Tanggapan Soal CLD-KHI - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Gagasan
05/12/2004

Tanggapan Soal CLD-KHI

Oleh Redaksi

Mengapa penulis setuju dengan CLD-KHI? Karena CLD-KHI justru sesuai dengan semangat Islam itu sendiri. CLD-KHI sesuai dengan prinsip persaudaraan (al-ikhâ), kesetaraan (al-musâwah) dan keadilan (al-’adâlah). CLD-KHI juga sesuai dengan HAM dan tidak bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, juga produk hukum lain seperti UU Perlindungan Anak dan Perempuan. CLD-KHI juga demokratis, pluralis, inklusif, tidak patriarkhis, dan mengutamakan keadilan dan kesetaraan gender.

Oleh: Anonim ***

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan dengan Instruksi Presiden Soeharto tahun 1991 merupakan standar hukum Islam yang berlaku di NKRI untuk persoalan-persoalan keluarga. Ide pembentukan KHI berawal dari perbedaan acuan para ulama dalam menentukan suatu perkara berdasarkan hukum Islam, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di berbagai tempat. Makanya, KHI dibuat sebagai upaya untuk menyeragamkan hukum Islam di Indonesia.

Sebagai sebuah produk hukum, KHI sudah berjalan selama 13 tahun, dan dianggap telah “mampu”
dan “bisa” menyelesaikan persoalan-persoalan muamalah berdasarkan hukum Islam. Oleh karena itu, pemerintah lalu berinisiatif menaikkan status produk hukum ini dari Instruksi Presiden (inpres) menjadi Undang-undang (UU).

Tapi bila dicermati lebih lanjut, KHI lama terasa sudah “tidak bisa” dan “tidak mampu” menyelesaikan persoalan muamalah, karena masih mengandung beberapa “kecacatan” yang fatal. Pertama, KHI 1991 banyak mengandung ketidakadilan, bias patriarkhi, serta nuansa eksklusivisme. Kedua, KHI 1991 kurang sesuai dengan banyak produk hukum yang sudah ada, baik nasional maupun internasional. Ketiga, KHI 1991 kurang sesuai dengan HAM. Keempat, karena sebab-sebab di atas, maka KHI 1991 dapat dikatakan sudah kurang sesuai dengan semangat Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, tak heran bila beberapa orang yang peduli dengan Islam, demokrasi, keadilan, kesetaraan gender, pluralisme dan inklusivisme, seperti Dr. Siti Musdah Mulia, Abdul Moqsith Ghazali, dan para aktivis lainnya, membuat alternatif lain berupa Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam. Saya memang tidak sepenuhnya setuju dengan usulan ini. Tapi bila dibandingkan dengan KHI 1991, draft ini jauh lebih baik dan, “Suatu langkah yang sangat revolusioner,” mengutip perkataan aktivis perempuan, Nurul Arifin. Ini adalah satu langkah besar bagi penerapan syariat di NKRI, sebagai negara muslim moderat terbesar di dunia. Untuk itu, saya ingin memberi tanggapan sekaligus mengangkat isu krusial yang ada.

Mengapa penulis setuju dengan CLD-KHI? Karena CLD-KHI justru sesuai dengan semangat Islam itu sendiri. CLD-KHI sesuai dengan prinsip persaudaraan (al-ikhâ), kesetaraan (al-musâwah) dan keadilan (al-’adâlah). CLD-KHI juga sesuai dengan HAM dan tidak bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, juga produk hukum lain seperti UU Perlindungan Anak dan Perempuan. CLD-KHI juga demokratis, pluralis, inklusif, tidak patriarkhis, dan mengutamakan keadilan dan kesetaraan gender. Ini dapat kita lihat dari poin-poin yang mendudukkan hak dan kewajiban suami istri secara setara. Misalnya, adanya iddah dan nusyuz bagi pria, mahar yang saling diserahkan oleh kedua belah pihak, kebolehan perempuan menjadi saksi, bolehnya perempuan 21 tahun menikahkan dirinya sendiri, dihapusnya kewalian sebagai rukun nikah, dan dimasukkannya pencacatan sebagai rukun nikah, dll. Kesemua ini sangat sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya.

Untuk itu jangan sampai kita terjebak oleh makna literal teks, seperti konsep qawwâmah dengan mengartikannya sebagai kepemimpinan (laki-laki) saja. Padahal, qawwâmah adalah konsep saling komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga berdasarkan konsensus pasutri, bukan kepemimpinan sebelah pihak saja (suami) yang kemudian berujung pada mistifikasi tujuan berumah tannga oleh sebab tidak adanya konsensus dan pembagian tugas yang jelas antara pasutri. Lalu, nusyûz yang dikenakan kepada pihak suami juga bertujuan untuk mengontrol suami; apakah dia melanggar komitmen atau tidak. Apakah suami yang menyiksa istrinya tidak dikatakan melanggar? Ketentuan iddah bagi suami juga berarti memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir dan agar dapat mengontrol nafsu seksualnya. Mahar untuk kedua belah pihak berarti adanya keadilan. Bila mahar hanya diserahkan secara sepihak, seakan-akan ada kesan bahwa pihak yang satu membeli (alat kelamin) pihak lain.

Lalu poin-poin lain seperti wanita yang dibolehkan menjadi saksi, bisa menikahkan dirinya sendiri, memiliki hak rujuk, mempunyai kewajiban mencari nafkah, dll, juga menunjukkan ketangguhan kaum perempuan itu sendiri dalam sektor yang lebih luas, tidak hanya pada sektor domestik. Apakah menjadi perempuan adalah sebuah kesalahan, padahal Allah menciptakan manusia dalam posisi kesetaraan. Bahkan, kita lahir dalam kesamaan dan kesetaraan.

Pada hukum waris pun demikian. Siapa bilang bahwa laki-laki mempunyai beban lebih berat dari wanita? Aplagi anak laki-laki yang ditinggalkan oleh orang tuanya nakal, sedangkan anak perempuannya baik, adilkah bila perbandingan warisan yang akan mereka peroleh adalah 2 berbanding satu? Jika ada rumus adil + adil = adil, mengapa memilih rumus tidak adil + tidak adil = adil? Selain itu, soal perkawinan juga wajib dicatatkan untuk melindungi kedua belah pihak. Itulah poin-poin yang penulis perjuangkan!

Hanya saja, penulis mohon lebih lanjut untuk mempertimbangakan poin pernikahan beda agama, poin dilarangnya poligami, serta dilegalkannya kawin kontrak. Bukankah saling mengusik agama dan ruang privat itu melanggar prinsip pluralisme? Apakah untuk menempuh tujuan pernikahan kita harus mengorbankan usaha ke jalan yang benar? Apakah keimanan dan ketauhidan harus dikorbankan? Lalu untuk poligami, bukankah itu mengurangi tingkat prostitusi. Bukankah itu juga menolong pasangan yang tak punya anak? Bukankah itu juga menolong orang yang kesulitan? Jika semua itu dijalankan dengan syarat yang jauh lebih ketat, mungkin poligami masih bisa dilakukan, meskipun dalam realitanya susah mencari pria yang adil dan wanita yang rela dimadu. Untuk masalah kawin kontrak, bukankah ini merugikan wanita serta menyuburkan semacam prostitusi terselubung? Demikianlah pendapat penulis tentang beberapa isu krusial di dalam CLD-KHI.

Terakhir, hasil kerja keras Dr. Siti Musdah Mulia dkk ini harus dihargai. Bagaimanapun juga, inilah ijtihad yang cocok untuk situasi dan kondisi seperti sekarang. Janganlah menafsirkan Islam secara tekstual saja, karena itu berarti menjadikan Islam “barang usang”, dan tidak kreatif. Lagipula Islam selalu berhadapan dengan konteks, dan hukum selalu berubah sesuai refleksi keadaan sosial yang ada. Bahkan ketentuan yang secara legal dan eksplisit ada di dalam Alqur’an, tidak diniatkan (Allah) sebagai hukum yang abadi. Demikianlah kata Prof. Fazlur Rahman. Wallahu a’lam.

05/12/2004 | Gagasan | #

Komentar

Komentar Masuk (25)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamu’alaikum wr.wb

Janganlah berprasangka, belum tentu orang berpendapat mengenai satu macam penafsiran punya niat mengubah agama apalai Al-Qur’an. Dan kita gak usah khawatir, Al-Qur’an gak akan bisa diubah oleh siapapun, kan Allah SWT sendiri yang menjamin. Tetapi pelaksanaan isi Al-Qur’an, gak ada jaminan bahwa gak orang ada yang berniat mengubahnya.

Posted by muhammad hakim  on  11/13  at  03:18 PM

ujungnya penulis nantinya mau rubah al quran, emang dasar kepintaran di gunakan utuk membolak balik fakta, apa yg di ucapkan rasulullah itu semua tak terlepas dari pengawasan Allah jadi anda ragu sama ketentuan Tuhan, kayaknya iya, ya udah keluar aja dari islam bikin agama baru islam tdk butuh anda kok…

Posted by aprison  on  11/10  at  05:05 PM

Kenapa setiap hasil pemikiran personil JIL relatif sama?. Salah faham terhadap syari’at, berprasangka buruk pada teks, dan solusinya selalu terdapat unsur yang menentang aturan legal Islam.
Padahal semua masalah sosial itu akarnya sepele:
Tidak ditegakkannya aturan Islam secara konsekuen. Jadi kerahkan energi untuk mengkondisikan agar penyelewengan2 terhadap ayariat yang diminimalisir, bukan mengacak-acak aturannya.
Kedua, ada juga potensi aturan yang ada benar2 belum mencerminkan aturan Islam yang sesungguhnya, maka dalam hal ini memang dibutuhkan pelurusan. Tapi pelurusan juga harus merujuk pada dalil, nash, ayat dan hadits yang menjadi sumber hukum legal agama Islam. Lha kalo CDL-KHI ini sangat jauh dari semangat ini. wanita 21 tahun bisa menikahkan sendiri, wali tidak diperlukan, dll.. maka bagi anak “TK” yang baru belajar Islam pun akan merasa aroma penyimpangan pemikiran ini.
Saya yakin kalo ini berjalan (beberapa ide yang tidak sesuai dengan syari’at) dampaknya pasti tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki syari’at (yakni akan ada kekacauan, perzinahan, dsb). Karena memang standar sah tidaknya pernikahan adalah dimata Allah dan Allah telah memberi tahu syarat dan batasan itu kepada Rasul-Nya lewat hadits-hadits, maka ketika diabaikan ya pasti jadi tidak sah. Menikah tapi sejatinya bohong (tidak sah).
Tapi Oke lah… kita akan terus berbeda pendapat, dan kita akan buktikan nanti, setelah bumi bini hancur,,, semua akan tahu: Pemikiran siapa yang benar. Apa ide2 nyleneh yang tidak punya landasan syar’i atau pemikiran mereka yang biasa dianggap sebagai “fundamentalis”??
Kita semua akan melihatnya....

Posted by saifurahman  on  08/18  at  12:54 PM

kenapa setara sering diarikan “sama” yah? padahal setahu saya artinya kan sebanding.

Posted by Rezki  on  04/19  at  06:07 PM

Saya tergelitik untuk turut berkomentar. Menurut saya di dalam JIL pasti ada yang bisa bahasa Arab. Mungkin ada yang hafidz qur’an. (Mendingan gak hafidz qur’an 30 juz tetapi bisa mengamalkan yang sedikit itu, ketimbang hafidz 30 juz tapi gak mampu mengamalkannya).

Saya berpendapat apa yang sudah tegas dinyatakan Allah SWT (seperti hukum waris, mahar, bolehnya poligami, bolehnya cerai, dsb) gak usahlah diganggu gugat. Karena saya yakin, gak semua perempuan menolak poligami, gak semua pria juga mau poligami. Kalau mau adil, berilah kesempatan kepada perempuan yang bersedia poligami (meskipun dalam pikiran pengikut feminis radikal itu adalah suatu kebodohan). Berikan kepada mereka apa yang Allah SWT sendiri ijinkan.

Nikah tanpa wali? Kalau saya tidak akan pernah membolehkan itu terjadi pada keluarga saya.

Nikah beda agama? Asalkan para orang tua dan keluarga kedua calon mempelai tidak keberatan. (Mohon dikoreksi kalau saya salah dalam hal ini. Karena yang sampai saat ini yang saya pahami adalah laki-laki muslim boleh menikah dengan non-muslim, sedangkan perempuan muslim tidak boleh menikah dengan non-muslim. Mohon koreksi dari rekan-rekan atas pemahaman saya ini).

Boleh kawin kontrak tapi gak boleh poligami? Wah, gimana nih. Apa yang setuju dengan kawin kontrak rela anaknya atau sodaranya atau ibunya dikawin kontrak? Kalau poligami, Allah SWT sendiri membolehkan, tetapi hanya boleh sampai empat orang. Itupun dengan syarat harus bersikap adil. Kalau Allah SWT membolehkan, ya saya juga begitu. (Masak manusia melawan kebijakan Allah SWT sang pencipta alam semesata?)

Kalau prostitusi yang tegas-tegas dilarang masih saja dilakukan, apalagi poligami yang tegas-tegas dibolehkan. Pasti ada saja yang melakukannya. Suka atau gak suka. Yang pasti gak boleh ada pemaksaan. Para feminis ini gimana sih? Katanya mengangkat harkat dan martabat wanita, koq kawin kontrak dibolehkan, poligami gak boleh? Apa ada aktifis feminis yang mau dikawin kontrak? Kalau ada wanita yang ingin poligami (istri pertama tidak keberatan, yang jadi istri kedua, ketiga, atau keempat tidak keberatan) apa kaum feminis menolak? Itu kan berarti gak menghargai hak orang lain. Berarti pelanggaran HAM. Yakin deh, Allah SWT itu Maha Adil. Allah SWT bukannya menganjurkan poligami, tetapi membatasi poligami hanya sampai empat orang isteri. Allah SWT juga tidak menganjurkan perceraian dan juga tidak melarang perceraian, tetapi menganjurkan dilakukan dengan mengindahkan hak-hak kaum wanita.

Intinya begini lho, kalau anda sendiri gak ingin melakukannya (misalnya kawin kontrak, nikah tanpa wali), janganlah bikin aturan yang aneh-aneh. Kemudian, kalau Allah tegas-tegas telah membuat aturan dalam al qur’an tanpa perlu penafsiran lagi, ya ikuti saja. Yakinlah itu semua pasti ada hikmahnya buat manusia.

Yang saya tidak setuju itu poligami tanpa persetujuan isteri pertama. Terus suami gak bisa berbuat adil.

Posted by muhammad hakim  on  01/20  at  05:31 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq