling benar, dan paling baik.
yah, saya sih melihatnya sebagai bentuk keseimbangan alam. Adanya Rizieq .. (siapa tadi??) dan adanya Absar Abdala dengan JIL ini, bagi saya adalah keseimbangan yang sangat harmonis dimana ada contra dan anti-contra (bahasa saya)
meminjam bahasa dari group band “The Wartegboys” :
“OKE LAH KALAU BEGITU ...”
Buat saya yang terpenting adalah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak, orang miskin (biar miskin) tidak kelaparan, pendidikan yang mencerahkan, dan keharmonisan antar umat beragama.
Oh iya, satu lagi, saya ini dari Kelompok Syi’ah Moderat.
-Salam Kenal-

Posted by ibrahim lathini  on  10/05  at  11:05 PM

sebisa mungkin terus adakan dialog secara sehat antara ICRP dan FPI agar perbedaan2 yang ada akan jadi rahmat bukan laknat bagi umat islam khususnya dan indonesia pd umumnya…

Posted by amin  on  09/24  at  02:37 PM

Dukung seratus persen 100% JIL (Jaringan Islam Liberal)

Posted by rudy  on  08/31  at  02:01 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq