Ulil Abshar-Abdalla: Saya Ingin Meniru Al-Tahtawi
Oleh Redaksi
Tiga bulan Ulil Abshar-Abdalla menghilang dari hiruk pikuk Indonesia. Ia mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor ini. Setelah mengajar selesai, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil ingin merealisasikan obsesinya selama ini: menulis buku. Buku ini merupakan penafsiran dia secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal.
Selama tiga bulan Ulil Abshar-Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kontroversial, menghilang dari hiruk pikuk Indonesia. Sampai kemudian dia mudik lagi setelah mendapat kabar bahwa Ayahandanya, KH. Abdullah Rifa’i meninggal, di pertengahan Desember lalu. “Padahal saya masih ingin berlama-lama di sini sampai buku saya selesai,” kata Ulil yang pernah mendapat fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini. Ia mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor ini. Selain Ulil, tahun-tahun sebelumnya yang pernah mendapat undangan serupa adalah Dr. Nurcholish Madjid dan Goenawan Mohamad.
Setelah mengajar selesai, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil ingin merealisasikan obsesinya selama ini: menulis buku. Buku ini merupakan penafsiran dia secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal. Dalam wawancaranya dengan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal, Kamis 8 Januari 2003 lalu, dia berharap, buku ini bisa menjelaskan secara utuh pemikiran–pemikirannya yang selama ini dianggap kontroversial. Menurutnya, selama ini bukunya yang sudah terbit hanya berasal dari artikel-artikel lepas saja. Berikut petikannya:
HAMID BASYAIB (HAMID): Bung Ulil, saya ingin tahu, bagaimana respon mahasiswa ketika Anda mengajar?
ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Responnya cukup bagus. Kita tahu, di Amerika saat ini perbincangan atau pembicaraan soal Islam sangat menarik. Bisa disebut seksi lah. Di mana-mana orang selalu bertanya mengenai Islam. Dan harap diketahui, bahwa Michigan University ini adalah tempatnya orang-orang yang anti George W. Bush atau pendukung Partai Demokrat. Kumpulan orang-orang yang visinya progresif-kiri, anti perang Irak, kebanyakan orang-orang kritis dan punya simpati besar terhadap Islam.
HAMID: Ketika Anda mengajar, pertanyaan apa sih yang paling sering dilontarkan kepada Anda sebagai orang Islam dan pemikir dari sebuah negara Islam terbesar di dunia yang akhir-akhir ini cukup kontroversial?
ULIL: Sebelumnya ada dua hal yang mengesankan bagi saya selama mengajar di sana. Pertama, semua orang yang mengikuti kuliah saya, tampaknya secara psikologis sudah siap menerima wejangan saya. Mereka sudah mempunyai mindset bahwa Islam tampaknya disalahpahami di Amerika. Mereka paham akan hal itu. Jadi, mereka harus belajar dari orang Islam sendiri. Lebih spesifik lagi, mereka ingin mendengar Islam versi Asia Tenggara, lebih khusus versi Indonesia. Jadi, mereka datang dengan simpati yang besar, dengan persepsi bahwa Islam adalah agama yang dizalimi publik Amerika, sehingga mereka perlu mengundang saya untuk memberi informasi first hand kepada publik di sana.
Kedua, ada beberapa orang yang tidak mengerti mengapa terjadi radikalisme dalam Islam. Pertanyaan ini pernah diangkat Farid Zakaria (kolomnis senior majalah Newsweek-red)dalam edisi khusus Newsweek yang berjudul: Why do they hate us? Kenapa mereka (orang Islam) membenci kami (orang Amerika)? Ada pertanyaan mengenai hal itu. Dan menjawab pertanyaan semacam itu tidaklah mudah.
HAMID: Tadi Anda menyebut mereka ingin tahu Islam versi Asia Tenggara atau lebih khusus lagi Indonesia. Apakah mereka sudah cukup tahu tentang Islam Arab atau versi Timur Tengah?
ULIL: Harus diketahui, bahwa exposure atau informasi mengenai Islam di luar kawasan Arab itu sangat kecil. Salah satu sebabnya adalah karena populasi orang Islam dari Arab di Amerika besar sekali. Masjid pertama kali yang didirikan di Amerika pada akhir abad ke-19, di daerah Iowa didirikan oleh orang Siria. Dan memang, di negara bagian Michigan ada satu kota kecil bernama Dearbon, yang menjadi pusatnya orang Arab di sana. Dan di sana ada masjid besar. Michigan dikenal sebagai negara bagian yang mempunyai populasi orang Islam paling besar di Amerika. Sehingga perjumpaan orang Amerika dengan orang Islam di sana lebih banyak diwakili orang Arab. Hal itu sudah terjadi selama dua abad.
HAMID: Selain mengajar, saya dengar Anda juga menulis buku. Betulkah?
ULIL: Betul. Sebenarnya konsentrasi saya di sana adalah riset, membaca, dan menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan. Semoga selesai dalam waktu dekat. Bagi saya, tidak ada sesuatu yang indah dalam kehidupan ini kecuali membaca, menulis, dan riset dengan bahan yang cukup. Saya tidak tahu kapan negeri ini bisa memenuhi itu semua. Perpustakaan di perguruan tinggi Amerika itu luar biasa.
HAMID: Buku apa yang Anda tulis?
ULIL: Saya menulis semacam metode penafsiran ala Islam liberal. Lebih spesifik penafsiran tentang Alqur’an. Tentu bahan-bahanya tidak semua ada, tapi sebagian yang saya butuhkan bisa tercukupi. Yang paling menyenangkan di sana adalah suasana keilmuan yang sangat kondusif.
HAMID: Apakah Anda tidak kesulitan menulis di Michigan dan Ohio, sebab ahli Islam tidak banyak, bahkan tidak ada. Padahal Anda kan membutuhkan counter part untuk kepentingan penulisan buku ini?
ULIL: Memang, itu yang tidak saya temukan di sana. Tapi ada seorang ahli perbandingan agama, hanya saja fokus studinya bukan tentang Islam, tapi tentang Hindu. Karena saya merasa counter part itu banyak saya temui di Indonesia. Di sana, saya kan menemukan dan Cuma butuh tempat yang enak untuk menulis dan membaca saja. Sekarang buku itu sudah selesai sekitar enam puluh persen.
HAMID: Selama ini Anda kan dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat kontroversial, sampai-sampai difatwa mati. Apakah proyek buku itu menjadi kelanjutan pemikiran Anda secara utuh?
ULIL: Inginnya sih begitu. Tapi kalau sekarang saya buka seluruh isinya, tentu akan membuat buku itu tidak menarik lagi. Tidak surprise. Tapi secara umum, salah satu aspek yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca adalah bahwa Alqur’an sebagai kitab suci, hanya salah satu kitab suci saja. Bukan satu-satunya kitab suci di dunia ini. Itu saya kira aspek yang dilupakan oleh banyak orang; bahwa Alqur’an adalah scripture among sciptures, dia adalah kitab suci di antara kitab suci yang banyak. Dan wahyu yang dibukukan dalam Alqur’an sebenarnya adalah revelation among revelations, wahyu di antara wahyu yang lain. Dan orang Islam saya kira layak untuk belajar jenis-jenis wahyu yang lain.
HAMID: Maksudnya?
ULIL: Menurut saya, hampir semua kitab suci itu bermuatan mukjizat. Selama ini orang Islam hanya menganggap bahwa mukjizat terbatas pada Alqur’an saja. Saya tentu sangat percaya bahwa Alqur’an adalah mukjizat dan hebat. Tapi bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. Setelah saya membaca studi perbandingan mengenai kitab suci yang lain, saya menemukan bahwa hampir semua kitab suci adalah indah, mukjizat dan mengagumkan. Bagi saya, orang Islam perlu meletakkan kitab sucinya dalam kerangka mukjizat yang luas ini.
HAMID: Lantas bagaimana dengan klaim tentang keaslian kitab suci Alqur’an yang hanya terbatas pada Alqur’an saja?
ULIL: Kita harus meninjau ulang konsep atau gagasan tentang keaslian kitab suci. Bagi saya, semua kitab suci adalah asli. Tapi harus diingat bahwa kitab suci itu tumbuh seperti tanaman. Artinya, tidak ada kitab suci yang lahir ke dunia langsung menjadi besar, sebesar tanaman seumur 50 tahun. Kitab suci itu seperti manusia; dia mengalami fase bayi, remaja, dewasa, dan tua. Saya tidak menjumpai sejarah manusia yang langsung jadi. Ketika kita melihat Alqur’an, Taurat, Veda, Injil, dan Upanishad, semua itu adalah kitab suci yang tumbuh. Kalau kita sebut asli bagaimana? Semua kitab suci adalah asli; semua kitab suci adalah sesuai dengan ajaran agamanya, tapi dia berubah atau tumbuh sesuai dengan tahap-tahap yang dia lalui.
Memang ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-kitab suci di luar Islam itu diselewengkan. Tapi kita harus menelaah kembali apa yang dimaksud oleh Alqur’an dengan ungkapan “diselewengkan” itu. Apakah diselewengkan isinya atau intinya, atau diselewengkan pada tingkat pelaksanaannya. Kalau dalam tingkat pelaksanaanya, Alqur’an pun diselewengkan.
HAMID: Atau dalam istilah Alqur’annya tahrîf.
ULIL: Ya, istilahnya tahrîf. Saya kira terlalu teknis kalau saya bicarakan hal ini terlalu mendalam. Tapi intinya, saya kira banyak orang Islam yang salah memahami makna tahrîf itu. Mereka percaya, seoalah-olah proses turunnya kitab Injil dan Taurat itu sama dengan Alqur’an; melalui proses pewahyuan kepada nabi dan dicatat. Injil bukan begitu proses turunnya. Sebab, Nabi Isa tidak pernah menerima wahyu seperti Nabi Muhammad menerimanya. Jadi konsep wahyu dalam Injil itu berbeda dengan dalam Alqur’an.
Yang ingin saya tekankan dalam buku saya nanti adalah, seyogyanya orang Islam memahami konsep pewahyuan itu dalam konteks yang berbeda-beda. Pewahyuan ala Islam, pewahyuan ala Kristen, ala Yahudi, dan lain-lain. Itu semua pewahyuan, tapi berbeda konteksnya, dan dinilai berdasarkan penilaiannya sendiri-sendiri. Jadi jangan sampai menilai kriteria wahyu di luar Islam berdasarkan kriteria Islam. Itu tidak fair.
HAMID: Menurut Anda, bagaimana memahami konsep wahyu dalam agama Kristen misalnya?
ULIL: Saya tidak ingin masuk dalam detail-detail agama Kristen. Tapi intinya, banyak hal yang indah, baik, dan mengagumkan yang saya temui dalam semua kitab suci. Saya membaca Injil dan menikmati sekali. Saya menyukai beberapa bagian dalam Perjanjian Baru seperti khotbah di atas bukit. Dalam Perjanjian Lama, pasti semua orang menyukai kidung agung the song of Solomon; kisah cinta dalam bentuk yang lembut, subtil, dan indah sekali. Intinya, semua kitab suci itu mukjizat dari berbagai seginya.
Misalnya lagi, kehebatan kitab-kitab suci di luar Alqur’an seperti Veda, salah satu kitab suci yang paling tua dari India. Inilah kitab yang selama ribuan tahun tidak pernah ditulis; sebuah kitab suci yang proses transmisinya dari satu generasi ke genarasi yang lain melalui kisah. Istilahnya, dalam studi-studi kitab suci melalui suara. Jadi ini kitab suci yang auditif, dikisahkan secara oral, dari satu generasi ke genarsi berikutnya. Kitab ini baru ditulis pada abad XIX oleh sarjana Eropa bernama Friedrich Max Muller, bukan oleh orang India sendiri. Dia yang menulis dan mengodifikasi kitab Veda. Yang mengherankan, selama ribuan tahun kitab ini tidak pernah ditulis tapi tetap terjaga. Dan tidak hilang. Banyak hal dalam tradisi oral yang hilang, tapi Veda tidak hilang.
Jadi menurut saya, ayat dalam Alqur’an yang berbunyi, innâ nahnu nazzalnâ al-dzikrâ wa innnâ lahû lahâfidzûn (Aku menurunkan Alqur’an dan Aku juga yang akan menjaganya) itu berlaku untuk semua kitab suci. Berlaku buat Injil, juga Upanishad. Kalau Anda beragama Hindu dan termasuk deretan pengagum Mahatma Gandhi, Anda bisa membaca buku yang dia tulis mengenai Tuhan. Hal ini menarik, karena Gandhi mengemukakan wawasan ketuhanan yang sifatnya universal. Semua agama sama; kitab suci semua hebat. Gandhi mengapresiasi Alqur’an, Injil, Taurat, dan seterusnya.
HAMID: Mungkin kalau banyak orang yang menghormati perbedaan agama secara proporsional, dunia ini akan damai, ya?
ULIL: Yang ideal, kita akan menjumpai situasi yang menyerupai free market of ideas atau free market of scriptures, of revelations, of religions. Pasar bebas kitab-kitab suci.
HAMID: Apa yang mau Anda simpulkan dari kunjungan ke Amerika kemarin?
ULIL: Terus terang, saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris. Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai. []
Komentar
Saya Sangat setuju Dengan apa yang dikatakan Moch, Hielmi Dari sudan. dan saya akan selaku keluarga besar ponpes Alhusaeni Akan mendukung kurikulum tersebut
-----
Titik Temu Antar Agama
Oleh Yahya Zainul Maarif Jamzuri *
Ada kebajikan ada kejahatan, ada kebenaran ada kebathilan, itulah kisah bangsa manusia di alam fana ini. Senantiasa kita memohon kepada Allah sekurang-kurangnya tujuh belas kali dalam sehari agar Allah memberi kita petunjuk jalan yang lurus, jalan orang-orang yang senantiasa mendapat kurnia dari Allah dan jauh dari murkaNya.
Dan tentunya tidak cukup seseorang dalam menjauhi murka Allah hanya dengan doa, tapi harus dibarengi dengan menjauhi sebab-sebab kemurkaan Allah.
Titik Temu yang Terkaburkan
Dalam keimanan, salah satu hal yang harus diyakini adalah beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab suci para Nabi dan Rasul. Dan kitab suci itu selagi merupakan wahyu dari Allah, bagi orang yang percaya kepada Allah akan secara otomatis mengatakan bahwa kitab suci itu benar 100 persen. Dan itulah ajaran Alquran. Uraian panjang dalam Alquran tentang seruan para nabi pada konsep keimanan yang sama adalah hal lain lagi yang harus diyakini oleh seorang mukmin (Al Baqarah: 136). Karena yang menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim adalah juga yang menurunkan wahyu kepada Nabi Isa, Nabi Musa, juga Nabi Muhammad. Dan kita meyakini tiada Tuhan selain Dia. Tentunya tidak boleh ada perbedaan dalam masalah esensial keberagamaan (aqidah/keimanan).
Ini adalah satu-satunya keyakinan dalam Islam yang tidak memperkenankan yang lainnya. Karena ia adalah kebenaran yang tidak bisa ditawar dalam masalah keimanan. Namun sering kita temukan sebagian dari kita telah menjadikan kebenaran sebagai alat untuk membela kebathilan (kalimatu haqqin yuraadu bihaa al baathilu). Menyatakan keaslian semua kitab suci yang akhirnya adalah menyamakan semua agama dalam kebenaran.
Sementara yang kita saksikan di dalam kenyataan adalah pertentangan dan perbedaan diantara kitab suci dalam konsep keimanan yang secara otomatis akan menjadikan pertentangan itu diantara agama-agama. Sebagai seorang muslim saya mengimani kebenaran agama yang dibawa Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa sebagai penyampai pesan Allah, menyeru bangsa manusia agar bersaksi akan keesaan Allah dalam arti tiada Tuhan selain Dia, Tuhan yang satu yang kekal abadi dan tidak bermula dalam wujudnya. Keimanan dalam bentuk seperti inilah yang menjadi dan harus diyakini orang yang mengaku mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Dua Bertentangan Bukanlah Sama
Orang yang amat sederhana dalam berpikirpun akan tahu bahwa dua yang sama tidak mungkin berbeda. Sebab sama tidaklah berbeda dan sama bukanlah bertentangan, dan dua yang berbeda bukanlah satu. Beda belum tentu bertentangan tapi kalau bertentangan pastilah berbeda, dan dua berbeda, juga dua pertentangan bukanlah sama.
Di sini saya akan mengajak berpikir dengan amat sederhana untuk mengamati sejauh mana omongan Ulil bisa dimengerti. Apa menurut anda jika ada seseorang mengatakan dua berbeda itu sama atau dua pertentangan itu sama? Jika anda orang yang terbiasa untuk berbaik sangka, mungkin anda akan mengatakan “ah orang itu lagi ngelantur, tidak paham apa yang diomongin”. Tapi selain Anda mungkin lebih enak mengatakan “ah dia itu gila, akalnya gak beres”.
Berikut ini saya akan mengajak anda mengamati ucapan-ucapan Ulil yang termuat di situs Jaringan Islam Liberal (Lihat “Saya Ingin Seperti al Tahtawi!) bahwa ia menyatakan kitab-kitab suci ini semuanya asli, lalu dengan tidak jelas mencoba-coba mengelabui pembaca atau pendengar dalam masalah tahrif (penyelewengan) yang tertera dalam Alquran. Ia katakan, “memang ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-kitab suci diluar Islam itu diselewengkan, tapi kita harus menelaah kembali apa yang dimaksud dengan Alquran dengan ungkapan yang diselewengkan itu, apakah diselewengkan isinya? Atau intinya? Atau dalam tingkah pelaksanaannya?”
Cobalah anda perhatikan ungkapan tersebut. Mula-mula ia mengelabui pembaca atau pendengar bahwa yang mengatakan di dalam al-qu’an ada tahrif itu sekelompok (kecil) kaum muslimin, ini bisa dimengerti dari perkataannya “memang ada pandangan dalam kalangan Islam… ”. Maka saya katakan di sini, “tidak ada satupun dari kalangan ulama Islam sejati yang mengatakan tidak diselewengkan”. ini adalah juga penegasan dari teks Alquran juga Hadist tentang asbab al-nuzul ayat tahrif. Bahkan Ulil sendiri dalam kalimat selanjutnya juga mengatakan adanya penyelewengan (artinya Ulil sendiri bingung dengan omonganya sendiri). Yang perlu saya garis bawahi adalah setelah ia mengatakan bahwa semua kitab suci itu asli lalu mendatangkan kalimat yang berbisa mengelabui, jelas tujuanya adalah untuk mengokohkan ungkapannya bahwa semua kitab suci itu adalah asli.
Dalam ungkapan selanjutnya ia mencoba menghadirkan arti tahrif (penyelewengan) dengan : a. Penyelewengan inti dan isi. b. Penyelewengan pelaksanaan.
Ia sama sekali tidak menyinggung penyelewengan teks dalam arti kalimat-kalimat yang tersusun dalam kitab suci. Sementara yang terjadi dalam kenyataan, penyelewengan itu ada di dalam teks itu sendiri sebelum penyelewengan di dalam pelaksanaan.
Berikut ini saya akan menggunakan argumentasi dengan akal sehat, bukan Alquran, juga bukan Hadist. Karena percuma menurut saya mendatangkan argumentasi dari Alquran kepada orang yang menyamakan Alquran dengan kitab agama lain dalam keasliannya (lihat wawancara Ulil dengan Hamid Basya’ib: “Saya Ingin Seperti al Tahtawi”). Saya juga tidak akan mendatangkan Hadits kepada orang yang meragukan kema’suman Nabi Muhammad SAW seperti Ulil dkk (lihat tulisannya: Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam).
Marilah kita berpikir sejenak melihat kenyataan di hadapan orang yang mengatakan semua kitab suci agama, juga semua agama adalah sama dalam kebenaran!
Jika kebetulan anda adalah orang yang pernah menelaah kitab-kitab agama, dan pernah membandingkan konsep ketuhanan yang ada di dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dsb, adakah perbedaan diantara masing-masing agama dalam masalah yang sangat prinsip ini (yakni konsep ketuhanan)?
Juga dalam masalah kenabian (perantara antara Tuhan dengan hamba-Nya, sekaligus pembawa pesan-pesan Tuhan), adakah perbedaaan konsep kenabian diantara agama-agama itu?
Dalam pembukaaan saya tegaskan dan jelaskan --dan itu sesuai dengan kebenaran yang sering diangkat penyeru-penyeru pluralisme-- yaitu manunggalnya konsep ketuhanan dan kenabian bahwa Tuhan adalah Tuhan yang satu, dan nabi adalah pembawa wahyu (pesan-pesan Tuhan). Kemanunggalan konsep ini dalam bahasa Alquran adalah kalimatun sawaa, yang dalam bahasa kita disebut titik temu. Saya mempersilahkan anda mempelajari kitab-kitab agama, apakah benar-benar ada titik temu itu? Dan agar kita jangan bohong dengan mengatakan titik perpisahan adalah titik temu.
Bagi yang belum pernah menelaah kitab-kitab agama, saya persilakan untuk membandingkan antara kitab-kitab tersebut. Dan saya pastikan anda tidak akan bisa mengatakan adanya titik temu antara agama-agama itu dalam konsep ketuhanan dan kenabian.
Itu bukan karena asas diturunkannya agama itu berbeda, tetapi semata-mata karena adanya perubahan. Bagi andapun hanya ada tiga pilihan, diantara menganggap Alquran telah berubah; atau selain Alquran telah berubah; atau semuanya telah berubah. Sebab dua yang sama jadi berbeda pasti ada perubahan di salah satunya atau kedua-duanya. Bertanyalah pada hati anda wahai orang-orang yang beriman kepada Alquran! Dan mari kita gunakan akal kita untuk melihat sejauh mana kebenaran orang yang mengatakan semua agama itu benar atau semua kitab suci masih dalam keaslian.
Ada permasalahan lagi yang pernah disebut Saudara Ulil bahwa kitab suci itu mempunyai fase dalam perkembangnnya. Mungkin yang dimaksud Ulil, perubahan itu adalah perkembangan itu sendiri. Maka di sini saya hanya mengingatkan kepada siapa saja yang lagi lupa bahwa masalah konsep keimanan tidak bisa mengalami perubahan kecuali jika yang Ulil maksud adalah penafsiran dan hasil istimbath dari teks.
Namun saya tidak perlu ragu bahwa yang dimaksud Saudara Ulil adalah perkembangan teks itu sendiri. Sebab pembicaraan yang terjadi adalah dalam frem kitab suci, bukan penafsiran kitab suci. Dan merupakan keanehan lagi jika Ulil berbicara tentang keaslian kitab suci lalu mencapur aduk antara teks kitab suci dan pemahaman seseorang hasil istimbath dari kitab suci.
Ini semua adalah lelucon dari Ulil, berbicara seolah-olah ilmiah dan kritis tapi lebih beraroma jahil murakkab; tidak tahu kalau dia tidak tahu, atau berdusta; pura-pura tidak tahu. Dan bagi saya sangat mudah untuk mengatakan Saudara Ulil tidak bersalah dengan hal berikut ini; dia tidak faham dengan apa yang dia omongkan. Kelihatannya orang-orang seperti Ulil itu amat terbius dengan gebyar seruan kerukunan beragama, pluralisme dan hak asasi manusia. Maka saya tegaskan dan saya tekankan bahwa kerukunan beragama harus kita wujudkan. Namun saya lebih cenderung menyebutnya kerukunan umat manusia untuk melampaui sekat-sekat keagamaan. Perbedaan adalah suatu hal yang harus ada dalam hidup atau sunnatullah (Al Maidah: 48)
Kita harus pandai-pandai memahami perbedaan, tidak semua perbedaan bisa diselesaikan di dunia ini. Nanti masih ada hari dalam keabadian yang Allah ahkamul haakimiin akan menyelesaikan semua problem yang tidak tuntas ini.
Adalah hakekat makna pluralisme kita menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan menjauhkan bangsa manusia dari pertikaian dan perselisihan. Adalah ajaran Islam yang sejati kita melestarikan alam untuk orang yang beriman dan tidak beriman.
Maka saya tegaskan sekali lagi, penjahat besar adalah perusak kelestarian alam dan keharmonisan bangsa manusia. Penjahat agama adalah yang mengelabuhi umat beragama dengan menyamakan semua agama yang jelas-jelas berbeda. Ia adalah pendusta dalam agama yang telah tidak mau mengajari bagaimana menyikapi perbedaan dalam beragama. Penyeru pluralisme yang sejati akan selalu mengajari bangsa manusia dalam menyikapi perbedaan, dalam menciptakan keharmonisan kendati perbedaan selalu hadir dalam hidup bermasyarakat.
Orang semacam Ulil adalah musuh besar kerukunan manusia yang tidak paham teks Alquran lakum diinukum wa liyaa ddiin (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Orang semacam ini hanya akan mengajak keharmonisan yang harus bertitik tolak dari sama dan kesamaan. Artinya, bagi Ulil dan semisalnya, selagi tidak ada sama dan kesamaan kita tidak bisa hidup bersama dalam keharmonisan. Wallaahu a’lam.
*) Penulis adalah peserta program Pasca Sarjana Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman.
Saya pernah mengirimi tanggapan terhadap wawancara Mas Ulil ini, namun hingga sekarang belum dimuat. Kali ini, saya ingin menyampaikan kembali tanggapan tersebut. Meskipun mungkin tidak sama persis dengan yang pernah saya kirimkan terdahulu, namun beberapa hal yang saya kemukakan dahulu masih saya ingat dengan baik.
Mas Ulil, saya termasuk orang yang mengagumi dan setuju dengan banyak pikiran-pikiran liberal anda tentang Islam. Saya selalu mengikuti pikiran-pikiran Islam Liberal anda dari jauh melalui tulisan-tulisan dan komentar-komentar anda. Sejauh ini, saya menilai apa yang telah anda kemukakan dalam berbagai kesempatan dilandasi oleh argumen yang rasional dan meyakinkan. Ini karena anda menguasai secara mendalam dan luas mengenai Islam klasik dan modern dan ilmu-ilmu sosial serta wawasan-wawasan kontemporer. Saya kira anda beruntung sekali dengan semua itu karena tidak banyak orang yang memiliki kualifikasi seperti anda. Jika memang banyak, namun sedikit yang berani mengemukakan pikiran-pikiran kontroversialnya secara lugas dan terang-terangan seperti anda.
Menurut hemat saya, anda telah melangkah lebih dari separuh perjalanan dalam mendakwahkan pikiran-pikiran Islam Liberal. Pada saat ini, nama anda sendiri telah menjadi “brand” mengenai Islam Liberal di Indonesia. Karena itu, saya kira tidak mungkin lagi bagi anda untuk surut ke belakang atau berhenti di tengah jalan dalam menyuarakan pikiran-pikiran Islam Liberal. Sebab, jika ini terjadi, maka anda dan teman-teman lain dalam gerbong Islam Liberal akan ditertawakan oleh penentang-penentang anda. Apa yang anda kemukakan selama ini akan dicibir sebagai “kegenitan intelektual” semata.
Dalam konteks itu, tidak ada pilihan lain bagi anda selain terus melangkah ke depan menyuarakan pikiran-pikiran Islam Liberal anda. Tentu saja, tetap melangkah ke depan bukan sekedar khawatir terhadap cibiran penentang-penentang anda. Tetapi lebih dari itu, pikiran-pikiran Islam Liberal, menurut hemat saya, memang perlu terus disuarakan untuk menyegarkan pemahaman Islam umat. Apa yang telah anda lakukan (mengajar di universitas Amerika) dan sedang lakukan (menulis buku tentang tafsir Islam Liberal) saya kira adalah pencapaian yang sangat signifikan untuk mengerek citra positif diri anda sebagai seorang intelektual Islam Liberal. Ke depan, saya kira anda harus meraih hal yang lebih tinggi lagi agar kapasitas dan kualifikasi anda sebagai seorang intelektual Islam Liberal semakin diakui. Saya ingin mengusulkan beberapa hal yang menjadi tantangan bagi anda untuk dilakukan:
1. Mengambil studi Ph.D di universitas terkemuka di Amerika dan Timur Tengah. Saya paham, bagi anda gelar tidaklah penting bagi proses intelektual anda. Namun, saya kira ini adalah hal yang tidak boleh diabaikan karena ini menyangkut pengakuan orang terhadap jejak perjalanan intelektual anda. Bukankah banyak dari penentang pikiran-pikiran anda lulusan dari universitas di negeri Barat dan Timur Tengah. Saya kira anda dapat meneladani Alwi Shihab dalam hal ini, yang memiliki dua gelar Ph.D dari universitas di Amerika dan Mesir.
2. Menulis di jurnal-jurnal internasional. Ini adalah hal yang biasa dilakukan oleh intelektual-intelektual terkemuka yang serius menjadi seorang intelektual. Menurut saya, hanya menulis artikel di koran dan media massa tanah air bukan lagi media yang tepat untuk pematangan proses intelektual anda. Meskipun bukan berarti tidak perlu sama sekali menulis di koran dan majalah, namun saya kira menulis di jurnal internasional harus menjadi prioritas utama anda.
3. Menulis buku yang utuh, bukan kompilasi dari artikel-artikel yang pernah dimuat di media massa. Saya senang mengetahui anda sedang merampungkan buku mengenai tafsir Islam Liberal terhadap Al-Quran. Saya harap anda akan menulis buku lainnya lagi pada masa mendatang.
4. Tampil dalam forum-forum internasional. Mengenai hal ini sepanjang yang saya ketahui telah anda lakukan. Anda memiliki kontak dan jaringan dengan tokoh-tokoh inetelektual internasional. Karena itu saya yakin hal ini tidak menjadi masalah bagi anda. Yang perlu anda lakukan adalah meningkatkan jam terbang untuk lebih banyak lagi tampil dalam forum internasional.
Mas Uli yang saya hormati, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui anda dengan menyampaikan beberapa hal di atas. Justru sebaliknya, saya merasa terpanggil untuk menyampaikannya karena saya ingin anda menjadi seorang intelektual yang memiliki kapasitas dan kualifikasi yang lebih sehingga pikiran-pikiran Islam Liberal yang anda suarakan akan lebih memukau dan menggentarkan para simpatisan maupun para penentang anda.
Salam.
Thanks berat buat jil yang sudah bikin web bagus buanget. Memang buat saya belum seseru premier league, tapi saya mulai seneng buka webnya jil terutama komentar artikel.
Hampir mirip pemain dan penonton premier league, komentar pembaca (penonton) sebagian emosional & tentu merasa paling bener sendiri. Yang tidak kalah menarik yaitu sikap untuk membenci “lawan”. Untuk menunjukan sisi kebaikan diri adalah dengan menaruh rasa kebecian dalam diri terhadap “lawan” . Lawan itu bisa siapa saja seperti: kaum fundamentalis, kafir, barat, dll.
Diri sendiri boleh salah (dosa) tapi kalau bisa ambil sikap salahkan & tunjukan salah (dosa) lawan, maka kesalahan diri sendiri akan terlupakan. kita boleh salah, tapi buatlah menjadi lawan yang salah, biar mereka yang dapat kartu kuning atau merah, ok juga sikap orang beragama.
Menurut saya, dua sikap utama yaitu 1. merasa paling bener sendiri, 2. bencilah lawan, juga ada disetiap pemeluk agama baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, bahkan Budha.Aapa memang itu standard orang beragama kali, yach?
Maka kalau boleh usul mas ulil dkk bisa kerja sama dengan temen agama lain. Buatlah cabang web seperti “kristenlib”, yahudilib, hindhulib, dll.
Jadi sabtu & minggu buat premiare lueague, senin-jumat buat web lib, ok mas!
NB: 1. buat redaksi muat dong usul saya, siapa tau banyak yang tertarik. 2. saya lihat web ini banyak dikunjungi, tapi kok minim iklan, nggak
butuh duit nich? biar kelihatan orang beragama kayaknya memang
harus nomor 2 in hal-hal yang duniawi yach?
Redaksi: Pertama, dengan membaca jawaban ini, tentu komentar anda sudah dimuat. Kedua, tentang iklan, terima kasih atas usulan Anda, kami akan mempertimbangkan kemungkinan ini.
Salam,
Sederetan pengalaman yang menyenangkan dan indah, Mas Ulil. Kita membutuhkan orang-orang seperti Anda untuk berbagi rasa dan Aufklarung (enlightenment) mengenai Islam esoteris yang indah yang mengakomodasi keberagamaan agama kepada dunia. Sikap ortodoksi dan gemar menjilati teks-teks ayat tanpa upaya menyingkap apa yang tersembunyi dibalik teks itu, akan sangat berbahaya dalam penerapannya di masyarakat. Kita butuh orang-orang yang progresif, luwes dan berwawasan luas dalam menyikapi kekinian global, bagaimana agar ruh agama yang sudah loyo ini bangkit kembali. Jangan sampai agama-agama ini menjadi opium bagi masyarakat karena pemahaman teks keagamaan yang sangat literal dan kaku.[]
Allah Haafiz,
Komentar Masuk (37)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)