Tahlilan Sebagai Subkultur Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
06/01/2010

Tahlilan Sebagai Subkultur Islam

Oleh Luthfi Assyaukanie

Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan. Setidaknya itu yang saya rasakan dalam upacara Tahlilan Tujuh Hari Gus Dur. Berbagai penganut agama tumpah-ruah, beragam tokoh masyarakat melebur, dan berbagai pemeluk keyakinan bersatu ikut membacakan doa-doa untuk Gus Dur. 

Saya tercengang menghadiri acara Tahlilan tujuh hari wafatnya Gus Dur di Ciganjur tadi malam. Sudah lama saya tidak ikut Tahlilan, bukan karena saya anti-Tahlilan, seperti kaum Wahabi atau para pengikutnya di Indonesia, tapi karena malas saja. Untuk Gus Dur, sepertinya saya punya energi lebih untuk datang ke acara yang dipadati ribuan orang itu.

Saya kira ini adalah acara Tahlilan terbesar sepanjang hidup saya. Ketika usia belasan, saya cukup sering menghadiri acara Tahlilan, baik untuk menghormati kerabat atau tokoh agama yang sudah meninggal. Sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkungan NU, Tahlilan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial saya ketika itu.

Tahlilan berasal dari bahasa Arab “tahlil” yang berarti “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan.” Kata itu bisa juga berarti “pengucapan la ilaha illallah.” Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu. Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan).

Malam itu saya benar-benar khusyu mengikuti bacaan-bacaan Tahlil yang dipimpin oleh KH Said Agil Siradj, Ketua NU yang juga teman baik Gus Dur. Saya melihat Pak Yusuf Kalla dan beberapa pejabat negara juga ikut larut dalam upacara yang sangat syahdu itu. Saya merasakan lantunan ayat-ayat suci dan doa-doa pada malam itu seperti sebuah sakramen yang sangat istimewa.

Drama Kematian. Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya dilakukan di samping makam dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara Tahlilan dilakukan pada bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 100 hari. Upacara Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari berturut-turut. Ada pula yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.

Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan. Tapi saya menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan cerita-cerita eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, misalnya bahwa arwah seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau pada hari ke-40 sejak ia meninggal.

NU dan kaum Muslim tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan kematian. Ketika seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya adalah sebuah ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti man rabbuka? (siapa tuhanmu), man nabiyyuka? (siapa nabimu), ma dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya. Ketika kecil saya sudah diberikan “bocoran” untuk menjawab semua pertanyaan itu. Dan saya kira, Gus Dur juga.

Tahap alam kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase berikutnya, sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar (di mana semua orang dalam keadaan telanjang, persis seperti dalam pose fotografer nudist asal AS, Spencer Tunick). Dia dan manusia lainnya, diperintah untuk melewati “jembatan lurus” (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya seukuran rambut dibelah tujuh.

Jembatan itu menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya melebihi permukaan Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang bisa selamat melewati jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti diriwayatkan sebuah hadis, mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan mudah melewati sirathal mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat (jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab ke dalam Neraka Jahanam.

Dengan latar belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan kaum Muslim tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, yakni dengan cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa dalam Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan perjalanan orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir.

Subkultur Islam. Tentu tidak semua umat Islam meyakini kisah dramatis perjalanan kematian seperti di atas. Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya bahwa orang yang hidup bisa membantu orang yang sudah mati. Inilah argumen kaum Wahabi dan para pengikutnya di Indonesia, termasuk sebagian besar warga Muhammadiyah. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan terputus ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan atau membantunya di akhirat sana.

Namun, terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena kita harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.

Setidaknya itu yang saya rasakan dalam upacara Tahlilan Tujuh Hari Gus Dur. Berbagai penganut agama tumpah-ruah, beragam tokoh masyarakat melebur, dan berbagai pemeluk keyakinan bersatu ikut membacakan doa-doa untuk Gus Dur. Di akhir acara, perwakilan dari mereka memberikan sambutan berupa refleksi dan kenangan tentang almarhum KH Abdurrahman Wahid.

Mengikuti prosesi Tahlilan di rumah Gus Dur itu, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid’ah (mengada-ada). Yang saya saksikan adalah sebuah subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa menjadi kohesi bagi masyarakat kota yang kerap terlena dalam kesibukan masing-masing.

06/01/2010 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (35)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

@dki,pengalaman saya agak beda. Tetangga saya benar2 sampai berhutang untuk menyelenggarakan tahlilan karena di kampung saya tahlilan seakan2 wajib.Padahal kondisi mereka sangat kekurangan. Kalau mengadakan tahlilan tanpa menyediakan hidangan mungkin dianggap nggak afdhol atau menyalahi tradisi.Sepanjang yang saya tahu ada riwayat mengenai kerabat sahabat nabi yang meninggal dan nabi memerintahkan oang2 untuk menghantarkan makanan untuk mereka karena sedang tertimpa musibah, tapi kenapa tradisi di sini (dikampung saya) kebalikannya, keluarga orang yg meninggal malah harus menyediakan hidangan untuk acara tahlilan? pengalamn lain, ketika teman saya meninggal karena kecelakaan sang ayah dengan baju masih berlumuran darah pergi ketoko untuk mebeli gula, teh dsb, untuk persiapan hidangan tahlilan, tragis yah… btw saya tidak anti tahlil bahkan selalu semangat setiap diundang tahlil karena itu berarti banyak jajanan dan pulangnya bawa berkat (makan gratis)..he he

Posted by fery  on  09/18  at  10:13 AM

saya berpendapat moderat saja ttg masalah tradisi tahlilan ini karena tendensinya yang lebih ke arah budaya ketimbang ritual ibadah, sejauh tidak ada yang dirugikan baik secara materi atau immateri, sah-sah saja pendapat berbeda itu menandakan masing2 ada dalil yang melandasinya bukan taqlid buta yang tentunya sangat dilarang agama. akan bernilai lain bila sebuah amaliah itu baik makhdhah maupun ghoir-almakhdhoh dipandang dari sudut pelakunya yang beragam sebab hanya tuhan dan dirinya yang lebih tahu tapi akan lebih tepat dan memang sudah seharusnya kalau yang mendasarinya nash2 qhot’i yaitu al-quran dan al-hadits

Posted by abu zaki  on  08/19  at  10:06 AM

apaun tentang tahlilan saya pikir sudah di ulas.. dan saya mengacungi jempol keberadaan tahlilan.. buat saudara2 wahaby atau yang tidak sepakat dengan budaya tahlilan.. ge monggo… ndak wajib kok…
kalau kemudian yang diapakai alasan penolakannya adalah
1. masalah banyak orang yang mengira itu wajib
ah kata siapa.. yang berstatement seperti itu saya yakin bukan dari golongan orang2 yang melakukan ritual tahlilan.. bahkan anak kecil di kampung saya (jember) aja tau dan sudah di ajarkan hukum2nya waktu ngaji di langgar…
kalau kemudian mereka menganggap sebagai sesuatu yang “eman” untuk tidak dikerjakan mungkin iya..
2. masalah orang yang kemudian sampai berhutang2 segala
haha ini malah alasan konyol lagi....
a. tidak semua tahlilan diharuskan ada makannya.. monggo lihat budaya di pesantren yang tahlilan tanpa ada makanan
b. kalau pun ada makanan saya fikir tidak lebih dari sekedar bentuk penghormatan seorang tuan rumah kepada tamunya.. dan bentuk shodaqoh…
iseng ya.. teringet kata teman saya… di sela2 ngopi di unyil coffe “la iku wong2 wahaby males shodaqoh ae gawe alasan babibu gawe nolak tahlilan… lawong seng diwoco yo apik… mari kalah adu argument masalah dasar2e saiki menggok nang utang2an barang gawe mbandani tahlilan....”
heheh jangan diambil hati ya saudara.. saya cuma cerita pengalaman kok..
wawlahualam bi sowab..
salam satu jiwa

Posted by dki  on  07/28  at  02:30 AM

tradisi tahlil, sebagaimana tradisi-tradisi lainnya, sulit dipisahkan dari kelompok masyarakat yang menjalankannya. sebagaimana susahnya memisahkan sepasang kekasih yang ekstase asmara. Bayangkan salah satu kekasih anda, apakah itu orang tua atau suami/istri atau teman akrab atau pacar, tiba-tiba saja hilang karena kecelakaan atau pergi entah ke mana. Pada saat itu rasa kehilangan begitu mengharukan. Sebab di sana ada hubungan emosional. Begitu pula urusan tradisi. Tradisi, biasanya, hadir dan menempel pada kehidupan sehari-hari kita. Bagaimana sulitnya memisahkan dan mencabut sesuatu yang telah melebur dalam darah-daging seseorang. Orang tersebut bisa mati mendadak. Itu berlaku pada orang yang sangat kecanduan dengan tahlil. Bagi pengamat seperti kita, tentu lain rasanya. Sebagaimana seorang pembunuh bayaran, dia tidak ada kaitan sama sekali dengan orang yang akan dibunuh. Pengamat dan seorang pembunuh bayaran, yang tidak memiliki empati, sangat tega untuk menganiaya atau membantai korban. Tidak ada ikatan emosional, apalagi cinta. Kalau ingin mencabut tradisi tahlil dari para pemeluknya, kita lebih dari sekadar penjahat berdarah dingin. Sebagaimana kita tidak pernah ingin kehilangan kekayaan kita. Sedangkan tahlil adalah kekayaan rohani yang begitu menghibur. Tidak beda dengan hiburan para penguasa dan pengusaha dalam mengejar keinginannya. Mereka akan menggadaikan dan berhutang berapa pun untuk memenuhi hasratnya. Seperti anda yang rela mati untuk bisa menikah dengan kekasih sendiri. Tahlil memiliki dimensi refleksi masa lalu dan masa depan. Dalam unsur tahlil sendiri, misalnya ada tawasul kepada para nabi, wali, dan orang yang dido’akan, merupakan dimensi refleksi masa lalu. Bukan saja memberikan pesan bahwa ada orang-orang penting dalam perjalanan Islam, tetapi juga orang-orang penting tersebut memiliki teladan-teladan. Dengan mengingatkan terus nama-nama seperti, Syaikh Abdul Qadir, juga sebenarnya memberikan pesan bahwa siapa Syaik Abdul Qadir itu. Ini juga merupakan bentuk penghormatan para penganut tahlil untuk “IKLAN” sepanjang masa. Kalau tidak ada “iklan” ini orang tidak akan pernah mengingatnya. Apakah anda yakin bahwa anda akan dikenang sepanjang masa tanpa adanya tahlil? Kalau anda tidak punya karya, saya yakin, kelak meninggal dunia, anda hanyalah kerangka dalam tanah. Tetapi melalui tahlil, anda akan senantiasa dikenang oleh anak turun anda sendiri, setidaknya.

Posted by Caklul  on  07/23  at  02:18 PM

Betul betul betul, tapi mohon bedakan tahlil dan tahlilan. Yang sedang kita diskusikan adalah budaya tahlilan. Bahwa secara sosial tahlilan memiliki kebaikan : SETUJU. Bentuk kasih sayang ? SETUJU. Tapi pertanyaan saya tentang pengantar dalam tahlilan yang menyebut tawasul kepada Syeh Abdul Kadir Jaelani dan sebutan “penghulu kita” belum terjawab.

Posted by indah  on  06/23  at  02:22 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq