Seratus Kelompok Radikal? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/12/2002

Seratus Kelompok Radikal?

Oleh Denny JA, PhD

Majalah Far Eastern Economic Review edisi terakhir di bulan Desember 2002 memuat wawancara dengan Lee Kuan Yew. Sebagaimana negarawan kelas dunia lainnya, pandangannya tentang terorisme di Asia Tenggara cukup provokatif, mengajak berpikir dan mencerahkan.

Majalah Far Eastern Economic Review edisi terakhir di bulan Desember 2002 memuat wawancara dengan Lee Kuan Yew. Sebagaimana negarawan kelas dunia lainnya, pandangannya tentang terorisme di Asia Tenggara cukup provokatif, mengajak berpikir dan mencerahkan.

Lee berujar, seandainya pun jaringan terorisme di belakang Bom Bali dapat ditangkap semuanya, itu hanya satu sel dari kelompok radikal yang ada di Indonesia. Investigasi yang dilakukan melalui Internet, menurut Lee, menunjukkan bahwa di Indonesia ada sekitar seratus kelompok atau sel serupa, yang sama radikalnya dengan jaringan pengebom Bali.

Bahkan kelompok radikal itu, ujar Lee, sudah meluas ke Asia Tenggara. Di era Orde Baru, Soeharto sangat keras mematikan kelompok radikal itu. Akibatnya, banyak pemimpin dan aktivis radikal melarikan diri, terutama ke Malaysia dan Singapura. Pemimpin Jemaah Islamiyah Singapura, sebagai contoh menurut Lee, adalah murid yang diubah agamanya oleh Abu Bakar Ba’asyir.

Kelompok radikal itu, menurut Lee lagi, punya ilusi. Mereka ingin membangun sebuah kekhalifahan regional Asia Tenggara, meliputi setidaknya Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina Selatan. Itu hal yang mustahil untuk dicapai, ujar Lee lagi. Alasannya, sulit dibayangkan jika orang Malaysia, Singapura atau Filipina bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam pimpinan orang Indonesia.

Seandainyapun cita-cita itu dapat mereka capai, mungkin mereka dapat meniru semacam kekuasan regional komunisme di Eropa Timur. Namun kekuasaan regional itu tidak pernah benar-benar kuat. Itu cita-cita yang tidak realistis. Persoalannya, sungguhpun tidak realistis, para pejuang radikal itu meyakininya sebagai cita-cita yang diperintahkan Tuhan. Mereka bukan saja rela menggunakan kekerasan, bahkan rela pula mengorbankan hidupnya sendiri untuk mati syahid.

Kondisi itu yang menyebabkan Asia Tenggara dalam bahaya. Menurut Lee, politisi di Asia Tenggara jangan pernah berpikir bahwa yang terancam jaringan kelompok radikal itu hanya kepentingan Amerika Serikat. Yang dipertaruhkan adalah politik Asia Tenggara sendiri, bukan politik Amerika Serikat. Industri pariwisata di kawasan ini hancur. Iklim bisnis pun tidak lagi kondusif. Bagaimana kelompok radikal ini harus dilawan? Menurut Lee, pendekatan ekonomi dan sosial semata sulit melumpuhkannya. Mereka yang ditangkap di Singapura dari jaringan radikal itu, bukanlah para pengangguran. Mereka punya rumah, mereka dididik dengan sekolah Barat, sebagian mereka bahkan fasih bahasa Inggris.

Lee punya argumen, kelompok itu hanya dapat dihadapi secara keras. Malaysia dan Singapura dapat memukul mundur gerakan itu karena ada ISA (Internal Security Act), yang memungkinkan dua negara itu melakukan tindakan preventif secara cepat dan keras. Namun Lee meragukan kemampuan Indonesia menanggulangi kelompok radikal itu akibat lemahnya kelembagaan politik di Indonesia. Harapan di Indonesia untuk kelompok radikal, menurut Lee, ada di tangan kelompok yang paling nasionalis, yaitu militer.

Evaluasi

Seandainya wawancara dengan Lee Kuan Yew dilakukan sebelum Tragedi Bali, niscaya akan banyak protes dari dalam negeri Indonesia. Para pemimpin dan aktivis di Indonesia seolah terbakar nasionalismenya dan mengklaim Lee intervensi dan menghina Indonesia. Akan ada pemimpin berkata, tak ada kelompok radikal apalagi terorisme di Indonesia. Masih terbayang bagaimana respons internal kita terhadap Lee, ketika ia mengatakan Indonesia sudah menjadi sarang dan surga bagi kelompok teroris, kira-kira enam bulan lalu.

Namun Tragedi Bali dan hasil sementara investigasi polisi sudah membuat publik dan pemimpin Indonesia lebih matang. Kini mereka mangamini pernyataan Lee, Indonesia sudah menjadi sarang dan surga terorisme benar adanya. Pernyataan Lee yang dikutip di awal tulisan, dalam wawancara dengan Far Eastern Economic Review, sangat mungkin juga benar adanya. Pernyataan itu tentu harus menjadi renungan serius para pemimpin negeri ini.

Saya sendiri beranggapan, banyak yang benar dalam wawancara Lee Kuan Yew itu. Namun, solusi untuk menghadapi terorisme di Indonesia mesti lebih komprehensif daripada sekadar pendekatan represif dan militer atau polisional belaka.

Benar bahwa kelompok radikal di Indonesia banyak dan sudah leluasa. Dua fenomena terakhir menunjukkan semakin radikalnya kelompok itu. Pertama, adalah sinyalemen Imam Samudra sendiri. Menurut Imam, Iqbal meledakkan Paddy’s Club di Bali dengan cara bom bunuh diri. Iqbal, menurut Imam, sudah melakukan jihad dan menjadi martir. Muslim yang ikut terbunuh dalam tragedi itu, jika mereka ikhlas, menurut Imam Samudra, insya Allah akan masuk surga.

Jika pernyataan Imam itu benar, jelas itu fenomena yang baru dan agak menakutkan. Selama ini kita mendengar bom bunuh diri dilakukan warga Palestina menghadapi Israel. Sungguh pun kita tak setuju, namun bom bunuh diri dalam konteks Palestina-Israel memang punya komplikasinya sendiri. Palestina berjuang merebut kemerdekaannya.

Ketatnya keamanan Israel membuat mereka hampir mustahil meledakkan bom dari jauh. Bom harus disembunyikan di dalam tubuh mereka sendiri dan diledakkan bersama dengan terbunuhnya pembawa bom.

Namun, di Indonesia, apa keperluan bom bunuh diri itu? Ataukah itu sekadar masalah gaya? Di Indonesia, sebagaimana yang sudah ditunjukkan melalui berbagai peristiwa, bom dapat diledakan dari jauh dan sukses. Pemerintahan Indonesia pun bukan lawan kelompok radikal mengingat kabinet pelangi juga merangkum dua partai yang ingin memperjuangkan Syariat Islam. Jika bom bunuh diri itu benar-benar terjadi di Indonesia, itu menggambarkan betapa radikalisme kelompok itu sudah mencapai tingkat puncak dan berbahaya.

Fenomena kedua adalah kasus Ulil Abshar-Abdalla. Diberitakan, sekelompok ulama dari Jatim, Jateng dan Jabar berkumpul. Mereka membuat fatwa agama bahwa Ulil, seorang pemikir muda dengan tradisi NU yang kuat, dihukum mati. Penyebabnya karena Ulil menulis sebuah kolom di harian Kompas yang dianggap menghina Islam, Nabi Muhammad, dan Allah sekaligus.

Perbedaan paham atau pertentangan interpretasi atas Islam, ataupun Kristen ataupun Buddha adalah hal yang lazim dalam sejarah Indonesia. Namun mungkin ini untuk pertama kalinya, di era reformasi, perbedaaan pemahaman itu harus dikenakan hukuman mati.

Sementara kelompok ulama itu tidak memberikan komentar atas Imam Samudra dan Amrozy. Sebagaimana Ulil, Imam Samudra dan Amrozy juga menggunakan atribut Islam. Bedanya, Ulil menggunakan atribut itu dalam kolom dan mengajak diskusi. Sementara Imam dan Amrozy sudah mengakui (menurut berita koran dan polisi) menggunakan atribut Islam untuk mengebom dan membunuh ratusan nyawa.

Mengapa yang dihukum mati para ulama itu adalah Ulil Abshar-Abdalla, bukan Imam Samudra atau Amrozy? Bukankah Ulil tidak membunuh dan hanya mengajak berpikir? Tulisannya pun dimuat di sebuah harian terkemuka bukan pamflet atau selebaran gelap tanpa nama. Karena tidak memberikan komentar atas Imam Samudra dan Amrozy, apakah para ulama yang menghukum Ulil itu membenarkan Imam Samudra dan Amrozy?

Kasus Ulil semakin menambah pembenaran atas pernyataan Lee Kuan Yew. Kelompok radikal memang banyak dan semakin leluasa di Indonesia.

Solusi

Namun kelompok radikal itu tidak dapat hanya dihadapi secara represif dan militeristik atau polisional. Secara kultural, kelompok itu harus pula diisolasi pengaruhnya oleh kalangan Islam sendiri, yang datang dari pemahaman atau tradisi yang berbeda. Pendekatan represif dan polisional belaka tak dapat “memenangkan hati” pemeluk agama Islam mayoritas.

Di Indonesia, kelompok radikal itu, sungguhpun jumlah organisasinya sudah lebih dari seratus, hanya minoritas. Jauh lebih banyak kelompok Islam yang moderat dan liberal. Agama Islam, sebagaimana agama besar lainnya, bahkan ideologi besar sekalipun, selalu diwarnai keberagaman interpretasi. Ada interpretasi yang paling liberal di sebelah kiri, ada kelompok moderat mayoritas di tengah, dan ada kelompok radikal di belah kanan, yang juga minoritas.

Kelompok Islam liberal di Indonesia kini mulai tumbuh. Bersamaan dengan era kebebasan reformasi dan menguatnya kelompok Islam radikal, kelompok Islam liberal menemukan momentumnya. Jaringan itu digemari intelektual muda. Mereka memiliki homepage dan jaringan radio. Bagi mereka Islam yang benar adalah Islam yang menghargai pluralisme, demokrasi, dialog dan antiterorisme.

Jauh lebih banyak lagi jumlah Islam yang moderat. Ini kelompok Islam yang ikut mainstream di NU dan Muhammadiyah. Kelompok itu sudah tumbuh puluhan tahun dalam tradisi ideologi negara Pancasila. Di bawah Pancasila, yang berkembang adalah Islam yang tidak menghendaki negara Islam, dan hanya ingin mencapai substansi nilai Islami. Kelompok mayoritas Islam itu juga pro kepada demokrasi, sebagaimana yang tergambar dalam platform partai PKB dan PAN.

Bagi yang melanggar hukum, tentu saja kelompok radikal itu harus dihadapi secara represif dengan kekuatan polisi dan aparat keamanan. Namun dalam jangka panjang, kalangan Islam liberal dan Islam moderat atau Islam mainstream harus menghadapi kelompok radikal. Harus terjadi semacam “perang wacana” antara Islam Liberal dan Islam Moderat melawan Islam Radikal untuk memenangkan hati the silent majority dari umat Islam Indonesia.

Kalangan Islam liberal dalam berbagai kesempatan sudah mengecam keras kelompok radikal yang dicap sudah “membajak” agama Islam yang suci untuk membenarkan terorisme. Kalangan Islam moderat dan mainstream agaknya masih “malu-malu” mengambil posisi.

Jika memang kita ingin terorisme tercerabut dalam politik Indonesia, saatnya Islam moderat dan mainstream melontarkan kecaman lebih keras, lebih langsung, lebih sering, lebih apa adanya, lebih to the point secara publik atas “pembajakan” Islam oleh kelompok radikal yang membenarkan terorisme itu.

Catatan:
Artikel ini diambil dari Suara Pembaruan, 9 Desember 2002

09/12/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sebenarnya saya sangat tidak setuju dengan adanya gerakan radikal dari sekelompok kecil kalangan Islam. Hal-hal seperti itu sungguh membuat kesatuan dan persatuan di negara ini semakin luntur. Banyak kasus yang saya lihat, di mana pertemanan antara rekan sekerja, tetangga dan bahkan family menjadi hancur dikarenakan masuknya doktrin radikalisme dari islam radikal tersebut. Padahal kalau kita melihat ke sudut yang lain, masih lebih banyak hal-hal indah dan lebih baik yang bisa didapat bila menjalin kerukunan dengan berbagai umat agama yang berbeda. Dengan tegas saya menyatakan 100% mendukung gerakan penghapusan radikalisme agama. Tidak hanya gerakan radikalisme di kalangan islam saja, tapi juga penghapusan gerakan radikalisme di kalangan agama Kristen, Hindu, Buddha dan aliran kepercayaan lainnya. Alangkah baiknya bila sifat radikalisme itu diwujudnyatakan dalam membangun kebersamaan antar penganut agama yang berbeda. Dengan arti kata, marilah kita menjadi militan dalam menjalin pertemanan dengan berbagai umat beragama yang berbeda dengan agama yang kita anut.
-----

Posted by Irianto  on  02/17  at  02:02 AM

Akhir-akhir ini, umat islam sering dikaitkan dengan terorisme yang menjadi isu sentral didunia. Khususnya di indonesia pemahaman islam radikal mulai menyusup masuk kedalam generasi muda islam yang girah juangnya sangat membara. Untuk mengantisipasi pemahaman islam radikal kedalamm dunia islam tentunya upaya yang diambil oleh pengambil kebijakan sangat diharapkan agar jangan sampai pemahaman ini masuk dan menjadi salah satu girah juang genarasi islam.

Untuk itu pemerintah harus dengan tegas menindak setiap gerak gerik aktivis yang mempunyai sinyal-sinyal untuk menyebarkan paham islam radikal.

Posted by darman  on  09/04  at  06:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq