Qurban Memutus Tradisi Membunuh Manusia Demi Tuhan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
02/02/2004

KH Hussein Muhammad: Qurban Memutus Tradisi Membunuh Manusia Demi Tuhan

Oleh Redaksi

Idul Adha dan peristiwa qurban tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepasrahan Nabi Ibrahim yang total kepada Tuhan. Keduanya juga mempunyai makna pembebasan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dari kesemena-menaan manusia atas lainnya. Ketika Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya.

Hari raya Idul Adha dan peristiwa qurban tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepasrahan Nabi Ibrahim yang total kepada Tuhan. Keduanya juga mempunyai makna pembebasan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dari kesemena-menaan manusia atas lainnya. Ketika Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya. Drama tersebut juga ingin menegaskan bahwa Tuhan Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.

Demikian sebagian perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan KH Hussein Muhammad, Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, yang juga telah menulis buku berjudul Fiqh perempuan: Refleksi Kiyai atas wacana Agama dan Gender pada Kamis, 29 Januari 2004.

NOVRIANTONI (JIL): Pak Kiai, hari ini umat Islam merayakan Idul Adha. Bagi Anda, apa makna dari Idul Adha ini?

KH. HUSSEIN MUHAMMAD (HM): Idul adha berarti kembali kepada hari raya qurban. Di dalam ritual idul adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah, atau penyembelihan hewan qurban. Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu dalam rangka qurban. Qurban berasal dari bahasa Arab yang bermakna qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah. Saya kira itu pengertian Idul Adha yang sangat sederhana.

JIL: Bila kita berbicara tentang Idul Adha, terbayang dalam ingatan kita peristiwa pengorbanan yang sungguh heroik yang dialami ayah dan anak: Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim…

HM: Ya, karena itu Idul Adha juga berarti merefleksi sejarah masa lampau. Intinya mengenang perjuangan monoteistik dan kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Saya kira, seluruh ritual haji dan hari-hari berikutnya, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, mengandung makna-makna simbolik keagamaan, untuk keteladanan sebuah perjuangan kemanusiaan yang pernah diperankan Nabi Ibrahim. Jadi dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, saya kira memang petunjuk Tuhan untuk mengejawantahkan sebuah perjuangan maha berat. Tapi saya ingin menyatakan bahwa, kesemua itu hanyalah pesan simbolik dari agama, bukan dalam artian kejadian yang hakiki.

JIL: Maksudnya, peristiwa itu tidak riil terjadi?

HM: Kalau kita memaknainya sebagai pesan simbolik, sesungguhnya peristiwa itu bukan sesuatu yang riil. Hanya saja, keyakinan kebanyakan umat Islam memang menegaskan bahwa kejadian itu riil terjadi pada masa yang lampau. Saya kira, agak sulit memasukkan peristiwa ayah yang rela hati (akan) menyembelih anaknya itu ke dalam akal pikiran kita, tanpa ditopang unsur keyakinan. Peristiwa itu memang agak sulit diterima oleh akal, kecuali kalau kita meletakkannya dalam kerangka keyakinan kepada Tuhan; Tuhan memerintahkan itu, sehingga itu mungkin terjadi.

JIL: Biasanya drama penyembelihan Nabi Ismail itu dimaknai sebagai wujud kepasrahan total kepada Tuhan?

HM: Ya, memang bisa dimaknai seperti itu. Peristiwa itu bisa dimaknai sebagai pesan simbolik yang menunjukkan kepasrahan Nabi Ibrahim kepada Allah. Tapi penilaian yang lain mungkin bisa juga diungkapkan misalnya, apakah mungkin peristiwa penyembelihan itu dilakukan terhadap orang tertentu tanpa dilandasi kesalahan yang dia perbuat.

Jadi, peristiwa ini berbeda dengan kasus pembunuhan yang bisa dibenarkan, karena yang dibunuh melakukan kezaliman atas kemanusiaan. Itu yang sebetulnya ingin saya pahami. Tapi, saya kadang juga bisa merespon peristiwa itu sebagai simbol penyerahan diri yang total kepada Tuhan, sekalipun dalam bentuk tindakan penyembelihan terhadap sosok seorang anak yang dicintai.

JIL: Apakah Pak kiai ingin mengatakan bahwa tafsiran tentang kepasrahan itu sebetulnya tidak berkesesuaian dengan watak agama Ibrahim yang tidak membenarkan pembunuhan tanpa dasar?

HM: Tepat. Saya kira itu yang saya tangkap dari makna yang tersirat dari kisah Al-Qur’an itu.

JIL: Ali Syariati, intelektual asal Iran, pernah berkomentar mengapa Tuhan membarter Ismail dengan domba. Menurutnya, itu merupakan pesan penting dimana Tuhan ingin mempermaklumkan bahwa pengorbanan diri manusia dan harkat kemanusiaannya sebenarnya tidak dibenarkan oleh Tuhan. Menurut Pak Kiai, apa makna terdalam aksi barter tersebut?

HM: Saya setuju dengan pendapat Ali Syari’ati itu. Pengorbanan diri manusia dan harkat kemanusiaannya memang tidak dibenarkan oleh Tuhan. Sebab, Nabi Ibrahim sendiri tampil untuk menegakkan martabat kemanusiaan itu sendiri. Saya setuju dengan Ali Syariati ketika dia mengatakan bahwa Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus akan darah manusia. Jadi, persepsi tentang Tuhan kemudian diralat, tidak sebagaimana tradisi masyarakat waktu itu, yang mengorbankan diri manusia untuk dipersembahkan dan diabdikan kepada Tuhan.

Jadi, pesan ini juga dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “kepentingan Tuhan”. Membunuh manusia hanya dibenarkan dalam kerangka kemaslahatan kemanusiaan yang lebih besar. Artinya, kita tidak dibenarkan mengorbankan manusia lainnya dengan dalih yang manipulatif, sekalipun dengan klaim demi kepentingan Tuhan.

JIL: Dengan pemaknaan seperti itu, sebetulnya Idul Adha juga mengandung semangat pembebasan bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan?

HM: Persis seperti itu. Lebih dari itu, saya ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung di dalam Idul Adha. Pertama semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi antarmanusia atau membeda-bedakan satu dengan lain. Di dalam ketauhidan itu, juga terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apapun.

Yang kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam kerangka penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penekanan solidaritas dan kesatuan kemanusiaan tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan ketuhanan itu sendiri.

JIL: Kalau mencermati peristiwa qurban dan haji, kita menemukan keterkaitan yang kuat antara tradisi Nabi Ibrahim dengan agama Islam. Bagaimana menurut pak Kyai?

HM: Saya kira kita sudah sangat memahami bahwa dalam Al-Qur’an maupun Hadis, Nabi Ibrahim disebut-sebut sebagai bapak dari nabi-nabi yang membawa teologi tauhid atau keesaan Tuhan. Inti pesan inilah yang kemudian diwariskan Nabi Ibrahim kepada nabi-nabi sesudahnya, dan tetap menjadi corak agama-agama sesudahnya. Karena itu, agama-agama yang berafiliasi kepadanya sesungguhya memiliki akar yang sama, yaitu akar ketauhidan. Makanya, sebagian ritualnya yang tidak bertentangan dengan akar ketauhidan tetap dipelihara dan diikuti oleh umat-umat sesudah Nabi Ibrahim.

Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif. Yaitu, anittabi’ millata ibraahim hanifan, hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.

JIL: Pak Kyai, kita sudah berbicara tentang qurban sebagai ritual. Sekarang, bagaimana makna qurban secara sosial?

HM: Saya kira, di dalam khutbah-khutbah keagamaan, kita perlu menegaskan bahwa ritual-ritual keagamaan selalu mempunyai dua dimensi. Dimensi keyakinan atau keimanan kepada Tuhan, dan dimensi sosial-kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan agama memang diperuntukkan bagi manusia dan untuk memperbaiki tatanan sosial kemanusiaan.

JI: Terkait dengan dimensi sosial, kita menyaksikan betapa sulitnya membangkitkan dimensi sosial menjadi sebuah ritual. Karena penyadaran akan dimensi sosial tersebut seperti peristiwa qurban ini, bersifat musiman saja. Menurut Anda, kenapa itu?

HM: Saya kira kesulitan itu juga dilatarbelakangi sejarah yang sangat panjang, dimana risalah sosial-kemanusiaan Islam yang sebetulnya menjadi tujuan utama sebuah agama, tereduksi oleh ritualisme aspek ibadah kepada Tuhan. Seakan-akan agama hanya untuk kepentingan individu dengan Tuhan semata, terlepas dari kepentingan sosial-kemanusiaan yang umum. Saya menyebut kejanggalan seperti ini sebagai keberagamaan yang terlalu teosentris, atau menganggap bahwa hanya Tuhanlah ujung dari semua pengabdian kita, sembari mengabaikan faktor manusia. Pola keberagamaan seperti ini sangat terpusat kepada Tuhan, dan bersifat sangat personal. Saya kira, problem kemanusiaan jauh lebih penting untuk ditanggapi dan sangat besar nilainya di hadapan Allah.

JIL: Menurut pak Kyai, adakah hal yang sangat krusial dalam ritual qurban ini yang berkaitan dengan persoalan yang sedang kita hadapi sekarang?

HM: Saya tidak bisa memilah salah satu persoalan yang paling krusial yang kita hadapi saat ini, karena begitu kompleksnya persoalan yang kita hadapi. Tapi persoalan kita yang paling mendasar menurut saya adalah soal ketidakadilan antarmanusia. Kita melihat, kemiskinan lebih banyak dirasakan orang, sementara kekayaan hanya dicicipi segelintir orang. Maka dari itu, saya kira problem utama kita adalah problem menegakkan keadilan. Kalau problem itu yang kita pilih, maka relavansi Idul Adha kali ini adalah sebagai simbol keharusan untuk mewujudkan keadilan sosial di antara manusia.

Terkait dengan itu, yang penting juga adalah problem kemiskinan yang kita alami. Makanya, yang perlu kita usahakan adalah bagaimana menegakkan keadilan dalam bidang-bidang ekonomi, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada sekelompok orang saja.

JIL: Terakhir, apakah dalam konteks sekarang masih ada “Ismail-Ismail” yang bersedia berkorban demi kemanusiaan?

HM: Saya kira, simbol Ibrahim dan Ismail memang sudah sangat sulit kita dapatkan lagi pada zaman sekarang. Simbol Ibrahim yang pasrah kepada Tuhan, demi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai memudar. Simbol Ismail yang pasrah kepada tuntutan-tuntutan ketuhanan juga langka saat ini. Sekarang, kita memang membutuhkan dua sosok simbol itu. Yaitu, bagaimana memaknai simbol Ibrahim sebagai perjuangan pembebasan kemanusiaan itu sendiri, dan bagaimana menjadikan Ismail sebagai simbol untuk bersama-sama menegakkan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah masyarakat.

Saya kira, kedua hal itu sangat kurang kita rasakan, karena pemahaman keagamaan mayoritas kita masih dalam frame kepentingan-kepentingan pribadi, tidak dalam frame kepentingan masyarakat secara luas. []

02/02/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Irwan Ghailan, Feb 11, 2003 http://irwan.web1000.com/salah_qurban.html

Saya memberanikan diri mengoreksi kesalahpahaman seputar ibadah Kurban (Qurban). Perintah berkurban sebenarnya telah ada sejak jaman Adam bukannya mulai di jaman Ibrahim, sebagaimana Isi sebagian Alquran surat 5 ayat 27.  “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban…”

Sedangkan kisah penyembelihan Ismail oleh ayahnya, Nabi Ibrahim, haruslah dianggap sebagai sejenis ayat kiasan / perumpamaan, jadi tidak benar-benar terjadi (surat 29:43:). Hal ini dikarenakan bila peristiwa ini pernah benar-benar terjadi, ada beberapa kejanggalan:

Gambar diatas hanya ilustrasi.

Apabila Tuhan menguji Nabi Ibrahim dengan cara menyuruhnya menyembelih (membunuh) Ismail, bukankah ini sama saja umpamanya apabila Tuhan menguji Nabi Muhammad dengan cara menyuruhnya minum khamr (alkohol) atau berzina? Membunuh manusia, minum khamr dan berzina adalah merupakan jenis perbuatan yang sama yaitu perbuatan haram bukan? Bagaimana mungkin Tuhan menguji seseorang dengan sesuatu perbuatan / hal yang haram?  Eksistansi Ismail, sang anak, sebagai hamba Tuhan yang independent ditiadakan, karena pada saat itu ia hanya diperlukan sebagai alat uji (obyek). Jadi seakan-akan Tuhan pada saat itu mengabaikan keberadaan Ismail sebagai seorang hamba selama beberapa jam. Tuhan yang aneh bukan? Bila peristiwa ini dimaksudkan juga sebagai sarana Tuhan menguji Ismail, bukankah Ismail saat itu masih seusia anak SD (belum baligh)? Kalaupun Ismail ditafsirkan sudah baligh, tetap saja peristiwa ini aneh (lihat point 1 diatas).  Rahasia Kisah penyembelihan Ismail adalah “kisah penyembelihan” ini diciptakan (berdasarkan wahyu Tuhan) oleh Nabi Ibrahim untuk mengkritik / mengkoreksi atas kebiasan suku-suku pagan (penyembah berhala) pada masa itu yang sering menggunakan kurban darah manusia (biasanya perawan / anak-anak) kepada para dewa / berhala mereka. Disini Ibrahim hendak menunjukan bahwa Tuhan tidak membutuhkan darah / daging manusia, cukup darah / daging hewan saja, yang Tuhan inginkan hanya niat baik seseorang saja. Mengenai kebiasaan semacam suku pagan ini bahkan masih ada hinggga masa kalifah Umar bin Khatab, sekitar 2.000 tahun setelah masa Ibrahim, dimana suatu suku merencanakan melempar kurban gadis perawan ke sungai Nil agar airnya tidak pernah menyusut.

Sebagai tambahan dalam Alquran tidak ada cerita secara tersurat maupun tersirat tentang Ibrahim meninggalkan Siti Hajar yang saat itu masih menyusui Ismail begitu saja di suatu tempat di padang pasir. Islam tidak pernah mengajarkan seorang suami melepaskan tanggung jawabnya atas istri dan anaknya. Jadi adanya cerita asal-usul sumur Zam-Zam yang muncul karena Ismail menangis kehausan sementara Ibunya hilir mudik antara Shafa dan Minna mencari sumber air karena air susunya kering (nama kedua tempat ini saya agak-agak lupa) dapat dipastikan hanyalah sebuah legenda / dongeng pengantar tidur anak-anak padang pasir.
-----

Posted by Irwan  on  02/22  at  04:03 PM

Jika memang ibadah qurban ini merupakan simbol dari sikap total surrender seorang Ibrahim kepada Gusti Allah, dengan mengorbankan Ismail putranya, maka mengapa umat Islam terus-menerus gemar melakukan penyembelihan terhadap hewan-hewan yang tidak bersalah pada setiap perayaan Idul Adha? Dan bukan hanya dalam Islam, namun dalam agama-agama/tradisi lain pun pengorbanan hewan masih saja dilakukan. Sangat ironis sekali, kita tidak mampu menyembelih “hewan-hewan” di dalam diri, berupa nafsu dan keserakahan, lantas kita mengambil gampangnya saja dengan cara melakukan pengorbanan dan penyembelihan hewan. Sudah sekian lama pemahaman manusia begitu naif terhadap makna qurban yang sesungguhnya. Qurban sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, tidak bisa dilakukan dengan cara menyembelih hewan, melainkan harus dengan cara berupaya keras mengenal diri sendiri, lalu mengendalikan dorongan nafsu hewani. Mengenal diri sendiri akan mengembangkan rasa cinta kasih sehingga mampu berbuat adil dan menyayangi serta rasa peduli terhadap penderitaan sesama makhluk hidup tanpa pilih kasih. Pengorbanan hewan merupakan tindakan kekerasan terhadap sesama makhluk yang hanya akan melunturkan kasih di dalam diri manusia. Jika ritus ini masih saja dilakukan, bagaimana dapat diharapkan pribadi yang penuh kasih dan adil?

Posted by Arief Rahman  on  02/06  at  05:02 PM

Saya terkesan dengan makna yang diangkat oleh Pak Kiyai pada peristiwa perayaan Idul Qurban.

Tersirat suatu pesan nilai kemanusiaan didalamnya yaitu pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya.

Bersamaan dengan ini, saya turut prihatin atas kondisi kemanusiaan sekaligus terhadap hak-hak asasinya di segala lini kehidupan manusia di Indonesia. Tidak terkecuali di pesantren-pesantren yang notabene tempat orang menimbah ilmu agama Islam. Sebagai contoh kecil, sorang santri tidak mudah mengungkapkan pendapat pribadinya karena hal itu bertentangan dengan apa yang diyakini oleh sang Kiai Pesantren.

Sebagai seorang Kiai yang mengangkat isu hak-hak kemanusiaan, seyogyanya Pak Kiai juga harus mengiplementasi kondisi ini di tempat dimana pak Kiai mengajar. Tidak sampai disitu saja, nilai-nilai kemanusiaan tadi selayaknya diimplemantasi di seluruh nadi kehidupan Indonesia.

terima kasih

Posted by Safri Saleh  on  02/05  at  09:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq