Puasa dalam Kritik al-Ghazali - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
16/08/2010

Puasa dalam Kritik al-Ghazali

Oleh Novriantoni Kahar

Maksud terdalam dari puasa—kata al-Ghazali lebih lanjut—adalah pengosongan (al-khawaa’) dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual.

Salah satu kelebihan Imam al-Ghazali (1058 – 1111 M) dalam mengulas persoalan agama adalah ketajaman instingnya dalam menangkap ruh agama. Penguasaan ilmu-ilmu agama yang mumpuni, ketajaman instingtif dalam menangkap pesan-pesan dasar agama, plus pengamatan yang cermat terhadap tradisi beragama, itulah yang terasa di dalam kitabnya: Ihyaa Ulum-i ad-Din. Kitab yang ditulis untuk menghidupkan-ulang ilmu-ilmu agama ini merupakan injeksi darah bagi metode pengulasan agama yang galibnya sudah kering kerontang dan mulai sekarat.

Namun berkat al-Ghazali, beberapa ulasan soal agama kembali menemukan elan-vitalnya. Ambillah contoh dari kritik al-Ghazali soal tradisi puasa. Sejak sembilan abad lalu, penambahan jenis—bahkan pengelipatan volume konsumsi—oleh al-Ghazali sudah dirasakan sebagai ironi bulan puasa. “Memakan apa yang tak dimakan di selain bulan Ramadan, mengonsumsi sesuatu lebih banyak dari hari-hari non-puasa, sungguh telah jauh melenceng dari ruh puasa,” tulisnya. Dalam rumusan al-Ghazali, esensi puasa adalah upaya untuk melemahkan energi-energi syaithani yang ada pada diri manusia agar tidak terlalu berdaya untuk berbuat jahat. Pelemahan itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui pengurangan. “Wa lan yahtsul dzaalika illaa bi at-taqliil,” tandasnya.

Apa yang dikeluhkan al-Ghazali di masanya tampaknya berlaku juga di masa kita. Sudah bukan rahasia, saban kali Ramadan tiba, tingkat konsumsi di negara-negara muslim justru melonjak tajam. Logisnya, puasa akan menekan tingkat konsumsi masyarakat ke angka yang lebih rendah dari hari-hari biasa. Namun yang terjadi justru paradoks ini: orang seperti menunda makan siang untuk disikat di kala malam. Puasa seperti men-jamak ta’khir apa yang luput tadi siang, ditambah panganan-panganan penunjang. Padahal, inti dari ibadah puasa adalah pengurangan. Taqliil, kata al-Ghazali, bukan penundaan, apalagi pengelipatan.

Dan jikapun dikaitkan dengan upaya mencapai takwa, aspek pengurangan konsumsi itu pun masihlah belum memadai. Ini barulah tangga pertama menuju takwa. Maksud terdalam dari puasa—kata al-Ghazali lebih lanjut—adalah pengosongan (al-khawaa’) dan penaklukan keinginan-keinginan diri (kasr al-hawaa) yang bersifat fisikal. Lewat cara seperti itulah seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual.

Bagi al-Ghazali, tersambungnya diri seseorang ke alam transendental (`aalam al-malakuut)—yang konon menyingkapkan diri pada momen lailatul qadar—hanya mungkin terjadi bila perut dalam keadaan kosong. Terisinya rongga-rongga di antara hati dan dada dengan limpahan pangan sudah cukup membuat orang terhalang (mahjuub) untuk menyingkap alam transendental yang menampilkan diri sekali setahun itu. Intinya, melalui puasa al-Ghazali mengajak kita merasakan pengalaman spiritual. Dimulai dari pengurangan terhadap konsumsi yang fisikal, dilanjutkan dengan pengosongan diri dari selain Yang Transendental.

Dari ulasan di atas, mudah saja membuat indikator kasat mata untuk mengavaluasi berhasil-tidaknya puasa kita mencapai sasaran. Pertama, bila belanja dapur di bulan puasa lebih besar dari di bulan lainnya, berarti ada yang sia-sia dari puasa kita. Kedua, bila berat badan tidak menyusut, bahkan stabil atau malah bertambah, berarti proyek taqliil sudah gagal bekerja. Itulah dua contoh pengukuran terhadap indikator yang kasat mata. Untuk yang tidak kasat mata, sebaiknya tiap orang bermuhasabah sendiri-sendiri. Tak perlu intervensi al-Ghazali, apalagi mengundang campur tangan ormas anarkhi.

16/08/2010 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (13)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

salah satu metode untuk memanusiakan manusia yang telah kehilangan makna karena di pahami oleh jiwa manusia yang kering, sehingga hanya menjadi formalitas belaka. jika kondisinya tetap seperti ini, maka beberapakali pun ramadhan datang dan pergi menempa jiwa setiap muslim, hanya ironi yang akan nampak

Posted by idnu  on  08/31  at  11:22 PM

Bulan puasa merupakan bulan penzaliman umat berduit terhadap yang tidak. Penzaliman ini secara kasat mata dipertontonkan di tempat-tempat penjualan makanan berbuka yang sudah mirip dengan pasar kaget. Pamer kemampuan ini diperlihatkan lagi, walau tidak separah yang pertama, di tempat-tempat panti asuhan yang di situ para orang berduit menyumbang makanan yang kadang-kadang sangat berlebihan volumenya. Kedua hal ini, ditambah lagi konsumsi sendiri, akan membuat para spekulan menaikkan harga-harga di pasar dengan lonjakan tajam karena mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa berapa pun harga yang mereka patok pasti juga akan dibeli karena sudah menjadi adat kebiasaan untuk belanja berlebihan pada bulan puasa pada sebagian besar umat Islam.

Seharusnya, umat yang lebih beruntung tidak ikut turun ke pasar pada bulan puasa karena dengan keberuntungannya mereka seharusnya bisa belanja bahan pokok jauh sebelum puasa yang dapat mereka simpan di lemari pendingin mereka yang berukuran jumbo. Seharusnya mereka jangan mentang-mentang: karena ingin mendapatkan pahala yang berlipat ganda, mereka (karena sangat mampu) memborong bahan makanan untuk DIAMALKAN kepada panti sementara tindakan mereka ini jelas-jelas membebani orang yang takmampu di luar panti. Bukankah meringankan beban yang umat yang di luar panti juga merupakan ibadah yang juga dilipat-gandakan pahalanya? Kalau pun mereka mampu dan ngotot mendapatkan berkah selama bulan puasa, bukanlah lebih bijak jika pemberian itu dilakukan dalam bentuk “mentah"-nya, sehingga para pengelola panti dapat mengelola pemberian itu secara wajar yang akan meningkatkan gizi para penghuni sepanjang tahun?

Adat kebiasaan memang sulit diubah apalagi dalam masyarakat yang rasa “malu ama tetangga” sangat tinggi.

Posted by zulkifli harahap  on  08/23  at  11:53 AM

Mengukur keberhasilan puasa dengan formula “taqlil” cukup bisa diterima walaupun tidak begitu akurat. Formula ini semakin tampak kacau jika kemudian menekankan standart keberhasilan pada dua hal yang menurut saya lucu, yaitu membengkaknya belanja dapur dan menggemuknya badan. Karena keduanya tidak bisa dikaitkan dengan keberhasilan dan kegagalan puasa seseorang. Contoh, seseorang yang saya kenal, pengeluarannya pada bulan Ramadhan selalu membengkak - walaupun dia tidak pernah cerita kepada saya, karena setiap harinya dia selalu memberikan ta’jil ke beberapa mushola dan masjid dan memberikan bungkusan makanan bagi gelandangan. Bagi saya, dia sangat berhasil, karena puasanya menumbuhkan dalam dirinya rasa empati pada orang lain yang membutuhkan. Dan itulah ibadah yang benar-benar untuk Allah, sebagaimana yang disampakan-Nya kepada nabi Musa.

Posted by CakHai  on  08/23  at  10:15 AM

Puasa adalah salah satu sikaf di mana manusia di ajarkan untuk mengosongkan dirinya dari hal yg bisa menimbulkan keinginan(sahwat).dalam puasa pula kita di berikan sebuah pelajaran tentang kepekaan terhadap perasaan yg ada di sekelliling kita yang paradoks dengan kita.
Al-gozali memberikan catatan kepada orang yg berpuasa yang hanya mengajrkan sikaf ragawi saja tapi tidak kepada orang yg mencari hakekat puasa.

sebenarnya ada sebuah peristiwa kejadian yg tidak terjadi luar bulan ramadhan selain turunnya al-qur’an yaitu meningkatnya pendapatan sebagian masarakat akibat banyaknya konsumsi orang yg berpuasa,di sinilah keberkahan Rhamadhan sangat di rasakan. Rhamdhan membawa keberkahan bagi semmua manusia tanpa terkecuali.

Hakekat puasa tidak bisa di lihat dari kacamata thasawuf saja, seperti penilaian al-ghozali, tetapi dari nilai ekonomi, pendapatan masarakat semakin meningkat tajam seiring dengan permintaan untuk berbuka puasa dan sahur.
saya sepakat dengan shbt novriantoni, tetpi ada sebuah paradoks yg positif bagi manusia lain dalm meningkatkan taraf hidupnya.

boleh saja penilaian puasa dengan menghasilkan proyek penurunan berat badan dan pengurangan belanja dapur, tetapi Allah membuat keberkahan bukan hanya untuk segolongan orang saja ada golongan yg lain yang di untungkan.

Posted by ardani muhammad  on  08/23  at  09:04 AM

Yang lebih untuk diperhatikan adalah adanya kecenderungan untuk memaksakan kehendak pada orang lain untuk menghormati umat Islam yang sedang berpuasa dengan adanya pelarangan rumah makan, warung makan, dan restoran untuk buka pada siang hari di beberapa daerah. Cara-cara seperti ini sama saja mengingkari bahwa ada orang lain atau lebih tepatnya pemeluk agama lain yang memang tidak punya kepentingan untuk berpuasa.
Seharusnya yang dilakukan adalah bukan pelarangan tetapi diminta untuk tidak mencolok dibandingkan pada hari-hari yang lain. Pelarangan ini sama saja dengan mengingkari adanya hak pemeluk agama lain yang tidak berpuasa untuk mendapatkan makanan siang mereka yang biasanya bisa dibeli dari warung nasi, rumah makan, atau restoran di tempat mereka biasanya makan siang.
Sebenarnya pelaku usaha makanan ini akan dengan sendirinya menutup tempat usahanya selama umat Islam berpuasa jika memang tidak ada yang membeli di siang hari. Bukan kah sebuah usaha akan tetap bisa berjalan selama memang ada yang membutuhkan. Ini prinsip alamaiah yang sudah terjadi sejak manusia belum mengenal ilmu ekonomi dan bahkan sebelum ada agama di atas bumi ini. Ironis, tidak ada tokoh agama Islam yang memberikan komentar soal pelarangan warung makanan atau restoran selama umat Islam menjalankan ibadah puasa.

Posted by Totok  on  08/22  at  03:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq