Presiden Berkarakter Semar dan Berhati Sufi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
13/09/2004

Presiden Berkarakter Semar dan Berhati Sufi

Oleh A. Sihabulmillah

Lantas bagaimana figur presiden yang layak memimpin? Jawabnya memang tidak mudah. Kendati demikian, penulis mengajak masyarakat Indonesia untuk merekam ulang jejak kepemimpian ideal yang pernah dipraktikkan Semar dan pola kepemimpian yang mengedepankan ajaran sufi.

Suara rakyat menjadi penentu pemimpin nasional pada 20 September nanti. Sekali kita salah memilih figur pemimpin, maka semua anak bangsa ini harus menanggung risikonya. Oleh sebab itu, kita harus pandai memilah sebelum memilih pemimpin. Jangan terjebak dengan janji-janji politik dan jangan pula terperdaya dengan usaha pemolesan diri yang mereka lakukan guna memperoleh simpati rakyat, semisal dengan cara turun ke pasar, pesantren, terminal, rumah sakit, dan lain-lain.

Lantas bagaimana figur presiden yang layak memimpin? Jawabnya memang tidak mudah. Sudah berkali-kali bangsa Indonesia memilih presiden yang dianggap layak dan capable, tapi kenyataannya jauh dari yang dibayangkan. Kendati demikian, penulis mengajak masyarakat Indonesia untuk merekam ulang jejak kepemimpian ideal yang pernah dipraktikkan Semar dan pola kepemimpian yang mengedepankan ajaran sufi. Dalam khazanah Jawa (meski sebatas mitologi), Semar ialah pemimpin yang acapkali dipuja masyarakat, karena keberhasilannya dalam memajukan bangsa. Sementara dalam tradisi Islam, pemimpin yang membalut hatinya dengan ajaran sufi selalu disanjung masyarakat karena mampu menempatkan ajaran agama sebagai kendali dalam memimpin bangsa. Dua karakter kepemimpinan inilah yang diharapkan bisa menjadi pertimbangan rakyat Indonesia dalam pemilu putaran II dan sekaligus sebagai jawaban di atas.

Sebagai simbol kearifan, terutama dalam dunia wayang, Semar adalah dewa yang menyamar sebagai kawulo alit (orang kecil) untuk mengembalikan perdamaian di saat negara dalam keadaan gawat. Semar adalah tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan kharismatik sekaligus rasional. Ia ahli dalam bidang politik, ekonomi dan sosial dan mampu meredam gejolak di tengah masyarakat. Ia selalu bersikap tegas dalam mengambil keputusan dan tak pandang bulu dalam memberi sanksi hukum terhadap siapa saja yang melanggar aturan, apakah itu keluarganya, kerabatnya, atau temannya. Yang paling mengagumkan dari Semar adalah sikapnya yang tidak banyak bicara dan menjual janji-janji menggiurkan terhadap rakyat, tapi lebih suka mewujudkan apa yang menjadi impian dan harapan rakyat. Selain itu, ia juga menyimpan kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayaan dan kekuatan supranatural yang luar biasa (Abdul Munir Mulkhan: 2001).

Segala kelebihan pada diri Semar, baru bisa digunakan pada saat penindasan dan ketidakadilan menjadi pemandangan setiap hari. Dengan kata lain, sosok Semar tidak bisa muncul pada setiap saat, tapi butuh momen yang tepat, yakni pada saat kondisi sosial politik mengalami kesemrawutan. Ketika situasi sosial, ekonomi dan politik jagat kehidupan (dalam dunia wayang) mulai ditimpa kekacauan, tokoh Semar akan muncul secara tiba-tiba. Kemelut akan segera berakhir pada saat Semar mengoperasikan kedigdayaannya, sehingga mempengaruhi keputusan pemerintahan dan kekuasaan para dewata (Abdul Munir Mulkhan: 2003). Semar memang ada dalam dunia mitologi, tapi yang terpenting bagaimana mitos itu menjadi kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kehidupan sebuah bangsa. Semar identik dengan kepintaran, kecerdikan, kesempurnaan, kebijakan dan sifat terpuji lainnya, tapi untuk membebaskan bangsa Indononesia dari berbagai macam keterpurukan seperti dewasa ini, sosok pemimpin mendatang perlu juga membalut hatinya dengan ajaran sufi.

Sebagai ajaran yang mengedepankan cinta kasih, kebijaksanaan, dan kebenaran hakiki, ajaran sufi memberikan kontribusi yang hampir sama dengan Semar, khususnya dalam hal keharmonisan dan pengayoman untuk umat manusia. Ajaran sufi menyerukan manusia agar mau membebaskan diri dari segala nafsu binatang, hasrat menguasai orang lain, sikap memperkaya diri sendiri, benci terhadap kelompok lain, rakus kekuasaan, mencuri harta rakyat, dan sederet sifat buruk lainnya. Bagi seorang sufi, segala tindakan selalu didasarkan pada sifat keikhlasan dan ketulusan tanpa ada tendensi untuk mendapat pujian manusia yang sifatnya sesaat. Selain itu, ajaran sufi juga mengutamakan cinta kasih antarsesama, bukan saling menghina, menyalahkan, menghujat atau menyudutkan orang lain. Ia lebih suka mengoreksi diri sendiri daripada mengoreksi orang lain. Juga lebih suka mencari kesalahan sendiri daripada kesalahan orang lain dan mau mengadakan perbaikan.

Cinta seorang sufi terhadap manusia melampaui batas ideologi, etnis, ras, suku bangsa, bahkan agama. Ambil contoh ajaran cinta seorang sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi. Sebagai tanda kecintaannya terhadap sesama manusia, ia berkata, “Orang kafir, penyembah berhala, orang munafik, dan para pembunuh dan siapapun namanya, mereka semua adalah sahabatku.” Ujaran ini memang kontroversial, namun ini ia lontarkan dalam rangka mendidik manusia agar menyadari bahwa seluruh umat manusia (termasuk para penjahat) adalah saudara, bukan musuh yang harus dibenci atau diperangi, tapi harus ayomi dan diarahkan.

Dalam mendayung bahtera bangsa yang rentan dihantam ombak dan badai, kehadiran nahkoda (baca: presiden) berkarakter seperti Semar amat didambakan masyarakat. Ia memiliki kemampuan “mengemudi” dengan baik. Ia ahli dalam mengatasi berbagai macam krisis, meredam berbagai konflik, mencegah gejala disintegrasi bangsa, memberantas KKN; pun pandai menciptakan lapangan pekerjaan, mengangkat ekonomi rakyat bawah dan pada akhirnya mampu membawa bangsa pada perubahan yang amat signifikan.

Posisi presiden berkarakter Semar akan semakin tangguh dan tak tergoyahkan bila ia menghias hatinya dengan ajaran sufi. Dengan ajaran cinta kasih, presiden yang berhati sufi akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan pada titik ekstrem, ia takkan merasa kenyang jika melihat rakyatnya masih kelaparan, takkan bisa tidur nyenyak sebelum menyaksikan rakyatnya sejahtera, dan takkan naik mobil mewah jika rakyatnya banyak yang jalan kaki.

Lantas, siapa dari dua pasang capres dan cawapres —Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi— yang bekarakter layaknya Semar dan berhati sufi? Jawabnya tentu ada dalam benak masing-masing rakyat Indonesia. Bila kita sudah menimbang dengan pikiran jernih dan meyakini dengan sepenuh hati terhadap salah satu pasangan capres dan cawapres yang memiliki (atau paling tidak mendekati) dua kriteria kepemimpinan ideal sebagaimana disebutkan di atas, maka pasangan itulah yang seharusnya kita pilih untuk memimpin bangsa Indonesia. []

A. Sihabulmillah, Penulis adalah staf peneliti di Komarona, Yogyakarta, alumnus PP al-Islah, Bungah, Gresik dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

13/09/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq