Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.
Apa yang saya tulis ini sebetulnya sudah menjadi diksusi secara pribadi dengan sejumlah teman waktu saya masih di Jakarta dulu. Agar tak menimbulkan salah paham, saya akan mengemukakan posisi moral saya sejak awal. Saya tidak setuju terhadap praktek poligami. Dalam pandangan saya, perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.
Yang menarik adalah bahwa monogami ternyata bukan saja merupakan “keadaan ideal” yang dikehendaki oleh agama. Monogami, lebih penting lagi, adalah juga menjadi norma yang sangat penting dalam kehidupan modern. Sensibilitas masyarakat modern terbentuk dalam norma semacam ini, sehingga mereka melihat praktek poligami sebagai semacam “warisan” dari masa lampau yang “jahiliyah”. Poligami adalah bagian dari feodalisme pra-modern.
Mungkin perlu semacam riset yang lebih mendalam mengenai asal-usul sosial dan historis yang bisa menjelaskan kenapa monogami menjadi norma utama dalam masyarakat modern. Saya percaya bahwa norma ini tidak datang “ujug-ujug” dari langit. Ia terbentuk melalui proses historis tertentu. Dengan kata lain, kaum pejuang keadilan jender perlu melakukan “analisa historis” atas munculnya norma keluarga dengan satu isteri itu. Historisitas tidak saja berlaku pada perkembangan ajaran dan doktrin agama, tetapi juga berlaku pada norma-norma yang kita kenal dalam masyarakat modern saat ini.
Ada satu paradoks dalam modernitas yang jarang kita sadari. Paradoks ini layak kita pikirkan dengan baik-baik, sebab entah pengutuk atau pemuja modernitas sama-sama tidak bisa menghindarkan diri dari gejala modernitas itu sendiri.
Di satu pihak, modernitas mengandung suatu impuls atau dorongan ke arah asketisisme, yakni hidup dengan etos kerja keras, tepat waktu, kalkulasi, efektivitas, dsb. Saya memandang, norma monogami mungkin berasal dari impuls ini. Saya tak tahu bagaimana menjelaskan hubungan antara monogami dengan etos asketisme dalam modernitas. Saya hanya menduga saja, bahwa bentuk keluarga kecil dengan isteri satu lebih sesuai dengan etos masyarakat modern yang menghendaki segala bentuk kepraktisan, efisiensi, kerja keras, dsb. Selain itu, keluarga kecil juga lebih memenuhi kebutuhan masyakarat modern untuk melindungi hak-hak milik pribadi. Konsep “hak milik” sangat penting kedudukannya dalam kesadaran masyarakat modern, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan masyarakat pra-modern.
Tetapi ada impuls lain dalam modernitas yang jarang sekali kita sadari, padahal kita lihat gejalanya dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dorongan untuk selalu mencobai hal-hal baru. Saya ingin menyebutnya sebagai impuls advonturisme. Penjelajahan Columbus untuk mencari “dunia baru” ternyata bukan saja melambangkan suatu kegiatan ekonomi dalam masyarakat modern untuk mencari tanah baru untuk dieksploitasi. Lebih dari itu, penjelajahan itu juga berlangsung pada kehidupan pribadi, termasuk dalam kehidupan seksual.
Dua kecenderungan ini jelas tidak “klop” satu dengan yang lain. Kecenderungan asketik medorong ke arah etos kehidupan yang menekankan semangat “menahan diri”, sementara kecenderungan yang kedua mendorong ke arah “pelampiasan nafsu”. Yang satu bersifat “frugal” atau “ugahari”, yang lain bersifat boros.
Paradoks ini paling kelihatan dalam konteks kehidupan keluarga. Di satu pihak, modernitas menekankan norma monogami: keluarga dengan satu isteri dan sedikit anak. Di pihak lain, kita menyaksikan bagaimana eksperimentasi dengan pengalaman seks meledak dalam masyarakat modern. Kita semua tahu bagaimana modernitas mengekspose segala kemungkinan yang ada pada tubuh, baik laki-laki atau, terutama, perempuan. Dengan berkembangnya teknologi audio-visual seperti televisi dan film, kecenderungan itu sekarang mengalami radikalisasi yang sangat ekstrem.
Paradoks ini selalu saya rasakan saat saya menonton televisi di Amerika (juga di Jakarta, sebetulnya). Saya menonton peragaan tubuh yang erotis di TV, begitu rupa sehingga saya berpikir dalam hati, “Kenapa saya tak bisa menikmati pengalaman erotisme seperti diperagakan dalam televisi itu? Bukankah kesempatan untuk itu terbuka lebar?” Tetapi di pihak lain, bagaimana saya mendamaikan antara “keinginan” mencobai erotisme itu dengan norma lain yang juga dijunjung tinggi dalam masyarakat modern, yakni norma hidup dengan satu isteri?
Dengan kata lain, di satu pihak saya dituntut, entah oleh modernitas atau juga oleh agama sebagaimana saya pahami, untuk hidup asketis dengan satu isteri, begitu pula isteri saya harus hidup dengan satu suami. Tetapi di pihak lain, saya (dan juga isteri saya) berada dalam suatu habitus sosial di mana erotisme hampir meresap ke segala pori-pori.
Tentu ada banyak solusi untuk paradoks seperti ini. Pertama, solusi yang “legal”, yakni saya akan gonta-ganti pasangan. Kalau saya bosan dengan isteri saya, atau isteri saya bosan dengan saya, kita sepakat untuk cerai, untuk mencobai pasangan baru yang lebih menggairahkan. Solusi ini sangat sulit berlaku dalam konteks masyarakat Kristen di mana perceraian ditabukan. Bukan hanya itu, solusi ini, secara praktis, juga sangat tak menguntungkan, dan dilihat dari sudut kepentingan melindungi hak milik yang sangat penting dalam masyarakat modern, sangat tidak menarik. Yang lebih masuk akal dalam konteks masyarakat modern adalah hidup dengan satu pasangan, terutama karena hal itu lebih menjamin keamanan dan perlindungan hak milik.
Kedua, solusi yang “tak legal”. Solusi ini memiliki banyak bentuk, misalnya “selingkuh”, dengan akibat yang juga pada akhirnya tak menguntungkan dari segi kebutuhan menjaga hak milik, selain merugikan hak-hak perempuan. Bentuk yang lain adalah “membeli” kebutuhan seksual di “pasar bebas”. Solusi ini jelas tak bisa diterima, sekurang-kurangnya dari sudut agama. Juga tak bisa diterima dari sudut norma monogami.
Ketiga, solusi keagamaan. Inilah solusi yang ditawarkan oleh kalangan konservatif. Solusi ini sama sekali tertutup dalam masyarakat Barat, tetapi masih terbuka dalam masyarakat di luar Barat, seperti masyarakat Islam. Tetapi, solusi ini juga bukan tanpa cacat. Kalau poligami dibolehkan dengan alasan untuk “menampung” gairah seksual laki-laki, kenapa hanya dibatasi empat. Kalau gairah dibiarkan, sudah tentu
empat tidak cukup. Dalam habitus sosial di mana erotisme meresap begitu dalam, seseorang akan terdorong untuk mencobai kegiatan seksual tanpa batas.
Solusi terakhir yang juga diam-diam mulai banyak menarik masyarakat modern adalah hidup lajang, seraya membuka diri untuk mencobai segala bentuk kemungkinan seks. Solusi ini hanya menarik buat kelas menengah yang memiliki surplus penghasilan yang memadai untuk mendukung segala kemungkinan ke arah “advonturisme”. Alternatif melajang tentu bukan semata-mata didorong oleh adventorisme seksual, tetapi juga oleh keinginan untuk memburu karir dan pekerjaan yang lebih baik. Tampaknya yang terakhir ini lebih banyak terjadi dalam praktek sehari-hari.
Saya mengetengahkan paradoks ini bukan untuk “diselesaikan” dengan cara sim-salabim dan sekali pukul dengan tongkat Musa. Saya tak percaya paradoks ini bisa diselesaikan dengan mudah. Bahkan agama pun tak bisa menyelesaikan paradoks ini dengan mudah. Saya mengetengahkan paradoks ini hanya untuk membuka mata kita pada aspek-aspek kehidupan modern yang tak mudah untuk diringkus dalam satu-dua jenis solusi, dengan satu bentuk justifikasi.
Komentar
numpang lewat…
menurut saya kalau persyaratan poligami hanya semudah seperti yang diutarakan dalam islam,
boleh jadi wanita juga ikut berpoliandri
banyak wanita sukses berpenghasilan besar
dan mungkin kurang dilayani nafsunya oleh suami
entah mungkin karna penyakit suami, ejakulasi dini, tidak bisa memberikn keturunan, terpikat kegantengan pria lain, dll
dan seharusnya juga sang suami bisa bersabar dan ikhlas untuk berbagi benda milikNya (Tuhan)
asal ga selingkuh
asal ga zina
beres…
Salam wa rahmah
Saya sekedar ingin berbagi pengalaman. Saya mualaf, pekerjaan TKI, pelaku poligami, beristri 7 orang semuanya di Indonesia, 1 saya nikahi dengan nikah daim ( memberi saya 4 putra dan 1 putri )dan 6 dengan nikah mut’ah per 6 bln, sudah berjalan 3 tahun. Ke 6 istri saya semuanya orang desa yang lugu, jujur, janda cerai mati, miskin dan tanpa keahlian, putra-putri mereka dari suaminya dulu, semuanya berjumlah 18 anak. Setiap kali sebelum berangkat bekerja sbg tki ( dg masa kontrak 6 bln) saya mendatangi ke 6nya untuk melakukan aqad nikah mut’ah selama jangka waktu 6bln dg mahar perbulannya cukup untuk memenuhi kebutuhan + biaya sekolah anak2 selama 6 bln. Hingga saat ini saya belum pernah “ menyentuh” ke 6nya, saat cuti kembali ke Indonesia 6 bln kemudian, saya langsung ke rumah istri2 mut’ah, kami bercerai – merekapun idah, syukur Alhamdulillah dalam bekerja saya mendapatkan bonus sebesar $ 600/bln, koq ya pas betul, saya bagikan ke mereka tiap orang $ 600, setelah itu saya kembali ke istri daim, tinggal selama lebih kurang 2 bln, ketika masa cuti saya berakhir, sebelum berangkat saya nikah mut’ah kembali dg ke 6nya yang kebetulan semuanya masih dalam status janda, belum ada yang menikahi. Bukan sesuatu yang luar biasa jika saya dapat menahan diri untuk tidak menyentuh mereka, ini karena hitung2an aja, saya takut punya anak lagi, karena usia sudah 49th, berarti kira2 tinggal 14th masa hidup, ambil standar 63th, kalau lebih ya bonus, kuatir tidak bisa membesarkan – keburu k.o, “ jangan meninggalkan anak2mu dalam keadaan lemah”.
Wassalam
wahai semua yang koment, gue disini lagi disuruh buat artikel tentang poligami… jujur gue enek… mbok ya jangan cuma ngomong.. kenyataannya “"kalo gue mau"”, gue isa gonta-ganti pasangan isa free sex-kata si valentine. ibaratnya mau makan daging kambing ga usah piara kambing, beli sate.. beli gule.. beli tengkleng.. banyak yang jual!!!! tau ga maksudnya???!!!! maksudnya gak usah beristri yang harus pelihara istri.. kalo mau nge-seks tuch lokalisasi banyak… banyak pula jenis dan model pelacur… ancur dech klo pemimpin kayak valentine taruh kursi DPR loe mahasiswa punya moral ga sich.. ancur nich negri… bener tuch kata Indonesia raya
gue yang ga suka disini.. gue tujukan pada semuanya.. poligami perbincangannya jangan dicampur adukkan antara agama-budaya-perasaan-dan juga nalar. setiap agama beda-beda tau!!!, setiap orang pun perasaannya beda2!!!, ada kok yang mau di POLIGAMI, dan juga banyak yang ga suka POLIGAMI, inget smua orang pikirannya ga sama dan ga harus sama!!! gue sendiri jujur ga suka poligami… bini 1 aja repot.. isa adil pa ga??? eh buat valentine lu kalo nulis udah dipikir dulu pa belom!!! klo loe jadi wakil rakyat trus loe punya pikiran free sex dll yg loe tadi sebutin… kacau negara ini!!! pergi dech dari negara INDONESIA gue!! dan buat yang lain jagan cuma ngomong dong…
mau perubahan dari diri sendiri dulu dong…
artikel mas Ulil ga salah kok… baca dan resapi..
Saya setuju dg mas Ulil ,perkawinan yg ideal adl monogami.Poligami menurutku sangat jauh dr kedilan utk istri.Kenyataannya sekarang pria menikah dg banyak istri hanya utk memenuhi nafsunya saja.Contoh di masyarakat kebanyakan yg menjadi istri setelah yg pertama pasti lebih muda(yg lebih cantik ,bugaar)
Jika seorang pria menikah dengan seorang istri hanya krn hal tsb(penampilan fisik)sama saja dengan menganggapnya barang dagangan.DAn yg pasti menurut aku tdk akan bisa pria tsb menghormati/menghargai haknya sebagai istri/wanita(padahal islam sangat menghormati hak” perempuan.Menganggap perempuan sbg brg dagangan sama saja kembali kemasa lalu yg penuh dg ketidak adilan thdp perempuan (wanita sbg penggoda,wanita itu iblis ,wanita hrs dipingit)
SAlah satu alasan adaya jml wanita lebih banyak,shg membolehkan poligami menurutku tdk relevan.Yg penting perempuan mempunyai bekal pengetahuan dan kemampuaan produktif.Jadi jika pilihannya tdk menikah yaa tdk masalah asal siap & bertangugjawab atas resiko yg dihadapi.
Menanggapi pendapat sdr valentine. Saya menghargai pemikiran anda, tp saya sangat tidak setuju apabila anda lebih memperbolehkan free sex dibandingkan dengan poligami. saya sendiri termasuk orang yang tidak setuju (keberatan) dengan praktek poligami, akan tetapi saya meyakini kalo perintah polgami itu ada secara tertulis dalam al-quran dan perintah itu langsung datang dari sang pencipta yang disampaikan dalam kitab suci al-quran. kitab yang saya yakini (sebelumnya saya mohon maaf apabila keyakinan anda berbeda dengan saya). Poligami pun baru bisa dilaksanakan dengan persyaratan yang tidak mudah, dalam hal ini harus mendapatkan izin dari sang istri. buat saya praktek poligami lebih mulia di mata sang pencipta karena ada dasar hukum secara agama dan hukum negara (walo sebagian masyarakat indonesia belum bisa menerima praktek poligami) dibandingkan dengan praktek seks bebas (free sex) yang kotor dan lemah dasar hukumnya apabila diliat dari norma agama manapun dan norma sosial. Dan jika kita mau menyadari praktek seks bebas sangatlah beresiko memunculkan berbagai macam penyakit, dan buat anda laki2 atau wanita yang sudah memiliki pasangan yang syah melakukan praktek seks bebas berarti anda sudah menodai sucinya ikatan pernikahan juga menyakiti pasangan anda. Buat saya Seks bebas sama dengan perilaku Binatang yang tidak memiliki norma sosial dan juga akal. Membebaskan praktek seks bebas sama dengan menganggap manusia = binatang. sekian pendapat dari saya semoga menjadi pencerahan bagi siapa pun.
Komentar Masuk (26)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)