Pluralitas Makna Pluralisme (Agama)
Oleh Suratno
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
Salah satu fatwa hasil Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia atau MUI ke VIII yang dianggap kontoversial adalah pelarangan penyebaran paham pluralisme agama. MUI menilai haram terhadap pandangan pluralisme bila konsep itu diartikan sebagai pandangan yang menyebutkan bahwa semua agama adalah sama. Lebih lanjut MUI menjelaskan bahwa yang diperbolehkan adalah pluralitas yang diartikan sebagai kenyataan bahwa masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik.
Dengan tulisan ini saya tidak bermaksud memberikan komentar apapun terhadap fatwa MUI selain bahwa MUI mungkin kurang arif ketika mengeluarkan fatwa yang melarang pluralisme dengan membuat pengertian dan pemaknaan tunggal terhadap definisi pluralisme agama. Realitasnya, definisi pluralisme agama sendiri sebenarnya tidak bersifat tunggal (monolitik) karena banyak para ahli yang memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap pluralisme agama. Dalam hal ini, tulisan ini bermaksud menjelaskan dan menyandingkan pengertian dan pemaknaan yang berbeda-beda dari para ahli agama tentang definisi pluralisme agama tersebut. Secara umum, pengertian dan pemaknaan yang ditulis di sini dikembangkan dari kumpulan artikel yang diedit oleh John Lyden dengan judul Enduring Issues in Religion (1995) dan buku karangan Harold Coward dengan judul Pluralisme Tantangan Bagi Agama—Agama (1989).
***
Pertama, Karl Rahner. Rahner oleh banyak kalangan disebut sebagai teolog terbesar agama Katholik di abad 20. Pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap teologi Vatican Council. Kedua pada rentang waktu 1962-1965, yang telah membawa gereja Katholik Roma untuk merevisi pandangannya terhadap berbagai topik dari mulai doktrin sampai dengan liturgi. Proses modernisasi gereja Katholik Roma atau yang oleh John Paus XXIII disebut sebagai aggiornamento, juga memasukkan unsur penilaian terhadap pandangan gereja yang berkaitan dengan agama lain, selain Katholik.
Pemikiran Rahner mempengaruhi pernyataan Vatican Council diantaranya tentang kehadiran karunia Tuhan di luar gereja setelah sebelumnya Vatican Council keukeuh dengan pendirianya yang terkenal yakni: extra eclessiam nulla salus (di luar gereja, tidak ada keselamatan). Lebih dari itu, pemikiran teologis Rahner berpengaruh lebih jauh melalui artikulasinya secara pasti dalam tafsiran-tafsirannya terhadap doktrin Kristen. Dalam pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang Kristen Anonim (anonymous Christian). Yesus, dalam pandangan Rahner masihlah menjadi norma di mana kebenaran berada dan jalan di mana keselamatan dapat diperoleh. Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama Kristen agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Oleh karena itu Rahner mengatakan bahwa agama lain adalah sebenarnya bentuk implisit dari agama yang kita anut.
***
Kedua, John Harwood Hick. Hick adalah seorang filosof agama kontemporer yang concern terhadap masalah hubungan antar agama. Dalam pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama mesti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran satu agama atas agama lain secara normatif. Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju dengan penryataan bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang “lebih” dibanding kebenaran agama lain. Oleh karena itu, menurut Hick, kita harus menghindari penggunaan istilah terhadap penganut agama lain sebagai orang Kristen Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Buddha Anonim dan sejenisnya. Cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar daripada yang lain karena kita (semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang mencari-nya.
Dalam menjelaskan realitas tunggal yang sama itu, Hick menggunakan dualisme Immanuel Kant tentang the Real in-it-self (an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh kita (semua agama). Sementara, karena realitas tunggal itu bersifat maha baik maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenalnya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought-and-experienced (realitas tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan dan cultural factors--lah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.
Selanjutnya, mungkin muncul pertanyaan bagaimana menghubungkan kedua the Real tersebut? Atau bagaimana the Real as humanly thought-and-experienced yang mungkin berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lainnya bisa diartikan menuju ke the Real in-it-self yang sama? Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda itu tetap menuju pada the Real in it self yang sama sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari agama. Artinya, agama tersebut mesti memberikan pengaruh yang baik secara moral dan ethics bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, Hick menyatakan bahwa agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kepada kebenaran dan keselamatan dari the Real in-it-self.
***
Ketiga, John Cobb Jr. Cobb membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep pluralisme agama menurut Hick. Melalui keterlibatannya yang luas dalam dialog Kristen dan Buddha, Cobb Jr sampai pada kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu dan sebagainya adalah berbicara atau menuju realitas tunggal yang sama seperti yang dinyatakan Hick. Selain itu, Cobb Jr juga menolak jika dikatakan bahwa kebenaran satu agama sama validnya dengan kebenaran yang dimiliki agama lain. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh agama lain, kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the Real yang sama. Dalam hal ini, kalau misalnya, beberapa agama bertemu (encounter) satu sama lainnya maka penganut agama-agama tersebut sesungguhnya akan saling diperkaya oleh pengetahuan mereka tentang agama-agama lain. Mereka dapat belajar satu dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka.
***
Keempat, Raimundo Panikkar. Seperti juga Cobb, Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence (hal-hal esensial yang sama). Sejarah kehidupan keagamaan dan intelektual Pannikar dapat dikatakan sangatlah kompleks. Dia dilahirkan dalam keluarga di mana ayahnya beragama Hindu dan ibunya beragama Katholik Roma. Panikkar sendiri menjadi seorang pastur Katholik yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang sains, falsafah dan teologi. Dia menuliskan tentang pertemuannya (encounter) dengan agama lain: “saya meninggalkan ke-Kristen-an saya, menemukan diri saya sebagai penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut Buddha tanpa berhenti menjadi seorang penganut Kristen. Pendekatannya terhadap agama lain merefleksikan kompleksitas tersebut. Panikkar menjelaskan bahwa kita harus bekerja keras untuk memahami masing-masing agama dalam bahasa mereka sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda. Kita tidak dapat mengatasi dan menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau satu. Tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang (agama lain). Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi dan men-challenge agama-agama yang lainnya dalam jaringan intrikasi interkoneksi yang dia sebut sebagai dialog antar agama. Karenanya Panikkar menyatakan bahwa masing-masing agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu bisa berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan chalengge antara agama yang satu dengan agama yang lain.
***
Kelima, Wilfred Cantwell Smith. Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun 1941-1945. Ketika kembali ke Canada dia diangkat menjadi professor untuk studi perbandingan agama di Universitas Mc Gill dan kemudian berhasil mengorganisir berdirinya Mc Gill Institute of Islamic Studies. Pada tahun 1964 Smith menjadi direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions.
Menurut Smith, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.
Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Smith menulis: Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gambling di hadapan kita , dalam kedalaman dan kasih-Nya , maka seluruh kebenaran lainnya tak heni-hentinya memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama ‘berakhir’.
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
***
Berdasarkan uraian di atas, dalam bagian penutup ini, saya ingin menjelaskan mengapa fatwa MUI tentang pelarangan paham pluralisme agama itu saya nilai kurang arif. Sebagaimana terdapat pluralitas dalam memaknai dan memberikan definisi pluralisme agama oleh para ahli agama, maka klaim MUI terhadap pemaknaan pluralisme agama secara monolitik dalam bentuk pelarangan paham tersebut di Indonesia sama saja dengan pelarangan kebebasan berpikir dan berpendapat serta berkeyakinan. Padahal ketiga hal itu merupakan bagian dari hak asasi manusia. Atau kalaupun tidak menggunakan argumentasi pelanggaran ham, fatwa MUI tentang pelarangan paham pluralisme secara prinsip-prinsip yang secara logis mengandung aspek-aspek sesat pikir. MUI bisa saja berpendapat yang isinya menolak suatu paham tertentu. Namun jika melarang masyarakat menganut suatu paham, itu namanya mengingkari kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Apalagi kalau paham yang dimaksud bersifat plural (majemuk) dari segi makna maupun implementasinya dalam kehidupan sosial. Dus fatwa MUI tentang pelarangan pluralisme menurut saya menjadi kurang arif karena sulit dicerna oleh akal sehat kita. Wallahu a’lam bis shawab.
Komentar
Di atas saya baca tulisan komentar begini: “tanggalkan semua firman-firman dalam Al-quran, adu otak dan sedikit hati saja.”
saya jadi inget sebuah kisah musyafir yg sedang melakukan perjalanan mencari kebenaran dan keadilan. Di tengah perjalanan yang panas terik matahari sang musyafir kelelahan, lalu ia memutuskan untuk beristirahat berteduh di bawah pohon beringin yang batang dan cabangnya besar dan daunnya lebat dan rindang. Sambil duduk beristirahat ia mengarahkan pandangannya ke atas, dilihatnya buah beringin yang ia rasa sangat kontras jika dibanding dengan pohonnya yang berbatang dan bercabang besar, tapi buahnya sangat kecil. Lalu ia berfikir, “Kenapa pohon beringin yang batangnya besar seperti ini buahnya sangat kecil? Sedang pohon semangka, batangnya sangat kecil tapi buahnya jauh lebih besar dari buah pohon beringin?” Sang Musyafir ini pun lantas keluar pemiikirannya, “Ini adalah bentuk ketidak-adilan Tuhan. Mestinya biar adil, pohon beringin yang batangnya besar buahnya pun harus besar, dan pohon semangka yang batangnya kecil, buahnya pun harus kecil. Ini baru namanya adil” kata sang Musyafir.
Karena sejuknya dan semilir angin yang sepoi-sepoi di bawah beringin yang rindang, di tengah udara luar yang panas membuat sang Musyafir tertidur. Saya tidak ingin menceritakan mimpi yang sang Musyafir alami salama tidurnya. Saya hanya mau meneruskan sedikit cerita sang Musyafir yang terbangun dari tidurnya karena kaget matanya kejatuhan buah pohon beringin. Setelah terbangun ia mengambil dan mengamati buah pohon beringin yang tadi jatuh tepat di matanya. Lalu ia pun berfikir, “Ini adalah sebuah keadilan Tuhan yang nyata. Pohon beringin yang besar dan rindang adalah tempat yang disediakan oleh Tuhan buat musyafir untuk beristirahat setelah capai melakukan perjalanan di tengah panas udara dan teriknya matahari. Tuhan Maha Adil, yang telah menciptakan pohon beringin yang besar dan rindang tapi buahnya kecil, agar orang yang sedang berteduh dan beristirahat di bawahnya tidak celaka jika kejatuhan buahnya. Coba kalau beringin ini buahnya besar seperti buah semangka, sudah jadi apa mata dan kepala saya barusan?”
Kira-kira akan seperti sang musyafir inilah jika kita semata-mata menggunakan pikiran, otak dan hati saja tanpa dibantu Al Qur’an (wahyu Allah). Dalam satu keadaan ia akan mengataka Tuhan tidak adil, dan dalam keadaan yang lain ia mengatakan Tuhan Maha Adil.
ternyata masih ada orang yg tidak percaya akan datangnya hari kiamat yang akan ditiupkan oleh malaikat isrofil. menagapa anda tidak pecrya akan datangnya hari tersebut?????bukankah itu mememang akan datang!!jika dari zaman kakek nenek anda memang anda tidak bisa untuk melihat ukti itu. kita semua tahu bahwa kita didunia ini hanya sebentar istilahnya kita hanya mampir minum. kita hanya mampir untuk mencari kebaikan dan pahala saja.kalo anda tidak percaya akan datangnya hari kiamat,berarti anda bukan seorang mahluk yang beragama!kehidupan kematian semua sudah ada jalur dalam kehidupannya.
ada satu kisah nyata, dimana ada seorang bapak dan 1 orang anak perempuannya yang sengaja melakukan bunuh diri karena faktor ekonomi dengan cara membaringkan tubuhnya di atas rel kereta api yang sedang melintas, alhasil sang bapak meninggal dunisa dan anaknya perempuannya yg masih berumur 7tahun selamat dari maut dan mengalami patah tulang kaki!untuk mentununjukkan kebesaran Allah.
di dunia ini tidak ada yang kekal, hidup abadi selamanya! mungkin anda akan menganggap remeh hari kiamat dan bahkan tidak percaya.
namun suatu saat saya yakin dan percaya anda akan mendapatkan bukti2 yang menyatkan bahwa kiamat itu ada. saya yakin! Allah itu Maha Besar!!
sebenarnya jika saya cantum ayat2 al Quran tentunya anda akan lebih terheran2 dan mungkin tidak pcya!! tapi saya khusunya sebagai orang muslim, percaya bahwa kiamat itu ada. karena semua yang ada di dunia ini hanya pemberian Allah dan akan kembali kepada-Nya pula.
To the point aja, tulisan anda sangat jelas mencerminkan sedikit atau mungkin banyak orang islam yang masih bodoh sekali di negeri ini. Islam di mitoskan kesuciannya, Nabi juga dibela-bela mati-matian, Tuhan juga dijunjung tinggi-tinggi ! Kitab suci hanyalah sebuah buku belaka, tulisan manusia biasa, ilhamnya dari langit ( Katanya ). Hal-hal yang berbau Arab ditinggi-tinggikan ! Coba renungkan pertanyaan saya, apakah diantara kita termasuk Nabi Muhammad berwenang atas siapa-siapa yang akan masuk surga dan siapa pula yang masuk neraka ? renungkan dalam dalam-dalam ! saya masih banyak pertanyaan untuk Anda, mau sekarang juga ? Syaratnya hanya satu ! tanggalkan semua firman-firman dalam Al-quran, adu otak dan sedikit hati saja. dari jaman kakek-nenek saya, saya belum pernah membuktikan yang namanya datangnya hari kiamat yang ditandai dengan terompet ? tertantang berdebat yang logis dan masuk di rasa soal Allah, malaikat, jin, syurga, neraka, Muhammad, hari kiamat dengan saya ? Siapa saya ? Saya adalah sedikit orang yang sangat bersimpati dengan kiprah JIL..!
-----
Buat Mas Joko… (Tak U’ U’ .....)
Mohon maaf ya mas, sejak kecil saya sudah tidak bercita-cita jadi polisi. Apalagi, jadi polisi (syariat) yang suka pamer kekerasan dan merasa benar sendiri, jijay gitu loh.
Emang Habib Rizq itu siapa sih? koq aku belum kenal mas? apa bener, si habib itu orang yang pasukannya tiap malem minggu keliling jakarta nguber2 para waria, lonte dan penikmat kehidupan malam itu? hi.............(koq kiyai gak beda sama petugas rantib sih?).
Dalam perspektif ke-Indonesiaan, terutama yang menyangkut ghazw al-fikr diantara sesama gerakan Islam, sebenarnya FPi sudah gak masuk hitungan lagi mas joko. Gerakan Islam yang mengusung cara-cara kekerasan, dianggap tidak berbahaya, dan amat sangat mudah dikenai pasal-pasal hukum. Jadi gak usah jumawa lah, suatu saat ketika law enforcement dan sikap tegas polisi bisa ditunjukkan, FPI dan temen2 mas joko pasti akan libur dan kehilangan taringnya. Kecuali kalau memang masing pingin menuh-menuhin LP Cipinang… (hehehehehe, kidding lho mas).
Yang lebih berbahaya justru kelompok-kelompok munafik seperti PKS. lain muka, lain isinya. Jadi banyak orang yang ketipu. Bilangnya pro demokrasi, padahal anti demokrasi dan menggunakannya sebagai alat saja. Kalo sudah jadi mayoritas, tiran-aslinya baru keliatan. Padahal, dari kecil, gue sudah diajarin bokap n nyokap, kalau berhadapan dengan orang dan kelompok munafik itu harus ekstra waspada.
Jadi, gue lebih takut sama PKS dibanding sama temen2 mas joko di FPI. Maaf!
Buat Mas Joko… (Tak U’ U’ .....)
Mohon maaf ya mas, sejak kecil saya sudah tidak bercita-cita jadi polisi. Apalagi, jadi polisi (syariat) yang suka pamer kekerasan dan merasa benar sendiri, jijay gitu loh.
Emang Habib Rizq itu siapa sih? koq aku belum kenal mas? apa bener, si habib itu orang yang pasukannya tiap malem minggu keliling jakarta nguber2 para waria, lonte dan penikmat kehidupan malam itu? hi.............(koq kiyai gak beda sama petugas rantib sih?).
Dalam perspektif ke-Indonesiaan, terutama yang menyangkut ghazw al-fikr diantara sesama gerakan Islam, sebenarnya FPi sudah gak masuk hitungan lagi mas joko. Gerakan Islam yang mengusung cara-cara kekerasan, dianggap tidak berbahaya, dan amat sangat mudah dikenai pasal-pasal hukum. Jadi gak usah jumawa lah, suatu saat ketika law enforcement dan sikap tegas polisi bisa ditunjukkan, FPI dan temen2 mas joko pasti akan libur dan kehilangan taringnya. Kecuali kalau memang masing pingin menuh-menuhin LP Cipinang… (hehehehehe, kidding lho mas).
Yang lebih berbahay justru kelompok-kelompok munafik seperti PKS. lain muka, lain isinya. Jadi banyak orang yang ketipu. Bilangnya pro demokrasi, padahal anti demokrasi dan menggunakannya sebagai alat saja. Kalo sudah jadi mayoritas, tiran-aslinya baru keliatan. Padahal, dari kecil, gue sudah diajarin bokap n nyokap, kalau berhadapan dengan orang dan kelompok munafik itu harus ekstra waspada.
Jadi, gue lebih takut sama PKS dibanding sama temen2 mas joko di FPI. Maaf!
Komentar Masuk (16)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)